“Maklum”
Akhir-akhir ini aku menjadi lebih tidak suka dari sebelumnya dengan kata ini. Apalagi aku baru membaca sebuah buku tentang perasaan nyata istri-istri. Aku jadi tidak mau memakai kata pengecut seperti “maklum”.
Buku yang dikarag Asma Nadia itu ditulis dengan sederhana dan to the point yang buatku enak sekali dibaca. Yang aku kritisi bukan cara menulisnya, tapi kenyataan yang diungkapkan oleh buku itu. Aku tidak habis pikir bagaimana sekumpulan istri bisa berkata: “Laki-laki itu ibarat teko, isinya bisa tumpah kemana-mana, yang penting dia balik lagi ke tempatnya.”
Itu adalah penghinaan besar untuk laki-laki. Benar. Bukan buat perempuan loh ya, tapi buat LAKI-LAKI! Kalau saya adalah laki-laki, saya akan merasa terhina disebut teko yang tidak bisa menjaga isinya. Dan lagi kalau aku laki-laki, aku merasa bahwa aku juga punya hak untuk mencintai istri sebaik mungkin. Dan karena berbagai penelitian ilmiah mengatakan bahwa setelah 2 tahun, hasrat itu akan mati, aku ingin jatuh cinta untuk kedua kalinya dengan istriku karena aku merasa terhormat Allah memilihkannya untukku.
Titik.
Dan aku bukan teko -_-.
Perempuan, mereka suka sekali bilang “maklum”. Mereka mengaku dijajah laki-laki. Tapi perempuan, mereka setiap hari berdoa dijajah oleh laki-laki, disakiti laki-laki, dilecehkan oleh laki-laki dengan berkata, “Maklum, laki-laki memang tidak dapat menahan diri mereka. Mereka lemah dan tidak punya pendirian.” Dengan ide seperti itu, para perempuan bersedia menjadikan laki-laki sebagai imam.
Aku pun pernah berpikir laki-laki itu lemah, bodoh, dan hanya memikirkan selangkangan. Karena pikiran itu, aku tidak mau menikah. Aku tidak mau menghabiskan hari-hari tuaku dengan orang seperti itu karena pasti membosankan (aku terkenal sangat arogan dan kalau tidak arogan, orang-orang bilang bahwa aku terlalu tajam -_-). Tapi kemudian pikiranku berubah. Laki-laki itu pasti gagah sekali karena di Al Qur’an, mereka sangat dipercaya. Dipercaya dapat memperbaiki dirinya sendiri, dipercaya bisa melihat petunjuk-petunjuk, bahkan dipercaya dapat menjadi imam untuk istri mereka.
Dan sejak saat itu aku berpikir bahwa laki-laki, karena Allah yakin pada mereka, aku juga seharusnya tidak skeptis apalagi memakai analogi teko. Aku yakin bahwa semua laki-laki itu gagah. Dan yang menjadikan seorang laki-laki gagah bukan otot dan testis. Yang menjadikan seorang laki-laki gagah adalah pikiran dan hati.
Mungkin aku naif dan idealis. Tapi aku akan merasa terhormat kalau kalian bilang aku adalah orang yang optimis.
Hidup itu kejam, penuh penderitaan, hal buruk, oleh karena itu tidak perlu membuatnya lebih parah dari sebelumnya.
Percayalah, laki-laki sanggup kok berbuat baik, jujur, hormat, dan terutama sekali gagah.
Kalau masih bisa didoakan, berarti masih bisa diusahakan 😀