Seputar tentang Pembakaran

Sedang memanjakan diri dengan leyeh-leyeh hari ini sambil iseng-iseng buka twitter. Kebetulan salah satu teman saat kuliah S1*) mengangkat topik mengenai “burn out”.

Karena teman aku itu sedang berada di Belanda, dia menyatakan betapa menariknya bahwa seorang karyawan di negara tersebut dapat mendapatkan surat sakit untuk “burn out” dan akan dapat izin untuk cuit. Burn out adalah kondisi di mana seseorang sangat lelah karena bekerja sehingga mempengaruhi sikapnya secara sosial.

Merasa familiar dengan topik burnout, aku dan teman aku pun menanggapi tweet-tweet tentang burn out dengan antusias **)

Kalau aku boleh mengaku dengan penuh rasa malu, aku adalah orang yang mudah kena “burn out”. Buat aku itu adalah hal yang sangat memalukan karena itu menandakan bahwa aku bukan pekerja keras. Tapi percayalah, aku pernah berbagai hal untuk menambah kerentanan terhadap burn out. Saking pengennya tidak cepat burn out, aku pernah mencoba untuk berolahraga secara regular karena katanya orang yang atletis tidak mudah merasa lelah.

Tapi tetap saja, kalau capek ya capek aja.

Hakakakaka 😆

Lalu kurasa sih begini. Karena otakku sangat berisik, aku benci sekali ada yang mengganggu saat-saat otak berputar. Memang aku mengakui dengan penuh perasaan bersalah, bahwa aku tidak selalu memikirkan hal yang berhubungan dengan pekerjaan, tapi itu bisa dihitung refreshing lah ya….

Nah mari kembali ke “otak yang berputar”

Jadi aku ini adalah orang yang sangat benci hal-hal yang mengganggu otak yang berputar, dan tidak bisa dipungkiri hal-hal itu adalah hal-hal “managerial”. Apapun yang berhubungan dengan aturan, itu mencekik leher buatku. Saking parahnya, aku bahkan bisa terganggu dengan “seragam perusahaan” atau “bel kerja” atau “jam loyalitas”. Aku sangat membenci aturan dan hal-hal “managerial”. Jadi kalau aku bertemu dengan hal-hal menyebalkan tersebut, aku akan memendam perasaan kesal dan berusaha untuk cuek. Aku berusaha untuk lebih fokus lagi pada ide-ide yang ingin kuterapkan melalui pekerjaanku.

Tapi…

Ada saatnya badan itu memang lelah secara fisik, sehingga ketahanan terhadapa hal-hal yang tidak disukai itu berubah menjadi bom yang meledak.

Pada pekerjaan yang pertamaku, bom itu berubah menjadi penyakit tiphus yang sepertinya menyuruhku bunuh diri. Aku tidak masuk kerja selama 1 bulan. Lalu setelah aku masuk kerja kembali setelah sakit berat tersebut, aku mulai menyadari tanda-tanda aku akan burn out, tapi aku berusaha menahannya. Akhir-akhirnya tetap keluar karena bom kedua meledak akibat merasa karier dihambat oleh kewajiban yang sebenarnya masih dapat dijalankan orang lain (apalagi orang lain itu lulusan S2).

Pada pekerjaan kedua (yang sekarang dijalani), aku sedang saat ini banget burn out. Pada pekerjaan ini, aku dipercayakan dengan posisi yang lebih tinggi, yaitu menjadi penanggung jawab teknis pabrik. Tapi aku merasa bahwa pekerjaan itu menghambat pekerjaan yang sudah seperti menyatu dengan badan dan jiwaku (bahasa lebaynya mulai…). Aku pun memendam perasaan kesal itu sampai suatu hari wakil direktur meneleponku untuk “memperbaiki sistem komunikasi antara purchasing dan PPIC”. Karena aku merasa tidak adil hal seperti itu hanya dibebankan pada 1 orang, aku menendang meja sampai patah dan memutuskan untuk mengistirahatkan diri.

Sampai saat ini, aku juga menyimpan tanda tanya antara apakah itu burn out atau memang aku adalah orang dengan temperamen buruk.

Yang pasti, aku tahu hal yang aku sukai, ingin lakukan setiap hari, dan langsung ingin kerjakan di pagi hari. Hal apapun yang menghalangiku dari mengerjakan hal tersebut akan membuatku kesal.

Seperti orang yang sedang tidur, bukankah menjengkelkan ketika seseorang menyuruhmu terbangun sebentar-sebentar padahal sudah mencapai kondisi REM?

Itulah hal managerial bagiku sering kali.

–> BTW, hal yang menjadi obsesiku dan tidak bisa berhenti kulakukan adalah memformulasi kosmetika. Itu adalah hal yang sangat kucintai. Aku mungkin bahkan tidak akan pernah punya pabrik kosmetika sendiri saking tidak mau terganggunya dengan hal lain selain memformulasi :p

-nyaw, hanya sangat mencintai pekerjaannya-

*) twitter teman aku itu @RiezaApr, ikuti tweetnya untuk info yang aneh-menarik

**) twitter aku @danzenyaw, twitter teman aku @kalmanwijaya

Sendiri lebih Asyik

“Makan, makan sendiri…

Tidur, tidur sendiri…”

-lagu dangdut-

Pada suatu hari selasa, dalam rangka menunggu suatu janji meeting, aku, t nis, t ri2, dan istri bos makan di Warung Leko di daerah Kuningan. Pada saat menunggu pesanan datang, aku perhatikan ada seorang cowok bule duduk sendirian, aku menunjuk bule itu pada t ri2 dan komentarnya adalah “Kasihan ya” dan komentar itu menjadi awal topik kalau untuk orang bule makan sendirian itu adalah hal lumrah, sedangkan untuk orang asia itu adalah hal yang aneh.

Padahal, aku menunjuk cowok bule itu karena bertanya-tanya apa makanan “serba penyet” itu familiar secara mancanegara.

~.~

Aku pun merasa serba salah, merasa tidak enak hati pada si bule yang jadi topik omongan.

Padahal kan mungkin saja bule itu memang mau makan sendirian. Aku akhir-akhir ini kadang ingin mencoba makan sendiri di restoran, biar bisa bengong-bengong tanpa gangguan, Tapi sayang sekali, untuk sekedar bengong di suatu restoran itu sulit… karena:

1. Sering kali pelayannya tidak ngeh kalau aku mau duduk, jadinya bisa saja beberapa kali memutari restoran itu dan tidak ditawari tempat duduk

2. Saat berhasil duduk, pelayannya akan melototin, mungkin mengharapkan, “teman” si yang lagi duduk sendiri itu datang (padahal memang sendiri)

Tapi, tetap saja seseorang itu butuh duduk di restoran sendirian sekali-sekali, hal itu cukup nagih, apalagi kalau punya hobi iseng bengong-bengong sendirian.

-nyaw, kapan lagi ya makan sendirian?-