Visualisasi Peradaban Manusia

Pada suatu hari yang beruntung, saya pernah melihat visualisasi dari perkembangan peradaban manusia. Saya tahu, ini kedengaran aneh, tapi saya sungguh-sungguh melihatnya. Mungkin lebih tepatnya saya melihat sebuah visualisasi intepretasi saya terhadap peradaban. Visualisasi ini sudah saya tuliskan dalam sebuah novel-yang-telah-ditolak-beberapa-kali-tapi-tidak-kunjung-saya-revisi-karena-saking-randomnya-cerita-itu-jadi-dibiarkan-saja. Tiba-tiba saya merasa perlu menceritakan kembali visualisasi itu, karena saya bosan dengan perkembangan peradaban yang begitu-begitu saja. Alasan terlalu simpel ya? Ya biarlah seperti itu. Lagian visualisasinya cukup menarik, dan melibatkan salah satu tokoh yang muncul di buku seorang pengarang terkenal (tapi tidak akan saya sebutkan nama novel maupun tokohnya karena tokoh itu muncul jauh sebelum novel itu terbit jadi saya cukup curiga itu bukan sekadar tokoh tapi mungkin sesuatu yang “lain”). Jadi kurasa, ini akan jadi tulisan aneh yang biasanya.

Awal dari visualisasi itu adalah saya sedang menaiki sebuah kendaraan yang berbentuk kereta. Relnya seakan melayang tapi sebenarny terpancang pada sebuah struktur yang menyerupai jembatan. Kereta itu memasuki kota-kota yang dibentuk dari kotak-kotak yang membentuk berbagai gedung pucat. Semua kotak berwarna putih. Sepanjang saya memandang hanya terlihat tumpukan balok-balok putih dengan bayang-bayang abu-abu. Bahkan ketika saya memandang penumpang-penumpang kereta, semuanya sama pucat. Semua orang tidak punya warna. Hanya warna putih kanvas kosong dan berwarna abu-abu.

Sesekali isi gedung-gedung kotak itu terlihat karena terdapat jendela yang berbentuk persegi atau persegi panjang. Terlihat dari dalamnya lift dan eskalator yang membawa orang-orang berwarna pucat. Naik ke atas atau ke bawah dengan bunyi “ding” pintu terbuka atau tertutup.

Begitu sibuk. Semuanya sibuk. Semua bergerak dengan pasti menyusur kotak-kotak menuju suatu arah yang entah apa. Tidak satu pun orang berhenti untuk melihat kiri dan kanan. Semuanya berjalan dengan suatu keyakinan menuju suatu tempat yang tidak saya ketahui. Semuanya saya lihat dari kereta yang berjalan begitu cepat. Bahkan saya pun tidak tahu kemana kereta itu hendak pergi. Hanya saya saja yang tidak punya rasa pasti akan arah dan tujuan. Saya bingung tapi berusaha terlihat tahu tujuan. Saya berusaha terlihat seperti semua penumpang kereta yang pucat-pucat itu.

Kereta kemudia berhenti pada sebuah halte. Para penumpang berhamburan keluar cepat-cepat. Serombongan calon-calon penumpang hendak masuk. Penumpang-penumpang yang mau masuk dan keluar berbenturan seperti air bah berbeda arah. Karena tidak tahu harus berbuat apa, saya ikut aliran dan turut menghambur keluar kereta dan mengikuti langkah-langkah para penumpang yang tadi bersama-sama ikut kereta.

Saya mengikut langkah-langkah mereka yang cepat dan begitu pasti. Menyusur kotak-kotak putih pucat. Naik turun lift dan eskalator. Tak lama saya sadari bahwa hanya saya yang tidak memakai sepatu. Dan hanya saya yang memakai baju dengan bahan melayang-layang ringan dan tidak kaku seperti yang lainnya. Saya merasa malu dan berbeda, tapi saya berpura-pura bahwa saya sama dengan mereka-mereka. Pucat dan penuh percaya diri. Yakin akan arah perjalanan mereka. Entah kemana. Entah kemana.

Tapi selama saya berpura-pura. Menyusur kotak-kotak, naik turun lift dan eskalator, berpura-pura tidak melirik kiri dan kanan, semakin saya tampak berbeda. Lama-lama saya tidak lagi pucat. Saya semakin berwarna meskipun masih tanpa alas kaki dan masih memakai baju dengan bahan ringan dan melayang. Dan tiba-tiba sebuah hembusan angin menerpa saya. Saya menahan hembusan angin itu dengan sekuat tenaga. Saya melihat kiri dan kanan, hanya saya yang dihembuskan angin. Tapi sekuat apapun saya menahan, angin itu begitu kuat. Saya memejamkan mata dan bergerak mengikuti aliran angin itu.

Saya terhempas angin yang membuat saya keluar jalur dari semua orang pucat.

Dan itu sangat menakutkan.

Saya ingin kembali tapi tidak bisa, karena tubuh saya malah bergerak mengikuti hembusan angin.

Saya tidak lagi mengikuti jalanan dan jalur-jalur di antara kotak-kotak. Kadang saya melompati kotak-kotak seakan-akan mereka hanya batu pijakan. Kadang saya menyusur jalur-jalur di dalam angin. Seperti ada pijakan-pijakan di sana. Lalu sambil saya bergerak, tanpa mengindahkan aturan, jalur, jalanan, logika, saya melihat semua orang-orang yang bergerak dengan kepastian yang membuatku tidak paham. Kemana mereka? Kemana mereka pergi? Kenapa mereka mengikuti jalur-jalur pucat tanpa memandang tujuan akhir?

Saya bingung. Tapi saya sendiri pun terus bergerak menyusur angin dengan arah yang tidak saya ketahui tapi membuat saya ringan. Kali ini saya tidak gamang meskipun tidak mengikuti jalanan yang telah dibangun di antara kotak-kotak putih.

Tapi tiba-tiba gerakan saya yang begitu bebas terhenti. Saya tidak lagi dapat melompat atau menyusur dengan ringan. Di hadapan saya tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan pijakan. Hanya ada padang tandus kering yang kosong dengan tanah retak-retak kering. Di ujung padang terlihat sebuah cahaya yang terang. Angin yang menghembus kembali mengarahkanku. Tapi kali ini aku tidak serta merta mengikuti hembusan. Karena angin menyuruhku untuk memasuki padang yang tandus itu. Sedangkan kotak-kotak putih pucat itu tidak dibangun menuju terang cahaya itu, tapi dibangun menjauhi cahaya. Ke arah yang berbeda.

Saya terdiam. Saya merasa tidak bisa melewati padang itu. Tidak ada kotak putih. Tidak ada jalur dan orang-orang pucat yang dapat disusuri dari pandangan yang jauh. Tidak ada apapun di padang itu selain kekeringan, tanah tandus dan kesendirian.

Tapi angin terus berhembus dan menyuruhku ke padang yang tandus itu di mana tak ada sebuah kotak putih pun di sana.

Saya masih terdiam. Malah saya takut dan tercekat. Saya tidak akan bisa bergerak ke sana tanpa sebuah kotak putih pun di sana. Sedangkan saya bukan seseorang yang tahu cara membuat kotak putih itu. Saya mengutuk diri sendiri. Seharusnya saya belajar membuat kotak putih.

Saya takut dan terus diam. Angin mempermainkan ujung baju dan rambut. Menyuruh saya mengikuti hembusan. Menyuruh saya berani untuk menuju cahaya. Tapi saya masih takut dan masih terus takut.

Lalu sebuah sosok berdiri di belakang saya. Dia memakai jubah hitam yang sangat lebar dan menutup muka. Tapi saya masih dapat melihat bahwa ia membawa sebuah tombak yang panjang. Punggungnya memiliki sepasang sayap hitam. Panjang dan besar, menyapu belakang tubuhnya. Sosok itu bersuara. Suaranya dalam, sebuah bariton yang tidak manusiawi. Katanya dengan garang,

“Jalanmu ke sana. Menuju cahaya.”

Saya bilang,

“Tidak ada jalan ke sana.”

Dia menjawab garang,

“Kalau begitu kamu harus membuatnya.”

Saya terdiam. Saya masih takut. Saya memandang cahaya itu. Saya tahu saya harus menuju tempat itu. Tapi jalan ke sana begitu kering, tandus, dan sepi. Terutama sepi. Tidak ada ukuran jarak tanpa kotak-kotak putih. Tidak lagi dapat berpura-pura tidak sendiri dengan memandang orang-orang berjalan dengan pasti. Kali ini hanya akan ada saya dan sebuah keyakinan bahwa saya benar-benar menuju cahaya.

Saya memandang cahaya itu. Bayangan itu terus di belakang saya. Dia garang tapi sabar.

Lalu saya tersadar dari visualisasi itu. Saya sadar bahwa kotak-kotak putih itu adalah hal-hal yang dibangun manusia. Sebuah bangunan peradaban pelik yang secara tidak langsung telah mengarahkan arah generasi-generasi penerus manusia. Begitu sibuknya kotak-kotak putih itu dibuat, sampai-sampai manusia lupa ke arah mana kotak-kotak itu dibangun dan diletakkan. Secara tidak sadar, kotak-kotak peradaban mulai menjauh dari cahaya. Padahal sosok hitam yang garang itu akan selalu mengikuti. Sosok yang sabar itu akan selalu mengikuti.

Karena sosok hitam itu kematian.

Kematian akan selalu membuntuti setiap langkah.

Pertanyaannya adalah, ke arah manakah kamu melangkah? Apakah menuju cahaya? Menjauhi cahaya? Ataukah hanya mengikuti jalur-jalur di antara kotak-kotak putih. Mengikuti logika yang ditata peradaban tanpa mempertanyakan,

“Ke mana semua kotak-kotak ini mengarahkanku?”

Ingatlah, kotak-kotak putih itu akan selalu ada. Tapi semua manusia memiliki daya untuk membuat kotak-kotak itu bersama-sama. Karena semua itu dimungkinkan oleh logika. Tapi logika tidak memiliki ukuran arah. Arah ditentukan oleh rasa. Arah ditentukan oleh hati yang dikuasai oleh kekuatan yang melebihi logika dan emosi.

Sesekali berhenti dan melihat kiri dan kanan bukanlah ide yang buruk. Karena sesekali seseorang perlu melihat arah perjalanannya.

Apalagi dengan sosok hitam yang membuntuti setiap saat.

-nyaw, kisah kotak-kotak peradaban-

Naga dan Peliharaan-peliharaan Lain yang Lebih Menarik

Mungkin saya sedikit terlalu beruntung. Memasuki bulan ke-4 bekerja kembali di Jakarta, angka trombosit darah saya turun di bawah 100.ooo dan saya harus diopname. Sebelum semua peristiwa opname itu pun, sehari-hari saya sudah bermasalah dengan demit-demit yang menyebabkan saya tidak bisa tidur, aura menjadi bocor dan saya menjadi sangat uring-uringan. Saya begitu uring-uringan sampai saya merasa bahwa pekerjaan saya saat ini tidak lebih pekerjaan pecicilan. Oleh karenanya saya melampiaskan kesebalan saya dengan mencemooh laki-laki pecicilan. Tapi saya kemudian sadar bahwa itu adalah hal yang terlalu berlebihan dan sebenarnya tidak berhubungan. Karena persepsi buruk sendiri terhadap pekerjaan sendiri, kenapa yang kena malah lelaki pecicilan? Benar-benar tidak nyambung. Padahal intinya saya sedang memiliki banyak masalah eksternal, internal, internal menyerong, internal ke atas, eksternal meluas, eksternal di belakang, mikro, makro, dsb, dsb, dsb.

Sambil menuliskan ini pun saya merasa pusing dan lelah sendiri.

Oleh karenanya, saya menggunakan keberuntungan saya untuk opname dan mengalami sakit medis dan nonmedis ini untuk berhibernasi dan menenangkan diri. Ya! Berkontemplasi dalam demam dan nyeri. Menghimpun inner peace ketika deg-degan melihat darah muncrat dari infus. Fokus ketika menyuruh demit untuk pulang kembali ke Jakarta (yang tidak mau dia lakukan karena dia pun cukup lelah setelah mengejar dan mengancam membunuh, lagipula Bandung adalah tempat yang menyenangkan untuknya, jadi dia akan pulang menumpang pulang nanti saat saya menyetir ke Jakarta – saya bingung, dia yang mengancam membunuh, kok saya yang antar pulang? Ya sudah, manusia itu harus ridha dan lapang dada).

Lumayan. Alhamdulillah. Kini saya membaik. Berkat ridha Allah dan doa-doa teman-teman yang sangat baik…. Jadi siapa bilang sakit itu sial? Terkadang itu menandakan keberuntungan.

Tapi setelah keluar opname, saya masih bedrest di rumah. Masih ada pusing dan nyeri. Tapi masih bisa dimanage. Saya menggunakan waktu bedrest ini tidak hanya untuk tidur, tapi untuk mengejar buku-buku yang tidak sempat saya baca. Padahal membaca adalah hal yang sangat penting, tapi aku tidak pernah memiliki cukup fokus melakukannya beberapa bulan belakangan. Aku beruntung bahwa aku sempat curi membaca sambil bedrest.

Buku yang telah saya baca kali ini adalah “Cala Ibi” karya Nukila Amal.

Katanya Cala Ibi adalah seekor burung khas Sulawesi. Kalau dalam buku itu, Cala Ibi adalah naga bersisik emas dan bermata hitam. Itu membuatku teringat bahwa aku pun memiliki seekor naga. Namanya Greyling, karena ia adalah reptil abu-abu yang bergerak cepat seperti bayangan. Kadang dipanggil Moonstone, karena ia muncul di beberapa fase bulan tertentu. Dan belakangan ia memiliki alias Bloodstone, karena ia adalah prajurit yang ahli membunuh sehingga matanya hitam seperti darah kering pekat. Ya, aku pun memiliki seekor naga, dan dia hidup di dalam cerita “Putri Standar”.

Saya tidak tahu urusan naga, Nukila Amal dan saya sendiri itu apa, tapi saya hanya perhatikan satu benang merah. Saya perhatikan bahwa “Cala Ibi” adalah cerita tentang kesendirian dan pencarian makna, sedangkan “Putri Standar” adalah tentang kesendirian dan pencarian kemandirian. Keduanya memiliki tokoh naga di dalamnya. Saya jadi merasa bahwa naga adalah peliharaannya perempuan-perempuan yang merasa sendiri. Ternyata kesendirian perempuan itu dapat dimanifestasikan dalam bentuk sebuah hewan raksasa berdarah dingin dengan sisik keras dan mata kelam. Ternyata kesendirian perempuan itu juga arogan, sok tahu dan sok bijaksana.

Padahal kesendirian itu dingin dan keras. Juga dapat berkhianat.

Tapi kesendirian juga mitos. Dan hanya terwujud dalam khayalan atau diwujudkan demit.

Setelah membaca Cala Ibi, yang mengingatkan pada Putri Standar, saya jadi sadar bahwa kesendirian, kontemplasi, hal-hal yang berperang dalam hati, dan hal-hal lainnya, mungkin tidak sepelik itu. Kalau Nukila Amal mungkin akan bilang kalau semuanya itu hanya “…”. Iya betul. Semuanya tidak sepelik itu, yang pelik adalah perasaan tidak sabar dan kekurangan pemahamannya. Dan menurut Nukila Amal, semua pemahaman itu ada pada hal-hal sekitar kita. Kita perlu jeli.

