Karena Saya Lagi Latihan Jadi Tidak Ada Judul Yang Pas

Kadang cerita berawal dari komentar semacam,

“Agak keras ya kopinya.”

Padahal kopi kan tidak terbuat dari batu maupun semen. Tapi kopi bisa membuat seseorang langsung cemen. Langsung lemas dan melilit. Menggigil dan perih.

Perih pedih seperti cinta kata Arab. Kata Arab yang suka menyeduh kopi dengan diangkat tinggi-tinggi. Tidak bukan kopi, sebenarnya the mint. Tapi sama lah sama. Sama-sama diseduh dan sama-sama mengeluarkan asap.

Asap yang melayang dan bergabung dengan awan. Awan yang terlalu berat dan bermimpi dengan langit. Tapi awan terlalu berat. Terlalu berat karena berisi air dan asap.

Air dan asap memenuhi mata dan menjadi tangis. Tangis turun dalam bentuk rintik dan bintik. Tetes tetes. Tetesan basah yang menggenang lalu meresap ke dalam. Ke dalam setiap sela dan pori bersudut.

Di dalam sudut, tertanam seekor biji. Haus dan kurang makan. Pengen buncit. Pengen jadi gede. Pengen jadi seperti yang lain dan menggapai matahari. Tiba-tiba saja ketetasan air. Wow lucky. Wow beruntung beruntung rejeki nomplok.

Rejeki nomplok. Ketika kepala terjedot. Gak papa asal si dia nanti nemplok. Gak masalah asal gak jadi nombok. Apalagi kalau sampai harus kena tabok.

Seperti kena tabok. Rasanya kayak kena tabok. Waktu kamu bilang bahwa, saturasinya kurang tinggi. Potosop lagi.

Poto sop di atas mangkok tidak akan cukup menjadikan diri ini seseorang yang dirindukan oleh diri kamu yang semacam tidak peduli pada apa yang menimpa kehidupan setiap insan di dunia yang dipenuhi murka Tuhan yang selalu diterjemahkan sebagai amuk dan kemanjaan yang merendahkan.

Merendahkan mau tidak mau dia lakukan ketika mengambil foto dari atas. Maklum dia kan lebih tinggi dan saya pendek sekali. Mungkin saya perlu pakai sepatu hak tinggi. Tapi sepatu hak tinggi rasanya sakit sekali. Apakah segalanya yang cantik akan menimbulkan rasa sakit.

Rasa sakit bulanan ini terasa menusuk. Menusuk perut, kepala dan segala tempat yang berada di ujung syaraf. Syaraf yang menjaga kewarasan terutama. Apakah memang waras untuk merasakan sakit di dalam kantong tipis karena dompet kempes.

Kempesnya kapan? Tanya perut yang sudah makan enak. Setelah push up dan sit up. Besok, besok lagi. Besok adalah sebuah negeri yang jauh sekali.

Jauh sekali kesabaran kalian yang membaca tulisan ini. Luar biasa. Kuyakin kalian super sekali! Saya aja yang nulis gak sabaran. Kok kalian terima aja sih tulisan semacam ini? Apa boleh buat saya akhiri saja tulisan ini. Dengan sedikit memaksa. Kenapa?

Karena saya bisa dan kalian ngga.

Haha!

Kegilaan

Penulis, seniman, dan semacam itu, konon katanya mereka semua sebenarnya adalah orang-orang yang gila. Sama seperti semua orang lainnya. Gila. Tapi dalam level yang berbeda. Mungkin karena kebenaran terletak di daerah otak yang dalam sekali. Atau mungkin kebenaran letaknya setelah entah berapa banyak syaraf terkoneksi.

Jadi mencari kebenaran adalah hal yang sangat sulit dilakukan.

Kamu melakukannya sendiri. Karena jalan setiap orang berbeda.

Karena kamu sendirian, kamu jadi gila.

Setidaknya begitulah yang dikatakan di dalam buku Veronika Decides To Die-Paulo Coelho.

Terdengar seperti pekerjaan yang berbahaya untuk mental ya? Memang. Makanya biasanya seniman-seniman itu adrenaline junkie. Karena itulah mereka suka hal yang nyentrik dan unik. Karena itu memompa adrenalin dan merenggang rasa keterbatasan. Berbahaya. Semakin berbahaya semakin mengasyikkan. Begitulah kulihat-lihat.

Berbahaya. Asyik. Menantang. Merenggang.

Yang saya gambarkan perilaku seniman ataukah kucing garong?

Saya mulai kehilangan track. Atau mungkin itu hal yang sama.

Bagi saya pribadi, saya tidak tahu apa itu hakikat menulis. Nyastra. Nyeni. Apapun itu. Saya tidak terlalu memikirkannya. Urusan saya hanya sedikit banyak menggali sebanyak-banyaknya dan berusaha menyentuh bagian terdalam dari pikiran manusia.

Anehnya itu menjadikan saya seorang copywriter.

Loh kok kenapa bisa? Padahal saya pikir saya temannya Paulo Coelho. Inginnya saya begitu. Tapi mungkin saya emang gak nyastra dan nyeni. Saya hanya suka menyentuh pemikiran orang-orang. Membuat orang bergerak adalah sebuah hobi. Buat saya itu lewat gambar, lewat kata-kata, kalimat-kalimat, dan akhir-akhir ini saya berpikir itu dilakukan lewat dongeng. Lewat nada-nada yang enak di telinga.

Saya punya rencana berlatih membaca keras-keras. Tapi saya suka merasa malu sendiri. Terutama kalau ada demit bule di pojokan yang mendengarkan sambil membuat komentar-komentar sarkastis.

Sering kali saya tidak memikirkan apa hal-hal yang saya inginkan akan mendatangkan uang. Saya pikir kalau Tuhan ridha dengan apa yang saya lakukan, seharusnya saya tidak kelaparan. Begitu logika aneh dalam otak saya berputar.

Jadinya suatu hari seseorang berkata bahwa dia bingung bagaimana mulai mendapatkan uang dari menulis.

Jujur saya juga tidak tahu dan tidak memikirkannya. Mungkin karena saya masih mengejar mimpi untuk memiliki karya yang diterbitkan. Dan mimpi itu rasa-rasanya akan membuat saya gila.

Apalagi saya membaca ulang tulisan-tulisan sendiri dan ada beberapa yang pasti akan saya rombak habis-habisan. Dan saya belum melakukannya karena masih belum dapat copywriting yang sangat pas seperti yang saya bayangkan.

Jadi bisa saja di masa depan saya akan menjadi orang yang gila banget.

Sekarang saja sudah agak gila banget.

Dan liburan lebaran ini tidak membantu. Hanya membuat stress karena orang-orang yang sedang berlibur sangat menyebalkan. Kegemarannya parkir sembarangan, buang sampah sembarangan dan menyela antrian. Mungkin orang-orang berlibur bersikap begitu karena merasa tidak akan kembali ke kota ini. Mungkin juga mereka terlalu banyak mengikuti aturan kantor korporat atau semacam itu sehingga menjadikan lebaran saatnya menjadi bebas. Toh sudah minal aidin.

Nah kan saya terlihat gila kan dengan omelan itu. Tindakan-tindakan kecil itu sangat mengganggu bagi saya. Kadang lebih ganggu dari perang dan kelaparan. Karena saya percaya semua hal besar itu asalnya dari hal-hal kecil itu. Seperti dari seorang buang sampah sembarangan akan menjadikan buang sampah sembarangan itu sebuah budaya dan semua sungai akan mampat oleh sampah dan kotoran,

Padahal manusia adalah kontributor terbesar dari debu di dalam atmosfir. Kenapa manusia senang banget berbuat seenaknya. Suka nggak sih dengan kebersihan? Apa suka dengan hal-hal yang kotor dan tidak rapi? Seperti si demit di dalam kamar mess yang senang hidup dalam aliran air. Apapun jenis air itu?

Bodoh banget.

Nah kan saya gila banget kan.

Makanya yang rapi bersih. Bantu saya yang kerjanya menulis ini untuk fokus. Kalau tidak kan saya jadi pengen bersih-bersih atau melakukan relokasi manusia. Padahal harusnya kan saya lagi nulis. Writing and copywriting. Both lah. Serempak tapi fokus. Dua arah tapi searah.

Oke?

Oke!

Sip ya. Stop jorok ok. Kalau tidak saya akan memperlakukan anda seperti demit-demit. Dan terkadang saya memperlakukan mereka seperti anjing-anjing di dalam acara Dog Whisperer-Caeser Millan. Saya yakin anda tidak ingin diperlakukan seperti anjing kan? Makanya jangan aneh dan merasa bisa buang sampah sembarangan. parkir seenaknya dan menyela antrian.

Yang gila itu Anda yang meremehkan sopan santun dasar semacam itu.

Sayangnya orang gila itu tidak pernah merasa gila! Jadi percuma kalau saya memberikan quote dari seorang kawan lama saya:

“JANGAN GILA DONK”

Ah percum-ceu

-nyaw, kentutin orang-orang yang seenaknya-

Visualisasi Peradaban Manusia

Pada suatu hari yang beruntung, saya pernah melihat visualisasi dari perkembangan peradaban manusia. Saya tahu, ini kedengaran aneh, tapi saya sungguh-sungguh melihatnya. Mungkin lebih tepatnya saya melihat sebuah visualisasi intepretasi saya terhadap peradaban. Visualisasi ini sudah saya tuliskan dalam sebuah novel-yang-telah-ditolak-beberapa-kali-tapi-tidak-kunjung-saya-revisi-karena-saking-randomnya-cerita-itu-jadi-dibiarkan-saja. Tiba-tiba saya merasa perlu menceritakan kembali visualisasi itu, karena saya bosan dengan perkembangan peradaban yang begitu-begitu saja. Alasan terlalu simpel ya? Ya biarlah seperti itu. Lagian visualisasinya cukup menarik, dan melibatkan salah satu tokoh yang muncul di buku seorang pengarang terkenal (tapi tidak akan saya sebutkan nama novel maupun tokohnya karena tokoh itu muncul jauh sebelum novel itu terbit jadi saya cukup curiga itu bukan sekadar tokoh tapi mungkin sesuatu yang “lain”). Jadi kurasa, ini akan jadi tulisan aneh yang biasanya.

Awal dari visualisasi itu adalah saya sedang menaiki sebuah kendaraan yang berbentuk kereta. Relnya seakan melayang tapi sebenarny terpancang pada sebuah struktur yang menyerupai jembatan. Kereta itu memasuki kota-kota yang dibentuk dari kotak-kotak yang membentuk berbagai gedung pucat. Semua kotak berwarna putih. Sepanjang saya memandang hanya terlihat tumpukan balok-balok putih dengan bayang-bayang abu-abu. Bahkan ketika saya memandang penumpang-penumpang kereta, semuanya sama pucat. Semua orang tidak punya warna. Hanya warna putih kanvas kosong dan berwarna abu-abu.

Sesekali isi gedung-gedung kotak itu terlihat karena terdapat jendela yang berbentuk persegi atau persegi panjang. Terlihat dari dalamnya lift dan eskalator yang membawa orang-orang berwarna pucat. Naik ke atas atau ke bawah dengan bunyi “ding” pintu terbuka atau tertutup.

Begitu sibuk. Semuanya sibuk. Semua bergerak dengan pasti menyusur kotak-kotak menuju suatu arah yang entah apa. Tidak satu pun orang berhenti untuk melihat kiri dan kanan. Semuanya berjalan dengan suatu keyakinan menuju suatu tempat yang tidak saya ketahui. Semuanya saya lihat dari kereta yang berjalan begitu cepat. Bahkan saya pun tidak tahu kemana kereta itu hendak pergi. Hanya saya saja yang tidak punya rasa pasti akan arah dan tujuan. Saya bingung tapi berusaha terlihat tahu tujuan. Saya berusaha terlihat seperti semua penumpang kereta yang pucat-pucat itu.

Kereta kemudia berhenti pada sebuah halte. Para penumpang berhamburan keluar cepat-cepat. Serombongan calon-calon penumpang hendak masuk. Penumpang-penumpang yang mau masuk dan keluar berbenturan seperti air bah berbeda arah. Karena tidak tahu harus berbuat apa, saya ikut aliran dan turut menghambur keluar kereta dan mengikuti langkah-langkah para penumpang yang tadi bersama-sama ikut kereta.

Saya mengikut langkah-langkah mereka yang cepat dan begitu pasti. Menyusur kotak-kotak putih pucat. Naik turun lift dan eskalator. Tak lama saya sadari bahwa hanya saya yang tidak memakai sepatu. Dan hanya saya yang memakai baju dengan bahan melayang-layang ringan dan tidak kaku seperti yang lainnya. Saya merasa malu dan berbeda, tapi saya berpura-pura bahwa saya sama dengan mereka-mereka. Pucat dan penuh percaya diri. Yakin akan arah perjalanan mereka. Entah kemana. Entah kemana.

