Aku berbuat kebodohan. Kemarin aku meminum creamer basi dan kini aku keracunan. Tapi begitulah, kadang ada kesialan yang perlu terjadi. Mungkin juga ini agar aku memberikan istirahat pada perut yang jarang berpuasa. Aku akan berpuasa agar perutku bersih.
Akibat keracunan itu, lagi-lagi aku menyabotase diriku dalam menulis. Padahal harusnya saat ini aku membuat sebuah tulisan yang hebat. Sesuatu yang akan masuk media. Mungkin sesuatu yang serius, yang ada riset. Atau mungkin menyebut mengenai 65 atau semacamnya.
Tapi aku keracunan. Dan saat aku sakit, aku menjadi praktis dan kelampau sederhana. Sambil bolak-balik ke toilet dan mengambil istirahat sambil membaca, aku mulai berpikir untuk menulis tentang sesuatu yang manis dan sederhana. Tapi apa?
Aku ingin menuliskan sesuatu yang mengalir dan begitu mudahnya. Seperti Il Postino yang plotnya tidak menjelimet. Memang tidak mungkin sih menyamai hebatnya buku tepat sasar yang dibikin dalam tempo 14 tahun, tapi seseorang boleh berusaha. Jadi aku berpikir-pikir mengenai cerita yang sederhana. Yang mudah. Suatu cerita yang aku sendiri senang mendengarnya.
Dan aku teringat pada dua kawanku yang akan menikah. Aku teringat pada cerita mereka dan aku berpikir bahwa aku senang mendengar cerita seperti. Sebuah cerita “meet cute” seperti di manga (komik jepang). Kayaknya asyik saja. Ringan juga untuk perut penulis yang sedang melilit hingga membuat otaknya praktis.
Jadi aku membuat sebuat cerita yang terinspirasi dari dua kawanku ini. Ceritanya tidak akurat, karena aku mengubah sana-sini untuk memberikan rasa lebih manis yang muat dalam halaman yang kurang dari 7. Seperti biasa jangan perhatikan kesalahan teknis dan semacamnya dan semacamnya. Itu terlalu njelimet, dan saat ini aku sedang praktis-praktis manis
Selamat menikmati manis!
-nyaw, melilit praktis-
***
Warna Seorang Tsundere
Ana duduk gelisah di atas kursi rias, sambil mematut-matut kain lembut yang menjadi jilbabnya. Sesekali ia merengut, mengerucutkan bibir dan mendecak. Ia bahkan melebarkan cuping hidung, wanti-wanti ada upil kering atau bulu hidung mencuat. Kemungkinan hal itu terjadi pada perempuan sangat kecil, tapi Ana tidak mau mengambil resiko. Banyak kesialan yang dapat terjadi di hari sepenting ini. Hari ketika tsundere seperti dirinya akhirnya dilamar nikah.
Kata orang-orang di sekitarnya, Ana adalah tsundere. Tsundere, sebutan Jepang untuk perempuan sok kuat tapi berhati lembut. Versi Jepang untuk istilah, “Tampang Rambo, hati Rinto.” Agak seperti crème brulle; berkerak di luar, lumer di dalam. Katanya Ana adalah perempuan yang semacam itu. Dan Ana tidak terlalu mengerti mengapa mereka memberikannya julukan begitu.
Mungkin julukan tsundere disandang Ana karena ia adalah perempuan yang tomboy dan tidak berpakaian seperti perempuan kebanyakan. Ia senang mendaki gunung. Pacaran dengan track panjang atau menukik. Nanti kalau sudah di puncak, ia akan bermain dengan angin dan awan-awan. Tentunya untuk hobi yang seperti itu, tidak ada cocok-cocoknya untuk memakai gaun panjang. Ia harus pakai flanel, celana banyak kantong dan sepatu gunung. Kalau tracknya biasa saja, sepatu gunung berubah wujud menjadi sandal gunung. Praktis dan wajar saja bukan berpakaian seperti itu?
“Tapi kan itu kalau naik gunung Na. Kalau lagi di daratan, sekali-kali pakai rok dan sepatu cewek donk!”
Begitu komentar teman-teman Ana mengenai cara berpakaiannya sehari-hari yang tak ubah berbeda dengan saat ia akan mendaki gunung. Ana mengerti sih kejengahan orang-orang saat melihat perempuan berpakaian tomboy, tapi itu rasanya nyaman sekali. Semua pakaian serba longgar dan tidak menimbulkan risih.
Coba Ana pakai baju yang dijual-jual di rak perempuan yang pas badan dan berwarna pastel, mana pantas? Bahunya lebar dan pinggulnya kecil. Kulitnya gelap dan tidak ceria. Tampilannya tomboy, tidak feminin. Tidak pantas tubuhnya memakai baju yang dirancang bagi tubuh berlekuk dan bergelombang. Apalagi warna pastel perempuan. Mana cocok untuk warna kulitnya yang selintas bayang tidak lumrah untuk perempuan.
“Masa sih Na? Gaya gaun Victorian itu bakal bagus untukmu. Dan warna lavender ini bagus untukmu.”
