Aduh aku bikin tulisan aneh. Sebenarnya idenya adalah menunjukkan bahwa di dalam diri perempuan itu bisa banyak kepribadian yang berbeda dan bertentangan, tapi eksekusiku lemah…. Aku lemah hari ini…. Jadinya tulisan yang tidak jelas seperti ini. Ah ya sudahlah. Tidak masalah. Ini adalah eksperimen dalam mengeksekusi konsep kuat tapi jadinya seadanya saja. Tidak apa. Mungkin lain kali.
Pada cerita ini, dipakai ending terbuka. Karena aku nyontek salah satu kawan menulis. Boleh donk? Kubilang sih boleh. Tapi mungkin ending terbuka itu bukan sesuatu yang berkhas aku. Karena aku sendiri merasa begitu OCD untuk memberikan konklusi. Itu mengganggu.
Tapi kali ini kubiarkan gatal itu menang. Sekali-kali. Biar otak tertantang.
Selamat membaca dan selamat berpusing-pusing. Aku tidak heran kalau ada yang bilang, “nggak ngerti”. Ada kemungkinan aku sendiri pun nggak ngerti-ngerti amat, jadi kalian yang sempat membaca harus mengerti. Demi pengetahuan! Demi kewarasan!
-nyaw, off tune-
***
Melodi Tiga Dara
Berbicara tentang perempuan tidak ada habisnya. Keindahan dalam perempuan begitu banyaknya sehingga seseorang yang bekerja sebagai notulen tidak akan habis kerjanya dalam mencatat bagian mana saja yang patut membuat diri berdecak kagum. Bola matanya saja sudah dijadikan lagu yang tidak berhenti-henti didendangkan oleh pengamen yang sedikit berjiwa lawas. Lalu beralih kepada bibir. Wah ini sih asyiknya tidak untuk dijadikan bagian karya. Mungkin untuk imajinasi pribadi. Tak jarang pula ada tulisan-tulisan yang memuat mengenai kemolekan lekuk ayu perempuan. Biasanya tulisan yang seperti ini nyastra dan nyeni. Karena lekuk perempuan itu indah dan penuh proporsi. Tapi bagaimana dengan penggambaran perempuan-perempuan yang benar, sebenar-benarnya. Apa itu tidak bisa nyastra dan nyeni?
Karena perempuan yang sebenar-benarnya beragam dan tidak hanya satu tipe. Kalau mau menyebut, yang satu lebih cantik dari yang lain, tidak semua akan bersepakat sama. Karena perbedaan palig detail dan hanya setitik pada perempuan akan mengubah selera. Misalkan satu perempuan itu memiliki pantat besar, tapi yang lainnya memiliki dada besar. Yang dipilih sebagai yang lebih menarik tentu akan menjadi debat. Seru tapi sebenarnya agak membosankan. Padahal ujung-ujungnya selera. Tiap perempuan itu berbeda. Mau pilih yang mana? Kompromi dengan yang bagaimana?
Tapi pasti lelaki itu merasa sulit bila harus memilih satu saja. Karena perempuan itu begitu beragamnya dan begitu macam-macam. Keserakahan meskipun satu, sayangnya tidak memiliki batas. Kalau memiliki kesempatan untuk memilih semua jenis perempuan, mungkin lelaki akan pilih semua. Meskipun pastinya dia akan menjadi limbung sendiri. Karena bayangkan berada dalam ruangan dengan perempuan yang berbeda-beda pribadi. Mungkin akan terjadi cekcok dan saling adu mulut tajam. Mungkin ruangan itu pun akan roboh dengan sendirinya saking tidak kuat menahan energi perempuan. Jadi tidak terbayang lelaki yang tidak dapat memilih satu perempuan. Apa dia tidak ingin pingsan? Salut untuk lelaki itu.
Selera lelaki yang plin-plan itu satu hal, tapi bagaimana dengan perasaan perempuan? Itu satu hal lain tentu. Dan merupakan sesuatu yang penting! Apalagi perempuan umumnya tidak senang dibandingkan. Ah jangankan perempuan, lelaki pun tidak suka. Itu adalah sesuatu yang manusiawi. Jadi untuk dijadikan pilihan yang kesekian dari kesekian adalah hal yang menyakitkan. Meskipun begitu, perempuan itu senang berebut lelaki. Membuat diri berpikir bahwa ia adalah pemangsa. Padahal dia jadi seperti hyena. Mengais-ngais sisa pemangsa sesungguhnya. Tapi perempuan belum sadar juga dengan rendahnya berebut mangsa. Jadi mereka akan saling berdebat dan beradu mulut. Seperti tiga orang dara yang sedang duduk berhadapan itu.
