Sunyi Senyap Sendiri

Belakangan saya menulis dengan sedikit jarang. Itu menimbulkan sedikit rasa berdosa. Karena sebenarnya banyak sekali yang mau saya ceritakan. Banyak dan banyak sekali. Tapi bersamaan dengan banyaknya cerita, saya terserang penyakit radang tenggorokan dan saya sudah meminum obat macam-macam tapi malah terus saja batuk itu hebat. Baru belakangan ini radang itu mengempis, setelah ke dokter THT dan meminum obat yang membuat sedikit maag. Tapi itu tidak masalah. Yang penting sembuh dan bisa berkonsentrasi. Pasti pasti bisa. Tapi untuk sementara ini saya perlu menikmati seni dalam bersantai dengan tidak melakukan apa-apa. Percayalah, itu susah! Sangat susah! Selalu saja timbul rasa perlu menulis dan membaca beberapa buku yang “mencerdaskan”. Tapi sakit selalu menjadi cara terbaik untuk memaksaku tiarap dan memikirkan beberapa hal.

Dan aku mulai memikirkan mengenai kesendirian, kesepian. Rasa yang aneh. Kadang saat perasaan itu datang, rasanya badan sendiri pun asing. Lalu kau bercermin, “Siapa itu? Siapa yang ada di sana?”

Perasaan yang membuat banyak orang merinding dan meremang. Perasaan yang konon dapat membunuh dalam jangka lama. Katanya begitu. Ada penelitiannya. Tapi maaf saya lupa artikelnya. Pokoknya ada penelitian semacam itu.

Padahal sebenarnya mengatasi kesendirian dan kesepian itu gampang. Pada saat perasaan itu datang, bercerminlah dan berkenalanlah dengan dia yang ada di sana. Wawancarai dia habis-habisan. Dan jangan menampik apa-apa dirinya yang di sana itu. Jangan tampik karena itu adalah diri kita saat ini! Kenali dia dan terima baik-baik.

Tapi tentu saja semuanya gampang kalau kau ingat. Aku akan memberikan sebuah nasihat yang alim. Saat merasa lupa, selalu bukalah buku SOP. Di sana ada semua-semua yang butuh ditemukan. Itulah guna buku itu sebenarnya!

Sepertinya saya mulai melantur, padahal saya hanya bermaksud memasang sebuah cerpen. Sedikit banyak bercerita tentang rasa kesendirian. Perasaan yang mengerikan tapi dapat digunakan untuk hal-hal berguna. Kalau kau cerdik!

Seperti biasa, jangan pedulikan hal-hal teknis atau semacam itu. Nikmati saja. Semoga senang dan selamat menikmati!

-nyaw, menggunakan saat sunyi senyap sendiri-

***

Sunyi Senyap Sendiri

ilustrasi kumcer 1 - 02 monster

Belakangan ini temaram tidak pernah sepenuhnya kelam. Seperti hitam tidak pernah sepenuhnya gelap. Di dalam hitam selalu ada semburat merah. Sebuah warna yang timbul tenggelam tapi tidak pernah sepenuhnya hilang. Seperti warna langit malam ini. Merah yang hitam. Merah yang hitam seperti darah yang menjelma pekat. Seperti tinta yang merembes lekat menembus pori-pori sepersekian per mili. Seperti beban yang dibawa Satya semenjak ingatannya lahir bersamaan dengan masa-masa yang dianggap telah hilang.

Bila hitam dianggap sebagai simbol kejujuran, maka Satya berani bilang itu kebohongan dan tipuan. Satya tahu apa itu hitam. Hitam adalah warna bagi mereka yang ingin menutupi kejujuran. Menutupi warna-warna yang lain dengan dominasinya yang redup redam. Di dalam hitam seseorang dapat menyelam, berpikir akan menemukan kebenaran warna di dalamnya. Tapi di dalamnya hanya ada kolam yang menenggelamkan. Semakin pekat dan semakin redup redam. Orang yang bijaksana tahu bahwa hitam tidak pernah terurai. Semua yang setua jaman akan tahu kebijaksanaan itu.