J-e-l-i dalam arti teliti, bukan j-e-l-l-y dalam arti makanan.

Meskipun sedikit jelly manis tidak akan menyakiti siapapun.

Jadi kupikir, untuk saat ini lebih baik jalani saja apapun. Jangan pikirkan apakah pekerjaan yang saat ini terasa pecicilan atau tidak. Mungkin itu penilaian atas dasar kekesalan diri sendiri saja, mungkin karena saya kecewa tidak sempat menulis hal-hal yang benar-benar membuat saya bahagia, seperti cerita fiksi. Atau mungkin saya hanya terlalu memikirkan apakah sesuatu bermakna atau tidak, padahal itu di luar penilaian saya sebagai manusia.

Jadi selain itu. Saya memutuskan. Saya memutuskan bahwa saya sudah tidak ingin memelihara naga. Saya memilih memelihara anjing. Mungkin husky. Anjing itu hangat, bereaksi baik pada energi, dan terutama sekali, mereka bukanlah makhluk mitos.

Lagipula itu adalah keputusan yang spontan setelah membaca setengah jalan Cala Ibi dan didatangi naga ungu dengan kepala perempuan.

Saya memberikan jawaban, “NOPE!”

Sudah cukup naga yang saya kenal dalam 1 waktu kehidupan!

-nyaw, memilih memelihara husky-

Luas Menghampar Hingga Tidak Berbayang

Hari ini karib saya menikah. Sebenarnya saya ingin menuliskan suatu cerita cinta pastel, tapi saya sedikit tidak mood untuk itu. Karena satu dua hal yang bersifat pribadi dan agaknya tidak bisa saya jabarkan dengan jelas. Oleh karenanya saya buat cerita lain saja. Meskipun tidak jelas fiksi atau apa. Tidak ada plot dan lebih seperti monolog. Tapi saya senang membuatnya. Karena malam sebelumnya saya membaca kumpulan cerpen berjudul “Numi” yang ditulis Yetti Aka. Jarang-jarang saya terpengaruh tulisan orang, tapi rasanya saya terpengaruh. Mungkin karena saya niatkan untuk terpengaruh. Atau mungkin karena gaya setengah bermimpinya itu saya sangat kenal. Jadai saya menulis cerita ini. Juga karena saya suka hal-hal yang berkaitan dengan semesta, ruang hampa dan dualisme sifat cahaya. Jadi ada sedikit rasa science fiction. Tapi dalam bahasa perempuan yang susah dimengerti dan benar-benar surrealis. Tidak masalah sih. Sekadar rekreasi.

Selamat membaca dan jangan memerhatikan hal-hal teknis. Karena rugi memikirkan hal-hal serius dan aturan-aturan yang sebenarnya berubah-ubah seenak jidat.

-nyaw, dual-

***

Luas Menghampar Hingga Tidak Berbayang

rumput basah resize

Ketika saya tahu perkataan buruk yang dikatakan perempuan itu, saya marah. Saya marah dan memanas. Biasanya saya tenang dan semilir seperti sepoi yang malas. Tapi setelah mendengar kata-kata buruk itu terlontar, saya marah. Maka saya yang biasa santai dan tak banyak komentar, berubah menjadi ribut dan penuh teriak.

Saya bisa merasakan bahwa bobot tubuh saya yang sangat banyak berpisah dan menjadi petak-petak yang berlari ke segala arah. Petak-petak itu kuat dan mereka melolong menuntut balas. Mereka berderap dengan rambut berurai panjang dan alis mengernyit. Mata mereka adalah kilau permata biru dan ungu dengan sedikit emas. Mereka berlari berderap maju menuntut balas dan mengguncangkan segala yang berada di depan mereka. Lalu mereka berkata,

“Diam perempuan kecil! Diam! Kamu pikir kamu tahu artinya jadi wanita tapi kamu berpura-pura! Kamulah penipunya! Kamulah yang culas! Kamu menjebak lelaki itu untuk menikahi seorang elegan padahal kamu masih kecil dan kamu masih tidak tahu apa-apa.”

Dan mereka yang berderap kecil, yang melolong menuntut balas tidak hanya dua atau tiga. Mereka ada tujuh, sepuluh dan kadang tiga belas. Mereka serupa peri-peri kecil yang lepas ketika hati saya tidak terima dengan keadaan dan ingin memberikan balas. Mereka berlarian dengan beringas ketika jiwa saya tidak tenang dan terpenjara dalam raga yang saya tahan agar tidak bersikap keras. Mereka adalah peri-peri kecil yang tidak dapat saya tahan berpisah dari tubuh saya yang bobotnya sangat banyak. Dan mereka tidak hanya dua, tiga atau lima. Mungkin tujuh, sepuluh dan bahkan berbelas-belas.

Lalu mereka berlari dengan ribut. Seperti angin yang gemuruh dan tak kenal kasih. Mereka berteriak dan melolongkan hal-hal yang mereka benci. Mereka terbang ke langit luas dan membuat ribut. Lalu awan-awan akan terganggu lalu menggelap dan langit menjadi kelabu. Dan mereka, peri-peri kecil, pecahan dan retakan dari jiwa yang tidak tenang ini, menggemuruh dan terus berlari. Berderap dan mencari arti. Tapi dengan ribut, dengan tidak jernih.

Langkah-langkah mereka kecil, tapi tiap langkah adalah sebuah tapak angin ribut. Hentakannya dapat merubuhkan segala yang berada di situ. Dan hentakan itu tidak akan berhenti hingga mereka memperoleh jawab. Mengapa perempuan itu berpikir dia berhak mengaku wanita dan mengapa lelaki itu membiarkan dirinya menjadi seperti itu.

Tidak banyak yang memberi jawab, lebih banyak yang ingin ikut. Ikut ribut. Ikut riuh. Ikut mencari balas pada perbuatan yang tidak teduh. Dan yang ingin ikut itu akan berkata,

“Biar saya buat perempuan itu menggigil kedinginan hingga demam.”

“Biar saya buat perempuan itu gamang hingga hatinya tak lagi lengang.”

“Biar saya buat perempuan itu bingung hingga ia tidak lagi tahu apa yang ada di hatinya yang paling dalam.”

Sebenarnya saya sangat marah hingga ingin bilang,

“Pergi, pergi kalian. Bersama pecahan-pecahan diri saya yang tidak sedikit. Pergilah kalian dalam bilangan lima, tujuh, atau mungkin berbelas-belas.”

Mata saya berkilat-kilat. Menimbang kemarahan dan keinginan saya untuk mengirimkan pecahan-pecahan jiwa saya bersama mereka yang mengerti caranya menuntut balas. Tapi kemudian saya akan mengaca, dan terlihat kilat emas yang berburu biru dan ungu seperti lebam. Lebam seperti hati saya yang terluka dan ingin menuntut balas. Geram dan getir karena tidak terima pada perkataan tidak baik pada seorang teman.

“Tapi itu namanya cinta. Temanmu cinta dia dan tentu kamu perlu terima.”

“Saya terima dari sejak semula. Saya malah sangat bahagia. Tapi saya marah ketika tahu perkataan perempuan itu padahal temanku tidak sedikit pun seperti itu.”

“Tapi dia cinta, dia sabar, dan dia memaafkan.”

“Dari jaman sebelum waktu ini. Ketika saya dan dia tidak berupa seperti ini, dia selalu begitu. Dia cinta lalu dia menghamba. Bahkan dia membunuhku berkali-kali demi perempuan-perempuannya!”

“Maka sebenarnya kamu bukan tidak terima perempuan itu, tapi kamu takut. Takut bahwa kamu akan dikhianati sekali lagi seperti dulu dulu dan dulu. Lalu kamu akan mati lagi lagi dan lagi. Padahal kamu selalu hidup kembali. Berkali-kali. Dan kamu, setiap waktu jiwamu dijaga. Seakan-akan ia tidak pernah ternoda. Lalu untuk kali ini, yang tampak seperti kali itu, lalu mengapa kamu takut dan mengapa kamu hanya memikirkan jiwamu secara kerdil. Padahal jiwamu luas. Luas membentang hingga ke ujung semesta. Hingga cahaya tidak lagi membuat bayang. Dan kamu dan dia dan perempuan-perempuan itu adalah satu. Pecahan-pecahan semesta yang bercerita dan suatu saat akan kembali. Dan pada saat ia melakukan apapun untuk perempuan-perempuannya, ia melakukan segala-galanya untuk dirinya dan dirimu dan seakan-akan dirimu adalah dirinya yang berbuat semuanya untuk diri kalian sendiri. Lalu mengapa kamu ribut, seakan-akan jiwamu kerdil.”

“Tapi ini berulang. Dan dia akan menghilang dan mati. Lalu hanya tersisa anak-anaknya dan mereka akan seperti itu lagi. Dan saya akan menjadi saksi lalu juga mati dan merasa sedih akan peristiwa-peristiwa yang berulang dan selalu terjadi.”

“Biarlah. Biarlah seperti itu. Untukmu sendiri, kau hanya pikirkan apa jiwamu bisa luas. Keperluanmu hanya sampai di situ.”

Sebuah titik air mata kemudian menetes. Geram dan getir tetap mengaduk hati. Tapi perlahan-lahan aku memanggil mereka, para peri, yang mendesak keluar dan memecah. Kupanggil mereka dan kuceritakan mengenai hal-hal yang indah. Hal-hal yang membuat senang. Dan kuceritakan mereka mengenai luasnya hati dan jiwa kebutuhannya untuk menjadi tenang. Dan kukatakan pada mereka kalau mereka tidak dapat menjadi semilir yang menenangkan setidaknya mereka perlu diam. Kalau mereka tidak dapat menyampaikan pikiran yang baik, maka mereka sebaiknya tidak perlu membentuk tangan menjadi kepalan.

Tentu saja mereka pada awal resah dan meremang. Tapi mereka tahu bahwa tugas mereka adalah mencari arti dan mendongeng mengenai hal-hal yang sebenarnya bisa terjadi. Hal-hal indah dan hal-hal yang baik. Hal-hal yang menenangkan dan menyenangkan seperti doa. Daripada menjadi angin yang ribut, lebih baik menjadi sepoi semilir yang menyejukkan. Meskipun bisa, tidak berarti harus dan tidak berarti itu tepat.

Maka satu per satu, tiga, lima dan berbelas-belas kembali mengisi retak di dalam jiwa dan hati. Berdiam diri dan sudut dan relung. Tidak suka pada ketidakadilan apalagi bila itu dekat sekali. Tapi semuanya saling bergumul dan terkadang berdiskusi. Bahwa mungkin ini memang harus terjadi. Mungkin memang maunya Tuhan begini. Lalu mengapa perlu kesal hanya karena kata-kata yang belum tentu memiliki arti. Mungkin itu tidak sengaja. Mungkin itu bukan kata-kata untuk menyakiti hati. Cinta mungkin berarti memaafkan berkali-kali.

Mereka, peri-peri kecil itu berbisik dan bertepuk tangan kecil. Katanya,

“Iya iya iya! Cinta adalah memaafkan berkali-kali!”

“Dan lalu jiwa akan luas dan membentang hingga tidak memiliki bayang?”

“Iya iya iya! Kadang cinta sehebat itu!”

Dan satu per satu mereka bersepakat untuk berdiam. Beberapa mencoba-coba untuk berpisah. Bukan untuk ribut dan melolong membuat semuanya terganggu. Tapi mereka berpisah, dengan sebuah langkah lompat kecil yang lucu. Dan mereka ikut kemana anak-anak angin berhembus. Lalu singgah di dalam mimpi-mimpi orang-orang terkasih sambil berkata,

“Yuk main yuk. Karena akhir-akhir ini kamu susah ditemui.”

Dan mereka mengajak main hingga orang-orang yang saya kasihi merasa bingung. Besoknya mereka bilang, “Saya bermimpi tentang kamu.” Dan saya akan menjawab sedikit lidah kelu, “Ha iya, biarkan saja seperti itu. Mungkin saya memikirkan kamu.” Lalu mereka akan menjawab, “Berarti kamu rindu.” Saya tentu tertawa dan berkata,

“Ya saya rindu dan saya cinta semua kamu. Karena kamu dan aku berasal dari hal yang sama. Dan bila kamu berbahagia, maka sebenarnya sebuah bagian jiwa saya ikut bergembira. Dan bila kamu merasa terserak, sebenarnya tanpa sadar sedikit jiwa saya akan merasa rendah. Jadi sebenarnya memang benar saya pasti cinta dan saya rindu hingga saya datang dalam mimpi-mimpimu. Karena saya dan kamu memiliki jiwa yang luas dan membentang hingga cahaya tidak lagi membayang. Dan pada batas yang seperti itu, kita jadi tahu bahwa banyak sekali kemungkinan untuk berbahagia. Dan keinginan untuk merasa utuh adalah angan-angan. Karena sebenarnya seharusnya semua orang merasa sedikit retak agar dapat saling butuh. Juga setelah tidak sampai keutuhan itu maka kita akan mencari Dia yang tidak membutuhkan apa-apa.”

Jadi tentu. Tentu saya rindu dan cinta kalian. Sampai jiwa saya terserak bercerita macam-macam. Baru-baru ini saya ingin bercerita tentang kemarahan saya pada perempuan yang menghina teman saya. Sampai-sampai saya sangat geram. Tapi lalu kemarahan itu teredam. Karena saya sadari bahwa apapun yang dibutuhkan suatu bagian kecil akan baik bagi jiwa saya sendiri bertumbuh. Maka saya memutuskan untuk mengambil pesan dari kejadian ini. Bahwa cinta adalah memaafkan berkali. Lagi lagi dan lagi. Dan hidup adalah berani untuk menjalani peran. Berkali-kali hingga nanti. Dan hidup adalah memberi tanpa perlu merasa teriris. Selalu selalu dan selalu.

Hanya melakukan melakukan dan melakukan.

Selebihnya adalah kembali pada Tuhan.

Bisikan di Dalam Semilir

Aduh saya makin jarang menulis. Menulis fiksi maksudnya. Sebenarnya saya kembali kerja di bidang yang dulu, kosmetika. Tapi bidangnya sedikit beda. Agak seperti semi marketing, branding dan sedikit menyentuh konsep produk. Belum sepenuhnya jelas, karena saya baru seminggu. Meskipun baru seminggu, saya sudah mengerjakan sesuatu yang mini-mini imut. Saya menuliskan beberapa tulisan nonfiksi. Mungkin ini memendekkan napas fiksi saya, karena tulisan nonfiksi memiliki struktur yang lugas dan biasanya saya menulis dengan mengalun.

Tapi tidak masalah buatku, fiksi maupun nonfiksi. Dua-duanya saya suka. Karena dua-duanya sebenarnya cerita dari hati. Ya! Bahkan artikel mini sekalipun! Dan kata-kata hyper dalam tulisan nonfiksi tidak hanya untuk memboost omzet. Itu tidak benar. Sebenarnya kata-kata “keren” itu hanya untuk mengetuk pintu rasa calon pembeli, bahwa,

“Iya loh, produk ini memang benar-benar dirancang dengan serius dan kamu yang beli pasti merasa bahagia dan nyaman.”

