Nasib Labu

Aku gak ingat ini cerita dari buku teks wajib anak SD atau bukan, tapi ada suatu saat seorang anak SD harus memetik hikmah dari cerita tentang si Bapak Pandir.

Jadi alkisah, terdapat seorang bapak yang pandir (aka bodoh), makanya dipanggil sebagai Pak Pandir. Meskipun pandir, Pak Pandir punya istri yaitu si Bu Pandir dan mempunyai anak balita bernama si Labu. Pada suatu hari, Bu Pandir meminta tolong pada Pak Pandir untuk membelah labu di kebun untuk dijadikan sup labu. Percakapan yang terjadi adalah sebagai berikut:

Bu Pandir: Pak! Tolong labunya dambil Pak!

Pada saat itu Pak Pandir menemukan anak mereka, yang bernama si Labu sedang bermain di kebun.Si Labu pun dimasukkan ke rumah. Karena Bu Pandir begitu sibuk, dia tidak meperhatikan hal ini.

Bu Pandir: Pak! Tolong labunya dibelah Pak!

Pak Pandir memandang si Labu dengan bingung.

Pak Pandir: Pakai apa Bu?

Bu Pandir: Golok aja Pak!

Lalu dibelahlah si Labu (ew!).

Bu Pandir: Sekalian aja Pak, masukin labunya ke panci ya Pak!

Pak Pandir lalu memasukkan “si Labu” ke dalam panci yang telah berisi air mendidih. Tak lama kemudian, sup pun siap disajikan untuk makan malam.

Pada saat makan malah, Bu Pandir mencari-cari si Labu untuk makan bersama, tapi entah kenapa anak itu tidak muncul-muncul. Akhirnya karena lapar sekali, Bu Pandir mencicip sup “labu” tersebut.

Bu Pandir: Wah kok enak banget supnya! Ngomong-ngomong ke mana si Labu?

Pak Pandir dengan muka pandir: Lah, itu yang di dalam panci…

*syok*

Sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa cerita mengerikan seperti ini bisa masuk ke dalam buku anak SD, tapi yang pastinya pada saat itu, seisi kelas langsung merasa mual dan ingin muntah. Semuanya sangat trauma dan bertekad untuk tidak menjadi bodoh (kalau itu tujuannya, bisa dibilang sukses besar).

Jadi, apa hikmah cerita tersebut?

Jangan namai anak anda seperti nama makanan. Iya, mereka memang tampak manis, dan sebagainya, tapi lebih baik mencegah kesalahan. Apalagi yang berakhir dengan kanibalisme

-nyaw, trauma masa kecil-

Tentang Jadul

Kalau ke Bandung, sempatkanlah ke jalan Braga. Kenapa? Karena suasana jadul-nya itu mengasikkan.

(Di depan sebuah toko dengan tanda kucing imut, courtesy: Muthe)

Tapi anehnya, tempat itu seperti pertemuan jadul dan gen Y. Ok, jujur gak tau apa itu gen Y, tapi maksudnya adalah seperti pertemuan antara bandung tempo doeloe dan kehebohan masa kini. Di beberapa spot akan ditemukan gambar yang keren seperti ini, menimbulkan pertanyaan, yang seperti ini siapa yang gambar sih? Dan kenapa ada di tempat yang bersuasana jadul di antara penjual lukisan naturalis-ekspresionis? Tapi dia keren, makanya foto di depan gambar itu:

(ikut menganga, courtesy: Muthe)

Nah kalau sedang ada di jalan braga, coba juga mampir di restoran yang mempunyai tanda seperti ini:

(restoran Braga Permai, jalan Braga)

Karena menunya punya cita rasa jadul yang tidak biasa ditemui di tempat lain. Menunya juga bervariasi! Kuenya juga menarik hati dalam artian terasa seperti di rumah:

(Kue-kue Braga Permai, nyam!)

Jadi ingin pergi jalan-jalan lagi…

-nyaw, ingin jalan-jalan lagi-

Ventilasi

Resolusi tahunan itu sebenarnya membingungkan. Selalu bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau tidak melakukannya dalam satu tahun ini? Entah, mungkin sedikit depresi ya, tapi ya sudahlah. Nah karena aku bingung dengan resolusi, aku memfoto sesuatu yang ingin dilakukan (secara general).

Ini adalah foto jendela. Iya jendela.

