Topeng Monyet

Kadang saya pikir semua orang itu bahagia. Tapi pengertian bahagia orang-orang berbeda. Dan perbedaan itulah yang sering membuat kaget. Lalu karena tidak paham, ada kemungkinan kita akan mengatai orang lain itu gila dan tidak dapat membedakan derita dan bahagia.

Ya sering sih saya pikir begitu.

Tapi beberapa kali saya pikir, kemungkinan besar aku salah memandang apa-apa yang ada di luar saya. Dan kesalahan itu adalah karena aku tidak dapat memandang diri saya sendiri dengan obyektif.

Kupikir itu masalah. Tadinya kupikir begitu. Tapi aku berpikir lagi, dan mungkin memang seharusnya seperti itu. Karena ini adalah dunia. Yang serba abu-abu. Dan kalau Bu Mariska Lubis bilang, “Seperti koin”. Ya aku setuju. Dunia yang serba bipolar.

Yang bipolar itu katanya mirip saya. Jadi sebenarnya saya ini adalah orang yang lumayan seiring semesta. Karena dapat berbalik dengan cepat.

Oleh karena itu tiba-tiba saya teringat “Topeng Monyet”. Melalui tulisan ini aku mencari arti rasaku pada Topeng Monyet. Kasihan tapi kok tertawa. Mungkin itu adalah bagian hati yang hitam.

Tapi meskipun hati ini hitam, bukan berarti saya setuju pada perbudakan. Ah tidak. Saya percaya tidak seorang makhluk pun dibuat agar dapat terbiasa pada perbudakan. Apapun bentuknya!

Jadi selamat membaca dan mungkin selamat berpikir ulang.

-nyaw, jungkir balik-

***

Topeng Monyet

hidung belang resize

Sebuah artikel mengenai perbudakan monyet sedang menjadi sorotan utama akhir-akhir ini. Saat membuka situs sosial media apapun, orang-orang akan membagikan artikel yang dimuat pada sebuah koran berbahasa Inggris itu. Dengan bahasa jurnalistik yang berapi-api dan begitu yakin pada kebenaran, sipenulis artikel menguraikan secara rinci mekanisme perbudakan monyet di Indonesia. Bagaimana naasnya monyet itu dirantai dengan temali di leher dan tidak diberikan makanan yang layak. Bagaimana menjijikkannya kandang si monyet dan juga rumah si pemelihara monyet yang tinggal di pinggir-pinggir selokan bau. Dan bagaimana mengerikannya intaian penyakit rabies yang berdiam di dalam liur monyet-monyet tidak terurus itu.

Menurut si penulis, sementara si pemelihara monyet ongkang-ongkang kaki, monyet-monyet ini diperbudak dan disuruh melakukan trik-trik. Entah mengapa trik-trik itu menarik hati orang Indonesia, bagi orang-orang bule semua yang dilakukan oleh si monyet begitu mengerikan. Apa lucunya menonton monyet menaiki sepeda sambil membawa keranjang dan memakai topeng yang terbuat dari bekas boneka bayi plastik. Menakutkan. Humor rendahan. Tapi orang-orang Indonesia tertawa. Tergelitik oleh semacam rasa lucu yang gelap dari sajian Topeng Monyet.

Pagi hari itu aku menyaksikan Topeng Monyet yang ramai diperbincangkan itu. Dalam hati aku berusaha untuk memalingkan muka. Malu karena semua kawan telah mencemooh dan mencerca kebiasaan menonton Topeng Monyet. Juga malu karena bersikap biadab. Setidaknya menurut ukuran-ukuran orang bule itu. Lagian memang kasihan monyet itu. Ngapain juga makhluk yang seharusnya sedang berayun dari pohon-pohon, berjungkiran di atas aspal panas karena si pemelihara monyet mendesis galak.

Tapi mau tidak mau, aku menonton sajian Topeng Monyet itu. Habisnya lampu merah jalan di bawah jembatan layang itu lama sekali. Ada mungkin sekitar lebih dari 180 detik. Dan selama 180 detik itu, si monyet sudah “ke pasar”, “pakai bedak” dan “ngudud”. Atraksi-atraksi biasanya dari pengamen Topeng Monyet. Dan selama melakukan itu, si monyet memakai topeng boneka bayi plastik yang sudah rongsokan. Di tempat yang seharusnya terlukis mata, malah terdapat dua bolong. Seakan-akan itu akan bedanya bagi si monyet. Mereka kan sudah rutin melakukan semua atraksi. Sekian desisan dan sekian tarikan rantai artinya menggaruk atau membungkuk. Mungkin sebuah sentakan artinya si monyet perlu jungkir balik. Hal-hal yang rutin. Hal-hal yang biasa saja.

Jadi untuk 180 detik aku menonton Topeng Monyet. Dan aku mulai melupakan rasa malu dan cerca massa. Hanya ada aku dan atraksi si monyet. Lalu anehnya aku tertawa. Entah apa yang lucu dari atraksi si monyet. Aku sendiri tidak mengerti. Andaikan saja aku dapat melihat wajah si monyet yang bekerja begitu kerasnya, mungkin aku akan mengerti mengapa aku mengeluarkan sebuah tawa. Mungkin.

Tapi 180 detik itu keburu berakhir. Ternyata 180 detik tidak selama yang kubayangkan. Dan aku terpaksa menginjak gas dan meninggalkan perempatan di bawah jembatan layang itu. Menyetir dengan sedikit ugal-ugalan. Karena sebenarnya aku berangkat terlambat pagi itu. Jadi aku harus bergegas kalau tidak mau dipotong gaji.

Sembari menyetir, aku teringat pada Topeng Monyet. Pada jungkir baliknya. Pada absurditas topeng yang seharusnya membuat monyet itu manis dan imut. Sebuah topeng untuk menyembunyikan seringai liar alami si monyet. Atau mungkin beberapa belek karena terlalu banyak terpapar asap knalpot. Atau mungkin agar anak-anak tidak takut pada tetes liur monyet yang dehidrasi dan hampir rabies. Topeng absurd yang seharusnya menyembunyikan semua laku dan mimik muka. Memberikan sebuah wajah palsu. Padahal yang di baliknya adalah getir dan nestapa. Mungkin banyaknya rasa rindu pada pohon dan panggilan kawan-kawan sesama monyet.

Kasihan monyet itu. Masa binatang juga pakai topeng?

Aku tiba di kantor 15 menit terlambat. Gajiku akan dipotong sejam. Pegawai HRD yang ingin terlihat banyak kerja mengomel dan mencemberutiku di depan semua orang. Padahal banyaknya orang-orang yang menonton itu adalah bawahan-bawahanku. Tapi karena dia lebih senior, aku relakan diri untuk dimarahi. Dan pegawai HRD itu senang melakukan semua itu. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bekerja keras dari siapapun di tempat itu dan aku adalah si orang gila yang terlambat 15 menit. Bajingan yang perlu dibasmi karena tidak memiliki etos kerja dan perlu dihilangkan dari muka bumi.

Dan aku menunduk dan membiarkan pegawai HRD itu memarahiku habis-habisan. Saking sudah terbiasanya mendengar omelan dan amarah. Dan pikiranku kembali kepada Topeng Monyet dan si monyet yang berjungkir balik di bawah sentakan rantai si pemelihara monyet. Dan aku terkenang pada topeng boneka bayi plastik busuk yang mengerikan. Dengan mata kosong menatap ruang di mana dua kilat liar berusaha menatap. Tapi kemudian hanya padam terkena sentak dan sengat rantai. Menjadi lubang kosong sementara si monyet kembali berjungkir. Karena pemelihara monyet menghendakinya bergerak demikian. Harus seperti itu. Karena benar monyet itu adalah budak.

Lalu mengapa aku menertawakan seorang budak?

Setelah pegawai HRD itu puas mempermalukanku di hadapan semua orang, aku melangkahkan kaki menuju meja kerjaku. Atasanku dan beberapa rekan kerjaku telah menunggu kedatanganku. Mereka tampak cemas sekaligus lega melihat kedatanganku. Dengan segera aku dikerubuti dan ditumpahi oleh berbagai masalah. Semua masalah yang sama pentingnya. Tidak satu pun dapat menunggu temannya. Sebenarnya aku merasa jengah. Merasa tidak suka pada mereka yang selalu saja memberi tanya tanpa berusaha berdiskusi. Hatiku dongkol karena lagi-lagi aku dianggap dapat melakukan magic. Menyelesaikan semua masalah secara dadakan dan cepat. Padahal kupikir bukan seperti itu cara yang baik untuk menghadapi masalah. Tidak baik mengandalkan magic.

Tapi meskipun hatiku cemberut, wajahku netral dan malah tersenyum.

Seperti topeng boneka bayi plastik yang dikenakan oleh si monyet.

Mungkin itu yang membuat orang Indonesia tertawa saat menonton Topeng Monyet. Di dalam sudut hati yang dalam, mungkin monyet yang bersembunyi di balik topeng mengingatkannya pada dirinya sendiri. Keharusan untuk tertawa ketika menangis. Tekanan untuk bersyukur pada saat hati masih kufur. Kekangan berekspresi karena mengikuti budaya yang dianggap lebih global dan membumi. Mungkin bule tidak mengerti hal semacam itu. Tidak mengerti gelitik lucu di dalam kehidupan yang kelam.

Asal tahu. Kami Indonesia menyebutnya “bahagia”.

Kembang Wangi

Ada satu lagu yang selalu saya dengarkan ketika sedang merasa agak bingung. Lagu itu adalah “Sleeps with Butterflies” yang dibawakan oleh Tori Amos. Sebenarnya saya tidak mengerti makna sebenarnya lagu itu, tapi tetap saja saya mendengarkan lagu itu berkali-kali. Karena saya merasa lagu itu dekat sekali dengan hati. Ada rasa mengenali. Dejavu.

Baru belakangan ini saya dengarkan kembali lagu ini, dan mata saya pun berkaca-kaca. Ternyata maknanya sangat dalam. Mau tidak mau saya terinspirasi dan terciptalah “Kembang Wangi”. Tapi karena maknanya sangat mendalam, saya pun agak kacau dalam menuliskan kesan terhadap lagu ini. Tapi lumayan saja lah. Sekedar hiburan.

Tapi!

Ini adalah cerita yang ku rating “D”. Ada sedikit kevulgaran, tapi bukan itu yang membuat dia “D”. Tapi karena banyak istilah yang akan mengundang tanya, juga terdapat kegelapan yang agak aneh di dalam cerita ini.

Jadi harap hati-hati dalam membaca cerita yang kali ini. Dan seperti biasa biarkan cerita mengalir dan jangan pikirkan teknis dan EYD. Biarkan saja pikiran mengembara. Sesekali saja!

-nyaw, bercerita tentang kembang dan kupu-

***

Kembang Wangi

 laki-laki kupu-kupu

Jaka merasa heran dengan perubahan drastis kawan dekatnya yang bernama Adi. Beberapa hari yang lalu Adi begitu murung dan mukanya gelap. Kawannya itu sendu dan hampir-hampir sepenuhnya tidak berfungsi. Berhari-hari ia absen kuliah hingga hampir meninggalkan skripsi. Dosen-dosen dan petugas TU kocar-kacir mencari dirinya. Soalnya Adi sudah mendekati batas waktu DO. Sayang sekali kalau ia melewatkan tahun ini hanya karena setitik masalah kecil. Apalagi kalau bukan masalah perempuan.

Adi yang sudah hampir DO itu ditinggalkan kekasihnya. Ia perempuan cantik mungil dan pujaan hati seantero kampus. Jaka tidak heran Adi yang pecundang ditinggalkan kekasih. Mereka memang terlampau jauh. Paras maupun prestasi. Sudah keniscayaan kalau mereka akan berpisah.

Dan Adi tahu itu. Bahwa ia yang payah pasti akan ditinggalkan kekasih. Tapi meskipun Adi sudah dapat meramalkan masa depan naasnya, ia tetap terpukul oleh nasib buruknya. Akhirnya ia pun terpuruk di dalam keadaan nista. Sudah tidak tampan, tidak berprestasi, sekarang juga hampir tampak seperti orang mati. Sungguh memalukan keadaan Adi.

Tapi hari ini Jaka dibuat terheran-heran melihat keadaan Adi. Wajahnya kini cerah, riang, dan senyumnya terkembang. Ia melangkah ringan seakan ada pegas di tumit-tumitnya. Punggungnya tegak bangga dan bahunya lurus sempurna. Saat Jaka menanyakan bagaimana bisa Adi bangkit begitu cepat dari keterpurukannya, ia menjawab,

“Aku bertemu seorang perempuan.”

“Sedemikian cepat?” tanya Jaka.

Adi mengangguk dan Jaka merengut. Klasik. Masalah perempuan diatasi perempuan. Jaka mengomeli Adi habis-habisan. Mengatasi masalah yang diakibatkan perempuan dengan perempuan lain hanya akan mengulang sejarah. Dan kemungkinan penyelesaiannya akan semakin sulit. Karena perempuan pengganti akan sakit hati parah. Kalau sudah seperti itu Adi harus mengatasi dua masalah. Masalah hati laki-lakinya sendiri yang sakit dan masalah hati perempuan itu yang sakit. Merepotkan.

“Dasar bodoh. Terlalu cepat kalau kau mau pacaran lagi!” omel Jaka.