Mata Ana membulat dengan risih. Seorang teman perempuan menunjuk kain berwarna lavender pucat padanya. Ia ngeri membayangkannya dalam balutan warna selembut itu. Dan bagaimana dengan gaun Victorian? Ana kan bukan putri dari negri dongeng!
“Ikh Kak! Gak akan cocok dengan bahuku yang lebar. Dan warna ini…. Aku gak yakin…. Bukannya warna kayak gini bagus untuk yang kulitnya putih kayak Kakak?”
Teman perempuan Ana mengangkat alis lalu menyampirkan kain di atas tubuhnya. Ia gemuk dan putih seperti marshmallow. Ia segala yang terbalik dari Ana, sehingga Ana menjadi semakin yakin bahwa ia akan tidak akan pernah cocok memakai warna lavender. Karena baginya, perempuan berkulit putih cocok dengan warna apa saja, beda dengan nuansanya yang lebih gelap.
Tapi teman perempuan Ana mengerutkan alis tidak puas. Seakan-akan ada sesuatu yang salah dan tidak pantas. Kain itu dibolak-baliknya dan ia berputar-putar beberapa kali gelisah di depan cermin. Tetap saja ia tidak puas. Lalu ia berkata,
“Enggak Na, warna ini untukmu. Lihat, aku kayak peri, enggak manusiawi. Aneh. Tidak membumi. Warna lavender semacam ini dibuat untuk orang-orang dengan kulit gelap serupa bebatuan tenang. Karena ini warna lavender sekaligus kecubung. Pasti Akangmu senang kau memakai warna ini.”
Kain yang disebutkan berwarna lavender sekaligus kecubung itu kemudian berpindah tangan kepada Ana. Perempuan itu diam dan menimbang-nimbang. Ia mengakui bahwa warna itu sangat cantik. Dan sebenarnya ia bukannya tidak mau pakai baju bermodel Victorian, ia hanya merasa tidak pantas. Tapi bukankah hari lamaran itu adalah hari yang spesial? Hari di mana tsundere pun boleh berpenampilan perempuan? Penampilan perempuan cantik, sajian sesekali bagi lelaki yang akan melamarnya dalam dua pekan.
Lelaki yang akan melamar Ana tidak seperti yang orang-orang bayangkan. Karena Ana sering mendaki gunung, banyak yang memperkirakannya akan berjodoh dengan lelaki yang kokoh, tegap dan stabil seperti gunung batu. Sebaliknya, Ana mendapat lelaki yang cungkring, putih, dan bermata sayu. Sedikit gunung, tapi gunung es yang pucat. Padahal ia lelaki. Lelaki kenapa kok putih dan pucat?
Tapi bagaimanapun lelaki itu jatuh hati pada Ana. Dan Ana pun merasakan hal yang sama. Alasan keduanya saling jatuh hati sederhana saja. Lelaki itu punya refleks yang bagus dan Ana kagum pada satu hal itu.
Refleks lelaki yang bagus itu diperlihatkan pada suatu hari ketika mereka menjadi pengajar-pengajar muda. Pada sebuh program mengajar ke daerah pelosok, keduanya dan beberapa kawan dikirim ke Tanjung Balai untuk seminggu. Mereka menaiki pesawat dan membawa koper sebuah tas ransel pribadi. Saat itu semuanya baru berumur 20-an yang manis dan optimis. Bagi mereka, tidak akan terjadi hal yang akan berakhir miris.
Tapi mereka salah. Ternyata saat mendarat dan turun dari pesawat, lalu menunggu di depan ban berjalan pengambilan bagasi, terjadi hal-hal yang tidak disangka-sangka. Mereka, para pengajar muda, harus menunggu selama 3 jam lebih. Dan alasannya satu. Karena koper Ana yang berisi keperluannya seminggu tidak muncul-muncul dari pintu pengambilan kargo. Seketika Ana lemas dan merasa nasibnya sedikit miris.
Teman-teman sesama pengajar menjadi gelisah dan sedikit panik. Ada yang menawarkan diri untuk melaporkan kehilangan bagasi. Beberapa berjaga di berbagai titik ban berjalan, siapa tahu koper itu terlewat. Tapi semua kehebohan ini tidak berguna. Tetap saja koper Ana entah di mana. Mungkin aja raib.
Lalu di tengah-tengah semua hiruk pikuk panik itu, seorang lelaki berjalan mendekat. Di tangannya terdapat semacam gumpalan yang tidak terlalu jelas. Ia datang dari belakang Ana dan menempelkan kemeja itu ke punggungnya. Ana tidak mendengar langkah-langkahnya dan sedikit tersentak karena tiba-tiba ada sesuatu yang ditempelkan pada punggungnya. Ternyata yang ditempelkan pada punggungnya adalah sebuah kemeja lusuh dan banyak lipatan. Ana kaget dan mengernyit memandang lelaki yang menempelkan baju itu sambil berkomentar,
“Kayaknya cukup.”
