Rontok

Argh!

Kemarin frustasi dengan rambut sendiri. Makin lama makin parah rontoknya. Mo pake vitamin kek, mo pake lidah buaya kek, kenapa dia ndak mo tetap di tempatnya??? Kenapa dia harus jatuh ke tanah sesuai dengan hukum gravitasi???

Menyebalkan!

Udah dia lurus mati, ndak bisa diapa-apain, bentuknya jigrakan lagi kalo bangun tidur.

Argh!

Di saat-saat marah karena rambut yang menyebalkan dan setiap hari menjadi bad hair day, secara kebetulan aku menonton acara yang cukup hebat di channel “Travel and Living”. Entah kenapa harus tepat sekali dengan tema hati saat itu, “rambut”.

Jadi acaranya tentang sekolah hairdressing yang tertarik untuk berdonasi ke yayasan yang kerjanya membuat wig untuk anak-anak yang terkena kanker. Tahu sendiri kan kalo anak-anak yang kena kanker itu, rambutnya pada rontok karena rata-rata pasti kemoterapi.

Nah, di situ dijelasin caranya mengumpulkan rambut biar siap didonasikan. Yang bikin tersentuh banget seorang anak perempuan dipasangin wig barunya. Anak itu hebat banget… pas dia senyum waktu wignya ditempelin di kepalanya membuat mataku berkaca-kaca . Hebat banget anak itu! Dia kena kanker tapi masih pengen keliatan hebat pas manggung pake piano, makanya dia perlu banget wig itu. Udah gitu, wig itu dibuat dari rambut teman-teman dia…. Perhatian sekali…

Di dalam situasi kayak di atas, aku berpikir bahwa sebenarnya ada solusi lain selain wig. Solusinya adalah ‘jilbab’. Bukannya kalau pakai jilbab semuanya tertutup dan harusnya istilah seperti, “rambut dia lebih indah” atau “badan dia lebih bagus” itu ndak ada ya . Gak ada kesempatan buat saling membandingkan  . Trus misalnya suami protes karena ternyata kamu sepenuhnya botak dan penuh gelmbir, ya resiko dia ndak bisa nerima kita apa adanya kan?
 
Aku mulai berpikir bahwa jilbab sebagai penutup ‘aurat’ bukan seperti berkata “jangan lihat tubuh yang najis ini” atau “tubuh saya adalah harta yang perlu dirahasiakan” tapi mungkin, mungkin… maksudnya lebih seperti ini,

“Ayo kita pikirkan hal lain selain bentuk fisik kita. Tidak perlu ada yang diirikan, karena toh ndak bakal ada yang liat.”

Jadi, antara sesama memperhatikan apa yang dirasakan. Karena iri dengki kan jelek, membakar semua pahala kan. Kasian juga ada yang masuk neraka karena kita memberi kesempatan pada si orang itu  , padahal bisa dicegah bersama…

Percaya ndak percaya

Ada hal-hal yang harus dialami dulu sebelum mempercayainya. Salah satu contohnya adalah,

“Perceraian melukai perkembangan anak.”

Ternyata ibuku perlu waktu yang lama untuk mempercayai hal ini. Mungkin beliau tahu, tapi tidak sepenuhnya mengerti.

Waktu aku masih di Amerika (6-7 tahun), terkadang diadakan acara temu orangtua murid yang cukup ramai. Semua orangtua murid bekumpul, dan berbagi dengan anak-anak lainnya dan mengakrabkan diri. Pada kesempatan seperti itu, ibu-ibu akan menyumbangkan berbagai macam kue-kue kecil yang enak.

Pada suatu pertemuan, ibuku membuat blueberry cheesecake andalannya. Ibuku sangat bangga dengan kue ini, karena ibuku merasa tidak pandai dalam membuat makanan manis. Ketika sampai di sekolah, ibu membagi-bagikan kue ini dengan senang, dan tidak ada hal yang aneh sampai tiba waktunya pulang….

Pada saat aku mau mengambil jaket di rak murid, tiba-tiba aku didatangi salah satu anak perempuan sekelasku yang mengatakan,

“Kue buatan ibumu gak enak!”

Syok sekali rasanya mendapat perkataan tersebut dari teman sendiri. Sampai-sampai kepala itu berputar karena tidak percaya ada orang yang sebegitu teganya mengata-ngatai hasil karya orang lain. Dan lebih pusingnya lagi, kalaupun memang tidak enak kenapa anak itu sampai harus sengaja memberitahuku.

