Naga dan Peliharaan-peliharaan Lain yang Lebih Menarik

Mungkin saya sedikit terlalu beruntung. Memasuki bulan ke-4 bekerja kembali di Jakarta, angka trombosit darah saya turun di bawah 100.ooo dan saya harus diopname. Sebelum semua peristiwa opname itu pun, sehari-hari saya sudah bermasalah dengan demit-demit yang menyebabkan saya tidak bisa tidur, aura menjadi bocor dan saya menjadi sangat uring-uringan. Saya begitu uring-uringan sampai saya merasa bahwa pekerjaan saya saat ini tidak lebih pekerjaan pecicilan. Oleh karenanya saya melampiaskan kesebalan saya dengan mencemooh laki-laki pecicilan. Tapi saya kemudian sadar bahwa itu adalah hal yang terlalu berlebihan dan sebenarnya tidak berhubungan. Karena persepsi buruk sendiri terhadap pekerjaan sendiri, kenapa yang kena malah lelaki pecicilan? Benar-benar tidak nyambung. Padahal intinya saya sedang memiliki banyak masalah eksternal, internal, internal menyerong, internal ke atas, eksternal meluas, eksternal di belakang, mikro, makro, dsb, dsb, dsb.

Sambil menuliskan ini pun saya merasa pusing dan lelah sendiri.

Oleh karenanya, saya menggunakan keberuntungan saya untuk opname dan mengalami sakit medis dan nonmedis ini untuk berhibernasi dan menenangkan diri. Ya! Berkontemplasi dalam demam dan nyeri. Menghimpun inner peace ketika deg-degan melihat darah muncrat dari infus. Fokus ketika menyuruh demit untuk pulang kembali ke Jakarta (yang tidak mau dia lakukan karena dia pun cukup lelah setelah mengejar dan mengancam membunuh, lagipula Bandung adalah tempat yang menyenangkan untuknya, jadi dia akan pulang menumpang pulang nanti saat saya menyetir ke Jakarta – saya bingung, dia yang mengancam membunuh, kok saya yang antar pulang? Ya sudah, manusia itu harus ridha dan lapang dada).

Lumayan. Alhamdulillah. Kini saya membaik. Berkat ridha Allah dan doa-doa teman-teman yang sangat baik…. Jadi siapa bilang sakit itu sial? Terkadang itu menandakan keberuntungan.

Tapi setelah keluar opname, saya masih bedrest di rumah. Masih ada pusing dan nyeri. Tapi masih bisa dimanage. Saya menggunakan waktu bedrest ini tidak hanya untuk tidur, tapi untuk mengejar buku-buku yang tidak sempat saya baca. Padahal membaca adalah hal yang sangat penting, tapi aku tidak pernah memiliki cukup fokus melakukannya beberapa bulan belakangan. Aku beruntung bahwa aku sempat curi membaca sambil bedrest.

Buku yang telah saya baca kali ini adalah “Cala Ibi” karya Nukila Amal.

Katanya Cala Ibi adalah seekor burung khas Sulawesi. Kalau dalam buku itu, Cala Ibi adalah naga bersisik emas dan bermata hitam. Itu membuatku teringat bahwa aku pun memiliki seekor naga. Namanya Greyling, karena ia adalah reptil abu-abu yang bergerak cepat seperti bayangan. Kadang dipanggil Moonstone, karena ia muncul di beberapa fase bulan tertentu. Dan belakangan ia memiliki alias Bloodstone, karena ia adalah prajurit yang ahli membunuh sehingga matanya hitam seperti darah kering pekat. Ya, aku pun memiliki seekor naga, dan dia hidup di dalam cerita “Putri Standar”.

Saya tidak tahu urusan naga, Nukila Amal dan saya sendiri itu apa, tapi saya hanya perhatikan satu benang merah. Saya perhatikan bahwa “Cala Ibi” adalah cerita tentang kesendirian dan pencarian makna, sedangkan “Putri Standar” adalah tentang kesendirian dan pencarian kemandirian. Keduanya memiliki tokoh naga di dalamnya. Saya jadi merasa bahwa naga adalah peliharaannya perempuan-perempuan yang merasa sendiri. Ternyata kesendirian perempuan itu dapat dimanifestasikan dalam bentuk sebuah hewan raksasa berdarah dingin dengan sisik keras dan mata kelam. Ternyata kesendirian perempuan itu juga arogan, sok tahu dan sok bijaksana.

Padahal kesendirian itu dingin dan keras. Juga dapat berkhianat.

Tapi kesendirian juga mitos. Dan hanya terwujud dalam khayalan atau diwujudkan demit.

Setelah membaca Cala Ibi, yang mengingatkan pada Putri Standar, saya jadi sadar bahwa kesendirian, kontemplasi, hal-hal yang berperang dalam hati, dan hal-hal lainnya, mungkin tidak sepelik itu. Kalau Nukila Amal mungkin akan bilang kalau semuanya itu hanya “…”. Iya betul. Semuanya tidak sepelik itu, yang pelik adalah perasaan tidak sabar dan kekurangan pemahamannya. Dan menurut Nukila Amal, semua pemahaman itu ada pada hal-hal sekitar kita. Kita perlu jeli.

J-e-l-i dalam arti teliti, bukan j-e-l-l-y dalam arti makanan.

Meskipun sedikit jelly manis tidak akan menyakiti siapapun.

Jadi kupikir, untuk saat ini lebih baik jalani saja apapun. Jangan pikirkan apakah pekerjaan yang saat ini terasa pecicilan atau tidak. Mungkin itu penilaian atas dasar kekesalan diri sendiri saja, mungkin karena saya kecewa tidak sempat menulis hal-hal yang benar-benar membuat saya bahagia, seperti cerita fiksi. Atau mungkin saya hanya terlalu memikirkan apakah sesuatu bermakna atau tidak, padahal itu di luar penilaian saya sebagai manusia.

Jadi selain itu. Saya memutuskan. Saya memutuskan bahwa saya sudah tidak ingin memelihara naga. Saya memilih memelihara anjing. Mungkin husky. Anjing itu hangat, bereaksi baik pada energi, dan terutama sekali, mereka bukanlah makhluk mitos.

Lagipula itu adalah keputusan yang spontan setelah membaca setengah jalan Cala Ibi dan didatangi naga ungu dengan kepala perempuan.

Saya memberikan jawaban, “NOPE!”

Sudah cukup naga yang saya kenal dalam 1 waktu kehidupan!

-nyaw, memilih memelihara husky-