Kali ini Adi menggeleng. Masih saja wajahnya cerah. Senyumnya kini berubah menjadi cengiran. Jaka menjadi heran. Bagaimana bisa kawannya yang hampir DO dan ditinggalkan kekasih begitu riang? Mungkin sebentar lagi kiamat. Mungkin terompet penanda akhir massa sudah akan ditiup. Jaka jadi was-was. Tapi ia tetap penasaran. Adi pun kembali menjawab,

“Bukan pacar, aku hanya bermain bersama seorang pelacur. Pelacur perawan.”

Jaka sudah hendak memarahi kawannya yang bernama Adi. Sudah hendak ia mengingatkannya mengenai penyakit-penyakit menular seksual yang dapat membuat kemaluan panas, gatal, impoten dan sulit pipis. Kalau mengingatkan Adi tentang dosa dan murka Tuhan, Jaka tidak suka. Karena ia bukan kyai atau dai. Ia tidak tahu hal semacam neraka. Ia hanya tahu betapa repotnya sipilis dan gonorrhae dan hal-hal semacam itu. Bodoh sekali Adi melibatkan diri semacam itu.

Jaka sudah benar-benar hendak mengomel dan memarahi. Tapi kemudian ia menyadari sebuah kontradiksi di dalam kalimat Adi. Ia berkata, “Pelacur perawan.” Mana ada hal semacam itu? Kalau sudah ditusuk berkali-kali, mana bisa perawan? Apa mungkin ia spesialis pada laki-laki yang barangnya kecil? Masa iya harus ukur dulu batang sebelum masuk ranjang? Aneh sekali! Jadi Jaka mengulang,

“Pelacur perawan?”

Kali ini Adi mengangguk dengan sikap pasti. Sambil tersenyum dan sesekali nyengir, ia ceritakan mengenai si pelacur perawan. Dan Jaka mendengar semua cerita secara seksama tanpa mengalihkan perhatian. Pada akhir cerita, Jaka putuskan bahwa ia pun akan menemui si pelacur perawan. Hanya karena penasaran.

*

Adi bilang pelacur perawan itu tinggal di sebuah tempat yang serupa lubang. Ironis. Karena ia adalah pelacur yang tidak memainkan lubang. Tempat serupa lubang itu berada di bawah sebuah jembatan layang. Jadi tempatnya berisik sekali. Karena di atasnya mobil lalu lalang dan berbunyi jedak jeduk ketika menyentuh pertemuan ruas jembatan yang sudah mulai renggang. Tapi ketika malam tiba, jembatan layang itu menjadi sepi dan lubang sembunyi si pelacur perawan menjadi tenang. Dan di saat seperti itulah si pelacur perawan akan menyebarkan baunya. Serupa sebuah kembang. Makanya ia bernama Kembang Wangi.

Dan ke lubang di bawah jembatan inilah Jaka pergi. Karena di sana ada Kembang Wangi. Si pelacur perawan yang menyembuhkan kawannya bernama Adi. Dan menurut Adi, konon katanya semua lelaki mendapat hasil yang serupa dengan dirinya. Merasa segar dan hidup. Padahal tidak menusukkan apapun. Hanya bertemu saja dengan si Kembang Wangi. Ketika Jaka menanyakan tepatnya bagaimana itu bisa terjadi, Adi hanya tersenyum dan berkata Jaka perlu menemuinya sendiri.

Oleh karena itu, Jaka pergi, sekitar jam dua dini hari. Ketika orang lain sedang tahajud, Jaka malah pergi mencari pelacur yang bernama Kembang Wangi. Setelah mengendap-ngendap dengan perasaan hati yang tidak karuan dan takut ditodong preman, ketemulah rumah gelap persembunyian si pelacur perawan. Dan benar saja, saking gelapnya rumah itu, tempatnya sudah menyerubai lubang. Tapi masa sih di tempat yang tidak menarik seperti ini tinggal seorang pelacur perawan?

Lama Jaka mematung di depan lubang. Di luar dugaan, terbukalah pintu depan dan keluarlah seorang perempuan. Kulitnya putih mulus dan rambutnya sedikit ikal bergelombang hingga ke pinggang. Matanya tidak terlalu besar tapi bercahaya lembut di bawah bulu mata yang memberi bayang teduh. Hidungnya kecil dan mancung. Bibirnya pun mungil dan merah manis seperti warna jambu air. Pakaian yang dikenakannya adalah sebuah gaun asimetris berwarna hitam. Membalutnya longgar hingga sedikit melayang ketika angin malam bertiup.

Jaka merasakan suatu keanehan. Menurutnya perempuan itu pastilah bukan seorang pelacur. Karena meskipun cukup manis dan menarik, ia tidak menggoda maupun mengundang. Lekuk perempuannya tidak mengajaknya untuk pergi ke ranjang. Mereka hanya menonjol dan membentuk gelombang serupa ombak lautan tenang.

Jadi pada awalnya Jaka merasa telah melakukan kesalahan. Pasti ia salah rumah. Mana mungkin perempuan yang tidak tampak mengundang itu adalah seorang pelacur? Lalu diingatnya cerita Adi. Bahwa Kembang Wangi selalu memakai gaun hitam. Juga meskipun cantik, kau tidak akan pernah mau mengajaknya ke ranjang. Apakah mungkin Jaka tidak salah orang? Maka ia pun bertanya,

“Apakah kamu yang bernama Kembang Wangi? Si pelacur perawan?”

Perempuan manis itu mengangguk dan tersenyum. Bibirnya melekuk tapi Jaka tidak merasa itu mengundang. Bagaimana bisa? Padahal harusnya semua batang bereaksi bila bertemu perempuan cantik tanpa pertahanan di tengah malam. Tapi tidak. Jaka tidak merasakan desiran atau aliran darah apapun. Ia hanya merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang manusia. Dan ia sama sekali tidak ingat bahwa yang di hadapannya adalah seorang pelacur perawan.

“Ya betul. Silakan masuk Kang.”

Dengan sebuah gamitan kecil, Kembang Wangi menarik Jaka ke dalam lubang. Pintu lubang itu tertutup dan Jaka pun memasuki sebuah dunia yang di luar duganya. Tidak pernah ia kira di bawah jembatan berisik dan hitam, terdapat sebuah rumah berisikan seorang perempuan semacam Kembang Wangi. Jaka merasa menemukan sekuntum mawar di tengah got. Rasanya aneh sekali.

Dalamnya rumah seorang pelacur perawan ternyata pun di luar dugaan. Biasa sekali. Jaka pikir mungkin akan hiasan-hiasan seronok semacam isi toko sex toys Belanda. Atau malah kebalikannya, agak seperti kuil tempat suci sehingga lelaki kehilangan selera. Tapi tidak. Isi rumah itu biasa saja. Ada dua buah kursi, sebuah meja kayu dan lemari buku yang agak melompong. Terdapat sebuah ranjang sederhana tenpa renda. Di sebuah sudut tersembunyi dapur dan di dekatnya ada kamar mandi. Ya sudah itu saja isinya. Tidak menghilangkan maupun menggugah selera.

Meskipun begitu, Jaka tetap menelan ludah. Bagaimana pun itu adalah rumah seorang pelacur dan ia adalah seorang pelanggan. Jaka tidak yakin dengan tindakan apa yang harus diambilnya. Haruskah ia bersikap cool dan menyilang kaki. Haruskan ia mengeluarkan rayu? Jaka tidak yakin. Jadi ia mengikuti kebiasaan yang ia lihat di film. Ia pun bertanya,

“Berapa tarif sejam?”

“Sebungkus nasi kuning dan sebuah cerita untuk sebuah malam.”

“Hah? Goceng?”

“Goceng.”

Bibir Jaka mulai menipis rapat. Ia bingung dengan perkembangan situasi ini. Sebenarnya tempat pelacuran macam apa ini? Pelacur mereka tidak menggoda dan didiskon. Harusnya kan di sini lelaki menghabiskan asa di dalam batang, kok jadi begini? Ah sudahlah. Mungkin ini permainan agar Kembang Wangi membuat otaknya berputar bingung. Kalau sudah begitu mungkin laki-laki yang keblinger akan lupa untuk meniduri. Jadi untuk seterusnya pelacur itu perawan dan dapat keuntungan. Licik sekali!

Jadi Jaka yang masih muda dan berotak lihai cerdik, memutuskan mengikuti permainan. Ia merasa bahwa pelacur itu akan mempermainkannya. Mana mungkin lelaki nafsu tidak akan menerjang. Apalagi Kembang Wangi sudah mencap dirinya pelacur dan dapat dikangkang. Tidak mungkin ada pelacur yang perawan. Kalau mengaku perawan sih banyak.

“Okay.”

Tanpa banyak kata Jaka bangkit dari kursi dan menarik tubuh Kembang Wangi. Tubuh itu sempat tersentak kaget tapi kemudian melemas dalam pasrah. Jaka mendekatkan mukanya ke muka Kembang Wangi. Tatapannya mengunci hendak mengambil sebuah cium kasar. Tapi mata Jaka yang seharusnya mengirimkan pesan kekerasan dan kekuasaan malah melihat sesuatu yang lain di dalam mata Kembang Wangi yang jernih. Hal yang dilihat di dalam kedua mata si pelacur perawan membuatnya terenyuh dan lemas.

Di dalam mata coklat Kembang Wangi, Jaka melihat suatu kejernihan yang mengingatkannya pada saat-saat ia masih seorang bocah. Saat itu ia masih bau kencur.

Ah itu perumpamaan yang klise. Tapi lebih tepatnya saat Jaka masih bau seperti anak ayam yang kebasahan. Saat ia masih nakal dan terkadang keluar umbel hijau dari hidungnya. Badannya masih mungil dan hanya sepinggang lelaki dewasa. Kegemarannya adalah mencuri buah mangga tetangga. Meskipun masih sepet asam dan hijau. Ia akan bersusah payah memanjat hingga ke pucuk paling atas. Itulah kegemaran Jaka yang masih berumbel hijau.

Pada suatu hari terlihat sebuah mangga, jauh di pucuk pohon tetangga. Mangga-mangga yang lain masih hijau, tapi yang satu ini berbeda. Yang ini sudah ranum sendiri. Tidak hanya umbel Jaka yang melorot turun naik, air liurnya pun turut mengalir seperti sungai deras.

Tentu saja Jaka tidak dapat melewatkan mangga itu. Kapan lagi datang keranuman semacam itu lagi? Ah Jaka mungil perlu mengambil si ranum itu! Jadi dipanjatlah pohon tetangga, dengan bersembunyi-sembunyi dan berusaha tidak berbunyi. Karena hari itu Jaka menjadi bandit. Jadi penjahat. Jadi maling. Beringsut-ingsut ia menarik tubuh hingga ke pucuk. Tangannya terentang dan tergapai hingga ia melihat sesuatu yang mengejutkannya dari atas pucuk itu.

Jaka mungil melihat putri remaja tetangganya itu bersalin baju. Tubuhnya mulus dan ia memakai suatu baju yang berbeda dengan baju-baju milik Jaka mungil. Bentuknya membelit dada bagian atas si putri remaja. Dan ketika ia membuka kait belakangnya, terlihat bentuk-bentuk yang Jaka tidak punya. Jaka tidak tahu apa nama bentuk-bentuk itu. Tapi ia merasa malu. Merasa tidak layak melihatnya. Jadi ia berpaling. Terlalu cepat.

Dan Jaka terjatuh.

Jatuh dari pohon tetangga.

Ke dalam kubangan coklat.

Coklat seperti mata Kembang Wangi.

Jaka melepaskan tubuh Kembang Wangi dengan sebuah sentakan tiba-tiba, membuat si pelacur perawan hampir terjatuh. Keringatnya mengalir deras. Kenapa tiba-tiba ia teringat pada dosanya yang telah sekian lama? Kenapa semuanya terlihat di dalam jernih mata Kembang Wangi?

Dengan tergesa-gesa Jaka menjauh. Ia merogoh-rogoh isi saku dan mengeluarkan selembar uang. Goceng. Sesuai perjanjiannya dengan Kembang Wangi. Diulurkannya uang itu dengan tangan yang gemetar. Si pelacur perawan mengambil lembaran itu sambil berkata,

“Lalu ceritanya?”

Jaka menggeleng keras-keras. Ia lalu menawarkan selembar uang lainnya. Lembaran berwarna biru. Bertuliskan “rupiah lima puluh ribu”. Tapi Kembang Wangi menutupkan tangan Jaka dan menggelengkan kepala. Ikalnya bergoyang ketika ia berkata,

“Tidak. Aku tidak butuh lima pulu ribu. Aku butuh ceritamu. Berarti kau berhutang padaku.”

Jaka meneguk ludah. Pikirannya nanar dan berputar. Dia hendak membantah dan memaksakan uang biru itu ke dalam tangan si pelacur, tapi ia keburu takut melihat jernih mata coklatnya. Jadi ia mundur, mengangguk, dan berjalan cepat keluar dari rumah serupa lubang itu. Jalan? Mungkin tepatnya Jaka berlari seperti anak kelinci dengan buntut terbakar. Ya secepat itulah Jaka berlari.

Dan sepanjang lari itu Jaka bertanya-tanya, apakah gerangan yang berada di dalam mata Kembang Wangi? Mungkinkah semacam kutukan gypsy, ataukah santet dukun? Yang pasti Jaka merasa resah dan gelisah. Ia pun menyesali keputusannya untuk mendatangi Kembang Wangi, si pelacur perawan.

*

Sudah selang beberapa hari dari saat Jaka mendatangi rumah lubang milik Kembang Wangi. Jaka ingin melupakan kunjungan singkatnya itu. Ia pun ingin merelakan goceng yang seharusnya dia pergunakan semalam suntuk. Juga ia berniat untuk tidak pernah membayarkan hutangnya yang berbentuk satu cerita itu. Tapi entah mengapa Jaka tidak dapat melakukan semua itu.