Di antara rasa bingung, ketika sampai di rumah, aku menceritakan kejadian di rak jaket. Mendengar ceritaku, ibu mengernyit dan berkata,

“Hah? Ndak mungkin. Anak itu malah bilang kuenya enak.”

Apa? Aku mendengar perkataan si anak itu dengan sangat jelas kok. Dia benar-benar mengatakan kalau kue ibuku tidak enak tapi dia malah bilang enak ke ibuku! Aneh!

Aku ngotot kalau aku tidak salah dengar tapi ibuku tetap tidak percaya. Sakit hati juga tidak dipercaya oleh ibu sendiri tapi aku hanya terdiam saja. Untuk beberapa tahun ke depan, terkadang perkara “kue” ini sering terngiang ketika dimarahi oleh guru atau ada perkara “geng-gengan” cewek. Aku sering mengalami masalah kepercayaan gara-gara perkara “kue” itu. Terkadang aku sulit mempercayai kata-kata orang lain atau malah cenderung pendiam karena takut tidak dipercaya.

Dan pada suatu hari, di umur 14 tahun, aku memutuskan untuk menceritakan perkara “kue” ini lagi kepada ibuku. Aku pun mulai bercerita lagi dari awal hal yang terjadi, dengan bahasa yang sangat hati-hati. Kali ini ibuku menggaruk-garukkan kepalanya dan berkata,

“Ohya? Ibu ndak inget. Tapi kasian anak itu, orangtuanya cerai. Mungkin dia pengen punya ibu.”

Mendengar jawaban yang baru ini, rasanya beban kalori-kalori si “kue” itu langsung lenyap seketika itu juga. Ternyata dulu, ibuku tidak tahu betapa besarnya perpisahan orangtua pada anak. Perlu kebijaksanaan bertahun-tahun untuk benar-benar mengerti dampak perceraian. Dan untukku sendiri, perlu bertahun-tahun juga untuk mengerti bahwa kepercayaan tidak selalu bersifat instan seperti kopi sachet. Terkadang kau harus mulai menanam pohonnya, mengambil buahnya, mengolahnya, menumbuk, baru bisa diseduh.

Banyak hal yang perlu dialami untuk dipahami. Beruntung aku diberi kesempatan untuk mengerti banyak hal.

Sayang….

Di dalam tulisan ini, aku akan memberikan deskripsi tentang,

“Laki-laki gombal dan perempuan yang senang dibohongi.”

Kemarin aku menentang keras pernyataan di atas, “Ndak gitu ah, perempuan ndak suka diboongin” tapi ternyata banyak balasan yang bilang kalo ceweknya dibilangin hal yang sejujurnya malah protes-protes dan lebih nerima alasan yang bukan sebenarnya. Ternyata laki-laki itu sebal mendengar pasangannya protes-protes yang pasti kedengaran kurang lebih seperti ini:

Kucing manja MODE ON
“Aaahhh… kok gitu siyh… kamu udah ndak peduli lagi sama aku? Aku udah ndak penting lagi ya?” (menarik tangan pasangan dan mengkerutkan alis)
Kucing manja MODE OFF

Dan di saat seperti itu akan keluar alasan-alasan gombal dan tidak jujur untuk menghentikan rengekan mengganggu itu.

*bisa dimengerti sih, aku juga kalau jadi laki-laki pasti melakukan apapun untuk menghentikan gangguan itu*

Tapi belakangan aku berpikir kalau apapun yang mungkin terjadi, sebaiknya jujur aja dalam sebuah hubungan. Meskipun sebagai perempuan, mungkin kita lebih suka mendengar bahwa kita diistimewakan dan tidak ingin disisihkan oleh apapun. Meskipun juga sebagai laki-laki, kita suka merasa malas mendengar rengekan pasangan kita dan ingin menghindari konfrontasi yang mungkin membuat retak dalam hubungan. Apapun yang terjadi, lebih baik jujur. Begitulah menurutku, aku juga tidak sembarangan kok mengambil kesimpulan ini. Kesimpulan untuk “selalu jujur” itu aku ambil dari pertimbangan berikut:

Pertanyaan pertama sebelum memulai sesuatu adalah: “Apakah hal ini membawa kebaikan.” Kalau jawabannya iya, langsung tancap gas tapi kalau tidak, harus dipertimbangkan dulu, “Apa bisa diarahkan ke arah yang baik?” Kalau jawabannya tidak, jangan lakukan! Kalau iya, coba dulu lalu ulangi dari step pertama.