Bukankah semua karya, bukan hanya kosmetika, tapi makanan, minuman kemas, pakaian, dll, semuanya berprinsip demikian? Bahwa ini adalah sebuah sajian dari hati, coba kamu rasakan?

Sebenarnya begitu pekerjaan saya sekarang. Tidak lagi menjadi peramu, tapi menyampaikan perasaan para peramu di dalam kata-kata yang tidak terucap dalam produk yang nggak bisa nyanyi. Pekerjaan yang seru ya. Mungkin di masa depan krim-krim itu bisa ngomong. nah kalau sudah begini saya mungkin nganggur lagi. Tapi itu gak masalah, karena manusia perlu hidup dengan ridha.

Meskipun saya banyak nulis nonfiksi, saya sempatkan menulis fiksi hari ini. Empat halaman saja. Napas saya berkurang drastis. Tapi secara pribadi, saya merasa lebih memikirkan kata-kata yang tepat dalam menggambarkan apa yang saya rasakan dan pikirkan. Jadi empat halaman ini lumayan. Meskipun gak hebat, tapi saya menikmati ketelitian saat menulisnya.

Selamat menikmati dan seperti biasa, jangan pikirkan hal-hal teknis dan semacamnya dan semacamnya. Enjoy!

-nyaw, kembali ke abu-

***

Bisikan di Dalam Semilir

hati nyaw resize

Bisikan di dalam semilir terdengar lirih. Halus tuturnya mengajak Nira pergi. Katanya,

“Ayo pergi, ayo kita pergi.”

Nira diam dan tertegun. Dia sudah enak duduk bergeming di guanya yang hening. Tidak ada riuh, tidak ada ribut. Hanya ada Nira dan gema santun irama batu. Dan sesekali terdengar gemiricik aliran air di sela-sela pori batu. Tapi selebihnya hanya ada Nira dan lowongnya gua batu. Dan damai. Damai sunyi dalam tenangnya jiwa yang menyendiri.

“Tapi jiwamu terbuat dari angin, kamu sebenarnya tidak seperti ini.”

Nira merengut. Dia tahu bahwa semilir tidak berbohong hari ini. Tapi dia terlanjur senang pada lowong guanya yang hening. Di sana hanya ada Nira. Dan hati Nira. Dan pemikiran Nira. Dan mungkin Tuhan. Dan mungkin malaikat-malaikat. Dan mungkin beberapa demit. Tapi selebihnya hanya ada jiwa raga Nira dan beberapa kawan. Tak kurang, tak lebih.

“Tapi jiwamu dari angin, kamu perlu berhembus dan bernapas.”

Maka Nira menuruti bujuk di dalam semilir. Karena jiwanya tidak diperuntukkan untuk menjadi lembam seperti batu. Juga bukan untuk menjadi lentur seperti ombak laut. Ia juga tidak membara hangat seperti unggun. Ia adalah angin yang harus berhembus. Mengantarkan napas ke dalam paru-paru. Napas yang hidup dari nyala jiwa di dalam dada.

Jadi Nira beranjak dan berdiri. Menuruti paksa esensi dalam hati. Meskipun terasa berat meninggalkan sejuk gema gua batu. Dan berat meninggalkan suara gemiricik air di dalam sela-sela liat itu. Tapi Nira perlu pergi. Seperti angin yang selalu bergerak. Mengurai diri menjadi napas dalam diri sesama manusia seperti Nira.

Lalu Nira berjalan, sedikit tertatih-tatih. Ia pegal terlalu lama mengurung diri. Perlahan-lahan ia berjalan mengikuti ke mana semilir pergi. Nira tidak pernah bertanya pada semilir ke mana akan dibawanya kaki-kaki ini. Seperti pengalaman-pengalaman yang dahulu, ia belajar pentingnya untuk tidak bertanya. Tapi dari pengalaman yang dahulu, Nira tahu pentingnya untuk menjadi jeli. Ketika seni menjawab “Iya” dan “Tidak” adalah sesuatu yang mesti. Dan terkadang diperlukan sebuah jawaban “Mungkin”.

Jadi Nira tertatih tapi ia tetap berjalan dengan kecepatan yang membuatnya tidak banyak berhenti tapi cukup membuatnya nikmat melihat keluar jendela tatap. Dilihatnya di luar sana orang-orang yang berlari kencang atau teronggok sama sekali. Dilihatnya di luar sana orang-orang yang begitu sibuk untuk berlari ke satu arah hingga ditabraknya orang di depannya dengan kencang.

Nira menggelengkan kepala. Tiga tahun ia berada di dalam gua, dan orang-orang masih saja seperti itu. Seperti tidak ada besok dan hanya kemarin. Seperti sedang menahan pipis empat liter di dalam ginjal berkapasita tiga koma sembilan. Lalu pipis itu tidak tertahan, maka orang itu berlari dengan bergegas hanya untuk sekedar membuang kotoran.

“Aduh semilir, kamu kok mengajakku ke dunia seperti ini lagi?”

Semilir terkekeh dan bersalto riang. Tidak diindahkannya Nira yang merasa heran. Malahan ia merasakan sebuah rasa jenaka. Dengan nada senandung yang halus penuh sayang, dikatakannya,

“Aduh Nira, kamu kok nanya? Dunia ya masih begini saja. Dunia ini lama. Tapi kamu yang hari ini selalu baru. Sudah, mendingan kamu terus jalan. Karena angin itu perlu berhembus dan tidak boleh diam.”

Nira mengangguk mengerti dan terus berjalan. Dengan tertatih dan lamban. Seperti semilir angin di sela dedaunan. Hanya sebuah gerak ringkih atau gemetar yang menunjukkan ia ada dan tidak pernah diam. Seperti itulah Nira kini berjalan.

Dan berjalan seperti itu adalah tidak masalah. Yang penting senantiasa bergerak dan menghembuskan napas. Juga memasang jeli mata agar tidak melewati hal-hal yang dapat memperdalam dan memperkaya jiwanya. Karena suatu hari itu jiwa itu kembali kepada yang empunya. Dan semua yang ia dapatkan di dunia ini akan diceritakannya kembali.

Maka cerita-cerita yang akan disampaikan kembali ke langit itu perlu disampaikan dengan halus. Dengan bahasa yang indah dan bersih. Bersih jujur menurut tutur hati. Bercerita semuanya padahal semuanya itu sudah diketahui. Tapi cerita dari para pendongeng selalu baru. Selalu baru.

Setiap dongeng selalu baru, meskipun hanya itu-itu saja. Setiap sejarah itu tidak pernah tua, meskipun hanya mengulang-ngulang saja. Dan setiap jalanan tidak pernah sama, meskipun yang itu-itu saja. Nira tahu itu. Dia tahu. Jadi dia ikuti saja hembus semilir membawa kaki-kakinya ini. Entah ke mana, tapi sepertinya ke sana. Tempat yang ia kenal sudah lama.

Semilir membawa Nira kembali ke kota yang sudah seperti sebuah tungku. Apinya besar dan membakar. Air bergolak dan mengantarkan didih uap ke dalam udara. Dan langit yang seharusnya berwarna biru, berwarna serupa abu. Kelabu dari jelaga tungku. Kelabu dari manusia-manusia pencari emas yang dijadikan arang kayu karena lupa pada asalnya dulu.

“Kembali ke dunia abu?”

“Iya, kembali abu.”

“Sanggupkah saya?”

“Selalu.”

Maka Nira kembali melangkah. Kaki-kakinya beranjak maju, menginjak kembali tanah dunia yang berwarna abu . Kakinya menjejak dan terbanglah abu itu menjadi kepulan-kepulan debu. Debu itu menghambur dan melebur lalu berputar membentuk bola. Dijadikan ajang bermain sepak oleh semilir yang tidak tahu menahu dari mana kelabu itu berasal.

Tapi Nira tersenyum. Biarkan semilir bermain dan tak perlu tahu menahu mengenai kisah asal mula kelabu. Nira sendiri yang tahu pun juga tak perlu ragu. Karena abu pun sebenarnya dapat menjadi kehidupan. Bukankah semua tanah berasal mula dari debu abu yang memunculkan urat-urat hijau serupa sulur?

Jadi Nira melangkah maju. Tertatih-tatih tapi tetap maju. Dia kembali ke dunia abu. Dulu ia akan bertanya apa yang bisa ditawarkan dunia ini kepadanya. Tapi itu dulu. Sekarang ia tahu bahwa tak bisa lagi ia mengharapkan sebuah pemberian dari dunia abu, ia hanya bisa mengharap dari jejak-jejaknya muncul sulur dan bayarannya dari yang Punya. Hanya dari yang Punya.

Tidak ada pemberian yang lebih baik dari itu.

Jadi jiwa Nira bergerak dan menari. Tidak selincah dulu. Tapi tetap bergerak seperti riak yang mengalun. Perlahan, perlahan saja. Asal tetap laju.

Sunyi Senyap Sendiri

Belakangan saya menulis dengan sedikit jarang. Itu menimbulkan sedikit rasa berdosa. Karena sebenarnya banyak sekali yang mau saya ceritakan. Banyak dan banyak sekali. Tapi bersamaan dengan banyaknya cerita, saya terserang penyakit radang tenggorokan dan saya sudah meminum obat macam-macam tapi malah terus saja batuk itu hebat. Baru belakangan ini radang itu mengempis, setelah ke dokter THT dan meminum obat yang membuat sedikit maag. Tapi itu tidak masalah. Yang penting sembuh dan bisa berkonsentrasi. Pasti pasti bisa. Tapi untuk sementara ini saya perlu menikmati seni dalam bersantai dengan tidak melakukan apa-apa. Percayalah, itu susah! Sangat susah! Selalu saja timbul rasa perlu menulis dan membaca beberapa buku yang “mencerdaskan”. Tapi sakit selalu menjadi cara terbaik untuk memaksaku tiarap dan memikirkan beberapa hal.

Dan aku mulai memikirkan mengenai kesendirian, kesepian. Rasa yang aneh. Kadang saat perasaan itu datang, rasanya badan sendiri pun asing. Lalu kau bercermin, “Siapa itu? Siapa yang ada di sana?”

Perasaan yang membuat banyak orang merinding dan meremang. Perasaan yang konon dapat membunuh dalam jangka lama. Katanya begitu. Ada penelitiannya. Tapi maaf saya lupa artikelnya. Pokoknya ada penelitian semacam itu.

Padahal sebenarnya mengatasi kesendirian dan kesepian itu gampang. Pada saat perasaan itu datang, bercerminlah dan berkenalanlah dengan dia yang ada di sana. Wawancarai dia habis-habisan. Dan jangan menampik apa-apa dirinya yang di sana itu. Jangan tampik karena itu adalah diri kita saat ini! Kenali dia dan terima baik-baik.

Tapi tentu saja semuanya gampang kalau kau ingat. Aku akan memberikan sebuah nasihat yang alim. Saat merasa lupa, selalu bukalah buku SOP. Di sana ada semua-semua yang butuh ditemukan. Itulah guna buku itu sebenarnya!

Sepertinya saya mulai melantur, padahal saya hanya bermaksud memasang sebuah cerpen. Sedikit banyak bercerita tentang rasa kesendirian. Perasaan yang mengerikan tapi dapat digunakan untuk hal-hal berguna. Kalau kau cerdik!

Seperti biasa, jangan pedulikan hal-hal teknis atau semacam itu. Nikmati saja. Semoga senang dan selamat menikmati!

-nyaw, menggunakan saat sunyi senyap sendiri-

***

Sunyi Senyap Sendiri

ilustrasi kumcer 1 - 02 monster

Belakangan ini temaram tidak pernah sepenuhnya kelam. Seperti hitam tidak pernah sepenuhnya gelap. Di dalam hitam selalu ada semburat merah. Sebuah warna yang timbul tenggelam tapi tidak pernah sepenuhnya hilang. Seperti warna langit malam ini. Merah yang hitam. Merah yang hitam seperti darah yang menjelma pekat. Seperti tinta yang merembes lekat menembus pori-pori sepersekian per mili. Seperti beban yang dibawa Satya semenjak ingatannya lahir bersamaan dengan masa-masa yang dianggap telah hilang.

Bila hitam dianggap sebagai simbol kejujuran, maka Satya berani bilang itu kebohongan dan tipuan. Satya tahu apa itu hitam. Hitam adalah warna bagi mereka yang ingin menutupi kejujuran. Menutupi warna-warna yang lain dengan dominasinya yang redup redam. Di dalam hitam seseorang dapat menyelam, berpikir akan menemukan kebenaran warna di dalamnya. Tapi di dalamnya hanya ada kolam yang menenggelamkan. Semakin pekat dan semakin redup redam. Orang yang bijaksana tahu bahwa hitam tidak pernah terurai. Semua yang setua jaman akan tahu kebijaksanaan itu.

Maka Satya tidak pernah membiarkan dirinya hitam. Karena dia tahu warna itu akan menenggelamkannya. Menyeretnya ke dalam kolam yang dalam. Dan Satya tidak akan pernah keluar. Dia tidak punya kekuatan. Dan Satya ragu, apa Tuhan akan ada untuknya seandainya ia terseret ke dalam palung yang dalam. Akankah Kuasa itu menyelamatkannya, atau menyuruhnya tenggelam? Satya tak tahu dan Satya tak mau tahu. Lebih baik tidak menjadi hitam.

Oleh karenanya ia memilih putih. Putih itu baru benar. Putih lentur dan dapat diurai menjadi warna-warna. Putih akan selalu lebur di mana pun ia berada. Satya ingin putih. Satya memilih putih. Maka Satya harus putih. Maka Satya menjadi putih.

Tapi bagaimanapun jiwa Satya tua. Berasal dari masa-masa yang telah dilupakan. Dan hampir melebihi tuanya jaman itu sendiri. Dan semua bijaksana tahu, jiwa yang tua tidak pernah lengkang dalam putih. Selalu ada setitik hitam. Selalu ada noda hitam. Karena kehidupan akan selalu menorehkan luka dan meninggalkan sebuah tanda pengalaman. Jadi di dalam jiwa Satya ada noda hitam. Setitik noda hitam.

Andaikan Satya tahu bahwa noda itu adalah yang menjadikan seorang manusia manusia, maka ia tidak akan kelimpungan. Dan ia tidak akan pernah menyesali noda di dalam hatinya itu. Ia malah akan menggunakan noda itu berdoa dan bertobat. Seperti sebuah switch on. Saat kau sibuk merindu Tuhan, pijitlah noda itu. Semburatkan pada hati agar sedikit hitam dan katakan,

“Tuhan, Tuhan, saya bernoda! Maka jangan tinggalkan saya. Bersihkan saya, bersihkan saya!”

Berkali-kali, berkali-kali seperti seorang manja. Dan itu tidak mengapa, karena kau menyatakannya pada Tuhan. Dan biar saja orang-orang mendelik dengan tidak suka, karena itu urusanmu dengan Tuhan. Dan tidak perlu merasakan sesal dalam sumpah serapah. Karena noda telah menjadikan seorang manusia manusia. Selamat dan sukses!