“Dia suka senyumku.”
Begitu kata perempuan yang pertama. Dia memakai sanggul chignon yang rapat. Blazernya berwarna gelap dan memeluk tubuhnya di tempat-tempat yang tepat. Roknya sedikit di atas lutut, tapi tidak vulgar ketika kakinya disilang. Terlihat sebuah intip di antara silang itu. Tidak vulgar, tapi cukup untuk membuat otak yang paling polos sekalipun bertanya ada apa di antaranya. Jadi bisa dibilang perempuan ini terlihat keren dan hebat. Selayaknya pekerja kerah putih umumnya. Rapi dan necis. Persis pupur dan eyeliner kucingnya yang tidak bercela. Semuanya dirumuskan oleh kuncup merah bibirnya yang sesekali dikulum. Agar pipinya tidak terlihat gembul. Karena pekerja kerah putih tidak gemuk. Kalau gemuk mana bisa dipromosi. Mana bisa aksi depan klien. Mana disukai lelaki? Perempuan semacam perempuan pertama ini paham betul mengenai performa. Ia rapi dan teliti. Itu khas keperempuanannya. Kekuatan yang terletak di dalam terampil tangan yang lentik dan otak yang bergerak cermat. Hal-hal yang dikagumi kaum lelaki.
“Huff! Jangan bikin aku geli. Senyum dari orang sedingin kamu? Ya senyum es abadi! Mungkin sebenarnya dia bukan memuji tapi berharap kamu bisa tutup mulut tajam itu dan lebih banyak kesejukan batin!”
Perempuan kedua berseloroh sambil melipat tangan. Kedua tangannya tersembunyi di balik gundukan dadanya yang gempal. Montok dan empuk seperti bantal. Tapi bukan bagian itu saja dari dirinya yang tampak dapat membal. Lengan, paha dan pinggulnya sama seperti itu. Perutnya tentu tidak kalah ingin bisa bikin mental. Keseluruhan perempuan itu pasti membuat siapapun yang gila proporsi sebal. Tapi tubuh perempuan itu tidak peduli akan semua cela kental. Baginya perempuan adalah yang seperti bantal. Karena di dalam perempuan yang seperti bantal, terdapat sisi perempuan yang lembut. Sisi perempuan yang manut dan hanya manggut-manggut mendengar keluh lelaki yang bebal. Juga terdapat sisi perempuan pengayom dan pengasih. Membuat hati lelaki sejuk. Membuat lelaki lupa pada kebodohannya dan ingat kekuatannya. Biasanya begitu kekuatan perempuan yang berbentuk bantal. Mereka bisa membuat lelaki santai. Dan semua ini biasanya dilakukan dengan melayani bagian paling penting dari lelaki. Perut. Jadi tidak aneh kalau perempuan yang lihai melayani perut berbentuk seperti bantal. Karena ia sendiri perlu menjadi pelayan perut pribadi sebelum dapat melayani perut lelaki.
“Kesejukan batin? Memangnya kamu ini ibunya? Jijik amat. Harusnya lelaki itu gak usah dipikirkan batinnya. Biar saja dia susah sendiri. Mikir sendiri. Kan dia bukan bayi!”
Kali ini yang bersuara adalah perempuan ketiga. Rambutnya acak adut. Entah lurus apa keriting papan. Terlalu tidak jelas. Karena semua gumpalan hitam kusut itu disatukan dalam ikatan yang tidak patut. Ia memakai baju serb gombrong sehingga tidak terlihat apa dia kurus apa gendut. Dan dia tidak memiliki ambisi untuk menunjukkan eksistensi dirinya melalui penilaian bentuk tubuh. Bahkan ia tidak ingin menunjukkan eksistensi diri sama sekali. Ia hanya ingin hidup apa adanya. Mengalir dan mengikuti arus. Tidak banyak berpikir. Tidak perlu banyak bertanya. Cukup ikuti apapun irama hidup dan berharap bisa bertahan. Tidak perlu menunjuk diri atau mengikuti aturan pasti. Toh semua itu tidak akan berarti. Semuanya akan menjadi tiada di akhir hidup ini. Jadi bagi perempuan berambut kusut ini, tidak perlu seseorang bekerja terlalu keras. Karena pada akhirnya semua orang akan menjadi debu. Makanya baginya lelaki itu tidak perlu banyak dilayani. Tidak perlu banyak didengar. Cukup disapa. Syukur-syukur kalau memang lelaki yang sejodoh dan seirama, maka pasti mereka akan berjalan bersama. Tapi kalau bukan, ya sudah. Ia tidak akan berusaha. Ia tidak mau susah. Untuk apa? Perempuan sejenis ini menarik lelaki yang tidak ingin banyak pikir. Termasuk berpikir mengenai keinginan pasangan sendiri.