Nah, begitu juga halnya dengan berhubungan dengan orang lain. Pertanyaan di atas harus ditanyakan. Kalau jawabannya iya, pikirkan juga alasannya hubungan itu akan membawa kebaikan.
Kalau aku sih berpikir, suatu hubungan itu bisa membawa kebaikan dengan cara mengajari banyak hal. Temanku bilang hubungannya dengan pasangan yang sekarang mengajarkan padanya bagaimana caranya menjadi sabar. Temanku yang lain bilang bahwa dari pasangan yang sekarang dia belajar bagaimana bersyukur. Kalau aku sendiri sudah/sedang belajar banyak hal yang kukira sudah aku tahu tapi ternyata belum.

Pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana cara mempelajari hal-hal berkaitan dengan hidup kalau tidak mendapat dan menerima semuanya dengan hati yang jujur dan terbuka?
Bagaimana caranya kita belajar mengerti dan bertoleransi ketika kita selalu tidak bisa menerima pasangan kita punya hobi main game online?
Bagaimana caranya kita bisa mengajarkan pada pasangan kita untuk menerima kita apa adanya bila kita selalu menjadi ‘berpura-pura’?
Bagaimana caranya kita belajar menghargai dan menghormati ketika kita berhenti mendengar dan merasa?

*Kalau punya jawabannya, kasih tau ya. Aku belum tau nih*

Gara-gara aku bilang harus jujur (dengan kata-kata tidak tepat), aku dibilang perempuan kelewat galak. Ya, memang galak dan egois tepatnya. Karena aku ingin tahu semuanya tentang pasanganku karena dalam perjalanan mencari tahu, aku mendapatkan banyak hal yang sebelumnya tidak aku ketahui mungkin apalagi kalau tahu semuanya ya?

Dan mungkin saja di perjalanan aku juga tanpa sadar memakai gaya “kucing manja” tapi semoga tidak menghentikan pasanganku untuk jujur.

Harus dapat keberanian untuk jujur! Yak!

Why Oh Why?

Tempo hari, setelah sekian lama, aku bercerita pada si bulat merah tentang hal yang pernah aku lakukan ketika berumur sekitar 19-20 tahun dan mulai bertanya-tanya “kenapa aku masih single? :(“

Jadi pada saat itu, yang aku lakukan adalah berdandan (sebisanya) dan berkeliling kampus menghitung berapa kali aku dilirik laki-laki. Hanya untuk memastikan bahwa mereka tahu aku ini perempuan.

Dan ternyata,

Aku mendapat 40 lirikan di balikan pertama dan 40 lagi lirikan baliknya.

Cukup hebat. Tapi tindakan itu malah menjadi senjata makan tuan. Karena pada saat aku tidak berdandan (tepat keesokan harinya), aku tidak dilirik sama sekali! Malah membuat aku ketakutan, ternyata aku tidak SELALU terdeteksi sebagai perempuan ya???

Lucu juga kalau diingat-ingat. Si membal merah dengan muka berkerut bertanya, “Emang penting ya?”

Jawabku, “Iya! Karena pas umur 25 tahun (menurut kepercayaan ibu), perempuan itu layu!”

Tapi seperti yang sering diketahui, bukannya alasan kayak gitu itu alibi ya? Maksudnya, kalo ternyata BENAR kau “layu” setelah umur 25 tahun terus kenapa? Apakah kau tidak akan dicintai kalau “layu”? Bukannya itu ndak sinkron,

cinta
“layu”
maksudnya???

Kalau ada syarat, bukannya itu bukan cinta?

Jadi merefer pada salah satu tulisan di atas. Kalau kau tidak dicintai ya karena situ ndak bisa ngasih rasa. Titik. Bukan karena fisiknya, atau apapun yang berhubungan sama dirimu. Pokonya situ ndak ngasih rasa. Titik lagi.

Entah ya,
Aku sebagai perempuan punya ketakutan besar tidak akan dicintai seorang pun. Takut bahwa suatu hari aku akan menua sendirian lalu tiba-tiba diketemukan mati di tengah-tengah apartemen penuh kucing dengan bangkai sudah membusuk selama seminggu.