Maka Satya tidak pernah membiarkan dirinya hitam. Karena dia tahu warna itu akan menenggelamkannya. Menyeretnya ke dalam kolam yang dalam. Dan Satya tidak akan pernah keluar. Dia tidak punya kekuatan. Dan Satya ragu, apa Tuhan akan ada untuknya seandainya ia terseret ke dalam palung yang dalam. Akankah Kuasa itu menyelamatkannya, atau menyuruhnya tenggelam? Satya tak tahu dan Satya tak mau tahu. Lebih baik tidak menjadi hitam.

Oleh karenanya ia memilih putih. Putih itu baru benar. Putih lentur dan dapat diurai menjadi warna-warna. Putih akan selalu lebur di mana pun ia berada. Satya ingin putih. Satya memilih putih. Maka Satya harus putih. Maka Satya menjadi putih.

Tapi bagaimanapun jiwa Satya tua. Berasal dari masa-masa yang telah dilupakan. Dan hampir melebihi tuanya jaman itu sendiri. Dan semua bijaksana tahu, jiwa yang tua tidak pernah lengkang dalam putih. Selalu ada setitik hitam. Selalu ada noda hitam. Karena kehidupan akan selalu menorehkan luka dan meninggalkan sebuah tanda pengalaman. Jadi di dalam jiwa Satya ada noda hitam. Setitik noda hitam.

Andaikan Satya tahu bahwa noda itu adalah yang menjadikan seorang manusia manusia, maka ia tidak akan kelimpungan. Dan ia tidak akan pernah menyesali noda di dalam hatinya itu. Ia malah akan menggunakan noda itu berdoa dan bertobat. Seperti sebuah switch on. Saat kau sibuk merindu Tuhan, pijitlah noda itu. Semburatkan pada hati agar sedikit hitam dan katakan,

“Tuhan, Tuhan, saya bernoda! Maka jangan tinggalkan saya. Bersihkan saya, bersihkan saya!”

Berkali-kali, berkali-kali seperti seorang manja. Dan itu tidak mengapa, karena kau menyatakannya pada Tuhan. Dan biar saja orang-orang mendelik dengan tidak suka, karena itu urusanmu dengan Tuhan. Dan tidak perlu merasakan sesal dalam sumpah serapah. Karena noda telah menjadikan seorang manusia manusia. Selamat dan sukses!

Andaikan Satya dapat merasakan riang dan gembira yang sedemikian. Tapi tidak. Hatinya tetap resah. Ia memikirkan sebuah noda hitam di dalam jiwanya yang menempel seperti seekor lintah yang menyebalkan. Noda itu tidak akan lepas sampai ia kenyang. Kenyang mengganyang jiwa Satya yang bersusah payah agar tidak terserap dalam hitam. Lintah serakah yang seakan menjadikan Satya seorang tawanan.

Padahal Satya bukan tawanan lintah hitam. Dan tidak ada hal semacam noda yang bisa menyerang. Karena dirinya dan diri noda adalah satu. Satya adalah manusia yang bernoda. Sama seperti semua orang.

Tapi ia belum tahu. Seandainya ia tahu hal itu, maka ia tidak akan menjadi gamang menghadapi tolakan dan cobaan. Ia tidak akan sakit hati ketika teman-teman memalingkan muka seraya menertawakan,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah berbuat benar seumur hidupnya.”

Kalau ia tahu kebenaran, maka Satya tidak akan pernah sakit hati ketika keluarganya meludah dan mencemooh di depan mukanya seraya berkacak pinggang berkata,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah melakukan apapun untuk darah dagingnya sendiri.”

Dan jika ia menyadari kebenaran, maka Satya tidak akan pernah sakit hati ketika orang-orang terkasihnya menjadi sedih dan tertekan, melengkungkan badan perih sambil berkata,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah memerhatikanku sepertiku ini.”

Seandainya Satya tahu kebenaran, maka ia akan tahu bahwa itu bukanlah tentang dia, tapi tentang mereka. Tentang mereka yang hanya dapat melihat sepercik noda hitam pada lembaran kertas putih. Begitu kontras terang. Hanya hitam saja yang terlihat, padahal hitam itu hanya sebuah di antara putih. Mereka kadang lupa kalau hitam itu terlihat karena latar pucatnya putih.