Selama berhari-hari itu, Jaka teringat pada Kembang Wangi. Pada ikal rambutnya. Pada kulit bersihnya. Pada lekuk lembutnya. Tapi terutama ia tidak bisa lupa pada mata coklat jernihnya. Mata yang membuatnya terkenang pada dosanya. Hingga ia merinding dan bulu-bulu tangannya berdiri ngeri.

Tapi ada suatu kepuasan di dalam menatap dosanya. Kepuasan dalam kejujuran yang sedikit sakit dan nyeri. Mengingatkan Jaka pada saat ia melepaskan kepolosannya untuk pertama kali. Ketika ia tidak sadar apa itu sebenarnya makhluk perempuan. Seperti apa sih yang berada di balik baju itu.

Jaka malu sekaligus puas tertantang. Tapi ia masih enggan mengulang pengalaman itu. Karena meskipun itu memuaskan, tetap saja itu adalah dosa yang terkenang. Sungguh menyakitkan melihat kesalahannya sendiri.

Tapi entah mengapa Jaka merasa perlu menantang jernih mata itu sekali lagi. Karena entah apa yang berada dalam jernih itu kali ini dan nanti. Apa lagi kejujuran yang akan Jaka lihat? Jaka penasaran. Dan sekali lagi, sekali lagi Jaka kembali kepada rumah lubang Kembang Wangi.

*

Dan sekali menjadi dua kali. Lalu dua kali menjadi tiga kali. Tiga kali menjadi berkali-kali hingga tidak terhitung lagi. Dan selalu saja pada akhir pertemuan, Jaka hanya mengacungkan selembar goceng. Dengan tangan yang gemetaran dan keringat bercucuran. Dan selalu saja Jaka berhutang pada si pelacur perawan. Hal yang sama hingga Kembang Wangi sendiri pun jengah mengingatkan. Hingga pada suatu hari ia berkata,

“Hutang ceritamu sangat banyak Jaka! Ya ampun…. Ya sudah! Kamu jangan pulang malam ini! Sini kamu duduk di sini sambil ngopi-ngopi. Biar aku saja yang bercerita!”

Jadi dengan terpaksa Jaka duduk di salah satu kursi di rumah serupa lubang itu. Ia memilih kursi yang dekat pintu. Di bawah sadar ia sudah bersiap minggat. Kembang Wangi melihat gelagatnya dan hanya menghela napas. Dengan santai ia duduk dan menatap heran tamunya malam itu. Kembang Wangi pun berkata,

“Belum pernah aku punya pelanggan sesulit kamu sebelumnya.”

Jaka merasa tertarik dan bertanya, “Memangnya yang lain seperti apa?”

“Yang lain selalu langsung bercerita begitu menatap mataku. Dan mereka sangat puas setelah menceritakan segalanya padaku.”

“Oh begitu?”

Jaka bergerak tidak nyaman dan Kembang Wangi kembali mendesah dengan keras. Lagi-lagi ia menyatakan Jaka sebagai pelanggan yang susah lalu ia mulai bercerita. Cerita yang aneh dan sedikit magis. Mengenai keluarganya yang semuanya pelacur. Tapi semuanya perawan. Karena mereka memiliki kemampuan yang sama. Kemampuan dalam membuat lelaki lepas.

“Lelaki yang lepas itu bukan lewat sini.” Kembang Wangi menunjuk antara kaki. “Tapi lelaki yang lepas itu ada di sini.” Kembang Wangi lalu menunjuk hati.

Jaka mendengarkan cerita aneh ini dengan tertarik. Ia tidak lagi memikirkan hal-hal aneh yang terlihat di dalam mata Kembang Wangi. Ia hanya menyimak kata-kata yang keluar dari bibir yang begitu ekspresif. Mungil tetapi sesekali sedikit menyungging atau monyong saking senangnya bercerita. Lalu tubuh Kembang Wangi bergoyang dengan sedikit terlalu bertenaga ketika dengan gemas ia melanjut ceritanya.

Kembang Wangi menceritakan mengenai bagaimana ibu dan nenek-neneknya kehilangan keperawanan. Katanya itu karena akhirnya lelaki-lelaki yang biasanya hanya ulat berubah menjadi kupu-kupu. Kalau sudah menjadi kupu-kupu, lelaki itu akan terbang pergi meninggalkan para pelacur tetap perawan. Tapi tidak dengan kupu-kupu yang satu itu, yang menjadi bapak dan kakek-kakeknya.

“Akan datang satu laki-laki kupu-kupu. Dia akan terbang kembali dan mengambil perawan kami.”

Begitu kata Kembang Wangi dengan begitu pasti. Jaka pun tergelitik dengan pernyataan ini. Mau tak mau ia yang tadinya grogi, angkat bicara juga. Karena ia adalah lelaki yang tidak bisa tidak penasaran. Ia bertanya,

“Lalu setelah perawan itu diambil, apa ia akan membawa ibu dan nenek-nenekmu pergi?”

Di sini bibir mungil Kembang Wangi merapat. Pipinya memerah dan alisnya berkerut ke atas. Ujung bibirnya berkedut dan sebuah titik air mata terjatuh ketika ia menjawab,

“Tidak. Semua laki-laki kupu-kupu pasti pergi.”

Jaka terdiam. Dilihatnya gemetar di dalam tubuh Kembang Wangi. Mukanya berpaling tersembunyi di balik ikal-ikal. Tangannya terkepal gelisah di atas pangkuan. Dan Jaka tidak dapat menahan diri. Ia berdiri dan mendekat untuk memberikan sebuah rangkul.

Tubuh Kembang Wangi melunglai di dalam peluknya. Lalu Jaka menghadapkan muka si pelacur perawan menghadap dirinya. Mata mereka kembali beradu. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Tapi kali ini yang terlihat di dalam jernih itu berbeda. Berbeda sama sekali. Malam ini, di dalam jernih mata Kembang Wangi, Jaka melihat kisah yang lain. Kisah hidup Kembang Wangi yang sepi. Karena selalu ditinggalkan lelaki yang bersikap seakan-akan mereka kupu-kupu.

Dan Jaka kembali tidak menahan diri. Ia menanamkan sebuah cium. Lalu satu cium menjadi dua. Dua cium menjadi tiga. Lalu tiga cium menjadi banyak ciuman. Banyak hingga hampir tidak terhingga. Dan mereka berguling ke atas ranjang si pelacur perawan yang tidak berenda. Bergulingan hingga pelacur itu sudah tidak lagi perawan dan jaka yang tadinya hanya ulat menjadi kupu-kupu.

Dan seperti sudah diketahui Kembang Wangi, semua kupu-kupu itu pergi. Meninggalkannya hingga jiwanya sepi. Tapi kali ini sepi itu terasa hampir seperti mati. Karena Kembang Wangi punya rasa pada si pelanggan paling susahnya yang bernama Jaka.

Selain itu Jaka punya hutang yang sangat banyak pada Kembang Wangi. Hutang cerita yang sangat banyak! Kembang Wangi yang sial. Sudah dihutangi begitu banyak, ia pun penasaran dengan cerita-cerita dari kekasih hatinya bernama Jaka.

Ya. Kita doakan saja Jaka akan terbang kembali. Siapa tahu ia kupu-kupu jenis beda lagi!

Telanjang Hari Ini

Saya membaca sebuah quote dari Tohari. Katanya seorang penulis harus memiliki sesuatu yang tidak dia setujui dan hal itu dijadikan konflik yang dia pelajari lewat tulisan. Meskipun saya penulis yang masih abal-abal, saya sepakat dengan konsep ini. Dan satu hal yang tidak bisa saya terima sampai saat ini adalah konsep mengenai penyamaan pengungkapan perasaan dengan kevulgaran. Bukankah itu bertentangan dengan hasil-hasil tes yang menyatakan bahwa banyaknya orang Indonesia ekstrovert? Tapi begitu diajak mengungkap hal-hal dengan jujur kok malah merasa tersinggung dan terganggu? Percuma saja menjadi ekstrovert kalau yang diungkap hanyalah kebohangan sampah.

Dan jujur saja itu adalah konflik dalam hati saya.

Dan konflik itu melanjut kepada kekesalan saya dalam restriksi mengungkap diri.

Saya adalah seseorang yang senang sekali tulisan. Kata. Itu adalah sesuatu yang “saya”. Dulu saking saya sukanya dengan kata, saya mencatat kata-kata asing yang terdengar indah. Hanya karena itu menarik. Jadi saya sebenarnya sangat mencintai kata. Dan bersyukur serta kagum pada kekuatan di dalam merangkai kata. Karena emosi-emosi yang tadinya tidak bernama jadi bertuan begitu dikasih kata dan dirangkai kalimat. Tapi saya kecewa pada budaya negara Indonesia. Di mana mengungkap diri dengan jujur terbuka itu terkesan vulgar dan aib. Berkali-kali saya ditegur oleh orang-orang terdekat karena saya mengungkap diri terlalu apa adanya. Saya tahu mereka baik. Mereka tidak ingin saya diremehkan dan terluka. Tapi saya tidak dapat menerima kenyataan bahwa mengungkap perasaan itu benar-benar direstriksi sampai ke bentuk tulisan. Padahal kalau menjadi sebuah karya, kupikir semuanya indah. Ya mengganggu adalah kalau itu memaksakan kepercayaan. Nah itu sih agak ganggu.

Tapi saya kan gak maksa? Saya hanya menyatakan saja. Kadang saya tanya malah, kok saya merasa gitu. Kadang saya memberi saran. Kenapa saya dianggap vulgar dan berdosa?

Saya pikir ini adalah konflik batin hati saya. Hingga saya tidak dapat berhenti menulis dan merangkai kata. Dan mungkin itu akan mengganggu. Tapi semakin orang terganggu oleh tulisan saya, makin besar konflik dalam hati saya. dan semaki deras mengucur kata dan rangkaian kalimat.

Jadi saya masih miris dengan budaya tertutup negara ini.

Dan di luar dugaan, itu malah menjadikan saya tidak bisa berhenti menulis.

Di luar ekspektasi orang-orang yang berpendapat saya terlalu terbuka dan vulgar.

Jadi saya membuat cerita. Mengenai pergulatan saya dengan keterbukaan dan kevulgaran. Seperti apa rasanya menjadi saya yang telanjang dan memandang orang-orang yang menutup kelambunya dengan rapat dan tertutup. Alias di dalam cerita ini aku mengungkapan diri dengan telanjang. Dan maafkan teknik dan EYD. Seperti biasa, abaikan dan biarkan semua mengalir.

Seperti angin semilir.

-nyaw, telanjang tanpa kelambu-

***

Telanjang Hari ini

Sand Gods LM 08

Kota Kelambu Tertutup hari ini dibuat geger. Seorang laki-laki berjalan-jalan telanjang mengelilingi kota setiap hari. Sangat vulgar! Sangat tidak senonoh! Sangat tidak tahu adat! Padahal laki-laki itu adalah anak Pak Walikota Kelambu Tertutup. Apa laki-laki itu tidak tahu adat istiadat kota itu? Seorang warga baik diharuskan untuk selalu menutup tubuh dengan kelambu. Menutupi segala-galanya agar tidak ada yang dapat terlihat.

Awalnya memang kelambu itu hanya untuk menutupi dada hingga sedikit di atas lutut. Tapi dirasakan lutut adalah semacam hal vulgar. Orang-orang yang sering bersimpuh merasa malu pada memar pada bagian ini. Jadi kelambu itu memanjang hingga semata kaki. Tapi masa sih kaki yang kapalan karena mencari pengalaman keliling dunia ditutupi? Ya sudah kelambu itu memanjang sedikit lagi hingga melewati kaki. Lalu masalah panjang kelambu tidak hanya mencakup lutut dan kaki, bahu dan kawan-kawan pun menjadi masalah. Tadinya bahu masih boleh terlihat. Itu sah saja. Tapi kemudian seorang menunjuk bekas panggul beban pada bahu seseorang. Diejek-ejek hingga orang itu hingga tertunduk malu. Jadi lagi-lagi memanjanglah kelambu. Untuk menutupi malu karena memanggul pada bahu. Dan satu per satu orang-orang Kelambu Tertutup mengikuti semuanya itu. Dan kelambu kemudian dipanjangkan hingga ke ujung jari. Karena melihat otot-otot pada para pekerja terasa begitu vulgar dan dipenuhi aib. Jadi dipanjangkanlah kelambu. Agar tak seorang pun melihat bekas-bekas usaha kerja keras para pekerja. Tapi kelambu tidak hanya ingin memanjang sampai situ. Kelambu memanjang hingga menutupi seluruh kepala. Karena kemolekan para pemuda dan pemudi membuat iri orang-orang yang telah renta. Jadi dikatakanlah bahwa usia adalah vulgar dan lagi-lagi aib. Jadi semuanya menutupi kelambu hingga ke kepala. Agar tidak seorang pun melihat indahnya garis wajah seseorang. Terutama yang muda.