Dan sebagai manusia, punya kecenderungan lupa mengingat hal-hal dasar seperti,
“Cukup 1 yang mencintai saya, diri saya.
Cukup 1 yang mengerti saya, Allah.
Kalau ternyata Allah meminjamkan seseorang untuk mencintai dan mengerti saya, maka itu adalah anugrah dan saya bersyukur telah dicukupkan kebutuhannya.”

Ndak ada manusia yang sempurna. Kalo sempurna ya ndak seru

Alhamdulillah

Esensi Berdandan

Karena aku pernah tiba-tiba minder dengan penampilan sendiri, aku mendapatkan protes dari kedua teman yang sudah seperti saudaraku sendiri. Salah satu berkata, “Kamu kan sering nyuruh orang lain PD? Kok lu sendiri gitu!” dan ada juga “Elek tambah elek padahal banyak yang kya kya.”

Begitulah aku sebagai perempuan. Dalam 1 tahun pasti ada beberapa hari dalam hidup, di mana aku merasa jelek. Saat-saat itu terjadi pas lagi sibuk-sibuknya dan tidak sempat melakukan ritual berdandan.

Cemmana tuh?

Ritual berdandanku meliputi durasi 1 1/2 jam di dalam kamar mandi. Cukup lama tapi kalau tidak sempat melakukan hal itu, aku akan merasa buruk sepanjang hari besoknya. Jadi, ritual ini kulakukan tiap mandi malam (bagi yang suka OL malam dan melihat statusku berubah menjadi “mandi kembang” akan tahu kapan aku melakukan ritual ini). Nah pada saat mandi malam ini, pertama yang dilakukan adalah memakai sabun biasa selewat terus dilanjut dengan menggosok badan dengan sikat dan sabun scrub (apapun) sampai kinclong. Yang paling terakhir adalah membersihkan muka.

*Penting! Menggosok badan pakai sikat itu penting untuk menghilangkan kulit mati!*

Setelah membersihkan badan, yang dilakukan adalah memakai body lotion dan krim muka. Saat memakai body lotion, ada hal spesifik yang harus dipikirkan saat memakainya. Jadi pas lagi mengoleskan body lotion, harus dilakukan dengan penuh cinta sambil (bilang ke diri sendiri), “Karena kamu penting dan berharga makanya harus dijaga dan dirawat.” Juga pas pakai krim muka yang dibilang sama diri sendiri itu, “Mungkin bukan yang paling cantik tapi bukan berarti harus dilepas. Semuanya pemberian-Nya, jaga yang baik.”

Ok, mungkin agak konyol dan berlebihan, tapi itulah yang bisa menjaga percaya diriku. Itulah kenapa saat sedang sibuk-sibuknya dan biasanya suka tiba-tiba tidur tanpa sadar, aku jadi merasa jelek.

Habis belum sempat menjaga diri sendiri sih…

Hmm… buatku esensi berdandan itu bukan tentang bersembunyi di belakang topeng kosmetika, tapi tentang menjaga diri sendiri karena badan itu pemberian yang harus dijaga!

Kalau yang lain gimana ya?

Titik “wew”

-tulisan super ringan, super klise, sebagai intermezzo topik kewanitaan dan kegadisan yang memusingkan-

“Kok lu bisa jadian ama si lembu sih???!!!”
-tanya seorang teman pada suatu chatt-

 Baru inget gwa, apa tepatnya yang bikin gwa merasa agak “wew”.

Jadi diantara proses PDKT doski, kita pernah makan bareng di ganyang dan janjiannya di PAU (karena gwa ngasih makan tikus). Waktu itu gwa pikir kalo dia lagi butuh temen bicara makanya ampe ngajakin gwa ke ganyang. Gwa gak tau kalo doski lagi PDKT.

Pas ketemu di PAU, gwa lagi dalam mode mendengarkan. Jadi kerjanya diem karena ndak merasa perlu ngomong, gwa pake bermultitasking segala, ngedengerinnya sambil mikir gwa pengen jadi apa kalo udah lulus apoteker dan spesialisasi apa yang pengen gwa ambil. Palagi pas nyampe ganyang, gwa tambah fokus mikirin apa yang ingin gwa lakukan karena terus terang gwa keki, ternyata di ganyang banyak banget pasangan di hari minggu. Argh… padahal gwa lagi dalam mode mendengarkan ini! Apa-apaan sih???!!!

Pas lagi diem-diem sambil ngedengerin gitu, tiba-tiba gwa ditanya,
“Kok diem aja? Cerita donk! Gimana hidup?”