Kedua perempuan itu mengernyit mendengar kata-kata perempuan yang ketiga. Kontan keduanya menghujat dan menerkam dengan menggunakan kata-kata yang tajam. Perempuan ketiga yang konon katanya serba santai dan serba tidak peduli ternyata cukup bisa memberikan kalimat-kalimat sergahan. Di antara ketiganya tidak ada yang mengalah. Tidak ada yang merendahkan suara. Pita suara mereka pasti bengkak-bengkak sehabis adu omong sehebat itu. Mungkin mereka akan membuat Mariah Carey menunduk malu karena kalah oktaf. Tapi begitulah jadinya kalau perempuan berebut satu lelaki. Tidak bisa rukun. Tidak bisa kalah. Karena semuanya memiliki pribadi yang khas. Semuanya diperhatikan secara seksama oleh seorang lelaki. Jadi sungguh celaka kalau perempuan-perempuan berebut satu lelaki. Terutama tiga yang berwatak sangat berbeda semacam ini. Jadinya perang. Jadinya payah. Mengerikan sekali.
Ketiganya terus saja menghujat dan berperang. Tiada lelah di antara mereka. Mereka adu pamer perhatian si lelaki pujaan. Dikatakan bahwa lelaki itu memuji masakan si anu, lalu dikatakan oleh yang lain bahwa si lelaki memuji program diet yang satu lagi. Ada yang bilang bahwa si lelaki menyenangi suaranya, ada yang menyanggah dengan bilang si lelaki menyukai perempuan yang banyak diam. Begitu banyak topik yang mereka gunakan untuk saling membuktikan diri bahwa hanya salah satu di antara mereka yang berhasil mendapatkan perhatian si lelaki, dan tentunya itu bukan kedua saingan di hadapannya.
“Aku yang dia sukai!”
“Aku yang dia cintai!”
“Aku yang dia sayangi!”
Mereka terus saja berdebat. Hingga mereka lupa bahwa mereka hanya opsi-opsi berderet. Pilihan kesatu, kedua dan ketiga. Perempuan yang mana? Perempuan yang mana yang dipilih oleh si lelaki untuk berkompromi selama sisa hidupnya? Apakah si perempuan pertama? Dengan kekuatannya untuk serba rapi dan teliti? Pasti ia akan cermat mengurusi keuangan rumah tangga. Apakah si perempuan kedua? Yang mengetahui cara melayani perut lelaki? Pasti ia akan membuat rumah selalu hangat. Apakah perempuan ketiga? Serba membebaskan dan tidak peduli? Pasti ia akan membuat lelaki tidak berpikir ribet. Yang mana? Perempuan yang mana yang akan dipilih oleh si lelaki?
Mereka terus saja berdebat. Berkutat pada kekuatan masing-masing dalam memesona si lelaki. Mereka begitu sibuk hingga tidak memerhatikan bahwa kursi kosong di hadapan mereka telah terisi. Oleh lelaki yang mereka ributkan sedari tadi. Lelaki yang tampak tenang dan diam. Kokoh dan terpercaya. Senyumnya yang tulus membuat tiga perempuan itu diam dan menunduk malu. Lupa akan semua tanya dan sengit. Hanya ada senyum si lelaki. Hangat hingga meresap ke dalam hati. Dan dari bibir yang tersenyum keluar kata-kata. Bariton dan berat. Menggetarkan diri tetapi menenangkan.
“Sudah lama menunggu Melodi?”
Begitu tanyanya. Pendek. Klasik dan Klise. Dan Melodi suka. Melodi cinta. Melodi sayang. Melodi merasa kesemua itu pada satu lelaki tersenyum yang di hadapnya. Tiga rasa. Tiga keperempuanan dalam jiwanya memiliki rasa yang senada pada lelaki hangat di depannya.
Tetapi kalau rasa itu senada? Lalu mengapa jiwa Melodi tidak bernyanyi sesuai irama? Hanya terdengar lagu dari tiga perempuan yang saling berdebat hingga pita-pita suara membengkak. Tiga perempuan dalam dirinya yang tidak bisa berdamai mengenai keberadaan dan perasaan mereka pada lelaki yang sama.
Harusnya ketika bertemu lelaki yang benar dan setepat ini, ketiga perempuan ini bernyanyi secara selaras dan harmonis. Bukan seperti ini. Di luar melodi dan merusak telinga jiwa. Melodi tidak paham. Mengapa tiga perempuan ini tidak bisa mengikuti melodi?