Andaikan Satya dapat merasakan riang dan gembira yang sedemikian. Tapi tidak. Hatinya tetap resah. Ia memikirkan sebuah noda hitam di dalam jiwanya yang menempel seperti seekor lintah yang menyebalkan. Noda itu tidak akan lepas sampai ia kenyang. Kenyang mengganyang jiwa Satya yang bersusah payah agar tidak terserap dalam hitam. Lintah serakah yang seakan menjadikan Satya seorang tawanan.

Padahal Satya bukan tawanan lintah hitam. Dan tidak ada hal semacam noda yang bisa menyerang. Karena dirinya dan diri noda adalah satu. Satya adalah manusia yang bernoda. Sama seperti semua orang.

Tapi ia belum tahu. Seandainya ia tahu hal itu, maka ia tidak akan menjadi gamang menghadapi tolakan dan cobaan. Ia tidak akan sakit hati ketika teman-teman memalingkan muka seraya menertawakan,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah berbuat benar seumur hidupnya.”

Kalau ia tahu kebenaran, maka Satya tidak akan pernah sakit hati ketika keluarganya meludah dan mencemooh di depan mukanya seraya berkacak pinggang berkata,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah melakukan apapun untuk darah dagingnya sendiri.”

Dan jika ia menyadari kebenaran, maka Satya tidak akan pernah sakit hati ketika orang-orang terkasihnya menjadi sedih dan tertekan, melengkungkan badan perih sambil berkata,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah memerhatikanku sepertiku ini.”

Seandainya Satya tahu kebenaran, maka ia akan tahu bahwa itu bukanlah tentang dia, tapi tentang mereka. Tentang mereka yang hanya dapat melihat sepercik noda hitam pada lembaran kertas putih. Begitu kontras terang. Hanya hitam saja yang terlihat, padahal hitam itu hanya sebuah di antara putih. Mereka kadang lupa kalau hitam itu terlihat karena latar pucatnya putih.

Tapi Satya tidak tahu kebenaran. Maka hatinya sakit dan ada sedikit dendam. Dendam yang bukan untuk mereka, tapi untuk dirinya sendiri. Mengapa dia harus terlahir dengan noda hitam yang sebegitu terang? Satya tidak tahu dan sudah lelah mencari tahu. Ia hanya tahu bahwa dirinya memang bernoda hitam dan ia terkadang benci dan menyesalinya.

Benci dan sesal adalah sebuah perasaan yang cukup merah. Oleh karenanya noda hitam dalam jiwa Satya berwarna sedikit rekah merah. Seperti darah yang mengering dan berubah pekat seperti tinta. Dan dengan tinta hitam yang sebenarnya merah itu, Satya torehkan beberapa pengingat bagi dirinya yang hendak berhenti di tengah jalan karena lelah. Ia katakan pada dirinya yang sudah hendak menyerah,

“Mereka salah. Sudah barang tentu mereka salah. Saya bukan hanya noda, tapi saya juga sebuah lembaran. Sebenarnya saya sebuah lembaran!”

Lalu sebuah bisikan yang lirih dan kejam akan bersiul,

“Tapi kamu lembaran yang bernoda! Kamu lelaki yang akan menjadi dingin dan kejam. Kamu akan menyakiti semua orang. Teman-teman, keluarga, dan perempuan. Terutama perempuan.”

Tapi Satya keras kepala. Ditepisnya bisikan itu dan ia terus berjalan. Untungnya seperti itu. Untungnya dia terinspirasi untuk melakukan seperti itu. Kalau tidak ia akan tenggelam dalam bisikan yang kelam. Dan noda itu akan menyebar seperti bercak tinta basah. Merembes, menembus tiap pori dalam lembar jiwanya yang pucat pasi. Lalu akan hitamlah putih jiwanya. Dan sepenuhnya ia tenggelam. Dan tidak lagi ia lihat apa yang di depannya. Memangnya ada apa di depannya?

Satya tidak tahu apa yang ada di depannya. Entah apa yang ada di sana. Tapi ia melangkah dan terus meniti jalan. Lalu hanya kecewa dan kecewa lagi. Hanya segumpalan penolakan dan seabrek luka sabetan. Ia mulai merasa payah, tapi ia harus terus berjalan. Sementara masa lalunya terus menggerogot dan menuntut,

“Satya! Kau harusnya bersikap seperti kami agar kami ingat untuk menyayangi.”

“Satya! Kau harusnya menuruti turut orantua agar kami menjadi bangga.”

“Satya! Kau harusnya melakukan apa yang mereka lakukan agar kami tidak pernah pergi.”

Masa lalu seperti sebuah besi pemberat dan Satya ingin lepas. Satya ingin bebas. Tapi itu terlalu mudah bukan? Itu terlalu cetek. Tentunya kalau Tuhan membiarkan Satya lepas, maka Tuhan sedang menertawakan kegigihan jiwanya yang tua hampir setua jaman. Jadi tentu saja Satya belum lepas dan belum bebas. Tidak sekarang ini.

Padahal Satya merasa payah dan lelah. Dan ia letih. Dan ia hendak berhenti. Tapi tidak. Itu hanya sebuah rasa dalam hati. Sebenarnya di sana masih ada kekuatan dan ketahanan. Geliat dan berontak dari jiwa tua yang mungkin saja lebih tua dari jaman.

Yang harus dilakukan oleh Satya adalah memencet noda hitamnya yang serupa switch on. Dan berdoalah yang lama, lama sekali. Seperti seorang alim yang tidak pernah luput bersujud dan menyila. Dan dalam doa itu katakan,

“Tuhan, Tuhan, saya bernoda! Maka jangan tinggalkan saya! Jangan pernah tinggalkan saya!”

Seperti seorang manja. Seperti seorang yang mengerang seakan-akan hanya dirinya saja yang kesakitan. Seakan-akan dunia itu hanya ada dia dan Tuhan. Dan seluruhnya senyap. Hanya ada sebuah siulan sunyi. Dan Satya akan tahu bahwa dirinya memang benar-benar sendiri. Benar-benar sendiri. Dan itu tidak mengapa. Itu tidak mengapa.

Di dalam sendiri ada berani. Keberanian untuk unjuk gigi. Dan itu tidak mengapa. Itu tidak mengapa. Tuhan ingin jiwa-jiwa yang dimilikinya untuk mengunjukkan diri. Karena itu adalah sebuah doa. Sebuah persembahan kepada yang Maha Kuasa.

Hanya dalam sunyi senyap sendiri, seseorang memang dapat berdoa. Dan terkadang rasa senyap itu membuat gamang. Terlebih-lebih siulan sunyi itu membuat resah. Seluruh tulang gemeletuk gelisah. Tapi itu adalah konsekuensi menjadi sendiri. Dan itu tidak mengapa. Tentu itu tidak mengapa. Kadang sendiri memang butuh. Untuk menjadi berani. Untuk timbul rasa ingin unjuk gigi. Lalu katakan dengan lantang,

“Tuhan! Tuhan! Lihat saya!”

Maka sesekali sunyi senyap sendiri itu memang akan datang. Terutama bagi Satya yang berjiwa tua, mungkin hampir setua jaman. Saat-saat yang memaksanya untuk memasuki waktu sunyi senyap sendiri mungkin akan kerap datang. Mungkin malah akan rapat. Tapi itu tidak mengapa. Tentu itu tidak mengapa. Karena Satya tahu saat-saat seperti tidak akan selalu datang. Hanya sesekali. Mungkin rapat. Mungkin padat. Tapi hanya sesekali. Hanya sesekali.

Tentu kalau ia cukup kuat dan tangguh, ia tahu bahwa saat senyap sunyi sendiri itu tidak pernah benar-benar akan menetap. Ia hanya sesekali datang dalam wajah yang membuat ngeri. Serupa teman-teman yang pergi meninggalkan. Atau keluarga yang mungkin mencemooh dan meludah. Bahkan mungkin dalam bentuk kekasih yang merasa bingung dan gamang.

Tapi itu tidak apa-apa. Artinya saat sunyi senyap sendiri ingin datang dan merayap. Ingin Satya unjuk gigi dan unjuk “kabisa”. Perlihatkan pada Tuhan bahwa lembaran yang mengingat-Nya tak selalu putih. Kadang bernoda. Malah selalu bernoda. Dan noda itulah yang menjadikan manusia manusia.

Maka semuanya tidak mengapa. Sunyi senyap sendiri akan pergi dengan merambat pelan seakan malu dan tidak mau ketahuan. Bahwa sebenarnya ia hanya seekor binatang yang sedikit ingin bersenang-senang. Dan ia tidak pernah benar-benar serius ingin menenggelamkan seorang pun. Termasuk Satya. Ia hanya ingin menunjuk bahwa ia adalah sebuah switch on. Dan saat ia menyala maka ia terhubung pada Tuhan pemilik semesta. Kemudian semua penolakan dan cemoohan akan berubah menjadi,

“Itu Satya. Dia teman saya.”

“Itu Satya. Dia sanak saya.”

Itu Satya. Dia kekasih saya.”

Kalimat-kalimat itu akan diucapkan dengan bangga. Pendek saja tapi membuat Satya berpikir,

“Tuhan. Terimakasih atas saat-saat sunyi senyap sendiri. Terimakasih atas saat-saat saya menjadi seorang sendiri. Hanya sebuah lembaran bernoda tapi Kau tidak pernah luput. Tidak pernah sepersekian mili detik pun. Dan orang-orang ini. Orang-orang yang bersama saya. Maka berkati mereka. Karena mereka pun bernoda seperti saya.”

Jadi begitulah Satya akan mengingat akan saat sunyi senyap sendiri. Dan begitulah Satya akan berharap untuk semua orang. Dan tidak terasa itu adalah sebuah harap untuk dirinya sendiri. Agar diberkati. Agar dirahmati. Agar disayang.

Tanpa peduli hitam. Tanpa peduli noda. Dan tanpa takut tenggelam dalam larutan sunyi senyap sendiri. Sebuah larutan yang tidak akan pernah membuatnya terasing seorang diri.

Jiwa yang Tua Bangsat Keparat

Saya butuh menulis ini. Untuk melampiaskan rasa yang tidak berhubungan dengan novel yang sedang saya tulis. Benar-benar tulisan yang emosional. Mungkin membingungkan. Biarlah. Sekali-kali saya membuat karya yang tidak berjarak. Sekalipun dibuat dari POV orang ketiga. Boleh saja lah.

Seperti biasa. Jangan pikirkan teknis. Jangan pikirkan EYD. Jangan pikirkan hal-hal yang logis. Ikuti saja. Kemungkinan besar kalian akan macet membaca tulisan yang kali ini. Wajar. Karena ini bukan tulisan yang smooth. Bukan karena saat menulisnya tersendat, tapi karena perasaan yang menjadi dasar tulisan ini semacam geram. Jadi wajar kalau sedikit mengganggu.

Selamat menikmati rasa terganggu!

-nyaw, melepas gangguan agar dirinya sendiri tidak terganggu-

***

Jiwa yang Tua Bangsat Keparat

Mother earth

Jiwa Nira sudah tua. Tua bangsat dan keparat. Dia turun dari langit dengan cedera pada kepala. Dia lupa nama Tuhan. Jadi dia berkelana. Mencari tanda. Mencari petunjuk. Mencari ceceran-ceceran nama Tuhan. Dengan kepala. Dengan tangan. Dengan raga. Dengan hati. Lalu ketika ia tidak menemukan kata. Kata yang merupakan asal dari Tuhan. Ia mendumel dan mengomel. Juga menjadi sarkastis dan skeptis. Memandang dan menghakimi siapa-siapa yang memberinya keterangan yang palsu dan sampah. Katanya pada mereka,

“Buat apa kalian diturunkan Tuhan, kalau kerja kalian membuat kebohongan dan tidak mencari nama Tuhan? Lebih baik kalian enyah. Lebih baik kalian minggat. Lebih baik kalian kembali ke neraka.”

Begitu kata jiwa Nira yang sudah tua bangsat dan keparat. Dia sudah keriput. Dia sudah kisut. Dia sudah penuh kerut-kerut. Jiwa yang tua bangka berasal dari hari-hari ketika dunia masih tua. Ketika hutan masih rapat dan gunung-gunung masih menjulang ke langit. Ketika angin masih bersiul dan bernyanyi. Membisik kabar-kabar kepada makhluk bumi. Hari ketika asap berbicara. Membicarakan kabar-kabar setengah bohon dari bara.

Dari sanalah jiwa Nira yang tua bangka bangsat keparat. Jiwa yang anehnya tidak kenal lelah. Mencari nama Sang Perkasa. Di dalam angin. Di dalam hembusan di antara jemari dedaunan. Masih saja penasaran. Mencari dan mencari. Dan berkali-kali luput atau tidak ditemukan kalam itu. Tapi ia terus menyelisik mencari. Dan ketika bertemu kalam itu, ia merasa belum usai.

“Masih banyak tanda itu. Masih banyak kata itu. Masih banyak nama Tuhan.”

Jiwa Nira yang tua bangka tetap mencari. Tak kenal lelah. Tak kenal susah. Tak kenal jaman. Padahal jaman sudah berubah. Jaman sekarang nama Tuhan sudah diketemukan di semua tempat. Bertebaran dan berkeliaran. Bahkan hampir seperti obral. Orang-orang yang mencari untung pun menggunakan kalam Tuhan. Seperti tukang obat pinggir jalan.

Tapi bagaimanapun nama Tuhan sudah ditemukan. Dan harusnya jiwa Nira beristirahat dengan tenang. Beradaptasi dan berubah. Mengikuti jaman. Meskipun baginya semuanya keliatan agak-agak edan. Dengan semua standar dan penyeragaman. Tapi bagaimana pun jiwa Nira masih saja tergelitik. Dia berkata,

“Dengan semua kesamaan itu, apa kalian masih mencari nama Tuhan?”

Jiwa Nira sedikit menyebalkan seperti itu. Andaikan dia bisa bungkam. Andai dia bisa mati. Atau setidaknya andaikan dia bisa mengerti. Kalau dia tidak baik merasa benar sendiri. Kebenaran jaman sekarang adalah kesepakatan. Tidak penting apakah itu dari langit atau berasal dari kalam Tuhan sekalipun. Berkonformasilah maka kau akan selamat. Maka kau akan menjadi satu dengan masyrakat.

Tapi tidak. Jiwa Nira yang tua masih perlu bangsat keparat. Ia teguh pada pendirian. Dia selalu mempertanyakan hal-hal di sekitarnya. Dia selalu mencari kebenaran yang benar-benar merupakan kebenaran. Dan dalam proses itu ia bersikap bangsat dan keparat. Ia tidak peduli adat dan kesopanan. Ia tidak mau berkompromi dengan penyeragaman sikap.

Dan jadilah Nira seorang musuh masyarakat. Akibat jiwanya yang tua bangsat dan keparat. Untunglah ia masih memiliki karya. Jadi orang segan membunuh dirinya di tempat. Tapi selebihnya ia hanya dibiarkan. Dengan perasaan enggan. Dan selebihnya ia dibiarkan kelaparan. Agar binasa dan mati.

Tapi Tuhan menyayangi semua makhluknya. Yang tua dan bangsat keparat sekalipun. Jadi Nira tidak pernah kelaparan. Sekalipun seluruh dunia menginginkan dirinya begitu. Karena ia adalah sebuah gangguan. Enyahkan enyahkan enyahkan. Orang yang berbeda perlu dienyahkan. Atau setidaknya perlu dirusak. Perbedaan perlu dirusak dan dipatahkan.