Hah?

Rada bengong bentar. Aneh ada yang nanyain hidup gwa dan keknya pengen tau.

NDAK PERNAH ADA YANG PENGEN TAU SEBELUMNYA???!!!!

Jadi gwa rasa, kalimat itu adalah titik “wew”. Mungkin selama ini gwa udah sedikit suka sama si lembu merah, tapi dengan logika pasti dicoret lah, orang selalu punya cewek kan. Udah gitu anak himpunan banget, gwa tadinya mikir bahwa ndak mungkin ketemu. Tapi ternyata pada suatu hari dia nanya “gimana hidup” dan itu cukup membuat gwa “wew”.

Mungkin kesan jadiannya karena pernah ditempel terus-terusan, Tapi terus terang, kalo gwa gak dikasih tau temen, gwa tuh gak tau kalo lagi di-PDKT-in, karena kalo makan bareng ya sama sapapun juga sering. Waktu ajakan nonton, gwa pikir karena emang udah lama pengen nonton doski, mungkin temen-temennya sibuk. SMS tiba-tiba sih… bukannya temen gwa juga dulu dapet sms kek ginian dari si lembu merah?

Jadi gwa yakin, titik “wew” adalah kalimat itu. Karena gwa pikir aneh ada orang yang pengen tau idup gwa. Dan gwa sering tertarik sama hal-hal gak biasa dan aneh. Jadi logikanya, pasti gwa jadi suka kan.

Ternyata hanya diperlukan kalimat yang sederhana ya.

Did You?

“Istri itu bukan cantik tidaknya, tapi tentang ngasih rasanya!”
-seorang bapak kepada temanku-

Kalimat ini baru memukulku tadi sore. Benar-benar tadi sore.

“Iya betul!” seruku dengan semangat ‘eureka’.

Eh bukan artinya aku nyari istri ya! Enake. Artinya bahwa saat bersama seseorang, yang penting adalah berbagi rasa. Karena rasa tiu tidak ada harganya. Bisa antara sangat berharga, atau tidak berharga tergantung pada persepsi tiap individu.

Membuatku teringat pada orang yang sangat kusukai dulu. Aku begitu kecewa karena tidak berbalas hingga kukira bahwa itu adalah karena tampangku, karena penampilanku, karena bagaiman aku terlahir. Aku menyalahkan semua hal yang tidak ada hubungannya dengan kekecewaanku. Dalam rasa kepengecutan aku bersembunyi di balik dalih “ketidakcantikan” padahal bukan itu.

Apa yang terjadi saat kau patah hati?

Rasamu tidak terbagi. Simpel. Tidak ada hubungannya dengan seperti apapun dirimu. Pokoknya rasamu tidak terbagi. Titik. Silakan terima kenyataan.

Tentu saja aku memilih untuk menyalahkan “ketidakcantikan” karena itu adalah hal yang paling enak disalahkan.

Bisa kamu bayangkan? Dia menolakmu karena tidak menginginkan rasamu. Titik.

hyyyyyyuuuuuuuuuuuu *angin beku berhembus*

Jadi sekarang aku membuat pilihan baru. Aku memilih kenyataan. Boleh kan?

PS untuk dia yang saat itu penting:
Waktu itu kamu adalah yang paling penting. Terimakasih, karena hanya dengan terlahirnya dirimu, aku pun mendapat rasa darimu.
Sekarang giliranku berbagi rasa

PS untuk diriku sendiri:
Menambah persepsi, menambah kekayaan. Menambah pengetahuan, menambah hidup. Menambah kapasitas hati, menambah rasa.

PS untuk si bulat merah:
Menantikan saatnya muka berhenti berubah merah dan berusaha membuat saat bisa berkomunikasi lancar dan berhenti memerah

Kriteria Indah dan Normal

Merindukan foto seorang wanita. Boleh cantik, boleh tidak. Hanya wanita. Saat melihatnya saya ingin melihatnya bahagia hanya karena dia seorang wanita, bukan karena dia saat itu cantik atau harus cantik. Hanya bahagia karena dia telah terlahir. Dan meskipun keesokan harinya dia terbangun, dia mendapati bahwa dirinya adalah laki-laki, tidak sedetik pun dia menyesal karena hal itu tidak akan mengalahkan jati dirinya.
Merindukan foto seorang manusia.