Jadi begitulah Kota Kelambu Tertutup. Kota yang dipenuhi oleh orang-orang yang berjalan-jalan dengan kain panjang dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hingga sering mereka sendiri sulit melihat dan sulit melangkah. Karena terseok belitan kain. Tidak jarang seorang warga celaka sendiri karena terperosok lubang tidak terlihat. Rumah sakit pun telah menetapkan terperosok ke dalam sebagai epidemi. Dan mereka tidak bisa melakukan apapun. Karena dokter-dokter mereka sendiri tertutup kelambu. Mereka tidak dapat melihat luka-luka orang yang terperosok lubang itu. Jadi pada umumnya mereka yang terperosok lubang karena matanya tertutup kelambu akan mati. Ya sudah saja seperti itu. Mau apa lagi? Lukanya sendiri tidak terlihat. Dan tidak semua luka menutup sendiri. Jadi ya sudah saja mati. Karena terperosok ke dalam lubang sendiri. Syukur bila ada yang melarikan ke rumah sakit. Ini sih kadang masuk saja ke dalam lubang dan tidak keluar lagi. Ya sudah. Sekalian lubang perosok menjadi liang kubur. Kebetulan mereka telah memakai kelambu. Sudah sedikit mirip mayat.

Dan bukan saja terperosok ke dalam lubang yang menjadi masalah. Masalah pendengaran pun tidak jarang terjadi. Karena kelambu itu sampai menutup gendang telinga. Karena kau tahu? Telinga dianggap bagian tubuh yang sangat duper vulgar dan aib. Karena bentuknya yang melingkar dan melekuk-lekuk dan juga berlubang. Ikh. Itu kan terlalu berlebihan. Bentuk yang terlalu vulgar. Mengingatkan pada yang lain. Jadi biasanya telinga ditutupi dengan kelambu lebih. Agar tidak mencuat dari belakang kelambu. Atau kadang lubang telinga itu disumpal. Kalau sudah disumpal kelamaan, suka timbul infeksi. Jadilah telinga itu sedikit congek, dan banyak kehilangan dengar. Jadi jangan heran kalau melihat warga Kota Kelambu Tertutup saling berteriak. Karena mereka sebenarnya kesulitan saling mendengar. Dan ini menjadi masalah. Karena terkadang terjadi miskomunikasi. Seperti seharusnya seseorang ingin membeli tempe, malah diberi mete. Kalau sudah begitu mereka akan saling meneriaki sengit. Dan tempe maupun mete tidak jadi dibeli. Karena sudah kadung kesal sendiri. Tapi itu sih sebenarnya bukan masalah yang hebat akibat kurang dengar. Pernah sekali waktu seorang bawahan walikota harusnya menutup katup bendungan. Tapi bawahan itu salah dengar “Tutup katup bendungan” sebagai “Turut keruk gundukan”. Jadi bawahan itu malah menyetujui proyek penghancuran gunung hutan sebelah timur kota dan lupa menutup katup bendungan kota. Akhirnya kota sempat kena banjir besar dari kebocoran bendungan. Dan itu semua diperparah dengan hujan yang tidak tertahan karena hilangnya gunung hutan sebelah barat.

Sebenarnya sungguh kacau masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kelambu yang tertutup. Tapi orang-orang Kelambu Tertutup sudah keburu buta dan tuli. Mereka belagak tidak ada masalah. Malah mereka sering pamer panjang dan tebal kelambu. Semakin panjang semakin kaya raya orang itu. Semakin tebal kelambu, semakin suci hati orang itu. Pokoknya pekara menutup kelambu menjadi lebih penting ketimbang masalah-masalah yang dapat menghilangkan nyawa. Orang lebih khawatir kalau kelambu mereka kurang rapat atau ketat. Karena mereka tidak ingin vulgar. Dan terutama mereka tidak ingin aib mereka terlihat. Wajah yang menarik. Bahu yang bidang. Otot yang menonjol. Lutut yang banyak bersimpuh. Kaki yang kapalan. Itu semua vulgar. Itu semua aib. Jangan seorang pun melihat. Jangan seorang pun membicarakan. Tutup kelambu itu rapat-rapat. Karena orang-orang Kota Kelambu Tertutup tahu adat. Tahu aturan. Tahu malu.

Jadi betapa mengejutkannya ketika seorang laki-laki berjalan-jalan keliling kota dengan telanjang tanpa kelambu. Tidak tahu aturan! Sudah edan laki-laki itu pasti! Mana lagi dia adalah anak Pak Walikota yang terhormat. Ah betapa malunya bapak itu memiliki anak seperti itu. Maka dipanggilkan berbagai orang untuk menasehati anak edannya itu. Pemuka agama, guru, konselor, tukang totok, dokter, herbalist. Semua dipanggil oleh Pak Walikota untuk mencari salah dalam anaknya yang tiba-tiba memutuskan telanjang. Dan semuanya gagal dalam menyembuhkan edan dalam anak laki-laki itu. Saat laki-laki itu ditanya mengapa ia memutuskan telanjang dan membuka kelambu, ia menjawab dengan santai,

“Saya ingin jatuh cinta. Kalau buta dan tuli, saya tidak akan bertemu dengan cinta. Kalau saya tidak memperlihatkan borok, tak seorang pun akan tulus mencinta. Jadi saya membuka kelambu. Saya perlihatkan segalanya yang ada pada diri saya. Saya juga melihat dan mendengar semua yang berada di sekitar saya. Dan itu hebat sekali. Karena saya yakin saya akan jatuh cinta. Saya pasti jatuh cinta. Karena saya terbuka. Meskipun kalian sekalian tertutup, saya terbuka. Dan kalian akan mencintai saya.”

Para pemuka agama, guru, konselor, tukang totok, dokter, dan herbalis semua mendengus mendengar jawaban si laki-laki anak Pak Walikota. Dalam hati mereka sudah tidak berurusan dengan seorang edan semacam ini. Mana mungkin ada orang yang akan jatuh cinta pada seseorang karena melihat borok? Itu kan vulgar. Itu kan aib. Itu kan menjijikkkan. Ya ampun harusnya laki-laki itu tahu donk gunanya kelambu. Kelambu itu justru digunakan untuk menutupi kenyataan yang menempel pada tubuh. Bodohnya laki-laki yang memutuskan untuk membuka kelambu. Kan jadi terlihat semua borok dan luka pada tubuhnya. Memalukan sekali. Pasti perasaan Pak Walikot tidak karuan. Malu dan tidak terima anaknya yang edan. Tapi itu bukan urusan mereka-mereka yang ahli. Untungnya begitu. Dan kalaupun itu urusan mereka, untung saja Pak Walikota menutup kelambu dengan paling rapat. Jadi perasaannya tidak terpancar pada wajahnya. Bagus sekali bukan. Tidak mengetahui perasaan Pak Walikota. Betapa tidak nyamannya seandainya perasaan itu diketahui. Perasaan kan aib. Perasaan kan vulgar. Jangan sampai terlihat. Jangan sampai ada yang tahu. Tutup kelambu itu rapat-rapat. Hingga seorang pun tahu. Siapa yang di balik kelambu.

Tapi laki-laki itu malah membuka kelambu. Agar ia terlihat. Agar ia terdengar. Tapi yang lebih ngeri lagi, laki-laki itu ingin melihat. Dan ia juga mendengar. Sedangkan mereka semua buta dan tuli. Akan sungguh gawat seandainya si telanjang melihat dan mendengar kevulgaran diri mereka yang tersembul lewat kelambu. Jadi para warga Kota Tertutup menutup kelambu mereka dengan lebih rapat. Karena mereka tidak ingin melihat si laki-laki berjalan telanjang. Dan terutama lagi karena mereka takut pada si laki-laki telanjang. Takut terlihat dan terdengar kevulgaran mereka di belakang kelambu tertutup. Takut laki-laki itu keburu jeli melihat siapa-siapa yang berada di balik kelambu.

Dan laki-laki itu sadar dengan perubahan kerapatan, panjang dan tebal kelambu. Ia bertanya-tanya mengapa di saat ia telanjang, orang-orang malah melakukan hal sebaliknya. Ia tidak mengira itu karena mereka takut padanya. Dipikirnya itu adalah suatu trend yang dipopulerkan seorang artis entah mana lagi. Jadi ia berjalan dengan tidak acuh. Telanjang tanpa kelambu. Dan tanpa gentar. Bergeming pada yakin. Bahwa suatu saat ia yang telanjang akan jatuh cinta. Dan seseorang pun akan jatuh cinta padanya. Karena ia telanjang. Ia terbuka. Ia apa adanya. Dan ia tidak menganggap hal-hal yang menempel pada dirinya adalah vulgar. Diperlihatkannya pada dunia semua borok dan semua luka pada tubuhnya. Dan kalau seseorang tidak mau melihat borok dan luka itu, didendangkannya lagu mengenai semua hal yang ada pada dirinya. Dengan cuek bebek. Dengan tidak peduli. Dengan sangat berani.

Hingga saat ini laki-laki itu masih telanjang. Ia berjalan di tengah kota yang penuh dengan orang berkelambu semakin hari semakin panjang. Tapi ia bergeming pada yakinnya. Bahwa suatu hari ia akan jatuh cinta. Karena borok dan luka tubuhnya kini malah bertambah. Akibat sering dilempari batu dan kaca dan diusir keluar kota. Tapi ia bergeming pada yakinnya. Tidak masalah orang tidak menyukai borok dan lukanya. Karena itu adalah punyanya. Dan suatu hari kesemuanya akan membuat seseorang jatuh cinta. Meskipun pundaknya semakin bidang karena merasa beban tidak kunjung bertemu si orang yang dicinta, kerut wajahnya bertambah dengan indah. Kerut senyum pada mata dan ujung bibir. Dan ia yakin suatu hari seseorang akan kagum pada kerut-kerut itu juga. Karena itu bukan vulgar maupun aib. Dan meskipun kakinya lelah karena kapalan mencari si orang yang dicinta, ia masih bergeming pada yakinnya. Bahwa dirinya yang telanjang akan dicinta.

Karena ia sendiripun mencinta. Meskipun semua orang berada di balik kelambu. Ia mencinta mereka. Karena ia melihat geliat kecil di balik kelambu yang rapat. Juga ia dengar getar suara rapuh mereka dari kelambu yang tertutup. Dan laki-laki telanjang itu merasa terpesona dan kagum. Pada keindahan hampir senyap yang sesekali muncul dari kelambu. Andaikan mereka semua dapat melihat dan mendengar keindahan yang muncul di depan kejeliannya. Pasti mereka akan memutuskan membuka kelambu!

Muda dan Berjuang

Kemarin keisenganku dalam mengikuti sebuah kuis tweet romantis berbuah manis. Aku memenangkan sebuah buku dari Gagas Media. Tadinya kupikir aku akan mendapat buku dari Bernard Batubara lagi, karena kuis itu diadakan bersamaan dengan acara meet and greetnya di Bandung. Tapi ternyata aku mendapat sebuah kumpulan cerpen dari AS Laksana. Ah tidak terduga! Aku belum membaca semuanya, tapi aku punya komen tentang AS Laksana:

“Quirky!”

Kurasa orang yang pandai menulis cerpen itu umumnya quirky. Karena hal-hal quirky itu membuat perhatian pembaca tersentil dengan lebih cepat. Dan itu sulit dilakukan kalau kau adalah tipe penulis yang membangun hentakan. Cerpen itu enaknya menghentak dari awal. Tapi itu umumnya saja….

murjangkung

Nah terlepas dari kemenangan manis itu. Aku diam-diam memerhatikan meet and greet Bernard Batubara ini. Kalau kau tidak mengenalnya, aku akan memberikan gambaran sedikit. Ia adalah pengarang yang berusia sekitar 26 tahun. Sudah 7 tahun menulis dan sudah menerbitkan 7 buku. Umumnya genrenya adalah cerita romance untuk remaja. Secara reguler ia ngetwit di @benzbara_ dan mengisi blognya bisikanbusuk.com.

Kembali kepadaku yang memerhatikan meet and greet ini. Aku mengikutinya karena aku diharuskan mengambil hadiah langsung di acaranya. Acara itu dilangsungkan di CFD Dago hari ini, sambil Bernard Batubara melakukan wawancara dengan radio 99ers. Aku datang sedikit terlalu pagi, sehingga aku melihat sendiri kedatangan Bernard Batubara ini. Dia membawa gundukan buku sendiri dan menggendong gitar. Nah membawa yang macam-macam lagi hanya dibantu 2 orang personalia Gagas Media yang masih muda-muda. Mereka tampak fokus sehingga tidak memerhatikan aku yang memelajari mereka.

Ketiga anak muda itu menebar meja stand dan banner sendiri. Merapi-rapikan buku sendiri. Bahkan menawarkan sendiri buku Bernard Batubara yang baru launching itu. Tanpa malu dan tanpa bingung loh. Dilakukan begitu saja. Sambil ngelive tweet segala! Aku salut sekali!

Yang lebih membuatku salut adalah begini. Kupikir Bernard Batubara dan tim Gagas Media ini sangat percaya keperluan dalam menyebarkan cerita dari buku terbarunya Bernard Batubara ini. Usaha mereka menampakkan bahwa cerita ini perlu berjalan. Perlu bernapas. Perlu orang tahu. Perlu dimiliki. Dan itu keren. Kupikir usaha seperti ini keren karena menunjukkan totalitas dalam unjuk karya.

Dan ini memberiku sebuah ide. Tentang sebuah budaya yang sudah lama mati dan kayaknya akan menarik bila dihidupkan kembali. Aku berpikir bahwa dengan lebih dekatnya budaya Indonesia untuk menyebar cerita lewat gaya “gosip”, alangkah baiknya bila karya seperti cerpen dan novel disampaikan oleh orang-orang yang berprofesi “raconteur”. Raconteur artinya pendongeng. Sepertinya itu menarik. Mengetahui cerita melalui gaya yang vintage yaitu didongengkan oleh orang lain. Kan seru. Ceritanya juga bisa lebih hidup.