Jadi suatu hari. Ketika Nira merasa sedikit ringan. Sedikit bahagia melihat karyanya lumayan berkembang. Keluarganya menghubunginya. Katanya pada Nira,

“Atasanmu memberitahu kau gila. Apa yang terjadi?”

Nira terdiam. Matanya mengosong. Ia hanya dapat tercenung. Jiwa tua bangkanya pun tak berkutik. Terkejut dan tertohok. Sebegitunyakah orang perlu keseragaman? Tidak adakah ruang untuk satu pun perbedaan. Satu pun?

Nira tersentak dan sedikit mengomel. Lebih baik begitu. Lebih baik dia mengomel dan bersumpah serapah. Ketimbang dia memendam rasa dan menikami hatinya sendiri. Ia memilih mengeluarkan senjata. Mengarahkannya pada seluruh dunia. Hanya ada Nira, melawan seluruh dunia. Melawan mereka. Mereka yang sedarah sekalipun.

Nira sadar ia tidak diterima. Ia tidak akan pernah diterima. Sekali gila, ia akan seterusnya dicap sakit jiwa. Maka ia melarikan diri. Minggat. Menjauh. Pergi dari semuanya. Karena kalau tidak, ia pasti akan bunuh diri. Bukan raga, tapi jiwa yang mati. Jadi Nira minggat, melarikan diri. Mengungsi di dalam gua. Hanya ada dia dan pikirnya yang mengelana. Mencari Tuhan. Mencari makna.

Lalu Nira menulis. Mengulang cerita dari semesta. Mengenai kebenaran dalam dirinya. Mengenai keyakinan di dalam hatinya. Mengenai pandangannya pada seluruh dunia. Sebagian kelam. Sebagian terang. Seperti Nira. Seperti kehidupan. Sebuah koin dengan bidang saling bersisian.

Nira yakin semua karyanya akan ke surga. Terbang melintas dimensi. Terbang melintas tanpa perlu berpegang pada hukum-hukum fisika. Terbang dan bertengger pada rak. Perpustakaan Cordoba yang terbakar habis. Perpustakaan megah yang kini hanya dapat ditemukan pada akhirat, akhir jaman. Karya-karya Nira akan bertengger dan memenuhi satu rak tersendiri. Letaknya di dekat jendela yang terang. Dan sebagian akan berada pada sisi yang membelakangi terang jendela. Mungkin bersebelahan dengan karya-karya dystophia semacam 1984. Karena itu seperti Nira. Sebagian terang. Sebagian gelap.

Jadi Nira berkarya. Seakan-akan ia gila. Ralat. Memang benar sekarang ia gila. Karena ia bekerja tidak kenal raga. Tidak kenal perut. Tidak kenal malu. Ikut pada uang keluarga. Harga yang tidak pantas pada seorang gila seperti Nira.

Tapi ia perlu lakukan semua itu. Nira perlu gila. Nira perlu terus berkarya. Tidak kenal adat. Tidak kenal aturan. Tidak kenal seragam. Telanjang telanjang telanjang. Berikan rasa. Berikan rasa. Katakan lantang pada dunia. Tidak perlu sabetkan senjata. Hanya perlu katakan makna yang tersembunyi dalam kata. Katakan dengan nyata semua rasa.

Karena dunia perlu tahu apa yang dicari Nira. Kata Tuhan. Kata yang hanya dapat ditemukan dengan rasa. Kata yang hanya dapat dimengerti dan dipahami dengan hati yang hidup dan tidak seragam. Kata yang hanya dapat ditemukan dengan cara yang khas.

Karena itu Nira perlu menulis. Apa yang jiwa tua bangkanya cari dan telisik. Dan semua orang tahu perlu tahu bahayanya menjadi tidak diri sendiri. Karena kata itu mungkin tidak akan pernah sampai pada orang yang tidak tahu namanya sendiri.

Jadi Nira terus menulis. Dari gua yang gelap. Hanya seorang diri. Meskipun ia dikatai seperti Kartini. Ia tidak peduli. Semuanya perlu tahu apa yang perlu dicari. Dan itu bukan harta. Itu bukan hal-hal yang dapat dilihat dan digenggam. Hal yang dicari hanya dapat ditemukan dengan hati. Sebuah makna dalam mengenai Tuhan.

Dan ketika Nira asyik menulis. Mengenai semua hal. Membangun rasa. Membangkitkan minat jiwa yang hampir padam. Mereka yang mengatakan Nira gila, mengajaknya untuk kembali. Mengajaknya berkarya dalam dunia mereka lagi. Karena mereka bilang bahwa mereka sudah berubah. Karena mereka bilang mereka mengerti keindahan di dalam ragam.

Jadi Nira pun setuju. Karena jiwanya yang tua bangsat keparat memiliki sisi yang baik. Ia pemaaf dan melihat keindahan di dalam masa depan. Yang sudah lalu ya sudah. Bila kesemuanya berniat baik maka kemungkinan terjadi yang baik.

Tapi lalu mereka yang mengajak Nira untuk kembali pada dunia mereka bertanya,

“Coba ceritakan apa yang sudah berubah? Perubahan apa yang ada pada dirimu hingga kami dapat menerima kamu kembali?”

Nira terdiam. Jiwa tuanya kembali menjadi bangsat dan keparat. Ia berkata dengan lidah tajam tanpa sedikit pun sumpah serapah,

“Kalian bilang sudah berubah. Kalian bilang kalian paham. Tapi kalian ingin saya berubah.”

Nira bingung. Mengapa ia harus kembali kalau mereka terus saja ingin ia berubah? Bukankah ia sudah melakukan itu berkali-kali? Bukankah mereka yang masih sama?

Jiwa tua bangsat keparat Nira mendengus. Badannya yang bungkuk terlihat tirus. Rambutnya yang abu hingga ke pinggang terlihat kusam di dalam remang-remang. Sebuah tangan diletakkannya pada pinggang. Sebelah lagi memegang tongkat tua dari kayu hutan. Kalungnya tergantung panjang. Terbuat dari biji-bijian dan belulang. Jiwanya yang tua bangsat keparat hanya mengomel dan mengomel. Berbicara pada asap yang membumbung tinggi. Katanya pada asap,

“Sudah kubilang. Sudah kubilang. Sudah kubilang. Dunia enggan berubah. Lalu mengapa kita harus berbuat hal yang sama?”

Asap yang seharusnya bergerak menuju langit, sepenuhnya diam. Seperti udara yang tiba-tiba membeku. Angin yang enggan bergerak. Marah dan kesal pada hukum-hukum fisika. Asap itu tidak mau bergerak. Geram pada dunia yang seperti itu-itu saja. Semenjak dari hutan masih rapat hingga menjadi renggang.

Maka ia menjadi angin yang tidak alami. Diam dan enggan bergerak. Ketika angin seharusnya berlari, ia memendam diri.

Diam hingga waktunya butuh berlari. Dari semuanya. Dari dunia ini. Dunia bangsat keparat yang dibuat oleh manusia lupa diri. Lupa diri dan lupa misi. Misi mencari nama Tuhan.

Kembang Wangi

Ada satu lagu yang selalu saya dengarkan ketika sedang merasa agak bingung. Lagu itu adalah “Sleeps with Butterflies” yang dibawakan oleh Tori Amos. Sebenarnya saya tidak mengerti makna sebenarnya lagu itu, tapi tetap saja saya mendengarkan lagu itu berkali-kali. Karena saya merasa lagu itu dekat sekali dengan hati. Ada rasa mengenali. Dejavu.

Baru belakangan ini saya dengarkan kembali lagu ini, dan mata saya pun berkaca-kaca. Ternyata maknanya sangat dalam. Mau tidak mau saya terinspirasi dan terciptalah “Kembang Wangi”. Tapi karena maknanya sangat mendalam, saya pun agak kacau dalam menuliskan kesan terhadap lagu ini. Tapi lumayan saja lah. Sekedar hiburan.

Tapi!

Ini adalah cerita yang ku rating “D”. Ada sedikit kevulgaran, tapi bukan itu yang membuat dia “D”. Tapi karena banyak istilah yang akan mengundang tanya, juga terdapat kegelapan yang agak aneh di dalam cerita ini.

Jadi harap hati-hati dalam membaca cerita yang kali ini. Dan seperti biasa biarkan cerita mengalir dan jangan pikirkan teknis dan EYD. Biarkan saja pikiran mengembara. Sesekali saja!

-nyaw, bercerita tentang kembang dan kupu-

***

Kembang Wangi

 laki-laki kupu-kupu

Jaka merasa heran dengan perubahan drastis kawan dekatnya yang bernama Adi. Beberapa hari yang lalu Adi begitu murung dan mukanya gelap. Kawannya itu sendu dan hampir-hampir sepenuhnya tidak berfungsi. Berhari-hari ia absen kuliah hingga hampir meninggalkan skripsi. Dosen-dosen dan petugas TU kocar-kacir mencari dirinya. Soalnya Adi sudah mendekati batas waktu DO. Sayang sekali kalau ia melewatkan tahun ini hanya karena setitik masalah kecil. Apalagi kalau bukan masalah perempuan.

Adi yang sudah hampir DO itu ditinggalkan kekasihnya. Ia perempuan cantik mungil dan pujaan hati seantero kampus. Jaka tidak heran Adi yang pecundang ditinggalkan kekasih. Mereka memang terlampau jauh. Paras maupun prestasi. Sudah keniscayaan kalau mereka akan berpisah.

Dan Adi tahu itu. Bahwa ia yang payah pasti akan ditinggalkan kekasih. Tapi meskipun Adi sudah dapat meramalkan masa depan naasnya, ia tetap terpukul oleh nasib buruknya. Akhirnya ia pun terpuruk di dalam keadaan nista. Sudah tidak tampan, tidak berprestasi, sekarang juga hampir tampak seperti orang mati. Sungguh memalukan keadaan Adi.

Tapi hari ini Jaka dibuat terheran-heran melihat keadaan Adi. Wajahnya kini cerah, riang, dan senyumnya terkembang. Ia melangkah ringan seakan ada pegas di tumit-tumitnya. Punggungnya tegak bangga dan bahunya lurus sempurna. Saat Jaka menanyakan bagaimana bisa Adi bangkit begitu cepat dari keterpurukannya, ia menjawab,

“Aku bertemu seorang perempuan.”

“Sedemikian cepat?” tanya Jaka.

Adi mengangguk dan Jaka merengut. Klasik. Masalah perempuan diatasi perempuan. Jaka mengomeli Adi habis-habisan. Mengatasi masalah yang diakibatkan perempuan dengan perempuan lain hanya akan mengulang sejarah. Dan kemungkinan penyelesaiannya akan semakin sulit. Karena perempuan pengganti akan sakit hati parah. Kalau sudah seperti itu Adi harus mengatasi dua masalah. Masalah hati laki-lakinya sendiri yang sakit dan masalah hati perempuan itu yang sakit. Merepotkan.

“Dasar bodoh. Terlalu cepat kalau kau mau pacaran lagi!” omel Jaka.

Kali ini Adi menggeleng. Masih saja wajahnya cerah. Senyumnya kini berubah menjadi cengiran. Jaka menjadi heran. Bagaimana bisa kawannya yang hampir DO dan ditinggalkan kekasih begitu riang? Mungkin sebentar lagi kiamat. Mungkin terompet penanda akhir massa sudah akan ditiup. Jaka jadi was-was. Tapi ia tetap penasaran. Adi pun kembali menjawab,

“Bukan pacar, aku hanya bermain bersama seorang pelacur. Pelacur perawan.”

Jaka sudah hendak memarahi kawannya yang bernama Adi. Sudah hendak ia mengingatkannya mengenai penyakit-penyakit menular seksual yang dapat membuat kemaluan panas, gatal, impoten dan sulit pipis. Kalau mengingatkan Adi tentang dosa dan murka Tuhan, Jaka tidak suka. Karena ia bukan kyai atau dai. Ia tidak tahu hal semacam neraka. Ia hanya tahu betapa repotnya sipilis dan gonorrhae dan hal-hal semacam itu. Bodoh sekali Adi melibatkan diri semacam itu.

Jaka sudah benar-benar hendak mengomel dan memarahi. Tapi kemudian ia menyadari sebuah kontradiksi di dalam kalimat Adi. Ia berkata, “Pelacur perawan.” Mana ada hal semacam itu? Kalau sudah ditusuk berkali-kali, mana bisa perawan? Apa mungkin ia spesialis pada laki-laki yang barangnya kecil? Masa iya harus ukur dulu batang sebelum masuk ranjang? Aneh sekali! Jadi Jaka mengulang,

“Pelacur perawan?”

Kali ini Adi mengangguk dengan sikap pasti. Sambil tersenyum dan sesekali nyengir, ia ceritakan mengenai si pelacur perawan. Dan Jaka mendengar semua cerita secara seksama tanpa mengalihkan perhatian. Pada akhir cerita, Jaka putuskan bahwa ia pun akan menemui si pelacur perawan. Hanya karena penasaran.

*

Adi bilang pelacur perawan itu tinggal di sebuah tempat yang serupa lubang. Ironis. Karena ia adalah pelacur yang tidak memainkan lubang. Tempat serupa lubang itu berada di bawah sebuah jembatan layang. Jadi tempatnya berisik sekali. Karena di atasnya mobil lalu lalang dan berbunyi jedak jeduk ketika menyentuh pertemuan ruas jembatan yang sudah mulai renggang. Tapi ketika malam tiba, jembatan layang itu menjadi sepi dan lubang sembunyi si pelacur perawan menjadi tenang. Dan di saat seperti itulah si pelacur perawan akan menyebarkan baunya. Serupa sebuah kembang. Makanya ia bernama Kembang Wangi.

Dan ke lubang di bawah jembatan inilah Jaka pergi. Karena di sana ada Kembang Wangi. Si pelacur perawan yang menyembuhkan kawannya bernama Adi. Dan menurut Adi, konon katanya semua lelaki mendapat hasil yang serupa dengan dirinya. Merasa segar dan hidup. Padahal tidak menusukkan apapun. Hanya bertemu saja dengan si Kembang Wangi. Ketika Jaka menanyakan tepatnya bagaimana itu bisa terjadi, Adi hanya tersenyum dan berkata Jaka perlu menemuinya sendiri.

Oleh karena itu, Jaka pergi, sekitar jam dua dini hari. Ketika orang lain sedang tahajud, Jaka malah pergi mencari pelacur yang bernama Kembang Wangi. Setelah mengendap-ngendap dengan perasaan hati yang tidak karuan dan takut ditodong preman, ketemulah rumah gelap persembunyian si pelacur perawan. Dan benar saja, saking gelapnya rumah itu, tempatnya sudah menyerubai lubang. Tapi masa sih di tempat yang tidak menarik seperti ini tinggal seorang pelacur perawan?