Menyikapi komentar dua laki-laki mengenai payudara wanita,
“Ndak penting gede ato kecil. Yang penting mo nyusuin anak gwa.”

Beberapa kali aku terlibat dalam pembicaraan tentang payudara. Sekarang aku ingin menulis tentang seputar payudara ini.

Aku tidak pernah sepenuhnya puas dengan tubuhku. Terkadang aku merasa bahagia-bahagia saja tapi terkadang aku merasa cemas bahwa sebenarnya ada yang salah. Dan pada suatu hari aku cemas dengan bentuk payudaraku. Hal itu terjadi setelah pembicaraan singkat dengan temanku mengenai suatu adegan di film “American Beauty”.

Itu loh, adegan putri si pemeran utama membuka atasannya di depan jendela buat dipamerin ke cowok di rumah sebelah.

Nah beranjak dari adegan itu, temanku berkomentar, “PD pisan. Padahal meuni rayut kitu.”
Saat itu alisku berkedut dan aku berkata, “Hah? Masa sih?”

Serius. Masa sih? Rasanya payudara si cewek itu baik-baik saja. Keduanya terletak di depan. Keduanya punya areola. Keduanya juga tidak terlihat menjijikkan dalam opini pribadiku. Tapi kata temanku, payudara si cewek itu tidak bulat seperti payudara gadis, agak terlalu ke arah samping (terlalu menjauh satu dengan yang lain).

Saat itu aku agak syok.

Busyet lah. Masa yang kek gitu aja disebut rayut? Bukannya cewek-cewek Ethiopia juga gak bulet-bulet amat bentuk payudaranya? Sebenernya kayak apa sih bentuk yang normal? Kalo gwa baca buku anatomi, kok kek semua payudara lainnya sih??

Akhirnya di otakku penuh dengan payudara-payudara-payudara sampai pada akhirnya aku browsing mencari tahu bentuk normalnya.

Pada proses pencarianku akan bentuk yang “normal”, aku menemukan situs yang menarik. Di situ dipampangkan beberapa galeri foto payudara yang seharusnya dianggap pemiliknya normal. Aku melihat satu per satu foto di sana, dan tebak? SEMUANYA OK-OK AJA TUH! Aku tidak melihat apa yang dikeluhkan para pemilik di foto itu!

Dan ternyata memang begitu. Tidak akan ada bentuk dan ukuran yang “supernormal” kan? Payudara cuman sebuah bagian tubuh wanita seperti halnya kaki, tangan, leher, pantat, dsb.

Apa sih kriteria normal itu?
Apa sih kriteria indah itu?
Apa sih yang pasti bisa membuat bahagia pasangan kita?
Apa sih yang bisa membuat kita dicintai?

Satu jawaban yang pasti. Yang pasti bukan payudara. Titik.

Di situs itu, aku menemukan hal yang menarik. Di Amerika, seorang perempuan kuliahan berkomentar tentang fungsi payudara untuk menyusui anaknya sbb;
“Apa? Menyusui? Maksudnya sperti sapi??? Iiihhh!!!”
Sedangkan di pedalaman Afrika, di mana para perempuan sehari-hari tidak memakai atasan, dan menyusui di muka umum, seorang perempuan mengomentari tentang kegemaran laki-laki bule yang terangsang melihat payudara wanita.
“Maksudnya laki-laki itu seperti bayi???”
Dan si perempuan tertawa terbahak-bahak.

Bukankah persepsi itu lucu?

Dan menyangkut kedua laki-laki yang memberi komentar, “Ndak penting gede ato kecil. Yang penting mo nyusuin anak gwa.” Aku merasa sangat bangga mengenal kalian berdua

Kebiasaan Saat Kecil

Saat aku masih kecil, kira-kira sampai berusia 6 tahun, orangtuaku selalu menyempatkan membacakan dongeng untukku setiap malam sebelum tidur. Kebiasaan itu tidak ada kaitannya dengan negara yang ditinggali saat itu (orang Amerika punya kebiasaan membacakan dongeng pada anak-anaknya sebelum tidur). Kebiasaan itu berkaitan erat bahwa sampai aku berumur hampir 2 tahun, aku belum mengeluarkan kata pertamaku.

