Pada saat-saat yang apes, terpaksa menyetir dari Bandung ke Tangerang pada jam 2 pagi dini hari. Kalau lagi apes banget, jam 2 juga rame loh. Tapi kalau lagi gak terlalu apes, jam 2 sepi, seperti hari ini.
Jam 2 pagi, Dago tampak misterius. Dengan lampu jalanan yang hijau jadul dengan cahaya yang berwarna kuning, membuat jalan jadi bergantian terang gelap terang gelap tanpa kompromi. Agak mengingatkan pada film-film yang disetting pada jaman laki-laki masih memakai suspender untuk menahan celana dan perempuan memakai korset berkerangka untuk menciptakan efek “pantat”.
Lalu di saat-saat sepi seperti itu, aku akan membelok dan melewati Ganesha yang dicintai. Jalanan remang-remang dan menimbulkan misteri. Ada juga rasa memiliki dan sakit karena meninggalkan kandang gajah. Setiap melewati Ganesha, selalu berdoa dalam hati agar Allah SWT berbaik hati menjodohkanku dengan engineer dari ITB. Karena kurasa itulah satu-satunya cara agar tidak bilang selamat tinggal pada Ganesha tiap minggunya atau setidaknya suatu hari aku akan kembali dan mengajak anak-anakku bermain di tengah alunan not-not Indonesia Raya yang tenggelam di Plaza Widya. Juga kurasa, kalau suamiku engineer, dia akan mengerti apa rasanya jadi anak gajah yang selalu dikatai sombong dan punya kemampuan tidak sebesar arogansinya.
Tapi, tidak peduli perasaan seperti apa, mobil tetap melaju di tengah keheningan malam dengan gelap terang kontras berganti.
Cuman karena aku telah berjanji untuk melakukan hal yang luar biasa. Dan hal luar biasa itu tidak bisa ditampung di sebuah kandang gajah.
-nyaw, missing her childhood campus-
Meskipun tidak ingat salam Ganesha, aku sudah ingat bagaimana Ganesha dulu. Dari Ganesha yang full kehijauan dengan bangunan yang redup kuning dan daun di mana-mana menjadi retro dan sleek menyambut era digital dan komputerisasi.
Ya Allah, please make him an engineer unless it has no good on my sake than I will miss Ganesha forever 😦