Aku sedang kecewa dan ketakutan. Hari Jumat kemarin, aku mengikuti open recruitment PT Dexa Medica dan dari 50 orang pun, aku bahkan tidak lolos psikotestnya. Setelah itu aku menjadi sedikit ciut dan ngeri apa jadinya masa depanku yang akan dipenuhi psikotes-psikotes lainnya saat melamar ke perusahaan-perusahaan besar. Aku sudah beberapa kali mengikuti psikotes, dan salah satu hasilnya yang aku ingat adalah hasil yang dikeluarkan saat SMU (ada juga test minat dan bakatnya). Hasilnya adalah otakku terlalu lemah untuk mengikuti pendidikan S1, ambil D3 saja. Tapi aku tidak mengambil D3, seperti semua orang ketahui. Orangtuaku cukup ngotot bahwa aku anak yang pintar tapi malasnya ndak ketulungan, mereka mendorongku untuk tetap berada di jalur menjadi sarjana. Dan ternyata aku bisa menjadi S1, tidak seperti yang dikatakan hasil test itu. Tapi setiap kali melihat atau mendengar “psikotes”, aku merasa idiot. Mungkin sebenarnya saat ini aku harusnya masuk SLB karena toh tidak pernah benar-benar cocok dengan institusi macam apapun. Saat SD di Amerika pun, pada jam-jam tertentu, aku ditempatkan di kelas khusus. Ibuku juga dipanggil oleh kepala sekolah saat SD di negara ini, karena aku terlalu pendiam. Mungkin sebenarnya aku cacat di daerah otak, tapi tidak ada yang pernah menemukan obatnya, seperti kasus Bapak Parkinson yang pernah aku ceritakan.
Banyak sekali kemungkinan yang hanya bisa dirangkum menjadi: “Jangan-jangan aku tidak normal?”
dan,
“Kalau aku tidak normal, bagaimana dengan uang? Uang itu untuk orang normal!”
lalu,
“Aku bahkan tidak normal dalam arti brillian, aku hanya tidak normal. Bagaimana nasib Bapak Parkinson? Siapa yang akan menemukan obat bapak itu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuiku bahkan saat aku makan, minum, dan tidur. Ternyata aku ingin sekali menjadi normal. Diakui bisa bekerja untuk seseorang, atau mungkin menjadi pemimpin beberapa orang. Mendapat slip gaji pertama dan memberinya pada ibu. Pulang, masak dan makan bersama keluarga. Marah karena anakku malas belajar. Memijat pundak suami yang lelah. Membaca sebelum tidur.
Tapi dengan hasil psikotest dan kenyataan yang berbeda, apa yang ingin dia katakan? Dia ingin katakan aku tidak bisa dikelaskan oleh psikotest itu. Bahwa aku terlalu minoritas untuk dikelaskan. Bahwa aku tidak berada dalam range “normal”. Apakah akan ada psikotest dari suatu perusahaan yang mencari orang yang tidak normal? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa melakukan apapun kecuali menjadi diri sendiri.
Tadi aku bercerita pada MM dan dia bilang, “Emang mental bos kek gitu?” (Sebelumnya aku bercanda, “Mungkin mental gwa terlalu bos.”). Dan dia benar, emang sangat tidak leader, tapi lebih follower. Tapi follower siapa? I have no leader, sama seperti halnya aku memilih golput. Temanku pernah berkata padaku, “be a leader” tapi lalu aku menjadi amonajaku dan menanggapi, “jika perlu”.
Kupikir, pasti enak sekali menjadi normal. Orang normal itu bekerja pada perusahaan yang sudah ada, dan mereka mendapat uang. Lalu bagaimana dengan orang-orang seperti aku? Pilihan kami hanya sedikit, menjadi sangat berbeda dan sukses atau menjadi dilupakan dan bunuh diri. Kalau kau dianggap brillian, karya-karyamu dikenang, tapi kalau kau hanya “aneh”, kau akan cukup beruntung kalau jasadmu dimakamkan seseorang.
Mungkin itu tidak terlalu buruk bagi orang yang mendapatkan normal itu membosankan.
Yang aku perlukan hanya keberanian. Bahwa doa-doaku dijawab, dan aku tidak akan ditinggalkan kelaparan di bawah kolong jembatan karena tidak mendapat uang.
Pertanyaannya tetap, apa yang seharusnya aku lakukan?