Tapi Satya tidak tahu kebenaran. Maka hatinya sakit dan ada sedikit dendam. Dendam yang bukan untuk mereka, tapi untuk dirinya sendiri. Mengapa dia harus terlahir dengan noda hitam yang sebegitu terang? Satya tidak tahu dan sudah lelah mencari tahu. Ia hanya tahu bahwa dirinya memang bernoda hitam dan ia terkadang benci dan menyesalinya.

Benci dan sesal adalah sebuah perasaan yang cukup merah. Oleh karenanya noda hitam dalam jiwa Satya berwarna sedikit rekah merah. Seperti darah yang mengering dan berubah pekat seperti tinta. Dan dengan tinta hitam yang sebenarnya merah itu, Satya torehkan beberapa pengingat bagi dirinya yang hendak berhenti di tengah jalan karena lelah. Ia katakan pada dirinya yang sudah hendak menyerah,

“Mereka salah. Sudah barang tentu mereka salah. Saya bukan hanya noda, tapi saya juga sebuah lembaran. Sebenarnya saya sebuah lembaran!”

Lalu sebuah bisikan yang lirih dan kejam akan bersiul,

“Tapi kamu lembaran yang bernoda! Kamu lelaki yang akan menjadi dingin dan kejam. Kamu akan menyakiti semua orang. Teman-teman, keluarga, dan perempuan. Terutama perempuan.”

Tapi Satya keras kepala. Ditepisnya bisikan itu dan ia terus berjalan. Untungnya seperti itu. Untungnya dia terinspirasi untuk melakukan seperti itu. Kalau tidak ia akan tenggelam dalam bisikan yang kelam. Dan noda itu akan menyebar seperti bercak tinta basah. Merembes, menembus tiap pori dalam lembar jiwanya yang pucat pasi. Lalu akan hitamlah putih jiwanya. Dan sepenuhnya ia tenggelam. Dan tidak lagi ia lihat apa yang di depannya. Memangnya ada apa di depannya?

Satya tidak tahu apa yang ada di depannya. Entah apa yang ada di sana. Tapi ia melangkah dan terus meniti jalan. Lalu hanya kecewa dan kecewa lagi. Hanya segumpalan penolakan dan seabrek luka sabetan. Ia mulai merasa payah, tapi ia harus terus berjalan. Sementara masa lalunya terus menggerogot dan menuntut,

“Satya! Kau harusnya bersikap seperti kami agar kami ingat untuk menyayangi.”

“Satya! Kau harusnya menuruti turut orantua agar kami menjadi bangga.”

“Satya! Kau harusnya melakukan apa yang mereka lakukan agar kami tidak pernah pergi.”

Masa lalu seperti sebuah besi pemberat dan Satya ingin lepas. Satya ingin bebas. Tapi itu terlalu mudah bukan? Itu terlalu cetek. Tentunya kalau Tuhan membiarkan Satya lepas, maka Tuhan sedang menertawakan kegigihan jiwanya yang tua hampir setua jaman. Jadi tentu saja Satya belum lepas dan belum bebas. Tidak sekarang ini.

Padahal Satya merasa payah dan lelah. Dan ia letih. Dan ia hendak berhenti. Tapi tidak. Itu hanya sebuah rasa dalam hati. Sebenarnya di sana masih ada kekuatan dan ketahanan. Geliat dan berontak dari jiwa tua yang mungkin saja lebih tua dari jaman.

Yang harus dilakukan oleh Satya adalah memencet noda hitamnya yang serupa switch on. Dan berdoalah yang lama, lama sekali. Seperti seorang alim yang tidak pernah luput bersujud dan menyila. Dan dalam doa itu katakan,

“Tuhan, Tuhan, saya bernoda! Maka jangan tinggalkan saya! Jangan pernah tinggalkan saya!”

Seperti seorang manja. Seperti seorang yang mengerang seakan-akan hanya dirinya saja yang kesakitan. Seakan-akan dunia itu hanya ada dia dan Tuhan. Dan seluruhnya senyap. Hanya ada sebuah siulan sunyi. Dan Satya akan tahu bahwa dirinya memang benar-benar sendiri. Benar-benar sendiri. Dan itu tidak mengapa. Itu tidak mengapa.