Lama Jaka mematung di depan lubang. Di luar dugaan, terbukalah pintu depan dan keluarlah seorang perempuan. Kulitnya putih mulus dan rambutnya sedikit ikal bergelombang hingga ke pinggang. Matanya tidak terlalu besar tapi bercahaya lembut di bawah bulu mata yang memberi bayang teduh. Hidungnya kecil dan mancung. Bibirnya pun mungil dan merah manis seperti warna jambu air. Pakaian yang dikenakannya adalah sebuah gaun asimetris berwarna hitam. Membalutnya longgar hingga sedikit melayang ketika angin malam bertiup.

Jaka merasakan suatu keanehan. Menurutnya perempuan itu pastilah bukan seorang pelacur. Karena meskipun cukup manis dan menarik, ia tidak menggoda maupun mengundang. Lekuk perempuannya tidak mengajaknya untuk pergi ke ranjang. Mereka hanya menonjol dan membentuk gelombang serupa ombak lautan tenang.

Jadi pada awalnya Jaka merasa telah melakukan kesalahan. Pasti ia salah rumah. Mana mungkin perempuan yang tidak tampak mengundang itu adalah seorang pelacur? Lalu diingatnya cerita Adi. Bahwa Kembang Wangi selalu memakai gaun hitam. Juga meskipun cantik, kau tidak akan pernah mau mengajaknya ke ranjang. Apakah mungkin Jaka tidak salah orang? Maka ia pun bertanya,

“Apakah kamu yang bernama Kembang Wangi? Si pelacur perawan?”

Perempuan manis itu mengangguk dan tersenyum. Bibirnya melekuk tapi Jaka tidak merasa itu mengundang. Bagaimana bisa? Padahal harusnya semua batang bereaksi bila bertemu perempuan cantik tanpa pertahanan di tengah malam. Tapi tidak. Jaka tidak merasakan desiran atau aliran darah apapun. Ia hanya merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang manusia. Dan ia sama sekali tidak ingat bahwa yang di hadapannya adalah seorang pelacur perawan.

“Ya betul. Silakan masuk Kang.”

Dengan sebuah gamitan kecil, Kembang Wangi menarik Jaka ke dalam lubang. Pintu lubang itu tertutup dan Jaka pun memasuki sebuah dunia yang di luar duganya. Tidak pernah ia kira di bawah jembatan berisik dan hitam, terdapat sebuah rumah berisikan seorang perempuan semacam Kembang Wangi. Jaka merasa menemukan sekuntum mawar di tengah got. Rasanya aneh sekali.

Dalamnya rumah seorang pelacur perawan ternyata pun di luar dugaan. Biasa sekali. Jaka pikir mungkin akan hiasan-hiasan seronok semacam isi toko sex toys Belanda. Atau malah kebalikannya, agak seperti kuil tempat suci sehingga lelaki kehilangan selera. Tapi tidak. Isi rumah itu biasa saja. Ada dua buah kursi, sebuah meja kayu dan lemari buku yang agak melompong. Terdapat sebuah ranjang sederhana tenpa renda. Di sebuah sudut tersembunyi dapur dan di dekatnya ada kamar mandi. Ya sudah itu saja isinya. Tidak menghilangkan maupun menggugah selera.

Meskipun begitu, Jaka tetap menelan ludah. Bagaimana pun itu adalah rumah seorang pelacur dan ia adalah seorang pelanggan. Jaka tidak yakin dengan tindakan apa yang harus diambilnya. Haruskah ia bersikap cool dan menyilang kaki. Haruskan ia mengeluarkan rayu? Jaka tidak yakin. Jadi ia mengikuti kebiasaan yang ia lihat di film. Ia pun bertanya,

“Berapa tarif sejam?”

“Sebungkus nasi kuning dan sebuah cerita untuk sebuah malam.”

“Hah? Goceng?”

“Goceng.”

Bibir Jaka mulai menipis rapat. Ia bingung dengan perkembangan situasi ini. Sebenarnya tempat pelacuran macam apa ini? Pelacur mereka tidak menggoda dan didiskon. Harusnya kan di sini lelaki menghabiskan asa di dalam batang, kok jadi begini? Ah sudahlah. Mungkin ini permainan agar Kembang Wangi membuat otaknya berputar bingung. Kalau sudah begitu mungkin laki-laki yang keblinger akan lupa untuk meniduri. Jadi untuk seterusnya pelacur itu perawan dan dapat keuntungan. Licik sekali!

Jadi Jaka yang masih muda dan berotak lihai cerdik, memutuskan mengikuti permainan. Ia merasa bahwa pelacur itu akan mempermainkannya. Mana mungkin lelaki nafsu tidak akan menerjang. Apalagi Kembang Wangi sudah mencap dirinya pelacur dan dapat dikangkang. Tidak mungkin ada pelacur yang perawan. Kalau mengaku perawan sih banyak.

“Okay.”

Tanpa banyak kata Jaka bangkit dari kursi dan menarik tubuh Kembang Wangi. Tubuh itu sempat tersentak kaget tapi kemudian melemas dalam pasrah. Jaka mendekatkan mukanya ke muka Kembang Wangi. Tatapannya mengunci hendak mengambil sebuah cium kasar. Tapi mata Jaka yang seharusnya mengirimkan pesan kekerasan dan kekuasaan malah melihat sesuatu yang lain di dalam mata Kembang Wangi yang jernih. Hal yang dilihat di dalam kedua mata si pelacur perawan membuatnya terenyuh dan lemas.

Di dalam mata coklat Kembang Wangi, Jaka melihat suatu kejernihan yang mengingatkannya pada saat-saat ia masih seorang bocah. Saat itu ia masih bau kencur.

Ah itu perumpamaan yang klise. Tapi lebih tepatnya saat Jaka masih bau seperti anak ayam yang kebasahan. Saat ia masih nakal dan terkadang keluar umbel hijau dari hidungnya. Badannya masih mungil dan hanya sepinggang lelaki dewasa. Kegemarannya adalah mencuri buah mangga tetangga. Meskipun masih sepet asam dan hijau. Ia akan bersusah payah memanjat hingga ke pucuk paling atas. Itulah kegemaran Jaka yang masih berumbel hijau.

Pada suatu hari terlihat sebuah mangga, jauh di pucuk pohon tetangga. Mangga-mangga yang lain masih hijau, tapi yang satu ini berbeda. Yang ini sudah ranum sendiri. Tidak hanya umbel Jaka yang melorot turun naik, air liurnya pun turut mengalir seperti sungai deras.

Tentu saja Jaka tidak dapat melewatkan mangga itu. Kapan lagi datang keranuman semacam itu lagi? Ah Jaka mungil perlu mengambil si ranum itu! Jadi dipanjatlah pohon tetangga, dengan bersembunyi-sembunyi dan berusaha tidak berbunyi. Karena hari itu Jaka menjadi bandit. Jadi penjahat. Jadi maling. Beringsut-ingsut ia menarik tubuh hingga ke pucuk. Tangannya terentang dan tergapai hingga ia melihat sesuatu yang mengejutkannya dari atas pucuk itu.

Jaka mungil melihat putri remaja tetangganya itu bersalin baju. Tubuhnya mulus dan ia memakai suatu baju yang berbeda dengan baju-baju milik Jaka mungil. Bentuknya membelit dada bagian atas si putri remaja. Dan ketika ia membuka kait belakangnya, terlihat bentuk-bentuk yang Jaka tidak punya. Jaka tidak tahu apa nama bentuk-bentuk itu. Tapi ia merasa malu. Merasa tidak layak melihatnya. Jadi ia berpaling. Terlalu cepat.

Dan Jaka terjatuh.

Jatuh dari pohon tetangga.

Ke dalam kubangan coklat.

Coklat seperti mata Kembang Wangi.

Jaka melepaskan tubuh Kembang Wangi dengan sebuah sentakan tiba-tiba, membuat si pelacur perawan hampir terjatuh. Keringatnya mengalir deras. Kenapa tiba-tiba ia teringat pada dosanya yang telah sekian lama? Kenapa semuanya terlihat di dalam jernih mata Kembang Wangi?

Dengan tergesa-gesa Jaka menjauh. Ia merogoh-rogoh isi saku dan mengeluarkan selembar uang. Goceng. Sesuai perjanjiannya dengan Kembang Wangi. Diulurkannya uang itu dengan tangan yang gemetar. Si pelacur perawan mengambil lembaran itu sambil berkata,

“Lalu ceritanya?”

Jaka menggeleng keras-keras. Ia lalu menawarkan selembar uang lainnya. Lembaran berwarna biru. Bertuliskan “rupiah lima puluh ribu”. Tapi Kembang Wangi menutupkan tangan Jaka dan menggelengkan kepala. Ikalnya bergoyang ketika ia berkata,

“Tidak. Aku tidak butuh lima pulu ribu. Aku butuh ceritamu. Berarti kau berhutang padaku.”

Jaka meneguk ludah. Pikirannya nanar dan berputar. Dia hendak membantah dan memaksakan uang biru itu ke dalam tangan si pelacur, tapi ia keburu takut melihat jernih mata coklatnya. Jadi ia mundur, mengangguk, dan berjalan cepat keluar dari rumah serupa lubang itu. Jalan? Mungkin tepatnya Jaka berlari seperti anak kelinci dengan buntut terbakar. Ya secepat itulah Jaka berlari.

Dan sepanjang lari itu Jaka bertanya-tanya, apakah gerangan yang berada di dalam mata Kembang Wangi? Mungkinkah semacam kutukan gypsy, ataukah santet dukun? Yang pasti Jaka merasa resah dan gelisah. Ia pun menyesali keputusannya untuk mendatangi Kembang Wangi, si pelacur perawan.

*

Sudah selang beberapa hari dari saat Jaka mendatangi rumah lubang milik Kembang Wangi. Jaka ingin melupakan kunjungan singkatnya itu. Ia pun ingin merelakan goceng yang seharusnya dia pergunakan semalam suntuk. Juga ia berniat untuk tidak pernah membayarkan hutangnya yang berbentuk satu cerita itu. Tapi entah mengapa Jaka tidak dapat melakukan semua itu.

Selama berhari-hari itu, Jaka teringat pada Kembang Wangi. Pada ikal rambutnya. Pada kulit bersihnya. Pada lekuk lembutnya. Tapi terutama ia tidak bisa lupa pada mata coklat jernihnya. Mata yang membuatnya terkenang pada dosanya. Hingga ia merinding dan bulu-bulu tangannya berdiri ngeri.

Tapi ada suatu kepuasan di dalam menatap dosanya. Kepuasan dalam kejujuran yang sedikit sakit dan nyeri. Mengingatkan Jaka pada saat ia melepaskan kepolosannya untuk pertama kali. Ketika ia tidak sadar apa itu sebenarnya makhluk perempuan. Seperti apa sih yang berada di balik baju itu.

Jaka malu sekaligus puas tertantang. Tapi ia masih enggan mengulang pengalaman itu. Karena meskipun itu memuaskan, tetap saja itu adalah dosa yang terkenang. Sungguh menyakitkan melihat kesalahannya sendiri.

Tapi entah mengapa Jaka merasa perlu menantang jernih mata itu sekali lagi. Karena entah apa yang berada dalam jernih itu kali ini dan nanti. Apa lagi kejujuran yang akan Jaka lihat? Jaka penasaran. Dan sekali lagi, sekali lagi Jaka kembali kepada rumah lubang Kembang Wangi.

*

Dan sekali menjadi dua kali. Lalu dua kali menjadi tiga kali. Tiga kali menjadi berkali-kali hingga tidak terhitung lagi. Dan selalu saja pada akhir pertemuan, Jaka hanya mengacungkan selembar goceng. Dengan tangan yang gemetaran dan keringat bercucuran. Dan selalu saja Jaka berhutang pada si pelacur perawan. Hal yang sama hingga Kembang Wangi sendiri pun jengah mengingatkan. Hingga pada suatu hari ia berkata,

“Hutang ceritamu sangat banyak Jaka! Ya ampun…. Ya sudah! Kamu jangan pulang malam ini! Sini kamu duduk di sini sambil ngopi-ngopi. Biar aku saja yang bercerita!”

Jadi dengan terpaksa Jaka duduk di salah satu kursi di rumah serupa lubang itu. Ia memilih kursi yang dekat pintu. Di bawah sadar ia sudah bersiap minggat. Kembang Wangi melihat gelagatnya dan hanya menghela napas. Dengan santai ia duduk dan menatap heran tamunya malam itu. Kembang Wangi pun berkata,

“Belum pernah aku punya pelanggan sesulit kamu sebelumnya.”

Jaka merasa tertarik dan bertanya, “Memangnya yang lain seperti apa?”

“Yang lain selalu langsung bercerita begitu menatap mataku. Dan mereka sangat puas setelah menceritakan segalanya padaku.”

“Oh begitu?”

Jaka bergerak tidak nyaman dan Kembang Wangi kembali mendesah dengan keras. Lagi-lagi ia menyatakan Jaka sebagai pelanggan yang susah lalu ia mulai bercerita. Cerita yang aneh dan sedikit magis. Mengenai keluarganya yang semuanya pelacur. Tapi semuanya perawan. Karena mereka memiliki kemampuan yang sama. Kemampuan dalam membuat lelaki lepas.

“Lelaki yang lepas itu bukan lewat sini.” Kembang Wangi menunjuk antara kaki. “Tapi lelaki yang lepas itu ada di sini.” Kembang Wangi lalu menunjuk hati.

Jaka mendengarkan cerita aneh ini dengan tertarik. Ia tidak lagi memikirkan hal-hal aneh yang terlihat di dalam mata Kembang Wangi. Ia hanya menyimak kata-kata yang keluar dari bibir yang begitu ekspresif. Mungil tetapi sesekali sedikit menyungging atau monyong saking senangnya bercerita. Lalu tubuh Kembang Wangi bergoyang dengan sedikit terlalu bertenaga ketika dengan gemas ia melanjut ceritanya.

Kembang Wangi menceritakan mengenai bagaimana ibu dan nenek-neneknya kehilangan keperawanan. Katanya itu karena akhirnya lelaki-lelaki yang biasanya hanya ulat berubah menjadi kupu-kupu. Kalau sudah menjadi kupu-kupu, lelaki itu akan terbang pergi meninggalkan para pelacur tetap perawan. Tapi tidak dengan kupu-kupu yang satu itu, yang menjadi bapak dan kakek-kakeknya.

“Akan datang satu laki-laki kupu-kupu. Dia akan terbang kembali dan mengambil perawan kami.”

Begitu kata Kembang Wangi dengan begitu pasti. Jaka pun tergelitik dengan pernyataan ini. Mau tak mau ia yang tadinya grogi, angkat bicara juga. Karena ia adalah lelaki yang tidak bisa tidak penasaran. Ia bertanya,

“Lalu setelah perawan itu diambil, apa ia akan membawa ibu dan nenek-nenekmu pergi?”

Di sini bibir mungil Kembang Wangi merapat. Pipinya memerah dan alisnya berkerut ke atas. Ujung bibirnya berkedut dan sebuah titik air mata terjatuh ketika ia menjawab,

“Tidak. Semua laki-laki kupu-kupu pasti pergi.”

Jaka terdiam. Dilihatnya gemetar di dalam tubuh Kembang Wangi. Mukanya berpaling tersembunyi di balik ikal-ikal. Tangannya terkepal gelisah di atas pangkuan. Dan Jaka tidak dapat menahan diri. Ia berdiri dan mendekat untuk memberikan sebuah rangkul.