Sepertinya menarik sekali kalau budaya lawas dihidupkan oleh jiwa yang muda. Apa jadinya ya! Semoga ada yang terinspirasi untuk memulai nih. Kalau aku sih… Aku takut malah merusak ceritanya… Suaraku cempreng sekali sih….

-nyaw, raconteur on paper-

Melodi Tiga Dara

Aduh aku bikin tulisan aneh. Sebenarnya idenya adalah menunjukkan bahwa di dalam diri perempuan itu bisa banyak kepribadian yang berbeda dan bertentangan, tapi eksekusiku lemah…. Aku lemah hari ini…. Jadinya tulisan yang tidak jelas seperti ini. Ah ya sudahlah. Tidak masalah. Ini adalah eksperimen dalam mengeksekusi konsep kuat tapi jadinya seadanya saja. Tidak apa. Mungkin lain kali.

Pada cerita ini, dipakai ending terbuka. Karena aku nyontek salah satu kawan menulis. Boleh donk? Kubilang sih boleh. Tapi mungkin ending terbuka itu bukan sesuatu yang berkhas aku. Karena aku sendiri merasa begitu OCD untuk memberikan konklusi. Itu mengganggu.

Tapi kali ini kubiarkan gatal itu menang. Sekali-kali. Biar otak tertantang.

Selamat membaca dan selamat berpusing-pusing. Aku tidak heran kalau ada yang bilang, “nggak ngerti”. Ada kemungkinan aku sendiri pun nggak ngerti-ngerti amat, jadi kalian yang sempat membaca harus mengerti. Demi pengetahuan! Demi kewarasan!

-nyaw, off tune-

***

Melodi Tiga Dara

Hot

Berbicara tentang perempuan tidak ada habisnya. Keindahan dalam perempuan begitu banyaknya sehingga seseorang yang bekerja sebagai notulen tidak akan habis kerjanya dalam mencatat bagian mana saja yang patut membuat diri berdecak kagum. Bola matanya saja sudah dijadikan lagu yang tidak berhenti-henti didendangkan oleh pengamen yang sedikit berjiwa lawas. Lalu beralih kepada bibir. Wah ini sih asyiknya tidak untuk dijadikan bagian karya. Mungkin untuk imajinasi pribadi. Tak jarang pula ada tulisan-tulisan yang memuat mengenai kemolekan lekuk ayu perempuan. Biasanya tulisan yang seperti ini nyastra dan nyeni. Karena lekuk perempuan itu indah dan penuh proporsi. Tapi bagaimana dengan penggambaran perempuan-perempuan yang benar, sebenar-benarnya. Apa itu tidak bisa nyastra dan nyeni?

Karena perempuan yang sebenar-benarnya beragam dan tidak hanya satu tipe. Kalau mau menyebut, yang satu lebih cantik dari yang lain, tidak semua akan bersepakat sama. Karena perbedaan palig detail dan hanya setitik pada perempuan akan mengubah selera. Misalkan satu perempuan itu memiliki pantat besar, tapi yang lainnya memiliki dada besar. Yang dipilih sebagai yang lebih menarik tentu akan menjadi debat. Seru tapi sebenarnya agak membosankan. Padahal ujung-ujungnya selera. Tiap perempuan itu berbeda. Mau pilih yang mana? Kompromi dengan yang bagaimana?

Tapi pasti lelaki itu merasa sulit bila harus memilih satu saja. Karena perempuan itu begitu beragamnya dan begitu macam-macam. Keserakahan meskipun satu, sayangnya tidak memiliki batas. Kalau memiliki kesempatan untuk memilih semua jenis perempuan, mungkin lelaki akan pilih semua. Meskipun pastinya dia akan menjadi limbung sendiri. Karena bayangkan berada dalam ruangan dengan perempuan yang berbeda-beda pribadi. Mungkin akan terjadi cekcok dan saling adu mulut tajam. Mungkin ruangan itu pun akan roboh dengan sendirinya saking tidak kuat menahan energi perempuan. Jadi tidak terbayang lelaki yang tidak dapat memilih satu perempuan. Apa dia tidak ingin pingsan? Salut untuk lelaki itu.

Selera lelaki yang plin-plan itu satu hal, tapi bagaimana dengan perasaan perempuan? Itu satu hal lain tentu. Dan merupakan sesuatu yang penting! Apalagi perempuan umumnya tidak senang dibandingkan. Ah jangankan perempuan, lelaki pun tidak suka. Itu adalah sesuatu yang manusiawi. Jadi untuk dijadikan pilihan yang kesekian dari kesekian adalah hal yang menyakitkan. Meskipun begitu, perempuan itu senang berebut lelaki. Membuat diri berpikir bahwa ia adalah pemangsa. Padahal dia jadi seperti hyena. Mengais-ngais sisa pemangsa sesungguhnya. Tapi perempuan belum sadar juga dengan rendahnya berebut mangsa. Jadi mereka akan saling berdebat dan beradu mulut. Seperti tiga orang dara yang sedang duduk berhadapan itu.

“Dia suka senyumku.”

Begitu kata perempuan yang pertama. Dia memakai sanggul chignon yang rapat. Blazernya berwarna gelap dan memeluk tubuhnya di tempat-tempat yang tepat. Roknya sedikit di atas lutut, tapi tidak vulgar ketika kakinya disilang. Terlihat sebuah intip di antara silang itu. Tidak vulgar, tapi cukup untuk membuat otak yang paling polos sekalipun bertanya ada apa di antaranya. Jadi bisa dibilang perempuan ini terlihat keren dan hebat. Selayaknya pekerja kerah putih umumnya. Rapi dan necis. Persis pupur dan eyeliner kucingnya yang tidak bercela. Semuanya dirumuskan oleh kuncup merah bibirnya yang sesekali dikulum. Agar pipinya tidak terlihat gembul. Karena pekerja kerah putih tidak gemuk. Kalau gemuk mana bisa dipromosi. Mana bisa aksi depan klien. Mana disukai lelaki? Perempuan semacam perempuan pertama ini paham betul mengenai performa. Ia rapi dan teliti. Itu khas keperempuanannya. Kekuatan yang terletak di dalam terampil tangan yang lentik dan otak yang bergerak cermat. Hal-hal yang dikagumi kaum lelaki.

“Huff! Jangan bikin aku geli. Senyum dari orang sedingin kamu? Ya senyum es abadi! Mungkin sebenarnya dia bukan memuji tapi berharap kamu bisa tutup mulut tajam itu dan lebih banyak kesejukan batin!”

Perempuan kedua berseloroh sambil melipat tangan. Kedua tangannya tersembunyi di balik gundukan dadanya yang gempal. Montok dan empuk seperti bantal. Tapi bukan bagian itu saja dari dirinya yang tampak dapat membal. Lengan, paha dan pinggulnya sama seperti itu. Perutnya tentu tidak kalah ingin bisa bikin mental. Keseluruhan perempuan itu pasti membuat siapapun yang gila proporsi sebal. Tapi tubuh perempuan itu tidak peduli akan semua cela kental. Baginya perempuan adalah yang seperti bantal. Karena di dalam perempuan yang seperti bantal, terdapat sisi perempuan yang lembut. Sisi perempuan yang manut dan hanya manggut-manggut mendengar keluh lelaki yang bebal. Juga terdapat sisi perempuan pengayom dan pengasih. Membuat hati lelaki sejuk. Membuat lelaki lupa pada kebodohannya dan ingat kekuatannya. Biasanya begitu kekuatan perempuan yang berbentuk bantal. Mereka bisa membuat lelaki santai. Dan semua ini biasanya dilakukan dengan melayani bagian paling penting dari lelaki. Perut. Jadi tidak aneh kalau perempuan yang lihai melayani perut berbentuk seperti bantal. Karena ia sendiri perlu menjadi pelayan perut pribadi sebelum dapat melayani perut lelaki.

“Kesejukan batin? Memangnya kamu ini ibunya? Jijik amat. Harusnya lelaki itu gak usah dipikirkan batinnya. Biar saja dia susah sendiri. Mikir sendiri. Kan dia bukan bayi!”

Kali ini yang bersuara adalah perempuan ketiga. Rambutnya acak adut. Entah lurus apa keriting papan. Terlalu tidak jelas. Karena semua gumpalan hitam kusut itu disatukan dalam ikatan yang tidak patut. Ia memakai baju serb gombrong sehingga tidak terlihat apa dia kurus apa gendut. Dan dia tidak memiliki ambisi untuk menunjukkan eksistensi dirinya melalui penilaian bentuk tubuh. Bahkan ia tidak ingin menunjukkan eksistensi diri sama sekali. Ia hanya ingin hidup apa adanya. Mengalir dan mengikuti arus. Tidak banyak berpikir. Tidak perlu banyak bertanya. Cukup ikuti apapun irama hidup dan berharap bisa bertahan. Tidak perlu menunjuk diri atau mengikuti aturan pasti. Toh semua itu tidak akan berarti. Semuanya akan menjadi tiada di akhir hidup ini. Jadi bagi perempuan berambut kusut ini, tidak perlu seseorang bekerja terlalu keras. Karena pada akhirnya semua orang akan menjadi debu. Makanya baginya lelaki itu tidak perlu banyak dilayani. Tidak perlu banyak didengar. Cukup disapa. Syukur-syukur kalau memang lelaki yang sejodoh dan seirama, maka pasti mereka akan berjalan bersama. Tapi kalau bukan, ya sudah. Ia tidak akan berusaha. Ia tidak mau susah. Untuk apa? Perempuan sejenis ini menarik lelaki yang tidak ingin banyak pikir. Termasuk berpikir mengenai keinginan pasangan sendiri.

Kedua perempuan itu mengernyit mendengar kata-kata perempuan yang ketiga. Kontan keduanya menghujat dan menerkam dengan menggunakan kata-kata yang tajam. Perempuan ketiga yang konon katanya serba santai dan serba tidak peduli ternyata cukup bisa memberikan kalimat-kalimat sergahan. Di antara ketiganya tidak ada yang mengalah. Tidak ada yang merendahkan suara. Pita suara mereka pasti bengkak-bengkak sehabis adu omong sehebat itu. Mungkin mereka akan membuat Mariah Carey menunduk malu karena kalah oktaf. Tapi begitulah jadinya kalau perempuan berebut satu lelaki. Tidak bisa rukun. Tidak bisa kalah. Karena semuanya memiliki pribadi yang khas. Semuanya diperhatikan secara seksama oleh seorang lelaki. Jadi sungguh celaka kalau perempuan-perempuan berebut satu lelaki. Terutama tiga yang berwatak sangat berbeda semacam ini. Jadinya perang. Jadinya payah. Mengerikan sekali.

Ketiganya terus saja menghujat dan berperang. Tiada lelah di antara mereka. Mereka adu pamer perhatian si lelaki pujaan. Dikatakan bahwa lelaki itu memuji masakan si anu, lalu dikatakan oleh yang lain bahwa si lelaki memuji program diet yang satu lagi. Ada yang bilang bahwa si lelaki menyenangi suaranya, ada yang menyanggah dengan bilang si lelaki menyukai perempuan yang banyak diam. Begitu banyak topik yang mereka gunakan untuk saling membuktikan diri bahwa hanya salah satu di antara mereka yang berhasil mendapatkan perhatian si lelaki, dan tentunya itu bukan kedua saingan di hadapannya.

“Aku yang dia sukai!”

“Aku yang dia cintai!”

“Aku yang dia sayangi!”

Mereka terus saja berdebat. Hingga mereka lupa bahwa mereka hanya opsi-opsi berderet. Pilihan kesatu, kedua dan ketiga. Perempuan yang mana? Perempuan yang mana yang dipilih oleh si lelaki untuk berkompromi selama sisa hidupnya? Apakah si perempuan pertama? Dengan kekuatannya untuk serba rapi dan teliti? Pasti ia akan cermat mengurusi keuangan rumah tangga. Apakah si perempuan kedua? Yang mengetahui cara melayani perut lelaki? Pasti ia akan membuat rumah selalu hangat. Apakah perempuan ketiga? Serba membebaskan dan tidak peduli? Pasti ia akan membuat lelaki tidak berpikir ribet. Yang mana? Perempuan yang mana yang akan dipilih oleh si lelaki?

Mereka terus saja berdebat. Berkutat pada kekuatan masing-masing dalam memesona si lelaki. Mereka begitu sibuk hingga tidak memerhatikan bahwa kursi kosong di hadapan mereka telah terisi. Oleh lelaki yang mereka ributkan sedari tadi. Lelaki yang tampak tenang dan diam. Kokoh dan terpercaya. Senyumnya yang tulus membuat tiga perempuan itu diam dan menunduk malu. Lupa akan semua tanya dan sengit. Hanya ada senyum si lelaki. Hangat hingga meresap ke dalam hati. Dan dari bibir yang tersenyum keluar kata-kata. Bariton dan berat. Menggetarkan diri tetapi menenangkan.

“Sudah lama menunggu Melodi?”

Begitu tanyanya. Pendek. Klasik dan Klise. Dan Melodi suka. Melodi cinta. Melodi sayang. Melodi merasa kesemua itu pada satu lelaki tersenyum yang di hadapnya. Tiga rasa. Tiga keperempuanan dalam jiwanya memiliki rasa yang senada pada lelaki hangat di depannya.