Tapi selama saya berpura-pura. Menyusur kotak-kotak, naik turun lift dan eskalator, berpura-pura tidak melirik kiri dan kanan, semakin saya tampak berbeda. Lama-lama saya tidak lagi pucat. Saya semakin berwarna meskipun masih tanpa alas kaki dan masih memakai baju dengan bahan ringan dan melayang. Dan tiba-tiba sebuah hembusan angin menerpa saya. Saya menahan hembusan angin itu dengan sekuat tenaga. Saya melihat kiri dan kanan, hanya saya yang dihembuskan angin. Tapi sekuat apapun saya menahan, angin itu begitu kuat. Saya memejamkan mata dan bergerak mengikuti aliran angin itu.

Saya terhempas angin yang membuat saya keluar jalur dari semua orang pucat.

Dan itu sangat menakutkan.

Saya ingin kembali tapi tidak bisa, karena tubuh saya malah bergerak mengikuti hembusan angin.

Saya tidak lagi mengikuti jalanan dan jalur-jalur di antara kotak-kotak. Kadang saya melompati kotak-kotak seakan-akan mereka hanya batu pijakan. Kadang saya menyusur jalur-jalur di dalam angin. Seperti ada pijakan-pijakan di sana. Lalu sambil saya bergerak, tanpa mengindahkan aturan, jalur, jalanan, logika, saya melihat semua orang-orang yang bergerak dengan kepastian yang membuatku tidak paham. Kemana mereka? Kemana mereka pergi? Kenapa mereka mengikuti jalur-jalur pucat tanpa memandang tujuan akhir?

Saya bingung. Tapi saya sendiri pun terus bergerak menyusur angin dengan arah yang tidak saya ketahui tapi membuat saya ringan. Kali ini saya tidak gamang meskipun tidak mengikuti jalanan yang telah dibangun di antara kotak-kotak putih.

Tapi tiba-tiba gerakan saya yang begitu bebas terhenti. Saya tidak lagi dapat melompat atau menyusur dengan ringan. Di hadapan saya tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan pijakan. Hanya ada padang tandus kering yang kosong dengan tanah retak-retak kering. Di ujung padang terlihat sebuah cahaya yang terang. Angin yang menghembus kembali mengarahkanku. Tapi kali ini aku tidak serta merta mengikuti hembusan. Karena angin menyuruhku untuk memasuki padang yang tandus itu. Sedangkan kotak-kotak putih pucat itu tidak dibangun menuju terang cahaya itu, tapi dibangun menjauhi cahaya. Ke arah yang berbeda.

Saya terdiam. Saya merasa tidak bisa melewati padang itu. Tidak ada kotak putih. Tidak ada jalur dan orang-orang pucat yang dapat disusuri dari pandangan yang jauh. Tidak ada apapun di padang itu selain kekeringan, tanah tandus dan kesendirian.

Tapi angin terus berhembus dan menyuruhku ke padang yang tandus itu di mana tak ada sebuah kotak putih pun di sana.

Saya masih terdiam. Malah saya takut dan tercekat. Saya tidak akan bisa bergerak ke sana tanpa sebuah kotak putih pun di sana. Sedangkan saya bukan seseorang yang tahu cara membuat kotak putih itu. Saya mengutuk diri sendiri. Seharusnya saya belajar membuat kotak putih.

Saya takut dan terus diam. Angin mempermainkan ujung baju dan rambut. Menyuruh saya mengikuti hembusan. Menyuruh saya berani untuk menuju cahaya. Tapi saya masih takut dan masih terus takut.

Lalu sebuah sosok berdiri di belakang saya. Dia memakai jubah hitam yang sangat lebar dan menutup muka. Tapi saya masih dapat melihat bahwa ia membawa sebuah tombak yang panjang. Punggungnya memiliki sepasang sayap hitam. Panjang dan besar, menyapu belakang tubuhnya. Sosok itu bersuara. Suaranya dalam, sebuah bariton yang tidak manusiawi. Katanya dengan garang,

“Jalanmu ke sana. Menuju cahaya.”

Saya bilang,

“Tidak ada jalan ke sana.”

Dia menjawab garang,

“Kalau begitu kamu harus membuatnya.”

Saya terdiam. Saya masih takut. Saya memandang cahaya itu. Saya tahu saya harus menuju tempat itu. Tapi jalan ke sana begitu kering, tandus, dan sepi. Terutama sepi. Tidak ada ukuran jarak tanpa kotak-kotak putih. Tidak lagi dapat berpura-pura tidak sendiri dengan memandang orang-orang berjalan dengan pasti. Kali ini hanya akan ada saya dan sebuah keyakinan bahwa saya benar-benar menuju cahaya.

Saya memandang cahaya itu. Bayangan itu terus di belakang saya. Dia garang tapi sabar.

Lalu saya tersadar dari visualisasi itu. Saya sadar bahwa kotak-kotak putih itu adalah hal-hal yang dibangun manusia. Sebuah bangunan peradaban pelik yang secara tidak langsung telah mengarahkan arah generasi-generasi penerus manusia. Begitu sibuknya kotak-kotak putih itu dibuat, sampai-sampai manusia lupa ke arah mana kotak-kotak itu dibangun dan diletakkan. Secara tidak sadar, kotak-kotak peradaban mulai menjauh dari cahaya. Padahal sosok hitam yang garang itu akan selalu mengikuti. Sosok yang sabar itu akan selalu mengikuti.

Karena sosok hitam itu kematian.

Kematian akan selalu membuntuti setiap langkah.

Pertanyaannya adalah, ke arah manakah kamu melangkah? Apakah menuju cahaya? Menjauhi cahaya? Ataukah hanya mengikuti jalur-jalur di antara kotak-kotak putih. Mengikuti logika yang ditata peradaban tanpa mempertanyakan,

“Ke mana semua kotak-kotak ini mengarahkanku?”

Ingatlah, kotak-kotak putih itu akan selalu ada. Tapi semua manusia memiliki daya untuk membuat kotak-kotak itu bersama-sama. Karena semua itu dimungkinkan oleh logika. Tapi logika tidak memiliki ukuran arah. Arah ditentukan oleh rasa. Arah ditentukan oleh hati yang dikuasai oleh kekuatan yang melebihi logika dan emosi.

Sesekali berhenti dan melihat kiri dan kanan bukanlah ide yang buruk. Karena sesekali seseorang perlu melihat arah perjalanannya.

Apalagi dengan sosok hitam yang membuntuti setiap saat.

-nyaw, kisah kotak-kotak peradaban-

Pejuang dengan Hati Besar

Malam ini saya akan menulis acak.

Sekian pemberitahuan dari saya

-nyaw, acak-

***

Pejuang dengan Hati Besar

chinese warrior

Bau bawang putih dan minyak wijen menari berganti-ganti di dalam ruangan dengan satu jendela kecil dan satu pintu yang tidak bisa dikunci dari dalam. Seandainya AC tidak dinyalakan, mungkin dia akan membuka pintu atau jendela. Tapi dia tidak melakukan keduanya. Selain enggan mematikan AC, ia pun enggan memelototi pintu maupun jendela dengan awas. Karena malam sebelumnya seekor tikus merangkak masuk dan membuat geger. Ah sudah cukup keributan semacam itu. Biarkan bau bawang putih dan minyak wijen ini memenuhi kamar yang dingin oleh AC. Biarkan saja.

Dia, dengan sumpeknya sendiri oleh tarian bawang putih dan minyak wijen melanjutkan makan dalam sunyi. Temannya telah mengomentari kebiasaan anehnya untuk tidak menyalakan TV ketika sedang sendiri di dalam kamar, tapi dia acuh saja. Terkadang TV sama memusingkannya dengan komputer. Layar berpendar dari layar berpendar lainnya. Bedanya, layar yang satu dapat kita katai, layar yang satunya mengata-ngatai. Keduanya bukan hal yang menyenangkannya. Jadi dia memakan makanan berbau bawang putih dan minyak wijennya dalam suasana yang hening.

Mungkin dia makan dalam suasana yang sedikit terlalu syahdu. Seperti orang yang memiliki dunia sendiri. Dan mau tidak mau ada yang mengomentari. Entah iseng atau memang ingin menemani, tapi malam itu. sambil dia mengunyah dan menikmati tarian bawang putih dan minyak wijen, sebuah suara menyapanya,

“Carikan gadisku.”

Dia membeku. Refleks membeku. Lalu ia mengumpat dalam hati. Mengatai mengapa ia melakukan sebuah reaksi yang begitu jelas. Jadi sudah pasti yang mengajaknya berbicara itu menyadari gerakan atau non gerakannya sekecil apapun. Dan memang benar, si pemilik suara kembali menyapa,

“Bau masakanmu seperti bau masakan gadisku. Kenalkah kamu?”

Dengan terpaksa, dia mengangkat muka dari piringnya yang sudah hendak kosong masuk ke dalam perut. Sambil setengah mengunyah dengan bekas kecap dan nasi kering di pinggir mulut ia menengadah. Diperlukan sedikit lagi. Karena pemilik suara itu melayang sekitar di atas kepala dengan punggung yang ditegakkan dan bahu yang tampak kuat. Matanya menatap tajam, kendati berbentuk sipit dan kecil. Kepang di belakang kepalanya panjang dan berwarna pekat. Tinta cina pekat. Sebuah bayang seorang pesilat. Seperti menonton film di RCTI tahun 90-an.

Dia yang disapa merasa kecut lalu memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengar atau melihat pesilat itu. Baginya pesilat itu adalah sebuah bayangan. Mungkin semacam efek samping terlalu banyak memakan bawang putih dan minyak wijen. Atau semacam dosa karena terlalu banyak menambahkan micin.

“Tidur tidur tidur. Tidur tidur tidur.”

Dengan kepala berat, dia merebahkan badan ke atas tempat tidur. Tidak gosok gigi atau cuci muka. Ia kesulitan menuju kamar mandi ketika ada sesuatu yang melayang-layang di depannya dan menanyakan hal yang dia sendiri tidak mengerti. Bukan hanya saja tidak mengerti, tapi tidak mau dia mengerti. Kehidupannya sendiri sudah cukup merepotkan tanpa harus menambahkan hal-hal merepotkan semacam ini.

Tapi pesilat itu tetap berada di ruangan itu. Dengan matanya yang tajam memincing. Dan dengan kepangnya yang terpilin. Dia tampak masih ada perlu. Tapi orang yang bisa memenuhi keperluannya malah memutuskan untuk acuh dan tidur.

-bersambung-

Naga dan Peliharaan-peliharaan Lain yang Lebih Menarik

Mungkin saya sedikit terlalu beruntung. Memasuki bulan ke-4 bekerja kembali di Jakarta, angka trombosit darah saya turun di bawah 100.ooo dan saya harus diopname. Sebelum semua peristiwa opname itu pun, sehari-hari saya sudah bermasalah dengan demit-demit yang menyebabkan saya tidak bisa tidur, aura menjadi bocor dan saya menjadi sangat uring-uringan. Saya begitu uring-uringan sampai saya merasa bahwa pekerjaan saya saat ini tidak lebih pekerjaan pecicilan. Oleh karenanya saya melampiaskan kesebalan saya dengan mencemooh laki-laki pecicilan. Tapi saya kemudian sadar bahwa itu adalah hal yang terlalu berlebihan dan sebenarnya tidak berhubungan. Karena persepsi buruk sendiri terhadap pekerjaan sendiri, kenapa yang kena malah lelaki pecicilan? Benar-benar tidak nyambung. Padahal intinya saya sedang memiliki banyak masalah eksternal, internal, internal menyerong, internal ke atas, eksternal meluas, eksternal di belakang, mikro, makro, dsb, dsb, dsb.

Sambil menuliskan ini pun saya merasa pusing dan lelah sendiri.

Oleh karenanya, saya menggunakan keberuntungan saya untuk opname dan mengalami sakit medis dan nonmedis ini untuk berhibernasi dan menenangkan diri. Ya! Berkontemplasi dalam demam dan nyeri. Menghimpun inner peace ketika deg-degan melihat darah muncrat dari infus. Fokus ketika menyuruh demit untuk pulang kembali ke Jakarta (yang tidak mau dia lakukan karena dia pun cukup lelah setelah mengejar dan mengancam membunuh, lagipula Bandung adalah tempat yang menyenangkan untuknya, jadi dia akan pulang menumpang pulang nanti saat saya menyetir ke Jakarta – saya bingung, dia yang mengancam membunuh, kok saya yang antar pulang? Ya sudah, manusia itu harus ridha dan lapang dada).

Lumayan. Alhamdulillah. Kini saya membaik. Berkat ridha Allah dan doa-doa teman-teman yang sangat baik…. Jadi siapa bilang sakit itu sial? Terkadang itu menandakan keberuntungan.

Tapi setelah keluar opname, saya masih bedrest di rumah. Masih ada pusing dan nyeri. Tapi masih bisa dimanage. Saya menggunakan waktu bedrest ini tidak hanya untuk tidur, tapi untuk mengejar buku-buku yang tidak sempat saya baca. Padahal membaca adalah hal yang sangat penting, tapi aku tidak pernah memiliki cukup fokus melakukannya beberapa bulan belakangan. Aku beruntung bahwa aku sempat curi membaca sambil bedrest.