Di dalam sendiri ada berani. Keberanian untuk unjuk gigi. Dan itu tidak mengapa. Itu tidak mengapa. Tuhan ingin jiwa-jiwa yang dimilikinya untuk mengunjukkan diri. Karena itu adalah sebuah doa. Sebuah persembahan kepada yang Maha Kuasa.

Hanya dalam sunyi senyap sendiri, seseorang memang dapat berdoa. Dan terkadang rasa senyap itu membuat gamang. Terlebih-lebih siulan sunyi itu membuat resah. Seluruh tulang gemeletuk gelisah. Tapi itu adalah konsekuensi menjadi sendiri. Dan itu tidak mengapa. Tentu itu tidak mengapa. Kadang sendiri memang butuh. Untuk menjadi berani. Untuk timbul rasa ingin unjuk gigi. Lalu katakan dengan lantang,

“Tuhan! Tuhan! Lihat saya!”

Maka sesekali sunyi senyap sendiri itu memang akan datang. Terutama bagi Satya yang berjiwa tua, mungkin hampir setua jaman. Saat-saat yang memaksanya untuk memasuki waktu sunyi senyap sendiri mungkin akan kerap datang. Mungkin malah akan rapat. Tapi itu tidak mengapa. Tentu itu tidak mengapa. Karena Satya tahu saat-saat seperti tidak akan selalu datang. Hanya sesekali. Mungkin rapat. Mungkin padat. Tapi hanya sesekali. Hanya sesekali.

Tentu kalau ia cukup kuat dan tangguh, ia tahu bahwa saat senyap sunyi sendiri itu tidak pernah benar-benar akan menetap. Ia hanya sesekali datang dalam wajah yang membuat ngeri. Serupa teman-teman yang pergi meninggalkan. Atau keluarga yang mungkin mencemooh dan meludah. Bahkan mungkin dalam bentuk kekasih yang merasa bingung dan gamang.

Tapi itu tidak apa-apa. Artinya saat sunyi senyap sendiri ingin datang dan merayap. Ingin Satya unjuk gigi dan unjuk “kabisa”. Perlihatkan pada Tuhan bahwa lembaran yang mengingat-Nya tak selalu putih. Kadang bernoda. Malah selalu bernoda. Dan noda itulah yang menjadikan manusia manusia.

Maka semuanya tidak mengapa. Sunyi senyap sendiri akan pergi dengan merambat pelan seakan malu dan tidak mau ketahuan. Bahwa sebenarnya ia hanya seekor binatang yang sedikit ingin bersenang-senang. Dan ia tidak pernah benar-benar serius ingin menenggelamkan seorang pun. Termasuk Satya. Ia hanya ingin menunjuk bahwa ia adalah sebuah switch on. Dan saat ia menyala maka ia terhubung pada Tuhan pemilik semesta. Kemudian semua penolakan dan cemoohan akan berubah menjadi,

“Itu Satya. Dia teman saya.”

“Itu Satya. Dia sanak saya.”

Itu Satya. Dia kekasih saya.”

Kalimat-kalimat itu akan diucapkan dengan bangga. Pendek saja tapi membuat Satya berpikir,

“Tuhan. Terimakasih atas saat-saat sunyi senyap sendiri. Terimakasih atas saat-saat saya menjadi seorang sendiri. Hanya sebuah lembaran bernoda tapi Kau tidak pernah luput. Tidak pernah sepersekian mili detik pun. Dan orang-orang ini. Orang-orang yang bersama saya. Maka berkati mereka. Karena mereka pun bernoda seperti saya.”

Jadi begitulah Satya akan mengingat akan saat sunyi senyap sendiri. Dan begitulah Satya akan berharap untuk semua orang. Dan tidak terasa itu adalah sebuah harap untuk dirinya sendiri. Agar diberkati. Agar dirahmati. Agar disayang.

Tanpa peduli hitam. Tanpa peduli noda. Dan tanpa takut tenggelam dalam larutan sunyi senyap sendiri. Sebuah larutan yang tidak akan pernah membuatnya terasing seorang diri.