Tetapi kalau rasa itu senada? Lalu mengapa jiwa Melodi tidak bernyanyi sesuai irama? Hanya terdengar lagu dari tiga perempuan yang saling berdebat hingga pita-pita suara membengkak. Tiga perempuan dalam dirinya yang tidak bisa berdamai mengenai keberadaan dan perasaan mereka pada lelaki yang sama.

Harusnya ketika bertemu lelaki yang benar dan setepat ini, ketiga perempuan ini bernyanyi secara selaras dan harmonis. Bukan seperti ini. Di luar melodi dan merusak telinga jiwa. Melodi tidak paham. Mengapa tiga perempuan ini tidak bisa mengikuti melodi?

Jari Tengah

Sebenarnya hari ini saya sedang dalam mood yang super cuek dan slengean. Sangat. Saking slengean, dengan cueknya saya memutuskan untuk tidak menulis hari ini. Karena saya bisa melakukan itu. Saya merasa senang. Saya merayakan slengean.

Lalu saya berpikir mengenai kalimat-kalimat pembuka penggugah perasaan. Yang terpikir hanya suasana hati saya yang slengean. Saya menikmati sekali menjadi slengean. Mungkin karena saya orangnya senang taat aturan dan senang mempertimbangkan perasaan orang. Itu kesenangan.

Tapi di sisi lain, sebenarnya saya slengean. Dan kadang saya tidak peduli dalam menyenangkan aturan dan orang. Benar-benar perempuan yang slengean. Bahkan mengenai kepentingan sendiri, saya bisa slengean sesekali.

Dan dalam mood slengean ini, saya melakukan hal-hal yang aneh. Saya mengedit cerpen dan mengirimkannya ke Kompas. Karena saya bisa melakukan hal itu. Lalu saya mengirim sebuah novlet ke Bentang. Meskipun saya sudah ditolak 3 kali. Karena saya bisa melakukan itu.

Dan sebagai puncak perayaan slengean. Saya menulis sebuah racauan yang tidak beralur dan tidak bertujuan. Hanya karena saya bisa. Temanya tentang mengacungkan jari tengah. Karena saya bisa. Tapi aku sedikit teringat Doraemon lalu merasa iba. Karena Doraemon tidak bisa. Dia kan tidak punya jari tengah!

Tapi ada yang tidak saya bisa ternyata. Saya tidak bisa berhenti membuat sebuah karya. Manusiawi sekali.

-nyaw, manusia-

***

Jari Tengah

 palm line resize

Perempun itu berjongkok. Kedua tangannya tertangkup dengan jari-jari menyilang dan saling menggamit. Rambutnya sebahu dan kusut. Matanya berbinar dan berkilat. Lalu senyumnya mengembang membentuk huruf “U” yang menyenangkan. Lalu bibirnya itu membuka, menunjukkan sederetan gigi yang tidak sepenuhnya rapi dan dipenuhi gingsul. Matanya menyipit ketika melakukan semua ini. Dan bersamaan dengan itulah, diangkatlah tangan kanannya. Lalu ia mengacung satu jari. Jari tengah. Dan ia berkata,

“Persetan dengan Anda.”

Kalimat yang tulus. Pendek, kasar dan tepat sasar. Kalimat yang berarti benar. Karena begitulah perasaan perempuan itu. Bukan kasar dan membuat senewen. Ia hanya berkata, “Persetan dengan Anda.” Dan itu serius. Perempuan itu secara serius merasa bahwa apa yang Anda inginkan darinya hanya sesuatu yang tidak penting. Seperti seseorang yang hendak berdoa, dan setan mengompori untuk mengurungkan niat, seseorang itu berkata,

“Persetan dengan Anda.”

Ya Anda dan setan itu sama. Diusir dan dienyahkan dengan kalimat 3 kata. Apa itu menyinggung? Apa itu menyakitkan? Haruskah kau menangis? Tapi perempuan itu tidak mengatakannya dengan nada yang keras atau jengah. Malah dengan senyum. Dengan memperlihatkan gingsul. Bahkan matanya menyipit senang. Tapi kebetulan saja yang keluar adalah kalimat 3 kata,

“Persetan dengan Anda.”

Karena memang benar. Persetan dengan pendapat Anda. Persetan dengan kebutuhan Anda. Persetan dengan keinginan Anda. Persetan dengan ide Anda. Persetan dengan pemikiran Anda. Persetan dengan ukuran kesopanan Anda. Persetan dengan bentuk fisik Anda. Persetan dengan sifat Anda. Persetan dengan sikap Anda. Persetan dengan perasaan Anda. Persetan dengan harapan Anda. Intinya,

“Persetan dengan Anda.”

Dan perempuan berambut kusut itu jujur. Dia tidak bohong. Malah itu adalah pendapatnya yang jujur. Mengenai apa yang berada di dalam hatinya pada detik ini. Bahwa semua yang dipikirkan oleh lawan bicaranya bukanlah urusannya. Otak orang itu kan tidak terpasang pada badannya. Sehingga wajar saja kalau ia berkata,

“Persetan dengan Anda.”

Dengan senyum mengembang bebas. Dengan gingsul manis menonjol. Dengan mata menyipit riang. Kenapa lelaki-lelaki itu perlu senewen? Kenapa perlu mengatur hal-hal yang dianggap tidak sopan? Kenapa perlu membenarkan sikap dan sifat? Kenapa menetapkan aturan? Kenapa menganggapnya tidak lembut? Kenapa menganggapnya sedikit tidak waras? Kenapa menganggapnya tidak senonoh? Kenapa dia perlu berlaku sesuai ukuran tertentu? Bukankah para lelaki itu dapat menjawab kembali,

“Persetan dengan Anda.”

Karena sebenarnya bukankah semua orang harusnya sibuk sendiri? Mengurus perut buncit sendiri? Menggali upil dalam hidung sendiri? Mencebok kotoran sendiri? Menggosok daki sendiri? Mencabuti kutil sendiri? Memenceti jerawati sendiri? Dan begitu sibuknya sendiri hingga hanya sempat mengeluarkan seloroh,

“Persetan dengan Anda.”

Lalu lengan akan terentang. Tangan terangkat dalam posisi menantang. Dan dikeluarkanlah sebuah jari. Jari yang agak kaku. Jari yang paling panjang. Jari yang menjadi penengah antara komitmen dan petunjuk. Jari tengah. Jari tengah teracung dengan gaya yang menantang dan jujur menantang. Isyarat itu mengatakan,

“Persetan dengan Anda.

Persetan dengan Anda.

Persetan dengan Anda.”

Ciuman Cengkih

Kemarin aku membaca Saman.Aku yakin bahwa aku membaca buku itu dengan cara yang salah. Yakin seyakin-yakinnya. Atau mungkin aku membaca edisi yang sudah disunting habis-habisan. Sampai bagian-bagian yang dikatakan seronok dan frontal itu tidak tersisa. Ya aku sampai mencari bagian mana sih dari Saman yang disebut-sebut vulgar itu. Kok aku tidak menemukannya? Aku merasa percuma saja selama bertahun-tahun ini aku tidak membaca buku itu karena ibu melarangnya. Ah tidak ada hal aneh di dalamnya! Malah lebih aneh buku harlequin! Hah. Aku merasa dibodohi resensi!

Anehnya aku malah merasa Saman itu ditulis oleh spiritualis. Sebenarnya itu buku yang bersih! Kata-kata frontal di sana tidak menutupi maksud spiritual di dalam buku. Jadi kupikir, kalau usiamu di atas 17, itu buku yang harus dibaca. Untuk direnungkan maksud di balik kejadian-kejadiannya. Untuk dimengerti tingkah laku tokoh-tokohnya. Karena buku yang menarik itu membuat seseorang bertanya dan berpikir.

Di dalam Saman ada seorang tokoh bernama Sihar. Tokoh ini mengingatkanku pada rokok kretek. Rokok kretek mengingatkanku pada 234 dan aroma cengkih. Oleh karenanya aku menulis tentang cengkih. Sekalian olahraga dan mengatur rasa sehabis membaca karya orang dan bersiap menulis karya sendiri. Cengkih itu menarik karena cengkih berbau legit dan sejuk. Tapi cengkih membikin sesak bagi perempuan-perempuan yang menyukai hal-hal macho.

Ya kadang aku merasa sesak dan sedih saat mencium bau 234. Tapi kesedihan yang biasa saja.

Jadi selamat berhari Selasa. Selamat menikmati udara sejuk cerah (bagi yang tinggal di Bandung). Aku memang menuliskan kekaguman pada rokok kretek 234, tapi bukan berarti mereka perlu disesap terus! Ya sesekali bergabunglah dengan bau dan aroma hiruk pikuk yang berada di sekitar. Dan mungkin sesekali ganti dengan permen. Kawan-kawan lelakiku melakukan substitusi semacam itu!

-nyaw, sesak oleh cengkih-

***

Ciuman Cengkih

perempuan biru

Lelaki Indonesia memiliki dewanya sendiri. Ia langsing, putih, singset. Kadang dia pakai bando warna kuning coklat. Tapi ada juga yang hanya bergelang perak. Jenis yang jarang ditemui tapi cukup legit manis berwarna coklat tebu. Di saat-saat lelaki sedang berduit, mereka akan menikmati saudari mereka yang lebih gemuk dan gempal. Karena mereka adalah dewa-dewa mungil seukuran telapak tangan yang genit-genit. Mereka senang dihisap ujungnya dan mengeluarkan wewangian tropis. Tembakau dan cengkih. Di dalam harum dan asap, mereka akan bertutur cerita-cerita indah dan menyesat pikiran kalut. Tentang lelaki macho yang hanya menyesap mereka. Tentang lelaki yang kuat bermain perempuan karena menghembus napas bersama mereka. Ah itu semuanya kabut asap ilusi. Dewa-dewa putih singset yang pandai membual para rokok kretek itu! Entah kenapa lelaki Indonesia sangat mencintai dan memuja mereka.

Apa itu karena nikotin? Pahit dan lengket seperti tar. Membentuk plak-plak pada langit-langit mulut dan rongga paru. Ataukah karena lelaki Indonesia senang petai dan jengkol? Jadi digunakanlah parfum para dewa singset ini untuk menutupi bau busuk kedua sayur legit itu? Ah entahlah. Yang pastinya lelaki Indonesia menyukai dewa-dewa mereka. Meskipun bungkus para dewa langsing putih itu sudah dihiasi oleh gambar-gambar horor serupa daging setengah buruk akibat kanker dan tumor yang diakibatkan oleh buangan para dewa penyesat ini, lelaki tetap saja menghisap mereka hingga ke sudut-sudutnya. Hingga tinggal gelang atau bando saja.

Dan dewa-dewa ini. Mereka justru menjadi hidup setelah dihisap. Mereka malah bernyawa setelah menghilangkan nyawa. Ah anehnya lelaki Indonesia tukang sesap rokok kretek! Mengapa berkorban nyawa untuk sesuatu yang hanya seukuran beberapa senti? Apa karena hidup tropis Indonesia itu begitu membuai? Hingga dibutuhkan suatu hiburan yang sedikit memacu adrenalin? Ataukah karena sebenarnya lelaki Indonesia senang melamun. Membiarkan jiwa terayun-ayun dalam lantunan lagu dan goyang dendang lenggok asap dewa rokok?

Mungkin seperti itu yang berada dalam benak lelaki Indonesia penggemar rokok kretek. Setidaknya itulah yang dipikirkan Nira mengenai para lelaki penyuka rokok kretek. Dan bagi gadis yang sepenuhnya tampak bersih, putih dan ngota, ia terpesona pada lelaki Indonesia semacam ini. Pada saat perempuan-perempuan berkerut memandang lelaki yang sedang mengepul, Nira akan mengamati bungkus rokok lelaki itu penuh dengan minat. Kalau baunya seperti kertas terbakar, itu pasti rokok biasa. Itu tidak menarik minat. Tapi kalau ada aroma manis dan sedikit eksotis di dalamnya, pasti itu rokok kretek. Dan Nira akan melihat bungkusnya.

Karena merek rokok itu sangat penting. Nira suka lelaki yang menghisap rokok kretek yang mereknya terdiri dari 3 buah angka. Yang bungkusnya kertas kuyu. Gambarnya hanya seliweran merah tua dan hijau lumut. Iklan tivinya adalah yang dipenuhi oleh lelaki mendayung perahu sambil meneriakkan, “Dji Sam Soe!”

Ya. Aroma kretek itulah yang Nira sukai dan anggap seksi. Hanya 234 saja yang menurutnya layak dihisap lelaki yang senang mempertaruhkan nyawa. Mungkin karena bentuk rokoknya agak penyok-penyok seperti dilinting sedikit asal. Agak mengingatkan cerita tentang cerutu Kuba yang dilinting di atas paha-paha perawan. Sedikit romantis seperti itu. Atau mungkin Nira menggemari aroma 234 karena bau tersembunyi di dalamnya. Suatu aroma wangi segar yang mengingatkannya pada suatu masa lampau. Sebuah aroma yang menjadi not di dalam parfum Old spice.

Cengkih.

Entah ada kenangan apa Nira dengan cengkih. Tapi itu membuatnya tenang dan terayun dan mengalun. Seperti para lelaki yang menyesap bokong dewa rokok kretek itu. Ya terasa sebuah samar mimpi di dalamnya. Tapi Nira tidak tahu apa bayang mimpi itu sebenarnya. Mungkin itu adalah sebuah reaksi kimia yang khusus bagi syaraf-syarafnya. Mungkin juga ia hanya gemar berfantasi. Atau mungkin ia memiliki kenangan masa lalu manis bersama cengkih yang hanya seukuran upil.