Buku yang telah saya baca kali ini adalah “Cala Ibi” karya Nukila Amal.

Katanya Cala Ibi adalah seekor burung khas Sulawesi. Kalau dalam buku itu, Cala Ibi adalah naga bersisik emas dan bermata hitam. Itu membuatku teringat bahwa aku pun memiliki seekor naga. Namanya Greyling, karena ia adalah reptil abu-abu yang bergerak cepat seperti bayangan. Kadang dipanggil Moonstone, karena ia muncul di beberapa fase bulan tertentu. Dan belakangan ia memiliki alias Bloodstone, karena ia adalah prajurit yang ahli membunuh sehingga matanya hitam seperti darah kering pekat. Ya, aku pun memiliki seekor naga, dan dia hidup di dalam cerita “Putri Standar”.

Saya tidak tahu urusan naga, Nukila Amal dan saya sendiri itu apa, tapi saya hanya perhatikan satu benang merah. Saya perhatikan bahwa “Cala Ibi” adalah cerita tentang kesendirian dan pencarian makna, sedangkan “Putri Standar” adalah tentang kesendirian dan pencarian kemandirian. Keduanya memiliki tokoh naga di dalamnya. Saya jadi merasa bahwa naga adalah peliharaannya perempuan-perempuan yang merasa sendiri. Ternyata kesendirian perempuan itu dapat dimanifestasikan dalam bentuk sebuah hewan raksasa berdarah dingin dengan sisik keras dan mata kelam. Ternyata kesendirian perempuan itu juga arogan, sok tahu dan sok bijaksana.

Padahal kesendirian itu dingin dan keras. Juga dapat berkhianat.

Tapi kesendirian juga mitos. Dan hanya terwujud dalam khayalan atau diwujudkan demit.

Setelah membaca Cala Ibi, yang mengingatkan pada Putri Standar, saya jadi sadar bahwa kesendirian, kontemplasi, hal-hal yang berperang dalam hati, dan hal-hal lainnya, mungkin tidak sepelik itu. Kalau Nukila Amal mungkin akan bilang kalau semuanya itu hanya “…”. Iya betul. Semuanya tidak sepelik itu, yang pelik adalah perasaan tidak sabar dan kekurangan pemahamannya. Dan menurut Nukila Amal, semua pemahaman itu ada pada hal-hal sekitar kita. Kita perlu jeli.

J-e-l-i dalam arti teliti, bukan j-e-l-l-y dalam arti makanan.

Meskipun sedikit jelly manis tidak akan menyakiti siapapun.

Jadi kupikir, untuk saat ini lebih baik jalani saja apapun. Jangan pikirkan apakah pekerjaan yang saat ini terasa pecicilan atau tidak. Mungkin itu penilaian atas dasar kekesalan diri sendiri saja, mungkin karena saya kecewa tidak sempat menulis hal-hal yang benar-benar membuat saya bahagia, seperti cerita fiksi. Atau mungkin saya hanya terlalu memikirkan apakah sesuatu bermakna atau tidak, padahal itu di luar penilaian saya sebagai manusia.

Jadi selain itu. Saya memutuskan. Saya memutuskan bahwa saya sudah tidak ingin memelihara naga. Saya memilih memelihara anjing. Mungkin husky. Anjing itu hangat, bereaksi baik pada energi, dan terutama sekali, mereka bukanlah makhluk mitos.

Lagipula itu adalah keputusan yang spontan setelah membaca setengah jalan Cala Ibi dan didatangi naga ungu dengan kepala perempuan.

Saya memberikan jawaban, “NOPE!”

Sudah cukup naga yang saya kenal dalam 1 waktu kehidupan!

-nyaw, memilih memelihara husky-

Jejak Jemari Harum Melati

Setelah sekian lama akhirnya menulis lagi. Ini adalah lanjutan dari “Kembang Wangi”. Banyak yang tidak memahami cerita itu. Ya gak masalah juga kalau tidak paham. Biarkan sahaja semuanya mengalir, dan nikmatilah!

Ini adalah cerita yang kutulis juga untuk menyalurkan sedikit hitam dalam hati saya setelah mengalami banyak kekecewaan. Daripada saya getir, lebih baik mencari penyelesaian lewat fiksi. Ya nggak?

Seperti biasa, jangan pikirkan hal-hal teknis saat membaca dan biarkan semuanya mengalir. Selamat membaca!

-nyaw, kembali menulis fiksi-

***

Jejak Jemari Harum Melati

20150402_234931

Kembang Wangi adalah pelacur yang tinggal seorang diri. Tanpa mama germo maupun seorang pun kawan. Sebenarnya, sebelumnya, keadaannya tidak demikian. Pada awalnya Kembang Wangi tidak seorang diri. Dan rumahnya yang serupa liang, tidak hanya berisi dirinya seorang. Dan pada awalnya, rumahnya tidak pernah sepenuhnya sepi. Dan sebelum ini, tidak hanya pikir dan khayalan yang menjadi teman kesendirian Kembang Wangi. Dan dulu tidak hanya tanya, “Mengapa saya adalah pelacur perawan?” yang menjadi pengisi kekosongan dalam diri Kembang Wangi.

Ya betul. Dulu keadaannya tidak seperti ini. Dulu, Kembang Wangi bukan satu-satunya pelacur yang mengisi rumahnya yang serupa liang. Dulu ada Kembang Wangi dan seorang lagi yang bernama Harum Melati. Kembang Wangi perawan tapi Harum Melati bukan. Karena Harum Melati adalah ibu kandung dari Kembang Wangi. Dan kehormatan melahirkan selagi perawan hanya milik Maryam. Jadi sudah barang tentu Harum Melati sudah tidak perawan.

Tapi selain sudah tidak perawan dan melahirkan yang menjadi pembeda Harum Melati dan Kembang Wangi, masih ada hal-hal lain. Hal lain seperti tingkat kebijaksanaan dan cara mencerna kehidupan. Harum Melati kalah bila dibandingkan dengan Kembang Wangi dalam dua hal ini. Memang itu adalah fakta yang aneh, tapi cukup nyata. Mungkin karena menjadi seorang ibu tidak selalu menandakan bertambahnya kebijaksanaan. Kalau cukup sial, menjadi seorang ibu hanya berakhir sebagai seseorang yang telah melahirkan. Sudah cukup sampai di sana.

Sayangnya, Harum Melati terhenti sebagai sebagai seorang ibu yang melahirkan. Dan memang sangat disayangkan ia tidak mendapatkan apa-apa dari kehidupannya yang selanjutnya. Kebijaksanaannya tidak bertambah, dan ia tidak pernah sepenuhnya dapat mencerna hal-hal yang telah menimpanya. Kalau ia berhasil mencerna segalanya dan mendapatkan kebijaksanaan darinya, sudah barang tentu ia tidak akan melakukan hal yang telah dilakukannya. Dan kalau ia tidak melakukan hal yang telah dilakukannya, maka Kembang Wangi tidak akan tinggal seorang diri. Dan mungkin Kembang Wangi tidak akan menjadi pelacur yang selalu perawan. Dan mungkin saja Kembang Wangi akan mengerti keperawanan para pelacur di dalam garis keluarganya.

Tapi tidak. Harum Melati telah melakukan hal yang telah dilakukannya. Suatu hal yang telah dilakukan oleh ibunya. Juga neneknya. Dan tak luput nenek dari neneknya. Tentu saja tak ketinggalan nenek dari nenek neneknya. Hal yang telah dilakukan oleh para perempuan pendahulu Kembang Wangi telah meninggalkan sebuah luka di dalam hatinya. Ketika mengingat hal yang telah dilakukan ibunya, Kembang Wangi hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sambil berdecak. Ia akan melepas napas panjang dan berkata,

“Ah Ibu. Mengapa kau mengulang sejarah? Mengapa kau melakukan hal yang telah dilakukan nenek? Padahal kau tahu laki-laki itu seperti kupu-kupu. Lalu kami perempuan….”

Biasanya Kembang Wangi tidak akan melanjutkan kata-katanya. Karena ujung dari kata-kata itu selalu berhasil membuatnya resah. Kedua matanya pun akan menjadi basah karena gelisah memikirkan nasib para neneknya. Terutama kalau memikirkan nasib ibunya sendiri. Harum Melati.

Dulu ketika Kembang Wangi hanya setinggi lutut orang dewasa dan tangannya belum mencapai telinganya yang di seberang, Harum Melati sering menuturkan sebuah kisah. Kisah yang menemani Kembang Wangi ketika ia masih sering dimandikan. Kisah yang menjadi pelantun ketika badannya dibedaki dan dipakaikan baju ringan berwarna-warni lembut. Dan kisah ini kemudian diteruskan, sambil rambut Kembang Wangi yang masih sebahu disisir sembari Harum Melati mencari telur kutu putih.Pada saat seperti ini, kisah Harum Melati memuncak dan menjadi menarik.

Kisah yang dituturkan oleh Harum Melati adalah mengenai asal-usul dirinya dan Kembang Wangi. Di dalamnya ada kisah mengenai takdir mereka. Dan paling penting, sesekali akan terselip kisah mengenai ayah kandung Kembang Melati. Meskipun hanya kisah yang berukuran sedikit, tapi terasa seperti harta bagi Kembang Melati yang tidak pernah bertemu ayahnya.

Pada suatu hari Harum Melati memulai kisahnya. Ia memulainya dengan sebuah gerakan sisiran membelah dan menjentik telur kutu putih di atas kepala Kembang Wang. Harum Melati memulai kisahnya dengan suara yang halus namun bernada riang. Kata-kata itu meluncur dengan tenang,

“Tahukah Kembang Wangi, tahukah kamu bahwa kita adalah keluarga pelacur perawan?”

Kembang Wangi yang masih kecil dan masih setinggi lutut, hanya diam dan memejamkan mata. Ia terlarut dalam buaian suara halus ibunya dan telisik jari jemari gemulai di antara rambutnya yang lurus halus. Sambil memejam, Kembang Wangi hanya memusatkan perhatian pada rasa nyaman. Karena duduk membelakangi ibunya, ia hanya dapat membayangkan seperti apa mimik muka ibunya saat ini.

Kembang Wangi membayangkan bahwa Harum Melati sedang tersenyum kecil. Bibir yang tersungging pada oval muka wajah ibunya akan menularkan warna pastel ayu yang menjalar dari pipi kiri ke kanan. Ke lesung kiri lalu ke lesung kanan. Pink dan pink. Pink dan pink di atas kulit yang sedikit sawo matang. Pada sawo matang itu tersembunyi dua mutiara hitam yang dinaungi oleh sepasang bulu mata lebat dan alis serupa garis lurus tenang yang teduh. Kesemuanya dibingkai oleh rambut lurus legam yang yang jatuh seperti benang-benang berat dan licin. Rambut yang serupa dengan rambut Kembang Wangi.

Seperti itulah Kembang Wangi membayangkan ibunya berkisah. Seperti itulah Kembang Wangi pikir Harum Melati memulai cerita. Jadi Kembang Wangi biasanya hanya tenang. Karena ia tahu kalau ia tenang, maka Harum Melati akan terus saja berkisah. Dan memang seperti itu. Karena Kembang Wangi yang hanya setinggi lutut duduk terdiam, maka Harum Melati akan melanjut dengan tenang,

“Ya Kembang Wangi, kita keluarga pelacur perawan. Nenekmu pelacur, aku pelacur, dan bahkan kelak kamu akan menjadi pelacur. Tapi kita perawan. Sialnya kita adalah pelacur perawan!”

Kembang Wangi yang masih belum mengerti sepatah kata pun tetap duduk terdiam. Ia menikmati telisik dan jentikan gemulai jari jemari ibunya. Kembang Wangi menikmati semua itu meskipun di dalam hatinya ada tanya mengenai istilah “pelacur”, “perawan”, dan apa hubungan keduanya dengan kesialan.

Tapi Kembang Wangi memilih diam. Ia merasa kalau ia hanya diam, maka Harum Melati pasti akan melanjutkan ceritanya. Dan memang benar, kata-kata kembali meluncur halus dari mulut Harum Melati. Dan dengan tenang ia melanjut, meskipun dengan sedikit nada getir,

“Karena kita pelacur yang perawan, maka lelaki merasa segan. Lalu segan menjadi tertekan. Dan rasa tertekan akan mengeluarkan rasa yag teredam. Rasa yang berasal dari hati terdalam.”

Harum Melati terhenti sedikit tersentak seakan-akan ia baru menyadari makna di dalam kata-katanya sendiri. Juga tersentak karena tidak makna yang mendalam itu memunculkan secercah ragu pada kelanjutan ceritanya. Seakan-akan ada sesuatu yang enggan ia katakan. Sesuatu itu membuat pita suaranya sempit dan lidahnya kelu. Bibirnya serasa terbelenggu. Dan mulai terdapat gemetar di dalam gemulai jari jemarinya.