Jadi maksud dari jendela itu adalah, aku ingin memperbaiki “ventilasi hati” (cailaaahhhh eta bahasa….). Alasannya simpel sih sebenarnya, jadi ceritanya begini:

Selama 1 tahun-an yang kemarin, aku merasa bahwa hidupku kacau sekali (secara mental). Semua orang bilang itu galau, dan itu tidak baik. Tapi aku berpikir bahwa mereka memang malas mendengar saja (sampai sekarang aku masih berpikir seperti itu, tapi aku juga mengerti karena hidup mereka sendiri pun pasti pelik). Lalu, di tengah “kekacauan”, aku mengobrol dengan temanku yang selalu bersedia diajak ngobrol tentang apapun. Entah berawal dari apa, tapi menjelang di akhir dia bilang bahwa aku sudah berubah menjadi “judgemental bitch”.

*Tentu saja dia gak bilang “judgemental bitch”, itu hanya untuk menitikberatkan situasinya saja*

Setelah dia mengatakan pendapatnya tentangku, aku menjadi sedikit kesal. Kesalnya adalah karena aku ini memang selalu men-judge. Setiap orang kan memang punya penilaian terhadap apapun!

Tapi,

Setelah sekian lama pembicaraan itu berlalu, aku memikirkannya, dan memang benar aku ini sudah menjadi judgemental bitch dalam artian tidak sehat.

Sudah berbagai metafora yang diberikan bagi hati, dan aku akan memberikan satu lagi. Itu adalah “ventilasi/jendela”. Jadi hati itu seperti ventilasi bagi jiwa. Dia adalah penghubung dengan dunia luar. Kadang dia tertutup. Kadang dia terbuka lebar. Kadang dia membuka secukupnya saja.

Nah, kupikir, aku tidak menggunakan ventilasi dengan baik. Sepertinya aku selalu menilai-nilai “angin” yang akan lewat dengan penuh curiga. Itu adalah hal yang tidak sehat, karena itu disebut sebagai perbuatan buang-buang waktu dan tidak tepat saja. Belum-belum juga angin berhembus, eh harus bermacam-macam rintangan dilewati. Sungguh merepotkan

Jadi begitulah tentang ventilasi. Maafkan racauan panjang ini. Sulit menyingkatnya menjadi tulisan yang super padat dan informatif. *penulis aja lelah ini*

-nyaw, huuuu haaaaa huuuu haaaaa-

PS:

Kalau kalian ingin tahu bagaimana kabar temanku yang diceritakan di atas, dia itu sedang sibuk dengan hidupnya. Tampaknya banyak hal yang harus diselesaikannya. Ingin membantu, tapi sepertinya ini adalah hal yang ingin diselesaikannya sendiri. Aku yakin dia akan bisa menyelesaikan semuanya!

–> Foto untuk 30 Days of Life Images

Perspective to The Sun

Tahun 2012 diawali dengan hujan. Tapi sebenarnya sebelum hujan, matahari sudah mengintip dari balik awan-awan yang membawa hujan itu. Tampang matahari adalah seperti ini kawan:

(Ini adalah matahari seandainya aku adalah kelinci yang mendongak dengan penuh rasa penasaran *diambil sambil berjongkok*)

(Ini adalah matahari seandainya aku adalah anjing herder *diambil sambil berlutut*)

(Ini adalah matahari yang dilihat perempuan tinggi kurang dari 160 cm *berdiri*)

Ternyata, hal yang sama kalau dilihat dalam sudut berbeda, kelihatan beda-beda. Kalau manusia yang berjongkok seperti si kelinci mungkin akan bertanya-tanya, “Matahari bukan ya…? Ahhhh silauuuu….! Kenapa kenapa pagarnya tinggi!”. Kalau si anjing herder mungkin akan melihat matahari dengan, “Matahari! Wow wow! Tapi harus lewat pagar, rumah, gunung lalalalala. No problem, I still can see the horizon!”. Sedangkan si perempuan karena berdiri akan bilang ,”Wow matahari, dia di sana. Screw you, I see the sun!”

Jadi,

Ada berbagai cara melihat tujuan, taruhlah dirimu di posisi yang tepat kawan.

Ada saatnya berjongkok mengintai hadiah, berlutut bersiaga berlari, atau berdiri dengan cueknya.

-nyaw, 2012 tampak menarik-

Tulisan ini ditujukan untuk pemenuhan tantangan dari 30 Days of Life Images January Challenge. Tolong kunjungi blog mereka yang menarik di sini untuk informasi lebih lanjut.