Entah.

Nira tidak peduli dan tidak ambil pusing. Ia memilih terbenam di dalam rasa kagum dan terbuai oleh asap rokok kretek berbau cengkih. Alangkah bahagianya seandainya ada lelaki penyuka 234 yang menjadi memilih dirinya untuk menjadi miliknya. Jadi Nira akan menghisap aroma cengkih tiap hari. Manis, sejuk, sekaligus sesak. Seperti cinta. Seperti hasrat. Lalu mungkin sesekali mereka tentu akan bertukar ciuman. Karena Nira telah menjadi kepemilikannya. Dan lidah mereka akan berputar dan bergulat. Penuh hasrat. Penuh gairah. Dan Nira akan merasakan aroma cengkih di dalam rongga bibir sang lelaki Indonesia itu. Dan mereka akan berciuman hingga aroma cengkih menghilang dan mulai menyesap ke dalam langit-langit mulut Nira. Sehingga gadis itu tidak lagi putih, bersih, ngota. Ia akan menjadi wanita. Liar, angkuh dan berbahaya. Seperti para lelaki pemuja dewa rokok kretek. Acuh, tidak peduli bahaya, lihai menghadapi kemelut hidup.

Karena lelaki seperti itu indah. Berbahaya dan meminta dijinakkan. Oleh wanita. Nira ingin menjadi wanita yang bisa menjinakkan dan menaklukkan lelaki liar penyuka dewa rokok kretek. Ingin ia berbagi kuasa dalam aroma cengkih yang lengket bersama tembakau. Bergulir dan berguling saling menarik sari di dalam jiwa diri. Bergantian lelaki-perempuan, lelaki-perempuan. Dengan dihiasi asap mengepul tembakau. Dan legitnya cengkih. Tentu saja harus ada cengkih.

Di dalam asap. Di dalam cium. Di dalam manis pertukaran sari pati.

Lelaki liar penyuka 234. Liar, acuh dan berbahaya. Bermata ceruk dalam dengan kilat pada matanya. Berkulit gelap seperti bayang pohon jati atau mahoni. Berambut acak-acakan dan sedikit ikal. Karena angin senang memainkan rambutnya itu. Saat ia meminta berpacaran dengan gunung dan hutan. Lelaki 234. Liar, acuh, dan berbahaya.

Berbahaya karena tentu tidak peduli. Pada perempuan putih, bersih, dan ngota semacam Nira. Lelaki penyuka kretek tentu memilih untuk bergulung di dalam lekuk-lekuk perempuan yang seperti aliran air. Memainkan, menarik dan menjambak rambut panjang mereka. Sambil menyesap sari perempuan mereka. Dan mengalahkan aroma feminin itu dengan cengkih. Cengkih yang sejuk dan menyesak. Dibuatnya perempuan-perempuan itu menyesak hingga menyesat.

Hanya perempuan seperti itu.

Bukan perempuan seperti Nira. Yang putih, bersih dan ngota. Karena sekadar memegangnya saja sudah seperti memasuki tokoh pecah belah. Di dalamnya banyak barang dari keramik dan kaca. Tersenggol sedikit tentu barang itu akan pecah berkeping-keping. Kalau sudah pecah, tentu barang itu perlu dibeli. Karena “merusak berarti membeli”.

Nira seperti keramik. Lelaki Indonesia penggemar rokok kretek tentu akan memilih perempuan yang lebih seperti mutiara. Yang bersinar tetapi tidak gampang retak. Yang tampak rapuh tapi sebenarnya keras. Mana mungkin memilih Nira yang keramik. Karena itu menyusahkan. Karena itu kebodohan. Karena lelaki penyesap 234 ingin kebebasan menyakiti. Sesekali. Karena ia liar. Ia acuh. Ia berbahaya. Ia akan menyakiti hati bila dirasanya perlu.

Dan Nira. Perempuan semacam Nira akan rusak begitu tersakiti.

Ah masih ada iba di dalam diri lelaki. Sekalipun mereka menyesap rokok kretek. Sekalipun jiwa mereka menghitam bersama tar. Karena asap itu melenggok dan menari. Seperti pinggul perempuan. Kadang seperti pinggul Nira. Agak putih, agak lembut, agak mengingatkan pada perempuan semacam Nira. Yang menginginkan lelaki yang liar, lincah dan lihai. Padahal lelaki seperti itu tidak menginginkan dirinya. Karena ia tidak ingin mengototri perempuan-perempuan yang putih, bersih dan ngota. Cukup dirinya saja yang menggelap dan menyesat. Tidak perlu libatkan Nira. Biarkan ia hidup di dalam dunia yang bersih. Dunia yang putih. Jauh dari lelaki yang menghitam dan memberikan nyawa pada dewa rokok kretek. Biar dia saja yang menyesap dan mencumbu dewa putih singset itu. Jangan sampai Nira bertukar ciuman cengkih. Karena ia putih dan bersih. Tidak seperti dewa rokok kretek yang putih di luar saja tetapi menawarkan jiwa hitam di dalam.

Bayang dalam Mata Ibu

Aduh aku kok kesulitan membuat karya frontal tentang perasaan terluka ya? Padahal sehari-hari aku cukup asertif hingga terkadang terlalu vulgar. Sepertinya aku menjalani perasaan terbalik. Vulgar di dunia nyata tetapi mengawang di dunia bawah sadar.

Error.

Tapi bagaimanapun, kalau boleh sempatkan untuk baca tulisan ini. Aku tidak mau menerangkan isinya. Ya pikir saja sendiri yang satu ini! Aku ingin lihat apa ada seseorang yang empati karena memiliki pengalaman yang sedikit mirip. Kalau aku sih menduganya harusnya banyak yang mirip.

Kalau tidak ada, mungkin karena tulisanku benar-benar tidak jelas.

Ya tidak apa-apa.

Asal seru kita!

-nyaw, sedikit tidak puas pada karya sendiri tapi tetap dipost karena dia boleh melakukan apapun yang dia mau-

***

Bayang dalam Mata Ibu

bayang dalam mata ibu

Embun masih menempel sebelum jam menunjuk angka 6 pagi tadi, tapi kini ia mulai digantikan oleh debu dan uap carbon. Udara yang tadinya tipis dan jernih kini menjadi berat dan mengabu kehitaman. Motor dan mobil bernapas tanpa mengindahkan para pengendaranya. Kalaupun matahari saat itu sedang bersinar maupun redup, siapa peduli. Yang penting adalah tak seorang pun terlambat untuk memasukkan kartu absen. Telat lebih dari 15 menit, kena potong gaji satu jam. Sibuk, sibuk, sibuk. Tegang, tegang, tegang. Kalau tidak ikut aturan kerja industri, bagaimana aku akan makan hari ini? Bagaimana keluargaku akan bertahan di masa depan nanti?

Nira, seorang lulusan farmasi tentu saja ambil bagian dalam kesibukan hari yang seperti itu. Turut hingar bingar bersama kegiatan normal perkotaan yang sebagian besar adalah pegawai kantoran dan industri. Kadang dia lupa seperti apa warna langit. Apa itu biru. Apa itu daun. Apa itu napas. Nira lebih dekat dengan knalpot, asap pabrik dan warna kelabu.

Ya kelabu. Jelaga dan semua yang dimuntahkan dan dikentutkan dari cerobong-cerobong pendek pabrik. Seperti rentetan abu yang tidak berkesudahan. Tapi abu-abu itulah yang menandakan keproduktifan manusia. Angka-angka managerial itu menunjukkannya. Keuntungan, profit, duit, bertambah seiring dengan pekatnya jelaga. Uang tidak berwarna hijau. Uang itu berwarna kelabu. Dan Nira menyadari realita pahit itu. Ia tahu semuanya. Jadi meskipun ia membenci kelabunya pabrik, Nira berusaha bertahan.

“Perempuan harus kerja Nira. Harus berduit. Nanti kamu kawin, kamu dijadikan lap pel seperti ibumu ini. Diampaskan karena tidak mendapat duit. Kamu pintar. Kamu cekatan. Kamu harus cari duit. Dan jangan kawin seperti ibumu ini. Jangan biarkan lelaki mengampasimu kayak begini.”

Kata-kata ibu Nira terngiang-ngiang di telinganya. Bising dan menekan. Agak seperti sebuah mantra pengikat. Nira takut sekali seandainya ia tidak mendapatkan duit. Karena menurut ibunya, perempuan yang tidak mendapatkan duitnya sendiri akan diperlakukan buruk oleh lelaki. Kawin maupun tidak. Lelaki hanya mengerti bahasa kekuasaan. Duit adalah kekuasaan. Untuk berbicara dengan lelaki, Nira butuh duit. Banyak sekali. Karena lelaki menakutkan. Mereka akan mengampasi dan tidak mengampuni hal-hal yang tidak berguna bagi mereka. Kalau Nira tidak berduit, lelaki akan menjahatinya. Karena ia tidak cantik ataupun imut. Tidak sedikitpun ia bisa menimbulkan belas kasihan.

Karena itu Nira perlu mencari duit. Di dunia kelabu. Di dunia gelimpang duit. Agar ia tidak dijahati. Agar ia tidak menjadi ibunya yang terjebak dalam pernikahan yang dijembatani duit. Nira ingin bebas dan tidak seperti ibunya. Takut pada lelaki, terkurung oleh aturan-aturan yang dibuat oleh kelabu duit. Tapi ironis, untuk keluar dari lingkaran serupa ibunya, ia perlu terjun dalam kelabunya duit, dalam aturan kuasa lelaki.

Ironis, tapi Nira tahu itu semua perlu ia jalani. Oleh karenanya, kendati hatinya remuk redam setiap melihat warna kelabu, ia bekerja mengikuti aturan-aturan farmasi. Pakai pakaian yang rapi. Pakai sepatu yang tertutup itu. Mengawali e-mail dengan “Dear” dan mengakhiri dengan “Regards”. Berbahasa seruntun mungkin agar terlihat terpercaya dan terpelajar. Nira akan menjadi semua itu. Nira harus menjadi semua itu. Nira semestinya semua itu.

Nira pun menjalani hari-hari di dunia farmasi itu. Meracik formula kosmetik. Membuat dempul untuk jerawat. Membentuk gelembung sabun mandi. Dan kadang yang asyik adalah menambah warna bagi perempuan-perempuan yang senang hal-hal indah. Warna-warna itu menghibur hati Nira. Menutupi pusingnya akibat kebanyakan melihat kelabu. Dan terkadang di hari-hari yang sangat menyenangkan, ia bermain dengan harum wangi kenanga, mawar dan vanili. Itu agak membuatnya lupa pada sesaknya pembakaran carbon di luar ruang raciknya.

Ya agak saja lupanya.

Begitu bel tanda jam kantor berakhir, dan Nira diperbolehkan untuk pulang setelah menjetrok kartu absen, ia akan kembali disumpeki oleh jelaga dan kelabu. Tak hanya berat napas dan kepala mumet, hati Nira pun menyesak. Meskipun mayoritas yang sekantornya adalah orang-orang yang baik dan pekerja keras serta selalu mengembalikan usaha-usahanya pada Tuhan, Nira tetap merasa sesak oleh jelaga abu. Dan meskipun ia terus-menerus merapalkan mantranya agar ia berubah dan melebur dengan normalitas di luar dirinya, berkali-kali ia gagal.

Selalu saja begitu. Selalu saja gagal. Nira sudah mengikuti aturan-aturan farmasi itu. Karena duit ada pada jalur aturan. Dan Nira mengikuti dan mengendus duit. Karena ia adalah perempuan yang takut dijahati lelaki dan butuh duit. Karena ia tidak mau berkawin sebelum ia sekuat lelaki. Dan Nira ikuti bau kelabu duit itu dengan mengikuti semua aturan duniawi yang membingungkan itu. Tapi entah mengapa ia berkali-kali dan selalu gagal.

“Nira stress, butuh ke psikiater.”

“Nira cerdas tapi dia tidak bisa bersikap berbeda dari kami.”

“Nira baik tapi dia tidak boleh seperti ini.”

Begitu pendapat orang-orang mengenai Nira. Nira tahu semua itu dan berkali-kali ia terkena masalah karenanya. Acakali ia memang menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyalahkan susunan genetik dan darah di dalam dirinya. Seringkali ia meyalahkan jiwanya sendiri. Kenapa jiwa itu tidak bisa beradaptasi dan menjadi seragam dengan orang lain. Kenapa dia tidak bisa memenuhi kriteria waras dan layak kerja psikotes-psikotes itu. Kenapa dia dilahirkan berbeda bila yang bertahan hanya yang sama?

Nira sering mengumpat pada dirinya sendiri. Tapi ia meneguhkan hati dan mengikat logikanya. Untuk bertahan ia perlu menjadi seperti mereka semua. Kalau ia berubah, tentu kesalahan dengan menjadi diri sendiri akan dimaafkan dan dianggap angin lalu. Nira pasti dan mesti menjadi seperti semua orang. Normal dan tidak mengindahkan sesaknya jelaga kelabu. Yang penting dapat duit. Yang penting dapat menjalani hidup. Tidak ada ruang untuk mimpi dan hal-hal romantis. Hanya butuh duit dan semuanya akan terpenuhi dengan sendirinya. Ah duit Tuhan kami!

Tiap malam di kamar messnya, Nira menitikkan air mata. Sering ia menangis hingga pagi hari. Kalau ia tidak bisa berhenti sesegukan, jin yang di dalam lemari baju akan mengetuk pintunya.