Dengan gerakan yang sedikit patah dan kaku, Harum Melati kembali menyisir di antara lurus halus rambut Kembang Wangi yang serupa dirinya. Ia terus lewatkan sisir sambil mengumpulkan keberanian untuk bertutur pada anaknya yang baru setinggi lutut itu. Helaian-helaian halus anak yang telah memecah perawan rahimnya terasa menenangkan sekaligus menyakitkan. Menenangkan karena mengingatkannya pada hari-hari ketika satu-satunya masalah yang ia punya hanyalah seputar keperawanan. Menyakitkan karena Kembang Wangi mengingatkannya pada lelaki yang tidak segan untuk meniduri pelacur yang perawan.

Lelaki tanpa segan itulah ayah kandung dari Kembang Wangi. Lelaki itu selalu membuat lidah Harum Melati terkunci sekaligus tergelitik untuk berkisah. Karena pada satu titik kecil, pertemuan itu terasa indah. Meskipun hanya sebelah.

Tetapi keindahan yang hanya sebelah, jarang-jarang menenangkan. Banyaknya yang membuat gelisah. Maka Harum Melati kesulitan tenang ketika kenangan lelaki itu membayang. Air mata mulai menggenang pada sudut-sudut matanya. Dan tangan Harum Melati semakin gemetar hingga sisir yang melewati lurus halus rambut Kembang Wangi hendak lepas.

Dengan tekad kuat yang tiba-tiba muncul, Harum Melati menguatkan genggaman pada sisir itu. Seakan-akan sisi itu adalah jiwanya yang hendak lepas. Dan diteruskannya menyisir meskipun dengan sedikit gemetaran.

Perasaan yang tertahan di dalam diri Harum Melati menjadi energi yang dapat melepaskan kelu pada bibirnya. Ia pun meneruskan kisah itu. Kisah mengenai ayah kandung Kembang Wangi. Kisah mengenai lelaki yang tidak segan-segan memerawani.

“Kau harus tahu Kembang Wangi. Kau harus tahu tentang ayahmu. Dia lelaki yang tidak seperti para lelaki yang lainnya lagi. Coklat matanya sama dalamnya dengan dalamnya coklat matamu. Ah tidak hanya matany saja yang dalam, semua yang ada pada dirinya terasa dalam. Karena ia punya kesedihan yang dapat membuat tenggelam. Tenggelam jauh, jauh ke dalam. Larut dalam kalutnya yang mendalam.”

Di sini Harum Melati lagi-lagi terdiam. Hampir-hampir Kembang Wangi yang hanya setinggi lutu tidak bersabar. Ia hampir membalikkan badan. Tapi tiba-tiba Harum Melati melanjut,

“Ia lelaki yang kalut. Ia lelaki yang kalah. Ia lelaki yang membiarkan dirinya menjadi kacung kehidupan. Ia tidak pernah benar-benar ada. Ia hanya sekadar ada. Ia hanya bertahan dari menit ke menit berikutnya sambil mencoba untuk tidak menjerit.

“Ia begitu sibuk hidup hingga tidak sadar bahwa ia sedang dikerjai habis-habisan. Harusnya ia mencari inti kebenaran dalam dirinya, tapi ia malahan menemukan orang lain. Ia menemukan seorang perempuan. Dan perempuan itu menjadi segalanya. Patokan, tumpuan, alasan untuk menjadi ada. Segalanya. Hanya segalanya.

“Tapi seorang lelaki, sekalipun sangat menawan, jarang-jarang diperbolehkan memiliki segalanya. Oleh karenanya, perempuan yang merupakan segalanya itu segera pergi meninggalkan ayahmu seorang diri. Ayahmu menjadi sebuah cangkang. Sebuah cangkang dari kesedihan yang pekat.”

Setelah tutur yang begitu panjang, kata-kata Harum Melati terasa berhenti begitu mendadak pada akhirnya. Kembang Wangi tahu bahwa kisah itu belum selesai, meskipun rambutnya yang lurus halus telah rapi karena disisir berkali-kali. Maka Kembang Wangi membiarkan Harum Melati terus menyisir. Jari jemari gemulai yang menenangkan itu terdengar begitu menenangkan. Jari jemari itu mulai menjali helai-helai rambutnya menjadi kepang dan lilitan.

Sembari mengepang, Harum Melati kembali terbuai dalam kenang mengenai lelaki yang menjadi ayah kandung dari anaknya yang semata wayang. Ia teringat pada langkah lelaki itu yang begitu cepat. Seakan-akan ia hendak minggat dari semua semua kalutnya. Kalut yang ia artikan sebagai sesosok Harum Melati. Kalut yang sebenarnya tidak pernah berhubungan dengan Harum Melati, tapi berkenaan dengan perempuan lain. Tapi karena Harum Melati adalah pelacur, maka ialah yang salah, ialah biang masalah. Ialah yang seharusnya dihindari dan ditinggalkan. Sekalipun sudah tidak perawan, malahan sampai mengandung.

Anak yang dikandung selama sembilan bulan oleh Harum Melati itu kini telah besar. Ia cantik menarik meskipun baru setinggi lutut. Dan kecantikan di dalam dalam coklat matanya begitu menular seperti wangi sebuah kembang yang dapat membuat pikiran seseorang menerawang. Kembang Wangi. Begitu pantasnya nama itu.

Kembang Wangi yang sudah tidak sabar dengan kelanjutan cerita mengeluarkan semacam pekik. Sebuah bunyi yang memaksa Harum Melati kembali berkisah. Dengan tutur-tutur halus yang mengambang. Kembang Wangi bertanya, dengan sedikit memaksa,

“Lalu bagaimana kalian bertemu Bu? Bagaimana aku sampai lahir?”

Sebuah hening menjadi awal jawaban, lalu Harum Melati menjawab, “Kurasa ayahmu berhasil mengendus harumku. Mungkin karena ia butuh melepaskan diri dari cangkangnya.”

Kembang Wangi mengernyit dan bertanya, “Apakah Ibu berhasil membantu ayah?”

“Iya Nak.”

“Lalu mengapa ayah tidak pernah kembali?”

Hening kembali menjadi jawab. Tapi ini adalah hening yang berbeda. Hening kali ini memberi firasat bagi Kembang Wangi agar terdiam dan berhenti bertanya. Hening itu telah membungkam kata-kata di dalam mulut ibunya. Terdapat suatu kerut bingung yang sangat samar pada kening Harum Melati yang tiba-tiba saja kehilangan cahaya.

Oleh karena itu Kembang Wangi biarkan Harum Melati menyelesaikan kepang dan lilitan pada kepalanya. Kepang dan lilitan itu mengelilingi kepala Kembang Wangi seperti sebuah mahkota. Ketika cahaya matahari menimpa kepala kecil Kembang Wangi, ia seakan-akan mengeluarkan cahayanya lembutnya tersendiri. Cahaya halus perawan yang belum pernah dikotori. Begitu bersih. Begitu perawan.

Harum Melati kembali mengenang lelaki yang telah mengambil perawannya dan menjadikannya sekadar pelacur. Pikirannya menerawang pada pertanyaan, “Lalu mengapa ayah tidak pernah kembali?” dengan perasaan sakit yang menganga. Harum Melati tidak pernah tahu apa jawab dari pertanyaan itu. Ia sendiri sering sekali bertanya seperti itu pada dirinya sendiri,

“Mengapa ia tidak pernah kembali? Mengapa tidak pernah sekali pun?”

Padahal Harum Melati menunggu setiap malam di luar rumahnya serupa liang. Ia bilang ia sedang menjajakan badan, padahal badannya tidak pernah bersedia. Badannya hanya miliki lelaki yang pernah mengambil perawannya. Tapi lelaki itu tidak pernah kembali. Tidak pernah sekali pun.

Mungkin lelaki itu tidak akan kembali. Karena sekarang Harum Melati bukan lagi pelacur perawan, tapi sudah menjadi pelacur. Hanya pelacur. Sekalipun badannya tidak sekali pun tersentuh selain oleh lelaki yang mengambil perawannya. Lelaki yang merupakan ayah kandung Kembang Wangi.

Atau mungkin lelaki itu hanya menyadari bahwa ia menginginkan perempuan yang tidak sekadar pelacur. Perempuan yang dapat menjadi segalanya. Seperti perempuan yang telah pergi dan meninggalkannya menjadi cangkang. Ia butuh perasaan itu lagi. Perasaan bahwa ia memiliki segalanya padahal segalanya itu pergi bersama sesosok perempuan. Samar-samar Harum Melati teringat kata-kata lelaki itu,

“Aku tidak bisa berdamai dengan pelacur yang sudah tidak perawan semacam kamu. Aku tidak bisa berdamai dengan perempuan dengan kualitas kesekian. Aku adalah lelaku yang ditakdirkan untuk mendapatkan segalanya. Dan aku tidak akan pernah bisa berdiam di dalam dekapan perawan yang sudah tidak perawan.”

Mengingat kata-kata terakhir lelaki itu sebelum meninggalkan dirinya dan Kembang Wangi di dalam kamdungannya, membuat hati Harum Melati kecut. Cahaya matanya kian redam. Lama kelamaan kecut itu berubah menjadi pahit. Begitu pahitnya karena Harum Melati kini mengerti apa yang telah benar-benar menimpanya. Ia mengerti bahwa ia telah djadikan perempuan kelas kesekian, hanya karena ia adalah pelacur. Dan jabang bayi di dalam rahimnya, tidak menjadikannya mulia seperti layaknya perempuan. Malah menjadikannya rendahan.

Melihat kekosongan di dalam mata ibunya, Kembang Wangi menghambur ke dalam pelukannya. Harum Melati hanya membalas dengan pelukan kecil dan menyuruhnya bermain di luar. Awalnya Kembang Wangi enggan, ada sebuah rasa khawatir di dalam dirinya yang membuatnya mengencangkan pelukan, Tapi Harum Melati tidak menggubris kekhawatiran itu. Dengan lembut, dilepaskannya pelukan Kembang Wangi dan kembali menyuruhnya bermain di luar.

Anak perempuan yang hanya setinggi lutut itu kemudian berdiri dan beranjak pergi. Sebelum melewati pintu rumah liang yang telah berdecit itu, ia melirik. Di ujung mata ia melihat ibunya, Harum Melati, tersenyum kecil. Kembang Wangi melambaikan tangan kecil yang dibala Harum Melati dengan sebuah senyuman yang menjalar dari lesung kiri ke lesung kanan. Pink dan pink di atas kulit sawo matang. Lengkap dengan dua mutiara hitam yang bersinar.

Melihat mimik muka cantik ibunya, Kembang Wangi berkata pada dirinya sendiri, “Ah Ibu tidak apa-apa. Buktinya ibu tersenyum. Mungkin masalah kepergian ayahnya sebenarnya hal kecil.”

Sayangnya apa yang ada di dalam pikiran Kembang Wangi meleset. Ketika ia pulang, pintu depan kecil rumahnya yang serupa liang sudah menganga. Terdapat sebuah bayang panjang tidak wajar yang memenuhi ruang. Sebuah bayang tubuh yang melayang. Sebuah bayangan yang terayun-ayun dari tubuh yang menggantung dari langit-langit. Tubuh Harum Melati.

Kembang Wangi menjerit ketika menyadari bayangan yang melayang-layang itu berasal dari tubuh Harum Melati yang menggantung dari langit-langit. Di tempat yang biasanya tergantung sebuah bohlam, kini menjadi tempat tali yang menggantungkan tubuh Harum Melati. Baru kali ini Harum Melati melihat mimik muka yang begitu mengerikan terpasang pada wajah ibunya. Mata dan mulutnya menganga dan tergambar sebuah ekspresi kesedihan mendalam pada wajah yang biasanya begitu meneduhkan.

Kembang Wangi terpaku melihat mimik muka terakhir dari ibunya. Kembang Wangi masih terpaku ketika warga sekitar berhamburan memasuki rumahnya setelah mendengar jeritannya yang melolong. Semua warga yang melihat terkejut tidak kepalang melihat tubuh Harum Melati tergantung, berayun-ayun ti tengah rumah yang serupa liang. Seorang ibu cepat-cepat memalingkan mata Kembang Wangi dari pemandangan mengerikan itu. Tapi sayangnya sudah terlambut. Kenangan tubuh Harum Melati yang gantung diri telah terpatri dalam ingatan Kembang Wangi.

Harum Melati yang memilih gantung diri tak hanya meninggalkan sebuah ingatan yang mengerikan dan sebentuk rumah yang serupa liang. Ia meninggalkan kepang dan lilitan pada kepala Kembang Wangi yang tidak bersedia ia uraikan hingga beberapa tahun kemudian. Ia juga meninggalkan sebuah surat. Surat itu baru bisa dibaca Kembang Wangi yang masih berkepang hingga tiga tahun kemudian. Tubuhnya tidak lagi setinggi lutut dan ia sudah lancar baca tulis. Kepang dan lilitan yang memebentuk mahkota pada kepalanya memudar menjadi coklat. Coklat yang dalam seperti matanya dan mata ayah kandungnya.