Hal itu tentu saja membuat orangtuaku panik. Ditambah lagi aku mempunyai kebiasaan berjinjit ketika berjalan dan paling tidak suka dipeluk dan kerjanya lari-lari di dalam rumah sambil pura-pura membaca buku telepon (yellow pages). Kedua orangtuaku mengira bahwa aku ini pasti antara hiperaktif atau antara autis. Atas dasar dugaan ini, orangtuaku membawaku ke psikolog anak-anak.

Psikolog yang didatangi saat itupun sangat heran melihat perkembangan gemar berjinjitku dan sampai melakukan beberapa test padaku. Tapi ternyata tidak ada kelainan yang terdeteksi dan kebiasaan berjinjit itu sepertinya hanya hobi (mungkin secara tidak sadar waktu kecil aku terkesan dengan wanita-wanita yang berjalan dengan hak tinggi jadi terinspirasi ikut berjinjit). Dan ternyata lagi, hal yang menyebabkan aku belum bisa mengeluarkan kata pertamaku adalah karena di rumah, kedua orangtuaku berbicara dalam dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan Indonesia. Hal itu membuatku sulit menangkap inti bahasa yang seharusnya aku kuasai.

Oleh karena itu, orangtuaku bersepakat bahwa mereka berdua akan menggunakan bahasa Inggris di rumah maupun saat sedang bepergian. Untuk membantu perkembangan berbahasaku, setiap malam mereka berdongeng padaku (dalam bahasa Inggris tentunya). Ternyata cara itu cukup efektif dan akhirnya aku bisa berbicara seperti anak lainnya.

Ternyata kebiasaanku saat kecil yang unik ya. Dan kebiasaan berjinjit itu terus berlanjut sampai usiaku sekitar 11 tahun (aku selalu naik tangga sambil berjinjit). Entah ide apa yang begitu merasukiku sampai punya kebiasaan berjinjit itu.

Tapi entah kenapa, aku merasa hebat karena tidak bisa berbicara waktu umur 2 tahun itu. Aku sih menangkapnya, bahwa waktu kecil aku punya kemampuan yang besar untuk belajar dari lingkungan sampai-sampai bikin bingung sendiri. Aku juga merasa bahwa dengan tidak berbicaranya aku pada waktu itu, menambah kemampuan orangtuaku untuk mengasihi anak-anak.

Bukankah semuanya senang!

Tas Wanita

“Di kala hoay, tandanya santai. Aduhai, bagai di tepi pantai. Sambil terkulai, dibelai-belai sama cewek bohay. Hoo ooo… sambil tetap santai”
-sepotong lagu anak-anak jaman sekarang-

Setelah memaksakan diri berpikir ya paling enak menulis santai,

Seputar Isi Tas –>

“Tuh kan! Tas cewek itu selalu berantakan!”

Ok, aku akui kalau tasku berantakan tapi berapa orang coba di atas dunia ini yang membawa tas wanita?

( Apa pula itu tas wanita?)

Tas wanita itu adalah tas kecil yang berisi perlengkapan yang kau perlukan ketika tiba-tiba mendapat haid di waktu yang tidak terduga. Isi tas itu adalah celana dalam mini, pembalut besar, pantyliner, kantong kresek, kertas koran (kecil aja). Saat ini aku sedang mempertimbangkan untuk memasukkan rok span tipis ke dalamnya, tapi gimana caranya biar nggak terlalu besar dan berat ya?

Berkat tas wanita itu, aku berhasil mengelabui teman-temanku. Dari tampangku yang tomboi, jarang ada orang yang menduga bahwa aku ini adalah salah satu pembawa “tas wanita”. Kata teman-teman, itu menandakan bahwa aku ini orang yang feminim. Heran juga dengernya, kukira semua perempuan harusnya membawa perlengkapan ini–> malah kurang karena ndak ada rok span (takutnya kan tembus celana) sama obat penahan sakit. Tapi ternyata jarang ya perempuan yang membawa perlengkapan ini. Padahal bantu banget loh!

Jadi, buat kalian-kalian yang mendapatkan menstruasi tiap bulan, mulai sekarang coba pertimbangkan untuk membawa tas wanita ya…. Soalnya kan kita (terutama yang mahasiswi dan bisa seharian di kampus) tuh rata-rata sibuk banget tuh. Mendingan kita selalu siap tempur menghadapi si tamu ini biar bisa beraktivitas dengan bebas tanpa waswas dan juga biar ndak repot keliling nanyain temen-temen satu-satu: “Bawa pembalut?”

Kenali lah dirimu sendiri dan kompromikan keadaanmu!