“Eh manusia tidak bersyukur. Berisik! Berisik!”

Begitu kata si jin. Meskipun malu, Nira masih saja menitikkan air mata tanpa henti. Ia tahu bahwa pekerjaan di dunia farmasi yang ia jalankan adalah sebuah berkah. Tidak banyak orang yang dapat menjalani hidup yang seperti dirinya. Meskipun tidak sepenuhnya mewah, tapi tabungannya tidak pernah kosong dan perutnya tidak pernah keroncong. Malah perut itu membuncit karena kebanyakan dikasih makan duit.

Tapi Nira tetap menangis dan menangis. Ia sesak oleh jelaga abu. Ia kesal pada duit yang terus mengatur hidupnya. Dan terutama sekali ia tidak terima hidup terpenjara dalam ngeri. Ngeri pada kuasa lelaki yang menghabisi perempuan-perempuan tidak berduit. Ah kenapa juga dunia itu begitu peliknya. Kenapa dunia itu tidak semudah quote Mario Teguh, “Follow your passion and money will follow you.” Ah itu dusta. Tidak ada ruang untuk mimpi dan romantisme ekspresi diri. Hanya ada realita. Jadilah “layak dipekerjakan” maka kamu akan dikasih duit. Kalau tidak sesuai standar kami silakan keluar dari pintu exit.

Pada akhir minggu, Nira akan pulang ke rumahnya di kota tetangga. Kota yang dianggap sedikit lebih hijau dan tidak terlalu abu. Udaranya lebih sejuk dan masih ada burung yang bertengger di pohon-pohon sambil berkicau. Nira biasanya pulang sabtu malam, dan sampai pada saat malam mulai memekat hitam dan bintang-bintang terlihat seperti berlian. Sayangnya ia jarang menghargai keindahan kota lahirnya itu. Hanya sesaknya jelaga abu saja yang ia ingat. Seandainya ia tidak sibuk pada kepusingannya sendiri, mungkin ia akan dapat mensyukuri hal-hal yang dimilikinya. Adiknya. Bapaknya. Dan ibunya. Terutama ibunya.

Tapi Nira terlalu banyak dan sering diliputi jelaga kelabu. Pandangannya kabur dan pikirannya nanar. Matanya merah dan berkantong hitam seperti zombie. Dan di dalam kepala ia merekam sebuah kaset tiada akhir. Sebuah rapalan mantra menguatkan diri. Bahwa hidup adalah seperti itu. Bahwa manusia memang diciptakan agar bersabar menghadapi jelaga abu. Karena perut tidak boleh keroncong. Dan tabungan tidak boleh kosong.

“Jangan jadi dirimu. Jangan jadi dirimu. Jangan jadi dirimu.”

Begitu kata kaset di dalam diri Nira. Dan ia mulai terbuai. Ia mulai terbiasa menjadi orang yang bukan dirinya itu. Diri yang memiliki duit dan professional dan memenuhi kaidah standar hidup normal. Nira hampir-hampir terbiasa! Tinggal selangkah saja agar kebahagiaannya sempurna. Tinggal ia menikah dan memiliki keluarganya sendiri. Dan sekarang ia tidak perlu takut untuk hidup serumah dengan lelaki. Karena ia sekarang berduit dan tidak berhak seorang lelaki mengampasi perempuan yang memiliki kuasanya sendiri.

Ya tinggal satu langkah sederhana itu! Nira akan bahagia. Seperti orang lain. Seperti normalnya dan seharusnya terjadi.

Sesampainya di rumah Nira tidak mengindahkan kicauan bintang ataupun kejaran dedemit iseng satu dengan yang lain. Ia hanya memikirkan kenormalan dirinya sendiri dan cara-cara menggenapkannya dengan cara yang normal pula. Karena dunia punya aturan dan punya standar. Nira akan ikuti semua itu dan Nira akan menjadi semua itu. Dengan duit duit dan duit.

Jadi ibu Nira pun menyapanya. Hari sudah malam tapi Ibu Nira masih terjaga menunggu anak yang dibanggakannya. Anaknya yang sukses dan berhasil menjalani hidup yang normal sesuai aturan dunia. Untuk anak seperti itu, ibu Nira bersedia terjaga semalam suntuk. Tidak percuma ibu Nira mengandungnya selama 9 bulan. Akhirnya berbalik modallah ibu Nira.

“Jadi bagaimana pekerjaanmu?”

Begitu kata ibu Nira. Matanya hitam pekat seperti uban yang jarang muncul di sela-sela rambutnya. Ia sudah berumur 50 tahun tapi masih terlihat hampir seperti seorang yang baru menginjak 30. Nira mengangkat muka untuk menjawab tanya itu. Pandangannya langsung beradu dengan perempuan yang telah melahirkannya. Ia hendak menceritakan dengan sedikit berlebihan mengenai kesuksesannya dalam menjalani pekerjaan normal di pabrik farmasi itu. Ia ingin membuat perempuan itu bangga. Tapi hal pertama yang terlihat dalam pekat mata ibunya menghentikannya.

Sebuah bayang.

Bayang itu adalah seorang perempuan. Dengan kerudung yang dijepit rapi. Kemeja berwarna necis. Celana hampir kelimis. Sepatu pantofel datar seperti dokter artis. Perempuan yang kelihatan hebat, berwibawa dan terpercaya. Seandainya waduk Jatiluhur bocor dan terjadi banjir bandang, mungkin kau akan memercayakan penyelesaian masalah itu padanya. Ya keren. Apik. Mantap.

Tapi alis perempuan itu tajam dan berkerut di tengah. Bibirnya kecil tapi cemberut dan bahkan sedikit kerucut. Matanya tak hanya merah sembab dan berkantong hitam. Ah itu bukanlah suatu soal. Tapi yang menjadi soal adalah sorotnya. Sorot mata dalam bayang itu.

Kosong.

Nira terhenti dan terhenyak. Bayang di dalam mata ibunya bukanlah dirinya. Ia sudah mati. Ia pasti sudah mati. Karena matanya sendiri sudah seperti zombie. Bagaimana bisa? Padahal Nira mencari duit untuk hidup. Untuk bahagia. Agar tidak merasa ngeri pada kekuatan lelaki.

Tapi bayang dalam mata ibunya begitu jujur dan jernih hingga Nira melemas.

Dan ia menangis. Tangis yang membingungkan ibunya. Tangis yang tidak diketahui oleh sang ibu menjadi cikal bakal kekecewaan besar yang akan segera menimpanya. Tangis yang mengawali kematian Nira normal dan lahirnya Nira yang dikatakan aneh dan sedikit alien. Perempuan yang mungkin diampasi lelaki karena tidak memiliki duit. Bahkan berpotensi untuk mengalami siklus hidup yang sama dengan ibunya.

Ya. Akhirnya Nira meninggalkan dunia jelaga kelabu. Dan duit pun ngambek dan berhenti meninggalkan jejak baunya hingga Nira pun terkadang sedikit bingung dan sedih mengecewakan ibunya dengan hidup dalam sempit. Tapi sebagai gantinya, nista di dalam hati Nira itu lamat-lamat luruh dan menghilang. Kendati kadang sulit sendiri, ia menjadi perempuan yang sering tersenyum geli. Dan matanya bercahaya dan berseri. Sayangnya kini, cahaya di dalam sang ibulah yang meredup.

Meredup hingga kadang tak dapat mengembalikan bayang.

Kecewa oleh anaknya yang sekarang sudah tidak mati.

Bukan Purbaleunyi

Setengah harian kemarin aku menjadi pela-cur. Peladen Curhat. Siangnya aku meladeni girl talk. Sorenya aku meladeni boy talk. Aku sadar bahwa aku lumayan tidak becus dalam melacur (meladeni curhat), tapi dari ketidakbecusan itu muncul suatu kesadaran.Kesadaran mengenai jurangnya perempuan dan lelaki.

20140418_155244(Nomor boleh sama, tapi persepsi warna berbeda. Padahal pabriknya sama! Agak seperti perspektif perempuan dan lelaki! Aneh!)

Jurang perbedaan perempuan dan lelaki itu dalam sekali. Dan komunikasi adalah jembatannya. Tapi seperti semua jembatan tentunya tiang pancang pertama itu harus terpasung kuat. Bisa jadi kita memasang tiang dengan sedikit asal. Tidak telaten. Tapi pada saat-saat yang sangat istimewa, Benar-benar istimewa. Sangat spesial dan mungkin disebutkan sebagai “takdir”, kita akan menyadari goyahnya esensi diri sendiri dari tiang pancang yang entah mengapa selalu goyang. Jembatan antara “aku” dan si “dia” bergerak kiri kanan. Goyah. Padahal sudah yakin memasang tiang itu kuat-kuat.

Lalu kenapa jembatan itu goyah dan goyang?

Mungkin dan bisa jadi itu karena tanah tempat tiang itu dipancangkan goyang, gembur atau patah. Agak seperti jalan tol purbaleunyi, yang terus-terusan amblas. Ada yang mengatakan jalan tol itu dibangun di atas tanah tidak stabil, bahkan tepat di atas sebuah retakan. Harusnya jalan tol itu diakali dan didesain ulang. Tapi orang-orang bersikeras membangun jalan tol itu dengan rancangan yang familiar dan telah diketahui berhasil di mana-mana. Masalahnya daerah Purbaleunyi itu istimewa. Dia butuh desain tersendiri. Yang spesial. Yang hanya untuk dirinya.

Purbaleunyi sayangnya tidak bisa ngomong ya. Kalau dia bisa ngomong tentu dia akan mengatakan,

“Saya butuh sesuatu yang tidak biasa.”

“Saya butuh sesuatu yang kuat sekaligus cerdik.”

“Saya tidak sama dengan tanah-tanah yang lain.”

Tapi Purbaleunyi tidak bisa ngomong. Jadi dia pun dibolak-balik oleh orang-orang yang berusaha atau tidak sepenuhnya memahami dirinya. Andaikan Purbaleunyi bisa ngomong, tentu dia akan mendapatkan perlakuan yang semestinya. Yang selayaknya dia dapatkan. Karena dia pantas mendapatkan hal-hal yang dia inginkan.

Jadi kupikir, sedikit banyak kita perlu bersyukur karena kita ini bukan Purbaleunyi. Kita dapat menyatakan diri sendiri dengan sebebas-bebasnya. Kita dapat mengukur diri dari jembatan hubungan kita dengan manusia lain. Kita dapat meminta bantuan pada orang lain di saat diri sendiri bingung dengan esensi diri. Dan lebih asyik lagi, kita dapat membantu membantu orang lain dengan memberikan koneksi tertentu.

Itu semua keren. Itu semua keberuntungan. Itu semua “takdir”.

Suatu hubungan dapat mengeluarkan hal terbaik dan terburuk dalam diri. Yang manapun yang keluar tidak masalah. Asal pada saat salah satu darinya keluar, kita hadir menyambut perasaan itu. Perasaan itu disambut untuk menghindari korupsi hati. Seperti getir, tidak bisa bersyukur, ingin terburu-buru, dan lain sebagainya yang semacam itu.

Jadi berhubunganlah dengan orang yang akan membantumu hadir. Mungkin akan keluar yang terbaik. Mungkin akan keluar terburuk. Tapi rangkullah diri yang keluar itu. Rangkul dia dan berkomunikasilah dengannya. Berbicaralah panjang lebar, Lalu bertransformasilah. Terus menerus. Terus menerus. Hubungan yang baik itu dinamis dan mengajakmu untuk berkembang dan menemukan diri sendiri berkali-kali.

Itu yang kupercaya. Meskipun saat ini saya masih sendiri. Tapi itu yang kurasakan juga pada semua hubunganku, sekalipun hanya sebuah sapaan sederhana saat menolak memberi uang pada pengamen.

Terus menerus. Dinamis tidak pernah statis. Sebuah doa. Atau mungkin yang dikatakan orang lain sebagai “semesta yang bertasbih”.

Hadir adalah mengenali diri sebagai hamba Tuhan. Karena itu, apapun yang dilakukan akan bertolak pada kesadaran itu. Di dalamnya ada pahala, ada tobat, dan ada pertaruhan surga-neraka. Hadir adalah salah satu hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini.

Itu yang kupercaya juga.

Tapi semua pergumulan aneh dalam menghadirkan diri layak dan pantas untuk dijalani. Dan merupakan suatu keberuntungan tersendiri. Di dalamnya tercermin hal yang disebut kasih Tuhan. Di dalam gulat sengit itu malah ada hal yang lembut! Aneh. Bipolar. Tapi benar.

Dan itu makanya pula Paulo Coelho bilang, “pilih perangmu”. Dalam kata lain pilihlah perang yang akan menghadirkan dirimu seutuhnya.

Lalu bertransformasilah. Terus menerus. Dinamis dan jangan pernah statis. Manusiawi tidak terobotisasi.

Jadi kukatakan selamat pada kalian yang bingung! Selamat pada kalian yang tidak harus berbuat apa! Selamat pada kalian yang sedang bergumul!

Bersiap-siaplah menghadapi hal-hal yang jauh lebih seru lagi. Dan ingatlah untuk menghadiri hari ini! Selalu hadiri hari ini, jam ini, menit ini, detik ini. Kalau tidak kau akan merugi. Dan juga ingat. Anda bukan Purbaleunyi yang diberi aturan dan rasionalisasi. Semua itu buatan manusia sendiri. Jadi buatlah aturan khas pribadi.

Biar keren. Biar asyik. Biar mantap.

-nyaw, bukan Purbaleunyi-