Surat itu berisi tulisan yang tidak rapi dan beberapa sisa bercak yang terlihat seperti bekas air yang mengering. Mungkin bercak yang berasal dari tetesan air mata Harum Melati yang menulis pesan terakhir sambil menangis. Isi surat itu tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek. Tapi maknanya mengambang. Kurang lebih seperti kisah-kisah Harum Melati. Di dalam surat itu Harum Melati menulis,

“Kembang Wangi, ibumu kini telah menjadi cangkang seperti ayahmu. Tapi kini ibumu cangkang yang kosong. Karena ayahmu telah membawa segala yang ada padaku. Bahkan kesedihan dan terutama harga diri. Ayahmu telah membawa setiap segala yang ada dalam ibumu ini.

Betapa tidak adilnya. Terlahir sebagai pelacur tapi hanya bisa menjadi perawan. Begitu tidak perawan, ditinggalkan dan dihempaskan. Padahal semua perempuan seperti kita. Semua perempuan seperti ini. Lalu mengapa hanya kita yang akan menjadi terbuang?

Betapa tidak adilnya. Laki-laki adalah kupu-kupu, sedangkan perempuan hanya bisa menjadi kembang. Duduk menunggu lalu ditinggal terbang.”

Kembang Wangi yang sudah tidak lagi selutut hanya bisa terdiam. Ia terdiam cukup lama setelah membaca surat itu. Tiba-tiba ia meraih puncak kepalanya dan mulai mengurai kepang yang tak ia lepas sejak tiga tahun yang lalu. Kepang dan lilitan yang telah dijalin begitu hati-hati oleh Harum Melati, diuraikannya. Ikal-ikal dengan semburat coklat yang dalam, berjatuhan dengan lembut pada pundaknya. Ikal-ikal itu terbentuk dari jejak jalinan yang dibuat oleh jari jemari gemulai Harum Melati. Kini jalinan itu terburai dan meninggalkan sebuah kenangan sebentuk ikal.

Ikal itu kemudian tidak hilang hingga bertahun-tahun kemudian. Terus meninggalkan lekuk jejak pada rambut Kembang Wangi yang berubah kecoklatan. Melekat seakan-akan rambut Kembang Wangi memang berbentuk demikian. Begitu melekat, sama seperti kata-kata terakhir Harum Melati yang akan selalu Kembang Wangi kenang,

“Laki-laki adalah kupu-kupu dan perempuan adalah kembang.”

Makan Siang dan Teman-temannya dan juga Teman-teman Makan Siang

Kalau belum tahu, mungkin saya perlu beri tahu, bahwa saat ini saya berdomisili di Jakarta. Udaranya panas dan berdebu, juga sedikit berbau knalpot. Masih Jakarta yang dulu. Tapi untungnya aku tinggal di daerah yang tidak berbau industri atau pencakar langit, lebih seperti kampung yang diupgrade habis-habisan. Jadi masih ada pohon dan nasi bungkus di bawah Rp. 10.000,-, juga siomay dan bakso seharga gocengan yang masih bisa mengganjal untuk 2-3 jam.

Tebak coba di mana?

20150316_145413

Kalau yang ini saya tidak mau memberi tahu. Coba deh mereka sendiri kalau memang penasaran sekali.

Karena saya sedang di Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan, sudah barang tentu tahu kalau makan siang itu biasanya dari jam 12.00-13.00. Jam makan siang itu selalu seputar itu. Berbeda dengan mereka yang bekerja di daerah Kuningan atau Simutapang, di sini biasanya semuanya makan sendiri-sendiri di mejanya sendiri. Karena kalau makan di warung nasi itu panas sekali, jadinya makan di warungnya itu sesekali saja kalau lagi ingin. Kalau makan bersama, paling muat 2-3 orang. Oleh karenanya, lumrahnya semuanya makan sendiri-sendiri di mejanya sendiri. Termasuk saya. Saya juga makan di meja kerja saya. Sambil melirik keluar jendela, atau mengobrol dengan teman meja sebelah. Tapi kebetulan teman meja sebelah saya hari ini sedang meeting keluar kantor, jadi saya mengetik saja dan berkisah.

Sebelumnya saya pernah menuliskan mengenai keanehan fenomena makan sendiri di restoran. Itu adalah suatu hal yang membanggakan bagi saya. Teman-teman perempuan saya lumayan tergerak untuk melakukan hal yang sama, kalau teman-teman lelaki berkomentar bahwa saya berlebihan. Mereka bilang apa hebatnya makan sendirian di restoran, itu kan biasa saja. Lelaki itu kadang aneh. Mereka berkomentar itu biasa, tapi sendirinya jarang-jarang makan di restoran sendiri. Begitu berbau akan makan sendiri di restoran, pasti buru-buru ajak teman. Lebih parah akan cepat-cepat cari pacar atau teman makan permanen (istri, lebih versatile).

Padahal kalau makan sendiri itu bisa memikirkan banyak hal. Saat saya makan sendiri, pertama yang saya pikirkan adalah rasa makanan yang sedang saya kunyah. Saya pikirkan tingkat asin-manis-asam-dsb. Lalu saya berpikir tentang minyak. Lalu saya akan bertanya-tanya apakah makanan yang sedang kumakan ini terlalu berminyak atau tidak. Kalau sudah begitu saya senewen. Kenapa semua makanan itu harus berminyak! Tapi saya lalu berhenti senewen dan berkata sendiri, “memangnya saya mau repot memasak sendiri?” Jadi saya kunyah lagi makanan saya sambil memberikan pembenaran pada diri sendiri, “Kalau saya masak sendiri, nanti tukang warung nasi kasihan, nggak ada yang beli.”

Jadi saya kunyah kunyah kunyah sambil membenarkan perasaan malas berbelanja dan memasak sendiri. Sesuatu yang sangat lajang. Mungkin saya akan menyurati Ayu Utami tentang ini. Tentang kemalasan parasit lajang umur 30 untuk berbelanja dan memasak. Padahal pinterest dan instagram penuh dengan resep makanan. Tapi sekali lagi saya bilang, kalau bukan saya atau lajang-lajang lain yang beli nasi, nanti tukang warung nasinya harus dagang apa lagi?

Setengah jalan menuju porsi setengah habis sudah hampir dicapai. Kalau sudah setengah, akan muncul pikiran lain lagi. Akan muncul pikiran mengenai kelajangan dan kesepian dan hal-hal berat lainnya. Kelajangan dalam arti apakah aku akan selamanya makan dari bungkusan kertas coklat seperti ini? Kapan saya akan makan dari tupperware? Saya menyebut tupperwar karena itu adalah tanda seseorang memiliki panci dan ricecooker sendiri. Kalau repot-repot memiliki panci dan ricecooker sendiri, kemungkinan besar orang itu punya dapur sendiri atau menuju ke arah itu. Kalau punya dapur, akan memiliki rumah sendiri atau menuju hal semacam itu. Jadi bagi saya, tupperware adalah tanda kemapanan. Oleh karena itu, sebagai seorang lajang, saya mulai berpikir untuk memuaskan diri dengan memiliki tupperware. Karena itu tupperware berarti mapan.

Tapi itu pikiran yang aneh.

Jadi saya mengenyahkan pikiran itu dan mengunyah-ngunyah lagi dan berpikir tentang makanan penutup manis-manis dan kesepian. Ya kesepian. Mungkin karena tidak ada teman mengobrol. Mungkin karena saya adalah junior dengan usia senior di kantor. Atau mungkin karena otak saya tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Saya jadi memikirkan kesepian dan saya mengamati sekeliling saya. Kantor saya penuh dengan anak-anak muda dengan gaya yang nge-hip. Saya pakai kata “hip” seperti seseorang yang sudah tua. Saya hanya mau menekankan bahwa mereka lebih fresh secara usia dan penampilan. Saya sendiri sudah seperti barang vintage. Mau bilang barang museum, sudah barang tentu tidak tega karena takut jadi bulukan. Ya jadi seperti saya bilang, sekitar saya muda-muda, fresh dan memiliki banyak teman dan sudah tentu berada dalam usia mendekati pernikahan. Rata-rata semuanya sudah punya pacar. Suatu hari mereka akan menikah dan mereka akan punya pasangan dan anak. Mungkin mereka akan makan tupperware dan memakai barang-barang orang mapan lainnya.

Saya memikirkan itu sambil meningkatkan rasa kesepian saya sendiri.

Saya juga memikirkan, fase hidup seperti saya ini lumrah?

Sembari memikirkan hal seperti itu, kunyahan saya melambat dan makanan mulai menghambar. Saya jadi teringat dengan kawan saya yang baru menikah dan katanya sudah saatnya saya menjalani semuanya sendiri. Saya jadi memikirkan kawan saya yang satunya lagi, yang jadi dosen di seberang pulau. Setidaknya keluarga dia di sana, syukurlah untuk itu. Saya jadi memikirkan kawan-kawan menulis saya dan semua kawan-kawan lama saya. Juga keluarga saya. Mereka semua di Bandung. Dan saya di Jakarta, duduk di menghadap meja, makan siang sendiri di atas kertas bungkus coklat.

Terdengar menyedihkan.

Tapi saya tidak tahu apa ini fakor umur atau faktor kebiasaan, tapi kesepian saya sudah tidak terasa menusuk, tapi rasanya bergelombang seperti denyut nadi yang tenang. Saya pikir kalau saya memikirkan semuanya terlalu dalam, rasa makanan yang saya kunyah akan semakin berkurang. Padahal saya mengeluarkan Rp. 10.000 untuk sebungkus nasi ini. Satu hal yang barang tentu bisa saya lakukan adalah menikmatinya.

Jadi saya tidak memikirkan kesepian. Dia boleh ada, menghantui saya yang lajang dan tidak mapan. Dia boleh melakukan apapun yang dia mau. Tapi terlepas dari lajang dan tidak mapan, saya adalah seorang manusia. Tugas saya bukanlah merasakan bahagia ataupun sedih, tapi bergerak ke arah yang baik berdasarkan perasaan-perasaan itu. Dari gerakan itu, yang penting adalah berkarya, dan kalau kata Paulo Coelho, “menjalani legenda pribadi”.

Tak terasa sebungkus nasi saya habis, dan saya menggunakan sedikit waktu kerja untuk tulisan pribadi. Mungkin sesekali tidak masalah, karena proyek hari ini sudah saya selesaikan, jadi saya akan melakukan brainstorming sambil-sambilan. Dan saya sudah menebak bahwa saya akan menjadi sangat sibuk dengan pikiran-pikiran ide-ide dalam otak saya. Lalu saya akan pulang ketika matahari berwarna sedikit jingga.

Biasanya di saat seperti itu, saya akan kembali bertanya-tanya dan memikirkan hal-hal serius.

Saat saya 20 awal, saya bertanya, “Apa saya bahagia. Apa yang saya lakukan membuat saya bahagia?’

Tapi saya sekarang 20 akhir, hampir 30, pertanyaan saya beda. Sekarang saya bertanya, “Apa yang saya lakukan disenangi Tuhan? Apa saya sudah cukup menggali diri saya?”

Karena pada awal kerja, saya merasakan gesekan yang lumayan. Karena saya junior berusia senior, sedangkan yang lain senior berusia junior. Jadi sudah barang tentu ada hal yang tidak ideal. Sempat saya berpikir bahwa bekerja di Jakarta ini adalah ide yang buruk. Fisik saya melemah, dan saya sadari bahwa fisik saya sebenarnya lebih sesuai dengan cuaca Subang atau Bandung. Jadi untuk 1 bulan saya sakit-sakitan dan tidak bisa tidur. Dan saya berpikir betapa tidak bahagianya hidup serba tidak pas.

Tapi saya sadari bahwa, tidak ada hal yang benar-benar pas. Semuanya pasti sedikit nyenggol atau menggesek. Karena itu rasa marah, tidak puas, cemas, sedih, sepi, tidak akan pernah bisa dihindari. Perasaan-perasaan itu akan selalu ada meskipun menghindar ataupun berpindah tempat. Karena itu adalah hal-hal yang biasa saja dan wajar, juga sangat normal. Karena saya pernah baca bahwa sebenarnya kita ini bukan penghuni dunia, tapi penghuni surga. Sebenarnya kita semua adalah alien. Wajar saja kalau tidak pernah sepenuhnya nyaman. Malah mungkin ada hal yang baik dari itu. Beberapa orang menyebutnya pahala. Ada juga yang menyebutnya perkembangan kepribadian. Saya sendiri tidak terlalu memedulikan labelnya. Saya hanya berpikir realistis.

Hal yang real bagi saya adalah ternyata perasaan bahagia atau sedih sebenarnya tidak sepenting itu. Sebenarnya yang penting adalah gerakan saya berdasarkan perasaan-perasaan itu. Akankah saya menuju jalan yang terang atau jalan yang gelap. Hanya itu saja yang penting. Saya juga tidak tahu. Saya hanya berharap bahwa saya menuju jalan yang baik.

Oleh karenanya, mungkin di akhir hari ini, sambil berjalan kembali ke kamar mess, mungkin saya akan mengajukan pertanyaan itu lagi,

“Sudahkah apa yang saya lakukan disukai oleh Tuhan?”

