Visualisasi Peradaban Manusia

Pada suatu hari yang beruntung, saya pernah melihat visualisasi dari perkembangan peradaban manusia. Saya tahu, ini kedengaran aneh, tapi saya sungguh-sungguh melihatnya. Mungkin lebih tepatnya saya melihat sebuah visualisasi intepretasi saya terhadap peradaban. Visualisasi ini sudah saya tuliskan dalam sebuah novel-yang-telah-ditolak-beberapa-kali-tapi-tidak-kunjung-saya-revisi-karena-saking-randomnya-cerita-itu-jadi-dibiarkan-saja. Tiba-tiba saya merasa perlu menceritakan kembali visualisasi itu, karena saya bosan dengan perkembangan peradaban yang begitu-begitu saja. Alasan terlalu simpel ya? Ya biarlah seperti itu. Lagian visualisasinya cukup menarik, dan melibatkan salah satu tokoh yang muncul di buku seorang pengarang terkenal (tapi tidak akan saya sebutkan nama novel maupun tokohnya karena tokoh itu muncul jauh sebelum novel itu terbit jadi saya cukup curiga itu bukan sekadar tokoh tapi mungkin sesuatu yang “lain”). Jadi kurasa, ini akan jadi tulisan aneh yang biasanya.

Awal dari visualisasi itu adalah saya sedang menaiki sebuah kendaraan yang berbentuk kereta. Relnya seakan melayang tapi sebenarny terpancang pada sebuah struktur yang menyerupai jembatan. Kereta itu memasuki kota-kota yang dibentuk dari kotak-kotak yang membentuk berbagai gedung pucat. Semua kotak berwarna putih. Sepanjang saya memandang hanya terlihat tumpukan balok-balok putih dengan bayang-bayang abu-abu. Bahkan ketika saya memandang penumpang-penumpang kereta, semuanya sama pucat. Semua orang tidak punya warna. Hanya warna putih kanvas kosong dan berwarna abu-abu.

Sesekali isi gedung-gedung kotak itu terlihat karena terdapat jendela yang berbentuk persegi atau persegi panjang. Terlihat dari dalamnya lift dan eskalator yang membawa orang-orang berwarna pucat. Naik ke atas atau ke bawah dengan bunyi “ding” pintu terbuka atau tertutup.

Begitu sibuk. Semuanya sibuk. Semua bergerak dengan pasti menyusur kotak-kotak menuju suatu arah yang entah apa. Tidak satu pun orang berhenti untuk melihat kiri dan kanan. Semuanya berjalan dengan suatu keyakinan menuju suatu tempat yang tidak saya ketahui. Semuanya saya lihat dari kereta yang berjalan begitu cepat. Bahkan saya pun tidak tahu kemana kereta itu hendak pergi. Hanya saya saja yang tidak punya rasa pasti akan arah dan tujuan. Saya bingung tapi berusaha terlihat tahu tujuan. Saya berusaha terlihat seperti semua penumpang kereta yang pucat-pucat itu.

Kereta kemudia berhenti pada sebuah halte. Para penumpang berhamburan keluar cepat-cepat. Serombongan calon-calon penumpang hendak masuk. Penumpang-penumpang yang mau masuk dan keluar berbenturan seperti air bah berbeda arah. Karena tidak tahu harus berbuat apa, saya ikut aliran dan turut menghambur keluar kereta dan mengikuti langkah-langkah para penumpang yang tadi bersama-sama ikut kereta.

Saya mengikut langkah-langkah mereka yang cepat dan begitu pasti. Menyusur kotak-kotak putih pucat. Naik turun lift dan eskalator. Tak lama saya sadari bahwa hanya saya yang tidak memakai sepatu. Dan hanya saya yang memakai baju dengan bahan melayang-layang ringan dan tidak kaku seperti yang lainnya. Saya merasa malu dan berbeda, tapi saya berpura-pura bahwa saya sama dengan mereka-mereka. Pucat dan penuh percaya diri. Yakin akan arah perjalanan mereka. Entah kemana. Entah kemana.

Tapi selama saya berpura-pura. Menyusur kotak-kotak, naik turun lift dan eskalator, berpura-pura tidak melirik kiri dan kanan, semakin saya tampak berbeda. Lama-lama saya tidak lagi pucat. Saya semakin berwarna meskipun masih tanpa alas kaki dan masih memakai baju dengan bahan ringan dan melayang. Dan tiba-tiba sebuah hembusan angin menerpa saya. Saya menahan hembusan angin itu dengan sekuat tenaga. Saya melihat kiri dan kanan, hanya saya yang dihembuskan angin. Tapi sekuat apapun saya menahan, angin itu begitu kuat. Saya memejamkan mata dan bergerak mengikuti aliran angin itu.

Saya terhempas angin yang membuat saya keluar jalur dari semua orang pucat.

Dan itu sangat menakutkan.

Saya ingin kembali tapi tidak bisa, karena tubuh saya malah bergerak mengikuti hembusan angin.

Saya tidak lagi mengikuti jalanan dan jalur-jalur di antara kotak-kotak. Kadang saya melompati kotak-kotak seakan-akan mereka hanya batu pijakan. Kadang saya menyusur jalur-jalur di dalam angin. Seperti ada pijakan-pijakan di sana. Lalu sambil saya bergerak, tanpa mengindahkan aturan, jalur, jalanan, logika, saya melihat semua orang-orang yang bergerak dengan kepastian yang membuatku tidak paham. Kemana mereka? Kemana mereka pergi? Kenapa mereka mengikuti jalur-jalur pucat tanpa memandang tujuan akhir?