Lalu lelaki aneh itu melipatkan kemeja itu kembali dan berjalan menjauh. Ana tidak mengerti dan mengernyit semakin dalam. Kenapa lelaki itu menempelkan kemeja lusuh di punggungnya? Teman-temannya yang panik pun ikutan mematung. Akhirnya seakan-akan sadar dari sebuah hipnotis, Ana bertanya,
“Itu siapa?”
“Satya,” jawab seorang dari mereka.
Tak lama terdengar sebuah desing. Ban berjalan kargo dinyalakan kembali. Dari lubang tempat dilemparkan koper-koper, terdengar sebuah ribut sebuah gedebuk. Lalu muncullah koper Ana yang sedari tadi membuat panik dan riuh. Teman-teman Ana menunjuk koper itu dan memekik senang. Mereka menemani Ana mengangkat koper yang sebenarnya tak seberapa berat. Saat mengangkat koper, Ana melirik diam-diam ke sebelah kanan. Dilihatnya sosok Satya dengan sebuah kemeja lusuh di tangan. Ana bertanya-tanya apa Satya akan tetap meminjamkan kemeja setelah kopernya datang.
Semenjak saat itu Ana sering penasaran dengan Satya. Lalu terdapat berbagai gosip macam-macam. Bahwa ia lelaki nakal dan senang tebar pesona. Juga bahwa Satya punya banyak cerita miring berhubungan dengan mematahkan hati perempuan-perempuan alim. Hati Ana meleos ke dalam dada. Tapi ia tetap penasaran pada Satya. Juga pada kemeja lusuh yang pada akhirnya tidak pernah dipinjamkan. Penasaran Ana pada kemeja itu seakan-akan semacam perumpamaan yang radikal. Seperti, apa mungkin ia dan dia adalah satu ukuran yang cocok?
Ana tidak pernah tahu jawaban dari tanya itu. Kemeja itu pun tak pernah dipinjamkan padanya. Tahu-tahu saja semuanya berjalan dengan begitu cepat. Satya menanyakan kesediaan ayah Ana untuk meridhai niat baik untuk melamarnya dan tiba-tiba saja hari lamaran itu akan tiba. Ana tidak pernah tahu apa ia dan dia adalah saku ukuran yang cocok. Tahu-tahu saja ia sedang berdiri di toko kain, dengan seorang teman, menimbang-nimbang apa warna lavender cocok untuknya.
“Iya Kak ini cocok? Tapi Akang kayaknya enggak akan perhatian. Kayaknya dia senang aku pakai baju-baju yang tomboy.”
Teman perempuan Ana itu mendecak tidak sabaran lalu merebut kain berwarna lembut itu dari tangannya. Diserahkannya kain itu pada pelayan toko untuk diukur panjangnya berikut nego harga penghabisannya. Pelayan toko itu tertawa kecil menghadapi kecerewetan teman perempuan Anna yang serupa marshmallow kepanasan. Ana terdiam dengan perasaan sedikit malu. Kini tanya dalam hatinya bukan lagi tentang kemeja berukuran pas. Ia bertanya-tanya apa Satya akan menyukai dirinya dalam balutan gaun berwarna lavender lembut dan bukan dalam kemeja flanel lusuh bekas terlipat-lipat. Tsundere Ana ingin cantik pada hari spesialnya. Hari lamarannya.
Hari spesial itu pun tiba dan Ana memakai gaun victorian berwarna lavender lembut seperti yang direncanakan. Sanak keluarga Ana tersenyum lembut memandang dirinya yang berpenampilan tidak biasa. Banyak yang memujinya dan berkata bahwa hari itu ia tampak sangat perempuan. Ana memberikan cengiran salah tingkah sambil sedikit memlintir-mlintir ujung jilbab dengan gelisah. Ia harap Satya akan berkata yang sama.
Dengan menggunakan APV, keluarga Satya tiba dengan membawa sedikit oleh-oleh. Terjadi sedikit ribut ketika keluarga Ana dan Satya bertukar salam. Terdengar kalimat pertukaran basa-basi mengenai kemacetan dan tidak perlunya keluarga Satya membawa seserahan. Kedua keluarga tahu, seserahan yang penting bukan berbentuk barang seukuran tangan. Seserahan yang penting berbentuk dua cincin emas beberapa gram.
Satya merogoh saku, memastikan cincin itu masih ada dalam saku celana. Ia mengeluarkan napas lega ketika merasakan kotak berisi cincin sepasang itu masih utuh. Karena kegelisahannya, Satya sedikit lupa untuk mengamati penampilan Ana. Apalagi saat itu sedang ada silau yang mengintip lewat pepohonan dan menusuk menuju ke dalam rumah. Akhirnya Satya menyadari Ana untuk pertama kali semenjak ia memasuki ambang pintu. Sempat ia menyipit karena silau, tapi setelah terbiasa, matanya melebar dan ia berkata,
“Ana, kamu cocok sekali dengan lavender.”
Dan Ana terdiam. Diam dalam sipu malu berwarna cocok dengan lavender.