Kadang saya takut memikirkan jawabannya.

-nyaw, menulis di waktu seputar makan siang-

Luas Menghampar Hingga Tidak Berbayang

Hari ini karib saya menikah. Sebenarnya saya ingin menuliskan suatu cerita cinta pastel, tapi saya sedikit tidak mood untuk itu. Karena satu dua hal yang bersifat pribadi dan agaknya tidak bisa saya jabarkan dengan jelas. Oleh karenanya saya buat cerita lain saja. Meskipun tidak jelas fiksi atau apa. Tidak ada plot dan lebih seperti monolog. Tapi saya senang membuatnya. Karena malam sebelumnya saya membaca kumpulan cerpen berjudul “Numi” yang ditulis Yetti Aka. Jarang-jarang saya terpengaruh tulisan orang, tapi rasanya saya terpengaruh. Mungkin karena saya niatkan untuk terpengaruh. Atau mungkin karena gaya setengah bermimpinya itu saya sangat kenal. Jadai saya menulis cerita ini. Juga karena saya suka hal-hal yang berkaitan dengan semesta, ruang hampa dan dualisme sifat cahaya. Jadi ada sedikit rasa science fiction. Tapi dalam bahasa perempuan yang susah dimengerti dan benar-benar surrealis. Tidak masalah sih. Sekadar rekreasi.

Selamat membaca dan jangan memerhatikan hal-hal teknis. Karena rugi memikirkan hal-hal serius dan aturan-aturan yang sebenarnya berubah-ubah seenak jidat.

-nyaw, dual-

***

Luas Menghampar Hingga Tidak Berbayang

rumput basah resize

Ketika saya tahu perkataan buruk yang dikatakan perempuan itu, saya marah. Saya marah dan memanas. Biasanya saya tenang dan semilir seperti sepoi yang malas. Tapi setelah mendengar kata-kata buruk itu terlontar, saya marah. Maka saya yang biasa santai dan tak banyak komentar, berubah menjadi ribut dan penuh teriak.

Saya bisa merasakan bahwa bobot tubuh saya yang sangat banyak berpisah dan menjadi petak-petak yang berlari ke segala arah. Petak-petak itu kuat dan mereka melolong menuntut balas. Mereka berderap dengan rambut berurai panjang dan alis mengernyit. Mata mereka adalah kilau permata biru dan ungu dengan sedikit emas. Mereka berlari berderap maju menuntut balas dan mengguncangkan segala yang berada di depan mereka. Lalu mereka berkata,

“Diam perempuan kecil! Diam! Kamu pikir kamu tahu artinya jadi wanita tapi kamu berpura-pura! Kamulah penipunya! Kamulah yang culas! Kamu menjebak lelaki itu untuk menikahi seorang elegan padahal kamu masih kecil dan kamu masih tidak tahu apa-apa.”

Dan mereka yang berderap kecil, yang melolong menuntut balas tidak hanya dua atau tiga. Mereka ada tujuh, sepuluh dan kadang tiga belas. Mereka serupa peri-peri kecil yang lepas ketika hati saya tidak terima dengan keadaan dan ingin memberikan balas. Mereka berlarian dengan beringas ketika jiwa saya tidak tenang dan terpenjara dalam raga yang saya tahan agar tidak bersikap keras. Mereka adalah peri-peri kecil yang tidak dapat saya tahan berpisah dari tubuh saya yang bobotnya sangat banyak. Dan mereka tidak hanya dua, tiga atau lima. Mungkin tujuh, sepuluh dan bahkan berbelas-belas.

Lalu mereka berlari dengan ribut. Seperti angin yang gemuruh dan tak kenal kasih. Mereka berteriak dan melolongkan hal-hal yang mereka benci. Mereka terbang ke langit luas dan membuat ribut. Lalu awan-awan akan terganggu lalu menggelap dan langit menjadi kelabu. Dan mereka, peri-peri kecil, pecahan dan retakan dari jiwa yang tidak tenang ini, menggemuruh dan terus berlari. Berderap dan mencari arti. Tapi dengan ribut, dengan tidak jernih.

Langkah-langkah mereka kecil, tapi tiap langkah adalah sebuah tapak angin ribut. Hentakannya dapat merubuhkan segala yang berada di situ. Dan hentakan itu tidak akan berhenti hingga mereka memperoleh jawab. Mengapa perempuan itu berpikir dia berhak mengaku wanita dan mengapa lelaki itu membiarkan dirinya menjadi seperti itu.

Tidak banyak yang memberi jawab, lebih banyak yang ingin ikut. Ikut ribut. Ikut riuh. Ikut mencari balas pada perbuatan yang tidak teduh. Dan yang ingin ikut itu akan berkata,

“Biar saya buat perempuan itu menggigil kedinginan hingga demam.”

“Biar saya buat perempuan itu gamang hingga hatinya tak lagi lengang.”

“Biar saya buat perempuan itu bingung hingga ia tidak lagi tahu apa yang ada di hatinya yang paling dalam.”

Sebenarnya saya sangat marah hingga ingin bilang,

“Pergi, pergi kalian. Bersama pecahan-pecahan diri saya yang tidak sedikit. Pergilah kalian dalam bilangan lima, tujuh, atau mungkin berbelas-belas.”

Mata saya berkilat-kilat. Menimbang kemarahan dan keinginan saya untuk mengirimkan pecahan-pecahan jiwa saya bersama mereka yang mengerti caranya menuntut balas. Tapi kemudian saya akan mengaca, dan terlihat kilat emas yang berburu biru dan ungu seperti lebam. Lebam seperti hati saya yang terluka dan ingin menuntut balas. Geram dan getir karena tidak terima pada perkataan tidak baik pada seorang teman.

“Tapi itu namanya cinta. Temanmu cinta dia dan tentu kamu perlu terima.”

“Saya terima dari sejak semula. Saya malah sangat bahagia. Tapi saya marah ketika tahu perkataan perempuan itu padahal temanku tidak sedikit pun seperti itu.”

“Tapi dia cinta, dia sabar, dan dia memaafkan.”

“Dari jaman sebelum waktu ini. Ketika saya dan dia tidak berupa seperti ini, dia selalu begitu. Dia cinta lalu dia menghamba. Bahkan dia membunuhku berkali-kali demi perempuan-perempuannya!”

“Maka sebenarnya kamu bukan tidak terima perempuan itu, tapi kamu takut. Takut bahwa kamu akan dikhianati sekali lagi seperti dulu dulu dan dulu. Lalu kamu akan mati lagi lagi dan lagi. Padahal kamu selalu hidup kembali. Berkali-kali. Dan kamu, setiap waktu jiwamu dijaga. Seakan-akan ia tidak pernah ternoda. Lalu untuk kali ini, yang tampak seperti kali itu, lalu mengapa kamu takut dan mengapa kamu hanya memikirkan jiwamu secara kerdil. Padahal jiwamu luas. Luas membentang hingga ke ujung semesta. Hingga cahaya tidak lagi membuat bayang. Dan kamu dan dia dan perempuan-perempuan itu adalah satu. Pecahan-pecahan semesta yang bercerita dan suatu saat akan kembali. Dan pada saat ia melakukan apapun untuk perempuan-perempuannya, ia melakukan segala-galanya untuk dirinya dan dirimu dan seakan-akan dirimu adalah dirinya yang berbuat semuanya untuk diri kalian sendiri. Lalu mengapa kamu ribut, seakan-akan jiwamu kerdil.”

“Tapi ini berulang. Dan dia akan menghilang dan mati. Lalu hanya tersisa anak-anaknya dan mereka akan seperti itu lagi. Dan saya akan menjadi saksi lalu juga mati dan merasa sedih akan peristiwa-peristiwa yang berulang dan selalu terjadi.”

“Biarlah. Biarlah seperti itu. Untukmu sendiri, kau hanya pikirkan apa jiwamu bisa luas. Keperluanmu hanya sampai di situ.”

Sebuah titik air mata kemudian menetes. Geram dan getir tetap mengaduk hati. Tapi perlahan-lahan aku memanggil mereka, para peri, yang mendesak keluar dan memecah. Kupanggil mereka dan kuceritakan mengenai hal-hal yang indah. Hal-hal yang membuat senang. Dan kuceritakan mereka mengenai luasnya hati dan jiwa kebutuhannya untuk menjadi tenang. Dan kukatakan pada mereka kalau mereka tidak dapat menjadi semilir yang menenangkan setidaknya mereka perlu diam. Kalau mereka tidak dapat menyampaikan pikiran yang baik, maka mereka sebaiknya tidak perlu membentuk tangan menjadi kepalan.

Tentu saja mereka pada awal resah dan meremang. Tapi mereka tahu bahwa tugas mereka adalah mencari arti dan mendongeng mengenai hal-hal yang sebenarnya bisa terjadi. Hal-hal indah dan hal-hal yang baik. Hal-hal yang menenangkan dan menyenangkan seperti doa. Daripada menjadi angin yang ribut, lebih baik menjadi sepoi semilir yang menyejukkan. Meskipun bisa, tidak berarti harus dan tidak berarti itu tepat.

Maka satu per satu, tiga, lima dan berbelas-belas kembali mengisi retak di dalam jiwa dan hati. Berdiam diri dan sudut dan relung. Tidak suka pada ketidakadilan apalagi bila itu dekat sekali. Tapi semuanya saling bergumul dan terkadang berdiskusi. Bahwa mungkin ini memang harus terjadi. Mungkin memang maunya Tuhan begini. Lalu mengapa perlu kesal hanya karena kata-kata yang belum tentu memiliki arti. Mungkin itu tidak sengaja. Mungkin itu bukan kata-kata untuk menyakiti hati. Cinta mungkin berarti memaafkan berkali-kali.

Mereka, peri-peri kecil itu berbisik dan bertepuk tangan kecil. Katanya,

“Iya iya iya! Cinta adalah memaafkan berkali-kali!”

“Dan lalu jiwa akan luas dan membentang hingga tidak memiliki bayang?”

“Iya iya iya! Kadang cinta sehebat itu!”

Dan satu per satu mereka bersepakat untuk berdiam. Beberapa mencoba-coba untuk berpisah. Bukan untuk ribut dan melolong membuat semuanya terganggu. Tapi mereka berpisah, dengan sebuah langkah lompat kecil yang lucu. Dan mereka ikut kemana anak-anak angin berhembus. Lalu singgah di dalam mimpi-mimpi orang-orang terkasih sambil berkata,

“Yuk main yuk. Karena akhir-akhir ini kamu susah ditemui.”

Dan mereka mengajak main hingga orang-orang yang saya kasihi merasa bingung. Besoknya mereka bilang, “Saya bermimpi tentang kamu.” Dan saya akan menjawab sedikit lidah kelu, “Ha iya, biarkan saja seperti itu. Mungkin saya memikirkan kamu.” Lalu mereka akan menjawab, “Berarti kamu rindu.” Saya tentu tertawa dan berkata,

“Ya saya rindu dan saya cinta semua kamu. Karena kamu dan aku berasal dari hal yang sama. Dan bila kamu berbahagia, maka sebenarnya sebuah bagian jiwa saya ikut bergembira. Dan bila kamu merasa terserak, sebenarnya tanpa sadar sedikit jiwa saya akan merasa rendah. Jadi sebenarnya memang benar saya pasti cinta dan saya rindu hingga saya datang dalam mimpi-mimpimu. Karena saya dan kamu memiliki jiwa yang luas dan membentang hingga cahaya tidak lagi membayang. Dan pada batas yang seperti itu, kita jadi tahu bahwa banyak sekali kemungkinan untuk berbahagia. Dan keinginan untuk merasa utuh adalah angan-angan. Karena sebenarnya seharusnya semua orang merasa sedikit retak agar dapat saling butuh. Juga setelah tidak sampai keutuhan itu maka kita akan mencari Dia yang tidak membutuhkan apa-apa.”

Jadi tentu. Tentu saya rindu dan cinta kalian. Sampai jiwa saya terserak bercerita macam-macam. Baru-baru ini saya ingin bercerita tentang kemarahan saya pada perempuan yang menghina teman saya. Sampai-sampai saya sangat geram. Tapi lalu kemarahan itu teredam. Karena saya sadari bahwa apapun yang dibutuhkan suatu bagian kecil akan baik bagi jiwa saya sendiri bertumbuh. Maka saya memutuskan untuk mengambil pesan dari kejadian ini. Bahwa cinta adalah memaafkan berkali. Lagi lagi dan lagi. Dan hidup adalah berani untuk menjalani peran. Berkali-kali hingga nanti. Dan hidup adalah memberi tanpa perlu merasa teriris. Selalu selalu dan selalu.

Hanya melakukan melakukan dan melakukan.

Selebihnya adalah kembali pada Tuhan.