Tubuh Kembang Wangi melunglai di dalam peluknya. Lalu Jaka menghadapkan muka si pelacur perawan menghadap dirinya. Mata mereka kembali beradu. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Tapi kali ini yang terlihat di dalam jernih itu berbeda. Berbeda sama sekali. Malam ini, di dalam jernih mata Kembang Wangi, Jaka melihat kisah yang lain. Kisah hidup Kembang Wangi yang sepi. Karena selalu ditinggalkan lelaki yang bersikap seakan-akan mereka kupu-kupu.

Dan Jaka kembali tidak menahan diri. Ia menanamkan sebuah cium. Lalu satu cium menjadi dua. Dua cium menjadi tiga. Lalu tiga cium menjadi banyak ciuman. Banyak hingga hampir tidak terhingga. Dan mereka berguling ke atas ranjang si pelacur perawan yang tidak berenda. Bergulingan hingga pelacur itu sudah tidak lagi perawan dan jaka yang tadinya hanya ulat menjadi kupu-kupu.

Dan seperti sudah diketahui Kembang Wangi, semua kupu-kupu itu pergi. Meninggalkannya hingga jiwanya sepi. Tapi kali ini sepi itu terasa hampir seperti mati. Karena Kembang Wangi punya rasa pada si pelanggan paling susahnya yang bernama Jaka.

Selain itu Jaka punya hutang yang sangat banyak pada Kembang Wangi. Hutang cerita yang sangat banyak! Kembang Wangi yang sial. Sudah dihutangi begitu banyak, ia pun penasaran dengan cerita-cerita dari kekasih hatinya bernama Jaka.

Ya. Kita doakan saja Jaka akan terbang kembali. Siapa tahu ia kupu-kupu jenis beda lagi!

Nang Ning Nung

Seorang kawan mengenalkan lagu “Geol Mujaer” yang dipopulerkan oleh Ayu Ting Ting padaku. Entah mengapa aku merasa lagu itu jarang gagal dalam menyenangkan hati yang resah. Padahal lagu itu tidak memiliki makna kehidupan yang mendalam. Hanya berisikan bait-bait menghibur pagi seorang “Mustafa” yang patah hati. Tapi lagu itu sedikit magis. Aku suka sekali dengan lagu itu. Dan selalu terpikir olehku lagu itu untuk menyenangkan orang lain.

Lalu anehnya. Ketika aku sedang ingin menyenangkan seorang kawan yang resah, terpikir olehku lagu yang dipenuhi bait “ajeb” dan “nang ning nung”. Ternyata aku sendiri pun menjadi terinspirasi oleh lagu ini. Terbayang olehku seandainya ada seekor mujair raksasa berjoget di depanku. Astaga, pasti mengasyikkan sekali! Pasti luarbiasa! Pasti spektakuler!

Ya mengapa tidak kutuliskan pemikiranku itu!

Jadi kutuliskan khayalanku tentang si ikan mujair. Dia begitu nyata hingga kupikir mungkin saja sebenarnya dia ini dedemit. Bisa jadi. Tapi geolnya begitu hebat hingga kurasa menarik untuk dibaca!

So. Selamat bergeol! Coba baca sambil mendengarkan “Geol Mujaer”. Feelnya lebih terasa. Juga. Jangan indahkan kesalahan tidak logis dalam cerita. Ini bukan cerita yang dibuat untuk menyenangkan logika!

***

Nang Ning Nung

ikan koki hitamKe arah mana pun memandang, rasanya hanya ada air, air dan air saja. Tidak. Itu tidak sepenuhnya benar. Terdapat hijau dari rambat eceng gondok. Jangan lupakan riak dari kayuh perahu bapak yang mencari ikan nila dan mas. Udara pun menggantung-gantung dekat permukaan air. Membiaskan capung-capung yang hendak kawin. Matahari masih malas menggeliat. Waduk Cirata yang biasa dihiasi terik menjadi sedikit muram. Tapi suasananya sebenarnya ramai. Karena alam tak pernah diam. Tapi bagi Ujang yang terduduk di atas warung apung, semuanya terasa senyap dan kosong. Padahal kakinya sedari tadi menjadi arahan nyamuk-nyamuk betina yang sedikit terlalu bernafsu. Tak terasa olehnya gigitan-gigitan iseng itu. Hanya hampa saja. Seperti air datar yang tidak berkesudahan. Tenang, tidak beriak tapi memenuhi dadanya.

Ujang menunggu perasaannya meluap. Harusnya dan seyogyanya memang begitu. Ia adalah seorang perjaka hampir lapuk yang sedang berada pada puncak kesialannya. Apalagi kalau bukan pekara perempuan? Masalah seorang perjaka selalu saja seorang perempuan. Perempuan berambut panjang hitam. Perempuan berkulit putih langsat. Perempuan bermata besar jeli. Perempuan berbibir merah kuncup. Perempuang berhidung bangir. Ah perempuan! Pasti selalu saja perempuan. Dan sialnya, perempuan yang membuat Ujang resah adalah perempuan dengan semua ciri-ciri itu!

Ah keparat dan sungguh sial nasib Ujang karena telah jatuh cinta pada perempuan bernama Iteung itu. Perempuan Sunda nyaris sempurna dalam elok peluk yang sangat alami. Kecantikan Sunda yang menjadi berkah sekaligus cobaan lelaki. Membuat hati sejuk sekaligus kepala beringas. Iteung, Iteung…. Nama itu dahulu terdengar merdu di telinga Ujang, tapi kini hanya hampa yang ia rasakan. Kosong hitam yang mendalam.

Seharusnya Ujang memang sedikit tahu diri. Iteung adalah kembang sedankan orang seperti Ujang apakah layak memetik kembang sehalus Iteung? Ujang menggelengkan kepala karena nista pada dirinya sendiri. Terkadang ia memang merasa pecundang. Kerja pun belum tetap, hanya sesekali menjadi kenek. Itu pun kalau ia tidak sedang ingin mengudud dan mengopi bersama teman-temannya. Ia memang ingin mengawini Iteung, tapi ia malas mencari uang mahar. Biar saja emak yang membayarkan mahar itu. Boleh jadi emaknya perlu menjual beberapa ronce kalung emas. Biar saja. Uang orangtua adalah uang anak.

Tapi Ujang merasa nista. Dan sudah tentu Iteung pun nista. Tak perduli berapa banyak perhatian yang Ujang berikan pada kembang itu, ia terus menolaknya. Penolakan pertama dan kedua masih halus. Tapi penolakan ketiga dan keempat mulai diwarnai geram. Akhirnya pada penolakan yang kelima, Iteung tidak banyak berekspresi. Rona mukanya datar dan terkendali. Dari saku rok lebarnya, ia keluarkan sebuah kertas hias terlipat. Dengan mata yang menatap lurus pada Ujang ia berkata,

“Kang, nanti datang ya.”

Ujang menatap kertas hias terlipat tersebut. Dibacanya dengan pelan-pelan karena ia tidak terlalu mahir membaca. Pecahlah hatinya ketika ia sadar bahwa kertas terlipat itu adalah undangan nikah Iteung dengan anak Pak Haji Uwok yang kaya-raya. Ujang ingin mengerang dan menangis di tempat. Kembangnya akan dipetik oleh jejaka lain. Kembang yang selama ini memenuhi khayalnya dan memberikan kehangatan pada malam-malam Bandung yang menusuk. Ah kembang itu kini milik orang lain!

Ujang tidak memberikan tanggapan sedikit pun terhadap undangan itu. Ia tidak mencaci maupun sakit hati. Ia hanya terdiam dengan pandangan kosong sampai Iteung risih sendiri dan menyingkir ke dalam rumah. Ujang baru meninggalkan halaman rumah Iteung setelah seorang kawannya mengantarkannya pulang. Emak menyambut kepulangan anak semata wayangnya dengan cemas. Barulah ia mengerti apa yang terjadi ketika melihat undangan Iteung di dalam gamitan keras anaknya. Emak menangis. Bukan karena anaknya menjadi diam tapi karena merasa malu anaknya berani mengejar kembang.

“Nak, mengapa kamu kejar Iteung itu Nak? Malu Emak Nak….”

Emak mengaduh dan menumpahkan malu. Tapi Ujang diam. Sesuatu telah mati di dalam dirinya. Kalau kembang Iteung akan dipetik dan dipelihara oleh seorang jejaka mapan dan mupuni, Ujang sebaliknya. Ia layu dan akan membusuk. Ia akan menjelma menjadi bangkai. Mayat hidup yang menghabiskan oksigen dan sesekali membuang kotoran.

“Ujang kasambet Mak. Coba kita bawa ke orang pintar Mak.”

Salah seorang sanak saudara Ujang membari nasihat pada Emak. Maka dibawalah perjaka lapuk itu menemui seorang dukun. Dukun itu lebih sering ditanya nomor seri togel. Kadang kasus sulit pun datang, seperti pasangan yang kesulitan anak. Bapak Dukun itu pun bersedia saja memberikan benih. Kalau istri yang ingin hamil itu cantik, terkadang ia tidak memungut biaya. Ia sedikit nyeleneh seperti itu.

Tapi untuk Emak yang sudah tua, dukun itu tetap meminta bayaran sebanyak 3 gram emas. Dengan berat hati Emak memberikan salah satu cincinnya. Tak apa. Emak akan lakukan apapun asal anaknya dapat eling kembali. Dukun itu menyisir janggut dengan jemari-jemari penuh alinya. Lalu ia menyalakan dupa. Dengan sedikit berlebihan, hanya agar terlihat lebih bonafid, ia memasukkan potongan bubuk petasan. Emak melompat sedikit terkejut dari tempatnya duduk. Ujang tidak berkutik. Masih kosong pulalah dirinya itu. Dukun itu merapal mantra seakan-akan meminta sebuah petuah. Ia mengangguk-ngangguk seakan sedang dibisiki seorang makhluk tak kasat mata. Emak merinding. Kalau ia tidak menyerahkan emas dan merasa sayang telah setengah jalan, mungkin saat itu ia sudah ngacir.

Tak lama kemudian dukun itu membuka mata dan berkata, “Bawa Ujang ke Cirata. Dia perlu bergoyang mujair. Tapi ingat! Dilirik boleh. Disuka boleh. Tapi jangan diraba! Apalagi dibawa!”

Emak membelalakkan mata dalam sebuah tanya. Ia ingin bertanya macam-macam tapi dukun itu malah menggerakkan tangannya dalam sebuah tanda usir. Emak pun pasrah dan berterimakasih atas bantuan dukun nyeleneh itu dan dibawanya anaknya yang berhati kosong kembali ke rumah. Di rumah, emak hanya duduk terdiam memandangi Ujang yang berwajah kosong. Sempat muncul rasa jengkel dalam hatinya ketika diperhatikannya baik-baik anak yang telah keluar dari rahimnya sendiri. Sudah anak itu tidak tampan tampang, Ujang pun tidak tampan budi. Mungkin itu didapatkannya dari bapaknya yang memilih tinggal dengan istri keduanya yang membuka warung kopi untuk supir-supir truk berplat E. Mungkin memang Emak saja yang tidak ketulungan sial. Punya anak buruk rupa dan watak dan sekarang gila segala.

“Eling…. Eling…. Ingat dengan Gusti Pangeran….”

Emak mengusap nyeri pada dadanya. Tak apalah ia bersabar. Mungkin itu jatahnya yang hanya seorang penjual nasi kuning. Lumayan untuknya. Nanti sabarnya akan dibayar dengan surga. Begitu kata Bapak Ustadz pengajian. Tak apalah bersabar. Mungkin pula Ujang akan eling lagi. Malah ia mungkin akan menjadi anak yang lebih baik dari sebelumnya.

Harapan Emak membuncah. Optimis mulai memenuhi rongga dadanya seperti bubur lemu hangat. Ya, pasti semua beres untuk Emak yang baik hati. Ia pun segera teringat kalau ia memiliki saudara yang kebetulan sekali membuka warung apung di pinggir waduk Cirata. Ah ini pasti pertanda! Ini pasti rejeki! Ini pasti tanda Tuhan telah mengasihi Emak!

Berkat kecanggihan teknologi yang menyebabkan kemudahan komunikasi, butuh waktu tak lama bagi Emak untuk meminta tolong pada saudaranya yang tinggal di warung apung Waduk Cirata untuk menjemput anak “stress”nya. Dengan menggunakan mobil pickup carry berwarna hitam, sepupu Ujang yang bernama Asep telah menunggu di depan gang rumah Emak dan Ujang. Asep sebaya dengan Ujang. Mereka telah melakukan banyak kenakalan bersama. Mulai dari mencuri mangga-mangga dan kelapa-kelapa muda tetangga, hingga menonton pertunjukan dangdut koplo pertama. Melihat keadaan Ujang antara waras dan setengah gila, Asep menjadi prihatin. Dibantunya sepupunya itu naik ke dalam mobil pickup dan mereka pun melaju ke Cirata dengan kecepatan tidak tanggung-tanggung. Emak melambaikan tangan cemas. Hatinya mengharap besar bahwa anaknya dapat eling. Harapan itu seperti sebuah gelembung. Tapi tak lama kemudian harapan itu terasa diombang-ambing di antara duri-duri ketika melewati rumah Iteung yang mulai dihiasi janur. Terkutuklah kembang yang telah melayukan anaknya! Tapi Emak pasrah. Ia pun kalau menjadi Iteung akan menolak Ujang.

Sebenarnya Ujang mengalami perjalanan yang sedikit membahayakan jiwa menuju Cirata. Sudah tidak terhitung berapa kali Asep menyalip truk-truk dengan seloroh cabul pada pantat mereka dengan terlalu semangat. Seakan-akan dipanasi, truk-truk itu menyalipnya kembali dan menantang sebuah duel jalanan. Asep yang pening melihat sepupunya yang tanpa ekspresi pun meladeni. Terjadi aksi saling menyabet dan mendahului. Untung aksi itu tidak terlalu lama karena terlihat sebuah motor polisi terparkir di pinggir jalan. Elinglah Asep dan sopir-sopir truk. Mereka pun melajukan kendaraan masing-masing dengan tenang.

Sesampainya di warung apung milik Asep, diturunkanlah Ujang. Masih juga perjaka lapuk itu tampak tidak bernyawa. Asep merasa perih. Ia menyumpah dan membuang ludah. Sedikit gelisah ia mencari-cari rokok di dalam sakunya. Sial, anjing keparat. Hanya tersisa wadah yang kosong saja. Bensin pematik pun menghilang tanpa jejak. Asep menggaruk-garuk kepalanya seperti seorang pemadat frustasi ketika kemudian Ujang angkat bicara.

“Sep, kenapa banyak air? Kita di laut? Aku takut laut.”

Mata Asep berkaca-kaca mendengar sepupunya yang tiba-tiba bersuara. Setitik air mata melarikan diri di ujung matanya yang telah keriput lebih dini akibat keseringan terpapar asap djisamsoe. Dengan gaya sedikit terlalu digagahkan, Asep menggamit lengan sepupu dekatnya itu dan berkata dengan riang.

“Kita akan nonton geol Mujair. Mau ya Jang?”

“Kapan Sep?”

“Besok malam. Besok!”