Saya bingung. Tapi saya sendiri pun terus bergerak menyusur angin dengan arah yang tidak saya ketahui tapi membuat saya ringan. Kali ini saya tidak gamang meskipun tidak mengikuti jalanan yang telah dibangun di antara kotak-kotak putih.

Tapi tiba-tiba gerakan saya yang begitu bebas terhenti. Saya tidak lagi dapat melompat atau menyusur dengan ringan. Di hadapan saya tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan pijakan. Hanya ada padang tandus kering yang kosong dengan tanah retak-retak kering. Di ujung padang terlihat sebuah cahaya yang terang. Angin yang menghembus kembali mengarahkanku. Tapi kali ini aku tidak serta merta mengikuti hembusan. Karena angin menyuruhku untuk memasuki padang yang tandus itu. Sedangkan kotak-kotak putih pucat itu tidak dibangun menuju terang cahaya itu, tapi dibangun menjauhi cahaya. Ke arah yang berbeda.

Saya terdiam. Saya merasa tidak bisa melewati padang itu. Tidak ada kotak putih. Tidak ada jalur dan orang-orang pucat yang dapat disusuri dari pandangan yang jauh. Tidak ada apapun di padang itu selain kekeringan, tanah tandus dan kesendirian.

Tapi angin terus berhembus dan menyuruhku ke padang yang tandus itu di mana tak ada sebuah kotak putih pun di sana.

Saya masih terdiam. Malah saya takut dan tercekat. Saya tidak akan bisa bergerak ke sana tanpa sebuah kotak putih pun di sana. Sedangkan saya bukan seseorang yang tahu cara membuat kotak putih itu. Saya mengutuk diri sendiri. Seharusnya saya belajar membuat kotak putih.

Saya takut dan terus diam. Angin mempermainkan ujung baju dan rambut. Menyuruh saya mengikuti hembusan. Menyuruh saya berani untuk menuju cahaya. Tapi saya masih takut dan masih terus takut.

Lalu sebuah sosok berdiri di belakang saya. Dia memakai jubah hitam yang sangat lebar dan menutup muka. Tapi saya masih dapat melihat bahwa ia membawa sebuah tombak yang panjang. Punggungnya memiliki sepasang sayap hitam. Panjang dan besar, menyapu belakang tubuhnya. Sosok itu bersuara. Suaranya dalam, sebuah bariton yang tidak manusiawi. Katanya dengan garang,

“Jalanmu ke sana. Menuju cahaya.”

Saya bilang,

“Tidak ada jalan ke sana.”

Dia menjawab garang,

“Kalau begitu kamu harus membuatnya.”

Saya terdiam. Saya masih takut. Saya memandang cahaya itu. Saya tahu saya harus menuju tempat itu. Tapi jalan ke sana begitu kering, tandus, dan sepi. Terutama sepi. Tidak ada ukuran jarak tanpa kotak-kotak putih. Tidak lagi dapat berpura-pura tidak sendiri dengan memandang orang-orang berjalan dengan pasti. Kali ini hanya akan ada saya dan sebuah keyakinan bahwa saya benar-benar menuju cahaya.

Saya memandang cahaya itu. Bayangan itu terus di belakang saya. Dia garang tapi sabar.

Lalu saya tersadar dari visualisasi itu. Saya sadar bahwa kotak-kotak putih itu adalah hal-hal yang dibangun manusia. Sebuah bangunan peradaban pelik yang secara tidak langsung telah mengarahkan arah generasi-generasi penerus manusia. Begitu sibuknya kotak-kotak putih itu dibuat, sampai-sampai manusia lupa ke arah mana kotak-kotak itu dibangun dan diletakkan. Secara tidak sadar, kotak-kotak peradaban mulai menjauh dari cahaya. Padahal sosok hitam yang garang itu akan selalu mengikuti. Sosok yang sabar itu akan selalu mengikuti.

Karena sosok hitam itu kematian.

Kematian akan selalu membuntuti setiap langkah.

Pertanyaannya adalah, ke arah manakah kamu melangkah? Apakah menuju cahaya? Menjauhi cahaya? Ataukah hanya mengikuti jalur-jalur di antara kotak-kotak putih. Mengikuti logika yang ditata peradaban tanpa mempertanyakan,

“Ke mana semua kotak-kotak ini mengarahkanku?”

Ingatlah, kotak-kotak putih itu akan selalu ada. Tapi semua manusia memiliki daya untuk membuat kotak-kotak itu bersama-sama. Karena semua itu dimungkinkan oleh logika. Tapi logika tidak memiliki ukuran arah. Arah ditentukan oleh rasa. Arah ditentukan oleh hati yang dikuasai oleh kekuatan yang melebihi logika dan emosi.

Sesekali berhenti dan melihat kiri dan kanan bukanlah ide yang buruk. Karena sesekali seseorang perlu melihat arah perjalanannya.

Apalagi dengan sosok hitam yang membuntuti setiap saat.

-nyaw, kisah kotak-kotak peradaban-

Leave a comment