Bisikan di Dalam Semilir

Aduh saya makin jarang menulis. Menulis fiksi maksudnya. Sebenarnya saya kembali kerja di bidang yang dulu, kosmetika. Tapi bidangnya sedikit beda. Agak seperti semi marketing, branding dan sedikit menyentuh konsep produk. Belum sepenuhnya jelas, karena saya baru seminggu. Meskipun baru seminggu, saya sudah mengerjakan sesuatu yang mini-mini imut. Saya menuliskan beberapa tulisan nonfiksi. Mungkin ini memendekkan napas fiksi saya, karena tulisan nonfiksi memiliki struktur yang lugas dan biasanya saya menulis dengan mengalun.

Tapi tidak masalah buatku, fiksi maupun nonfiksi. Dua-duanya saya suka. Karena dua-duanya sebenarnya cerita dari hati. Ya! Bahkan artikel mini sekalipun! Dan kata-kata hyper dalam tulisan nonfiksi tidak hanya untuk memboost omzet. Itu tidak benar. Sebenarnya kata-kata “keren” itu hanya untuk mengetuk pintu rasa calon pembeli, bahwa,

“Iya loh, produk ini memang benar-benar dirancang dengan serius dan kamu yang beli pasti merasa bahagia dan nyaman.”

Bukankah semua karya, bukan hanya kosmetika, tapi makanan, minuman kemas, pakaian, dll, semuanya berprinsip demikian? Bahwa ini adalah sebuah sajian dari hati, coba kamu rasakan?

Sebenarnya begitu pekerjaan saya sekarang. Tidak lagi menjadi peramu, tapi menyampaikan perasaan para peramu di dalam kata-kata yang tidak terucap dalam produk yang nggak bisa nyanyi. Pekerjaan yang seru ya. Mungkin di masa depan krim-krim itu bisa ngomong. nah kalau sudah begini saya mungkin nganggur lagi. Tapi itu gak masalah, karena manusia perlu hidup dengan ridha.

Meskipun saya banyak nulis nonfiksi, saya sempatkan menulis fiksi hari ini. Empat halaman saja. Napas saya berkurang drastis. Tapi secara pribadi, saya merasa lebih memikirkan kata-kata yang tepat dalam menggambarkan apa yang saya rasakan dan pikirkan. Jadi empat halaman ini lumayan. Meskipun gak hebat, tapi saya menikmati ketelitian saat menulisnya.

Selamat menikmati dan seperti biasa, jangan pikirkan hal-hal teknis dan semacamnya dan semacamnya. Enjoy!

-nyaw, kembali ke abu-

***

Bisikan di Dalam Semilir

hati nyaw resize

Bisikan di dalam semilir terdengar lirih. Halus tuturnya mengajak Nira pergi. Katanya,

“Ayo pergi, ayo kita pergi.”

Nira diam dan tertegun. Dia sudah enak duduk bergeming di guanya yang hening. Tidak ada riuh, tidak ada ribut. Hanya ada Nira dan gema santun irama batu. Dan sesekali terdengar gemiricik aliran air di sela-sela pori batu. Tapi selebihnya hanya ada Nira dan lowongnya gua batu. Dan damai. Damai sunyi dalam tenangnya jiwa yang menyendiri.

“Tapi jiwamu terbuat dari angin, kamu sebenarnya tidak seperti ini.”

Nira merengut. Dia tahu bahwa semilir tidak berbohong hari ini. Tapi dia terlanjur senang pada lowong guanya yang hening. Di sana hanya ada Nira. Dan hati Nira. Dan pemikiran Nira. Dan mungkin Tuhan. Dan mungkin malaikat-malaikat. Dan mungkin beberapa demit. Tapi selebihnya hanya ada jiwa raga Nira dan beberapa kawan. Tak kurang, tak lebih.

“Tapi jiwamu dari angin, kamu perlu berhembus dan bernapas.”

Maka Nira menuruti bujuk di dalam semilir. Karena jiwanya tidak diperuntukkan untuk menjadi lembam seperti batu. Juga bukan untuk menjadi lentur seperti ombak laut. Ia juga tidak membara hangat seperti unggun. Ia adalah angin yang harus berhembus. Mengantarkan napas ke dalam paru-paru. Napas yang hidup dari nyala jiwa di dalam dada.

Jadi Nira beranjak dan berdiri. Menuruti paksa esensi dalam hati. Meskipun terasa berat meninggalkan sejuk gema gua batu. Dan berat meninggalkan suara gemiricik air di dalam sela-sela liat itu. Tapi Nira perlu pergi. Seperti angin yang selalu bergerak. Mengurai diri menjadi napas dalam diri sesama manusia seperti Nira.

Lalu Nira berjalan, sedikit tertatih-tatih. Ia pegal terlalu lama mengurung diri. Perlahan-lahan ia berjalan mengikuti ke mana semilir pergi. Nira tidak pernah bertanya pada semilir ke mana akan dibawanya kaki-kaki ini. Seperti pengalaman-pengalaman yang dahulu, ia belajar pentingnya untuk tidak bertanya. Tapi dari pengalaman yang dahulu, Nira tahu pentingnya untuk menjadi jeli. Ketika seni menjawab “Iya” dan “Tidak” adalah sesuatu yang mesti. Dan terkadang diperlukan sebuah jawaban “Mungkin”.

Jadi Nira tertatih tapi ia tetap berjalan dengan kecepatan yang membuatnya tidak banyak berhenti tapi cukup membuatnya nikmat melihat keluar jendela tatap. Dilihatnya di luar sana orang-orang yang berlari kencang atau teronggok sama sekali. Dilihatnya di luar sana orang-orang yang begitu sibuk untuk berlari ke satu arah hingga ditabraknya orang di depannya dengan kencang.

Nira menggelengkan kepala. Tiga tahun ia berada di dalam gua, dan orang-orang masih saja seperti itu. Seperti tidak ada besok dan hanya kemarin. Seperti sedang menahan pipis empat liter di dalam ginjal berkapasita tiga koma sembilan. Lalu pipis itu tidak tertahan, maka orang itu berlari dengan bergegas hanya untuk sekedar membuang kotoran.

“Aduh semilir, kamu kok mengajakku ke dunia seperti ini lagi?”

Semilir terkekeh dan bersalto riang. Tidak diindahkannya Nira yang merasa heran. Malahan ia merasakan sebuah rasa jenaka. Dengan nada senandung yang halus penuh sayang, dikatakannya,

“Aduh Nira, kamu kok nanya? Dunia ya masih begini saja. Dunia ini lama. Tapi kamu yang hari ini selalu baru. Sudah, mendingan kamu terus jalan. Karena angin itu perlu berhembus dan tidak boleh diam.”

Nira mengangguk mengerti dan terus berjalan. Dengan tertatih dan lamban. Seperti semilir angin di sela dedaunan. Hanya sebuah gerak ringkih atau gemetar yang menunjukkan ia ada dan tidak pernah diam. Seperti itulah Nira kini berjalan.

Dan berjalan seperti itu adalah tidak masalah. Yang penting senantiasa bergerak dan menghembuskan napas. Juga memasang jeli mata agar tidak melewati hal-hal yang dapat memperdalam dan memperkaya jiwanya. Karena suatu hari itu jiwa itu kembali kepada yang empunya. Dan semua yang ia dapatkan di dunia ini akan diceritakannya kembali.

Maka cerita-cerita yang akan disampaikan kembali ke langit itu perlu disampaikan dengan halus. Dengan bahasa yang indah dan bersih. Bersih jujur menurut tutur hati. Bercerita semuanya padahal semuanya itu sudah diketahui. Tapi cerita dari para pendongeng selalu baru. Selalu baru.

Setiap dongeng selalu baru, meskipun hanya itu-itu saja. Setiap sejarah itu tidak pernah tua, meskipun hanya mengulang-ngulang saja. Dan setiap jalanan tidak pernah sama, meskipun yang itu-itu saja. Nira tahu itu. Dia tahu. Jadi dia ikuti saja hembus semilir membawa kaki-kakinya ini. Entah ke mana, tapi sepertinya ke sana. Tempat yang ia kenal sudah lama.

Semilir membawa Nira kembali ke kota yang sudah seperti sebuah tungku. Apinya besar dan membakar. Air bergolak dan mengantarkan didih uap ke dalam udara. Dan langit yang seharusnya berwarna biru, berwarna serupa abu. Kelabu dari jelaga tungku. Kelabu dari manusia-manusia pencari emas yang dijadikan arang kayu karena lupa pada asalnya dulu.

“Kembali ke dunia abu?”

“Iya, kembali abu.”

“Sanggupkah saya?”

“Selalu.”

Maka Nira kembali melangkah. Kaki-kakinya beranjak maju, menginjak kembali tanah dunia yang berwarna abu . Kakinya menjejak dan terbanglah abu itu menjadi kepulan-kepulan debu. Debu itu menghambur dan melebur lalu berputar membentuk bola. Dijadikan ajang bermain sepak oleh semilir yang tidak tahu menahu dari mana kelabu itu berasal.

Tapi Nira tersenyum. Biarkan semilir bermain dan tak perlu tahu menahu mengenai kisah asal mula kelabu. Nira sendiri yang tahu pun juga tak perlu ragu. Karena abu pun sebenarnya dapat menjadi kehidupan. Bukankah semua tanah berasal mula dari debu abu yang memunculkan urat-urat hijau serupa sulur?

Jadi Nira melangkah maju. Tertatih-tatih tapi tetap maju. Dia kembali ke dunia abu. Dulu ia akan bertanya apa yang bisa ditawarkan dunia ini kepadanya. Tapi itu dulu. Sekarang ia tahu bahwa tak bisa lagi ia mengharapkan sebuah pemberian dari dunia abu, ia hanya bisa mengharap dari jejak-jejaknya muncul sulur dan bayarannya dari yang Punya. Hanya dari yang Punya.

Tidak ada pemberian yang lebih baik dari itu.

Jadi jiwa Nira bergerak dan menari. Tidak selincah dulu. Tapi tetap bergerak seperti riak yang mengalun. Perlahan, perlahan saja. Asal tetap laju.

Sunyi Senyap Sendiri

Belakangan saya menulis dengan sedikit jarang. Itu menimbulkan sedikit rasa berdosa. Karena sebenarnya banyak sekali yang mau saya ceritakan. Banyak dan banyak sekali. Tapi bersamaan dengan banyaknya cerita, saya terserang penyakit radang tenggorokan dan saya sudah meminum obat macam-macam tapi malah terus saja batuk itu hebat. Baru belakangan ini radang itu mengempis, setelah ke dokter THT dan meminum obat yang membuat sedikit maag. Tapi itu tidak masalah. Yang penting sembuh dan bisa berkonsentrasi. Pasti pasti bisa. Tapi untuk sementara ini saya perlu menikmati seni dalam bersantai dengan tidak melakukan apa-apa. Percayalah, itu susah! Sangat susah! Selalu saja timbul rasa perlu menulis dan membaca beberapa buku yang “mencerdaskan”. Tapi sakit selalu menjadi cara terbaik untuk memaksaku tiarap dan memikirkan beberapa hal.

Dan aku mulai memikirkan mengenai kesendirian, kesepian. Rasa yang aneh. Kadang saat perasaan itu datang, rasanya badan sendiri pun asing. Lalu kau bercermin, “Siapa itu? Siapa yang ada di sana?”

Perasaan yang membuat banyak orang merinding dan meremang. Perasaan yang konon dapat membunuh dalam jangka lama. Katanya begitu. Ada penelitiannya. Tapi maaf saya lupa artikelnya. Pokoknya ada penelitian semacam itu.

Padahal sebenarnya mengatasi kesendirian dan kesepian itu gampang. Pada saat perasaan itu datang, bercerminlah dan berkenalanlah dengan dia yang ada di sana. Wawancarai dia habis-habisan. Dan jangan menampik apa-apa dirinya yang di sana itu. Jangan tampik karena itu adalah diri kita saat ini! Kenali dia dan terima baik-baik.

Tapi tentu saja semuanya gampang kalau kau ingat. Aku akan memberikan sebuah nasihat yang alim. Saat merasa lupa, selalu bukalah buku SOP. Di sana ada semua-semua yang butuh ditemukan. Itulah guna buku itu sebenarnya!

Sepertinya saya mulai melantur, padahal saya hanya bermaksud memasang sebuah cerpen. Sedikit banyak bercerita tentang rasa kesendirian. Perasaan yang mengerikan tapi dapat digunakan untuk hal-hal berguna. Kalau kau cerdik!

Seperti biasa, jangan pedulikan hal-hal teknis atau semacam itu. Nikmati saja. Semoga senang dan selamat menikmati!

-nyaw, menggunakan saat sunyi senyap sendiri-

***

Sunyi Senyap Sendiri

ilustrasi kumcer 1 - 02 monster

Belakangan ini temaram tidak pernah sepenuhnya kelam. Seperti hitam tidak pernah sepenuhnya gelap. Di dalam hitam selalu ada semburat merah. Sebuah warna yang timbul tenggelam tapi tidak pernah sepenuhnya hilang. Seperti warna langit malam ini. Merah yang hitam. Merah yang hitam seperti darah yang menjelma pekat. Seperti tinta yang merembes lekat menembus pori-pori sepersekian per mili. Seperti beban yang dibawa Satya semenjak ingatannya lahir bersamaan dengan masa-masa yang dianggap telah hilang.