Maka “besok” yang dijanjikan dipenuhi oleh geol Mujair itu ditunggu oleh Ujang. Tidak dengan riang ataupun tidak sabaran. Hanya dalam bahasa tubuh yang terlampau diam. Tapi setidaknya Ujang menunggu geol mujair itu datang. Orang yang peka dapat melihatnya. Karena pandangan perjaka lapuk itu jauh memandang Cirata yang seperti sebuah laut kecil. Padahal kan Ujang telah berujar ia takut pada laut. Tapi demi geol Mujair, ia rela memandangi ketakutannya.

Sialnya. Asep tidak tahu apa itu geol Mujair. Kalau tembang geol Mujair yang dipopulerkan oleh Ayu Ting Ting sih ia sangat fasih. Tapi masa iya Asep perlu menghadirkan Ayu Ting Ting? Lagipula Ayu Ting Ting sedang sibuk bingung sendiri karena kehilangan Ting Tingnya pada lelaki kurang ajar tidak bertanggung jawab. Mungkin Ayu Ting Ting perlu berganti nama menjadi Laila Canggung. Karena ia sedang bingung. Seperti Asep. Bingung karena telanjur menjanjikan geol Mujair pada sepupu kurang warasnya.

Menjelang ashar, Asep sudah menyerah. Ia mengaku mengarang-ngarang janji pada Ujang dan mengajaknya untuk bersenang-senang di diskotek yang baru buka di pinggir Purwakarta. Di luar dugaan Ujang menolak dengan sebuah gelengan kepala tegas.

“Tidak Sep. Aku mau nunggu geol Mujair. Kata ikan-ikan mas ia sedang bersolek sebelum manggung. Ia nanti akan muncul sehabis maghrib.”

Asep mengernyit dan terkejut. Apa maksud sepupunya itu? Ia memutuskan untuk tidak ambil banyak pusing. Selorohan tidak masuk akal sudah pasti akan keluar dari sepupu kurang warasnya itu. Oleh karenanya Asep pun duduk di sebelah Ujang. Dinyalakannya sebatang samsoe dan dihabiskan rokok itu lamat-lamat. Sambil merenungi nasib. Sambil membayangkan Iteung-nya sendiri yang bernama Euis. Sambil dilamunkannya tubuh Euis akan menjadi miliknya. Ah khayalan-khayalan perjaka lapuk yang tiada akhir. Sedih dibawakan nyiur banyu.

Waktu berlalu cepat bila kau asyik melamun dalam sendu. Itulah yang dirasakan oleh Asep. Tiba-tiba saja terdengar sayup suara adzan maghrib di kejauhan. Matahari pun mulai menggurat-gurat jingga lembayung yang indah. Asep sudah hendak beranjak masuk ke dalam warung karena pamali di luar rumah ketika maghrib tiba. Bisa-bisa ia berakhir tanpa akal seperti sepupunya Ujang. Tapi Ujang menggamit lengannya kuat-kuat sehingga mau tak mau Asep membeku dalam diam.

“Tunggu. Tunggu! Sebentar lagi ia akan keluar! Kurasakan itu!”

Terpaksa Asep kembali duduk. Ada suatu dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri. Sedikit waswas ia memandang kiri dan kanan. Jangan-jangan sepupunya itu telah dibisiki oleh kunti atau tuyul. Siapa tahu! Asep merinding dan meneteskan keringat cemas. Otaknya berputar-putar hendak mencari sebuah elakan untuk masuk ke dalam warung ketika tiba-tiba terdengar suara penembang yang jernih dan merdu dari tengah-tengah waduk.

“Digeol-geol mujaer…. Nang ning nung. Nang ning nung….”

Asep membelalakkan mata. Telinganya merasa sedap mendengar suara itu. Suara itu menggetarkan hatinya yang terdalam. Seakan-akan diharuskan untuk bergoyang, ia spontan berdiri menyambut suara indah itu. Ternyata bukan hanya dirinya saja yang merasakan getaran itu, Ujang pun sama. Mata sepupunya itu berkaca-kaca penuh haru dan kagum. Dari mulutnya ia berseru,

“Datang dia Sep! Datang!”

Dan dari tengah-tengah waduk tiba-tiba terlihat pemandangan yang paling menakjubkan. Sebentuk bayang melompat dari tengah-tengah air sehingga terbentuk sebuah ombak cipratan yang hebat. Air memercik ke mana-mana. Anehnya air yang biasa anyir dan agak keruh, malah wangi dan berwarna-warni. Dengan meredanya cipratan, bentuk itu menjadi jelas. Ternyata itu adalah seekor mujair! Mujair paling mutakhir dengan ukuran sebesar manusia. Mujair-mujair biasanya berwarna abu-abu yang jemu, tapi tidak untuk mujair yang ini. Sisiknya pelangi dan warna-warna memantul dari tubuh montoknya. Hari sudah maghrib, tapi rasanya seperti matahari sudah bangun terlalu cepat dan meletakkan dirinya di dalam sisik-sisik indah itu. Di dalam sirip-sirip megah si mujair. Dan di dalam suara indah si mujair. Oh indah sekali! Tidak ada seorang biduan pun yang dapat menyamai suara itu!

“Mustafa oh Mustafa, urat syarafmu tegang, biar saya obati dengan goyang mujaer…. Ya ya ya ya….”

Bibir tebal mujair itu bergerak-gerak dengan erotik. Mata hitam besarnya memandang Ujang dan Asep berganti-ganti dengan sebuah kerling menggoda. Menyadari dirinya telah membuat kagum, ia mengepakkan tubuhnya melenggok di udara dengan ayu. Sebuah desir melewati diri kedua perjaka yang baru kali ini disuguhi pertunjukan sedemikan spektakuler. Mereka tersihir ke dalam suara merdu si ikan mujair. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa di atas pulau eceng gondok, bermunculan sosok-sosok yang memainkan berbagai alat musik seperti calung dan rebana. Di mata mereka hanya terdapat mujair dan goyang geolnya. Habislah mereka dirayu oleh ikan cantik itu!

“Ajep ajep ajep ajep ajep ajep ajep….”

Pada bait “ajeb” yang tidak berkesudahan, si mujair mendekati kedua pemuda itu. Ia melenggok dan memamerkan sisik-sisiknya tanpa malu. Silau dan menggairahkan bagi kedua pemuda. Mujair itu mengelilingi mereka berganti-ganti seakan-akan sedang menimbang-nimbang antara kedua pemuda itu mana yang lebih ia sukai. Ia akan mengajak pemuda yang paling menarik untuk bertayub. Tapi mujair itu masih bingung, antara Ujang dan Asep, manakah yang lebih menarik bagi dirinya?

Asep menarik karena ia sedikit bengal. Lelaki sekali. Mujair itu juga mengetahui bahwa Asep senang membawakan mobilnya secara uring-uringan ketika kesal. Itu menarik hati si mujair. Lelaki yang sedikit pemarah dan mudah naik pitam selalu menggetarkan insangnya dengan riang.

Tapi mungkin Ujang lebih menarik. Karena lelaki itu tidak sepenuhnya berada di sana. Yang berada di waduk itu hanyalah sebuah tubuh yang setara dengan cangkang kosong. Jiwanya bersama seorang gadis bernama Iteung. Menarik! Mujair itu merasa tertantang karena merasa keberadaannya disaingin oleh gadis lain yang dianggap lebih molek dari dirinya. Ah ini tidak boleh! Dilarang membandingkan mujair ayu ini dengan gadis kampungan sebangsa Iteung.

Maka mujair itu mengibaskan ekornya sebagai sebuah gamitan dan ajakan agar Ujang bertayub dengannya. Melenggoklah mujair itu. Sisik-sisiknya berkilat-kilat menakjubkan. Warna-warna pelangi bermunculan. Cantik sekali. Sangat cantik. Lebih daripada kibaran rambut tebal Iteung. Lebih daripada mata bulat hitam jelinya. Lebih dari goyang pinggul gadisnya yang polos. Oh tidak polos! Geol mujair tidaklah polos! Tapi sensual dan tidak membumi. Geol itu! Geol itu membawa kedua perjaka itu melayang ke sebuah negeri antah berantah. Negeri di mana para perempuan tidak menolak mereka, malah mengagung-agungkan mereka. Negeri di mana merekalah yang tertampan dan tidak diperlukan motor ninja untuk menyatakan kekayaan. Ah geol-geol mujair! Ujang dan Asep tidak ingin berhenti. Ujang sampai menitikkan air mata haru.

Tapi hal-hal indah tentu perlu berakhir. Ikan mujair itu pun menembang penutup lagu. Sedikit lirih. Dengan sedikit terlalu menyesal. Tapi ada sedikit rayu di dalamnya. Suaranya jernih tapi gemetar dengan kadar ayu pas ketika diperdengarkannya penutup,

“Boleh dilirik. Boleh disuka. Jangan diraba. Jangan diraba.

“Boleh dilihat. Boleh dipandang. Jangan dibawa. Jangan dibawa.”

Mujair melenggok. Sosoknya memudar dan kerling warna-warna sisiknya mulai memudar. Ujang meratap dan meraung tidak terima. Asep tiba-tiba tersadar dan dirinya terkesiap melihat mujair seukuran manusia sedang melenggok-lenggok menuju tengah waduk. Ujang benar-benar tidak terima oleh kepergian ikan mujair ayu itu. Ia merengsek maju sebelum sepupunya sempat mencegah tindakan nekadnya. Ujang menggamit ekor si mujair dengan sangat tiba-tiba. Ikan mujair itu terkejut. Sangat terkejut. Ia membalikkan badan dan mata hitamnya memandang lurus ke Ujang yang sudah kasmaran setengah mati padanya. Asep membelalak. Bagaimana kalau Ujang diseret oleh ikan itu ke dasar waduk? Tubuh Asep gemetar tak karuan antara takut dan kejut. Tapi Ujang? Ujang begitu yakin tidak ingin ditinggalkan mujair itu! Mujair sensual dengan geolnya itu!

Mujair itu terdiam. Lelaki terakhir yang meraba dan memegangnya berakhir naas. Ditenggelamkannya lelaki sok itu. Lelaki itu berpikir bahwa segala yang melenggok dan bergoyang di depannya meminta dimiliki. Tidak! Itu salah besar! Mujair itu hanya senang dengan geol dan irama riang. Tapi ia bukan milik lelaki manapun! Mujair itu merdeka. Ia adalah seorang putri air. Dan sudah sepantasnya ia tidak dimiliki oleh siapapun.

Tapi ada sesuatu yang lain di dalam binar Ujang. Ada suatu kesungguhan. Suatu kepolosan. Suatu kelip yang tidak ada pada sekian lelaki yang mencari hangat di dalam geol mujair itu. Rasa itu menjalar pada tubuh dingin si mujair. Entah mengapa rasanya hangat. Mujair itu tidak pernah merasakan hangat sebelumnya. Baru kali pertama ia rasakan perasaan itu. Dan pengantar perasan itu adalah seorang perjaka lapuk bernama Ujang.

Mujair itu tertantang. Lagi-lagi tertantang.

Ia pun membalikkan badan sepenuhnya. Diulurkannya sebuah siripnya pada Ujang yang kasmaran. Rasa kasmaran itu mengalir. Seperti sengat. Seperti sentak. Sebuah perasaan ganjil tapi nyaman. Pandangan Mata si mujair terus tertempel pada kesungguhan yang terpancar dari mata Ujang. Rasa hangat itu terus mengalir. Terus mengalir. Dari telapak tangan ke sirip. Dari telapak tangan ke telapak tangan yang berasal dari sirip.

Mujair itu telah berganti rupa menjadi seorang gadis. Asep lagi-lagi terbelalak. Ia terjungkal ke belakang dan terkencing di celana ketika Ujang menarik gadis itu keluar dari waduk. Gadis mujair itu basa dari ujung kepala hingga kaki, tapi ia cantik sekali. Lebih dari Iteung. Lebih dari Euis. Dari tubuh langsatnya menetes titik-titik air yang malah menjadi akseseoris keayuannya. Rambutnya panjang hitam lebat, hampir mencapai betis. Hidungnya kecil mancung. Bibirnya rekah dalam merah yang menggoyahkan hati. Tapi ada satu kekurangan. Satu kekurangan yang menjadi penanda dirinya bukan manusia.

Insang.

Di lehernya ada insang.

Ujang membuka bajunya dan mengenakannya pada tubuh polos basa si Gadis Mujair. Dikecupnya dahi gadis itu dengan sayang dan gadis itu merona tersipu. Dengan perasaan sayang, Ujang merapikan rambut si gadis mujair. Dan mereka saling bertatapan. Lama. Penuh sayang. Bertukaran kasih. Sedangkan Asep? Asep memandangi insang pada leher gadis itu dengan ngeri.

“Tuhan. Adakah aku yang kini menjadi edan?” batin Asep dengan hati waswas kebat-kebit.

Tapi tidak. Asep tidak edan. Karena pada keesokan harinya, Ujang menjadi gunjingan tetangga-tetangganya. Mereka menggunjing mengenai Ujang yang menggandeng perempuan yang 1000 kali lebih cantik dari Iteung ketika menghadiri pernikahan perempuan yang pernah digilainya itu. Pengantin pria pun hampir turun pelaminan karena tergoda oleh kecantikan perempuan gandengan Ujang. Iteung hampir dibuatnya menangis meraung-raung kembali ke rumah karena malu. Tapi bintang gunjingan tentu saja bukan Ujang, tapi perempuan gandengan itu. Entah mengapa perempuan itu bersedia digandeng oleh Ujang yang dianggap pecundang. Sundalkah dia? Edankah dia? Entahlah, tapi kalaupun perempuan itu bersandiwara, ia melakukannya sangat baik. Karena ia merona di saat yang pas ketika Ujang mengusap rambutnya. Ia pun tersenyum di saat yang mantap ketika lengannya digamit.

Tak seorang pun sadar satu hal ganjil dari perempuan itu. Hal ganjil yang tentu akan menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaan di dalam hati mereka. Mengenai keanehan si perempuan yang memilih pecundang. Oh andaikan saja mereka lebih jeli, tentu mereka akan melihatnya! Sepasang insang di leher si gadis yang lebih ayu dari Iteung. Oh mengerikan!

Hanya Asep saja yang melihat sepasang insang itu.

Juga Emak. Emak yang tajam indera karena telah mengandung Ujang selama 9 bulan menyadari insang itu. Berderai-derai air matanya. Anaknya telah diaku oleh dedemit!

Oh Emak yang malang! Sudah punya anak pecundang, sempat edan, kini ia berjodoh dengan ikan! Nasib oh nasib! Nasib nestapa yang dibawa sebuah goyang! Sebuah giteuk geol mujaer! Oh Gusti Pangeran apa artinya ini semua!

“Nang ning nung. Nang ning nung.”

Gadis gandengan Ujang menembangkan “Geol Mujaer” di kawinan Iteung. Bergetarlah hati para hadirin. Bergetar tanpa sadar bahwa mereka sedang benar-benar dirayu oleh seekor mujair. Dan Ujang hanya sumringah dan bangga terhadap gadis mujair ayunya. Dia lebih cantik dari Iteung. Dia lebih mencintainya dari Iteung. Ikan itu lebih segala-galanya dari Iteung.