Bila hitam dianggap sebagai simbol kejujuran, maka Satya berani bilang itu kebohongan dan tipuan. Satya tahu apa itu hitam. Hitam adalah warna bagi mereka yang ingin menutupi kejujuran. Menutupi warna-warna yang lain dengan dominasinya yang redup redam. Di dalam hitam seseorang dapat menyelam, berpikir akan menemukan kebenaran warna di dalamnya. Tapi di dalamnya hanya ada kolam yang menenggelamkan. Semakin pekat dan semakin redup redam. Orang yang bijaksana tahu bahwa hitam tidak pernah terurai. Semua yang setua jaman akan tahu kebijaksanaan itu.

Maka Satya tidak pernah membiarkan dirinya hitam. Karena dia tahu warna itu akan menenggelamkannya. Menyeretnya ke dalam kolam yang dalam. Dan Satya tidak akan pernah keluar. Dia tidak punya kekuatan. Dan Satya ragu, apa Tuhan akan ada untuknya seandainya ia terseret ke dalam palung yang dalam. Akankah Kuasa itu menyelamatkannya, atau menyuruhnya tenggelam? Satya tak tahu dan Satya tak mau tahu. Lebih baik tidak menjadi hitam.

Oleh karenanya ia memilih putih. Putih itu baru benar. Putih lentur dan dapat diurai menjadi warna-warna. Putih akan selalu lebur di mana pun ia berada. Satya ingin putih. Satya memilih putih. Maka Satya harus putih. Maka Satya menjadi putih.

Tapi bagaimanapun jiwa Satya tua. Berasal dari masa-masa yang telah dilupakan. Dan hampir melebihi tuanya jaman itu sendiri. Dan semua bijaksana tahu, jiwa yang tua tidak pernah lengkang dalam putih. Selalu ada setitik hitam. Selalu ada noda hitam. Karena kehidupan akan selalu menorehkan luka dan meninggalkan sebuah tanda pengalaman. Jadi di dalam jiwa Satya ada noda hitam. Setitik noda hitam.

Andaikan Satya tahu bahwa noda itu adalah yang menjadikan seorang manusia manusia, maka ia tidak akan kelimpungan. Dan ia tidak akan pernah menyesali noda di dalam hatinya itu. Ia malah akan menggunakan noda itu berdoa dan bertobat. Seperti sebuah switch on. Saat kau sibuk merindu Tuhan, pijitlah noda itu. Semburatkan pada hati agar sedikit hitam dan katakan,

“Tuhan, Tuhan, saya bernoda! Maka jangan tinggalkan saya. Bersihkan saya, bersihkan saya!”

Berkali-kali, berkali-kali seperti seorang manja. Dan itu tidak mengapa, karena kau menyatakannya pada Tuhan. Dan biar saja orang-orang mendelik dengan tidak suka, karena itu urusanmu dengan Tuhan. Dan tidak perlu merasakan sesal dalam sumpah serapah. Karena noda telah menjadikan seorang manusia manusia. Selamat dan sukses!

Andaikan Satya dapat merasakan riang dan gembira yang sedemikian. Tapi tidak. Hatinya tetap resah. Ia memikirkan sebuah noda hitam di dalam jiwanya yang menempel seperti seekor lintah yang menyebalkan. Noda itu tidak akan lepas sampai ia kenyang. Kenyang mengganyang jiwa Satya yang bersusah payah agar tidak terserap dalam hitam. Lintah serakah yang seakan menjadikan Satya seorang tawanan.

Padahal Satya bukan tawanan lintah hitam. Dan tidak ada hal semacam noda yang bisa menyerang. Karena dirinya dan diri noda adalah satu. Satya adalah manusia yang bernoda. Sama seperti semua orang.

Tapi ia belum tahu. Seandainya ia tahu hal itu, maka ia tidak akan menjadi gamang menghadapi tolakan dan cobaan. Ia tidak akan sakit hati ketika teman-teman memalingkan muka seraya menertawakan,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah berbuat benar seumur hidupnya.”

Kalau ia tahu kebenaran, maka Satya tidak akan pernah sakit hati ketika keluarganya meludah dan mencemooh di depan mukanya seraya berkacak pinggang berkata,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah melakukan apapun untuk darah dagingnya sendiri.”

Dan jika ia menyadari kebenaran, maka Satya tidak akan pernah sakit hati ketika orang-orang terkasihnya menjadi sedih dan tertekan, melengkungkan badan perih sambil berkata,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah memerhatikanku sepertiku ini.”

Seandainya Satya tahu kebenaran, maka ia akan tahu bahwa itu bukanlah tentang dia, tapi tentang mereka. Tentang mereka yang hanya dapat melihat sepercik noda hitam pada lembaran kertas putih. Begitu kontras terang. Hanya hitam saja yang terlihat, padahal hitam itu hanya sebuah di antara putih. Mereka kadang lupa kalau hitam itu terlihat karena latar pucatnya putih.

Tapi Satya tidak tahu kebenaran. Maka hatinya sakit dan ada sedikit dendam. Dendam yang bukan untuk mereka, tapi untuk dirinya sendiri. Mengapa dia harus terlahir dengan noda hitam yang sebegitu terang? Satya tidak tahu dan sudah lelah mencari tahu. Ia hanya tahu bahwa dirinya memang bernoda hitam dan ia terkadang benci dan menyesalinya.

Benci dan sesal adalah sebuah perasaan yang cukup merah. Oleh karenanya noda hitam dalam jiwa Satya berwarna sedikit rekah merah. Seperti darah yang mengering dan berubah pekat seperti tinta. Dan dengan tinta hitam yang sebenarnya merah itu, Satya torehkan beberapa pengingat bagi dirinya yang hendak berhenti di tengah jalan karena lelah. Ia katakan pada dirinya yang sudah hendak menyerah,

“Mereka salah. Sudah barang tentu mereka salah. Saya bukan hanya noda, tapi saya juga sebuah lembaran. Sebenarnya saya sebuah lembaran!”

Lalu sebuah bisikan yang lirih dan kejam akan bersiul,

“Tapi kamu lembaran yang bernoda! Kamu lelaki yang akan menjadi dingin dan kejam. Kamu akan menyakiti semua orang. Teman-teman, keluarga, dan perempuan. Terutama perempuan.”

Tapi Satya keras kepala. Ditepisnya bisikan itu dan ia terus berjalan. Untungnya seperti itu. Untungnya dia terinspirasi untuk melakukan seperti itu. Kalau tidak ia akan tenggelam dalam bisikan yang kelam. Dan noda itu akan menyebar seperti bercak tinta basah. Merembes, menembus tiap pori dalam lembar jiwanya yang pucat pasi. Lalu akan hitamlah putih jiwanya. Dan sepenuhnya ia tenggelam. Dan tidak lagi ia lihat apa yang di depannya. Memangnya ada apa di depannya?

Satya tidak tahu apa yang ada di depannya. Entah apa yang ada di sana. Tapi ia melangkah dan terus meniti jalan. Lalu hanya kecewa dan kecewa lagi. Hanya segumpalan penolakan dan seabrek luka sabetan. Ia mulai merasa payah, tapi ia harus terus berjalan. Sementara masa lalunya terus menggerogot dan menuntut,

“Satya! Kau harusnya bersikap seperti kami agar kami ingat untuk menyayangi.”

“Satya! Kau harusnya menuruti turut orantua agar kami menjadi bangga.”

“Satya! Kau harusnya melakukan apa yang mereka lakukan agar kami tidak pernah pergi.”

Masa lalu seperti sebuah besi pemberat dan Satya ingin lepas. Satya ingin bebas. Tapi itu terlalu mudah bukan? Itu terlalu cetek. Tentunya kalau Tuhan membiarkan Satya lepas, maka Tuhan sedang menertawakan kegigihan jiwanya yang tua hampir setua jaman. Jadi tentu saja Satya belum lepas dan belum bebas. Tidak sekarang ini.

Padahal Satya merasa payah dan lelah. Dan ia letih. Dan ia hendak berhenti. Tapi tidak. Itu hanya sebuah rasa dalam hati. Sebenarnya di sana masih ada kekuatan dan ketahanan. Geliat dan berontak dari jiwa tua yang mungkin saja lebih tua dari jaman.

Yang harus dilakukan oleh Satya adalah memencet noda hitamnya yang serupa switch on. Dan berdoalah yang lama, lama sekali. Seperti seorang alim yang tidak pernah luput bersujud dan menyila. Dan dalam doa itu katakan,

“Tuhan, Tuhan, saya bernoda! Maka jangan tinggalkan saya! Jangan pernah tinggalkan saya!”

Seperti seorang manja. Seperti seorang yang mengerang seakan-akan hanya dirinya saja yang kesakitan. Seakan-akan dunia itu hanya ada dia dan Tuhan. Dan seluruhnya senyap. Hanya ada sebuah siulan sunyi. Dan Satya akan tahu bahwa dirinya memang benar-benar sendiri. Benar-benar sendiri. Dan itu tidak mengapa. Itu tidak mengapa.

Di dalam sendiri ada berani. Keberanian untuk unjuk gigi. Dan itu tidak mengapa. Itu tidak mengapa. Tuhan ingin jiwa-jiwa yang dimilikinya untuk mengunjukkan diri. Karena itu adalah sebuah doa. Sebuah persembahan kepada yang Maha Kuasa.

Hanya dalam sunyi senyap sendiri, seseorang memang dapat berdoa. Dan terkadang rasa senyap itu membuat gamang. Terlebih-lebih siulan sunyi itu membuat resah. Seluruh tulang gemeletuk gelisah. Tapi itu adalah konsekuensi menjadi sendiri. Dan itu tidak mengapa. Tentu itu tidak mengapa. Kadang sendiri memang butuh. Untuk menjadi berani. Untuk timbul rasa ingin unjuk gigi. Lalu katakan dengan lantang,

“Tuhan! Tuhan! Lihat saya!”

Maka sesekali sunyi senyap sendiri itu memang akan datang. Terutama bagi Satya yang berjiwa tua, mungkin hampir setua jaman. Saat-saat yang memaksanya untuk memasuki waktu sunyi senyap sendiri mungkin akan kerap datang. Mungkin malah akan rapat. Tapi itu tidak mengapa. Tentu itu tidak mengapa. Karena Satya tahu saat-saat seperti tidak akan selalu datang. Hanya sesekali. Mungkin rapat. Mungkin padat. Tapi hanya sesekali. Hanya sesekali.

Tentu kalau ia cukup kuat dan tangguh, ia tahu bahwa saat senyap sunyi sendiri itu tidak pernah benar-benar akan menetap. Ia hanya sesekali datang dalam wajah yang membuat ngeri. Serupa teman-teman yang pergi meninggalkan. Atau keluarga yang mungkin mencemooh dan meludah. Bahkan mungkin dalam bentuk kekasih yang merasa bingung dan gamang.

Tapi itu tidak apa-apa. Artinya saat sunyi senyap sendiri ingin datang dan merayap. Ingin Satya unjuk gigi dan unjuk “kabisa”. Perlihatkan pada Tuhan bahwa lembaran yang mengingat-Nya tak selalu putih. Kadang bernoda. Malah selalu bernoda. Dan noda itulah yang menjadikan manusia manusia.

Maka semuanya tidak mengapa. Sunyi senyap sendiri akan pergi dengan merambat pelan seakan malu dan tidak mau ketahuan. Bahwa sebenarnya ia hanya seekor binatang yang sedikit ingin bersenang-senang. Dan ia tidak pernah benar-benar serius ingin menenggelamkan seorang pun. Termasuk Satya. Ia hanya ingin menunjuk bahwa ia adalah sebuah switch on. Dan saat ia menyala maka ia terhubung pada Tuhan pemilik semesta. Kemudian semua penolakan dan cemoohan akan berubah menjadi,

“Itu Satya. Dia teman saya.”

“Itu Satya. Dia sanak saya.”

Itu Satya. Dia kekasih saya.”

Kalimat-kalimat itu akan diucapkan dengan bangga. Pendek saja tapi membuat Satya berpikir,

“Tuhan. Terimakasih atas saat-saat sunyi senyap sendiri. Terimakasih atas saat-saat saya menjadi seorang sendiri. Hanya sebuah lembaran bernoda tapi Kau tidak pernah luput. Tidak pernah sepersekian mili detik pun. Dan orang-orang ini. Orang-orang yang bersama saya. Maka berkati mereka. Karena mereka pun bernoda seperti saya.”

Jadi begitulah Satya akan mengingat akan saat sunyi senyap sendiri. Dan begitulah Satya akan berharap untuk semua orang. Dan tidak terasa itu adalah sebuah harap untuk dirinya sendiri. Agar diberkati. Agar dirahmati. Agar disayang.

Tanpa peduli hitam. Tanpa peduli noda. Dan tanpa takut tenggelam dalam larutan sunyi senyap sendiri. Sebuah larutan yang tidak akan pernah membuatnya terasing seorang diri.