Haru Biru

Sebelum ada Putri Mujair dan Ujang, ada Asep. Sepupu Ujang yang ugal-ugalan dan senang merokok samsoe. Dia adalah tokoh yang diciptakan karena aku senang dengan Ajo Kawirnya Eka Kurniawan. Dia juga muncul karena ibuku menunjukkan foto seorang lelaki penuh haru setelah kemenangan Persib 5-3 pada ISL 2014. Aku mengkhayalkan seandainya foto Asep dimuat di koran. Apakah itu akan tentang Persib? Atau mungkinkah karena hal lain?

Oleh karenanya tercipta Haru Biru. Aku menunda-nunda menuliskan cerita ini karena asyik menuliskan novel pribadi. Tapi kemudian di halaman 75, aku kehilangan greget berkata-kata. Muncul gamang mengenai kemampuan sendiri. Sedikit tersentak oleh kritik dan kejadian yang tidak mengenakkan. Bisa dibilang saya impoten berkata-kata. Selama 1 minggu.

Tapi hari ini aku memaksakan diri untuk mengeluarkan kata, merangkai kalimat. Aku mulai saja dari hal yang paling kusukai. Tentang lelaki legam yang merokok samsoe. Aku senang tokoh seperti ini. Boleh saja kan?

Untungnya impoten itu tidak lama-lama. Seminggu saja. Impotennya mungkin terlihat di awal cerita yang ragu dan tersendat. Juga mungkin terlihat dari perspektif yang melompat seenak jidat. Seperti biasa, yang semacam itu jangan dipikirkan. Ikuti saja alur. Nikmati romansa dari lelaki bernama Asep ini. Juga Euis yang kontradiktif.

Selamat menikmati!

-nyaw, bangkit dari impotensi-

***

Haru Biru Sorakan Gempita

siapa ya resize crop

Di antara sela-sela rambut puncak kepala lelaki itu muncul butiran-butiran cairan yang bersinar-sinar seperti embun. Tapi sebenarnya itu adalah keringat, dan sedikit sebum. Ada sedikit anyir dan lengket. Campuran oksidasi dan hormon testosteron. Mungkin juga hormon lainnya. Tapi hormon lain yang berbau lelaki. Bau menyengat tapi menyentak. Bau lelaki patah hati dan hanya dapat duduk di bawah sinar matahari. Menyender tanpa daya pada mobil Carry hitam. Lesu dan memandang masa depan yang tampak bolong. Nestapa. Asep, seorang pria malang.

Panas matahari boleh menyentak dan menghentak, membuatnya berkeringat dan dehidrasi. Tapi apa peduli dia. Dengan sedikit keberuntungan dia akan mati hari itu. Mati di tengah bolong terang. Di samping Carry kesayangan yang dibelinya dengan susah payah penuh perjuangan. Mungkin dengan sebatang samsoe yang masih menyala. Dan mungkin mayatnya cukup cantik dan membuat kebat-kebit beberapa perawan Sunda. Dan mereka akan merona, padahal sebelumnya mereka tidak memberi perhatian. Setidaknya itu akan menjadi prestasi bagi Asep, pria malang yang nestapa patah hati.

Tapi selama apapun Asep dijemur di samping Carry yang mulai berbau amis ikan pengangkutan bercampur busuk dari air waduk Cirata, ia tak kunjung merenggang nyawa ataupun pingsan. Ia hanya ada dan bertambah legam. Sementara sebatang samsoe yang sedari tadi dihisapnya bertambah pendek. Sulutnya mulai mendekati ujung bibirnya yang kehitam-hitaman. Asep tidak memedulikan sulut pendek itu. Biar saja bibirnya terbakar. Mungkin itu akan terasa enak. Mungkin rasanya akan hangat tajam. Seperti sebuah ciuman.

Mengingat ciuman membuat emosi Asep tersulut kembali. Ia mengaduh mengerang dan mendecak kesal. Lalu kembali dihisapnya samsoe yang memendek itu, menyebabkan terjadinya asap yang beraroma tembakau, cengkih dan keringat. Juga amis dan manis. Amis ikan dan manis Sunda Cirata. Manis yang membikin Asep kembali senewen. Karena ia adalah lelaki malang. Patah hati dan nestapa oleh seorang perempuan manis. Manis dengan dua cara itu. Sunda dan Cirata. Jadi Asep sebal dan setengah ingin menyudahi nasib bujang bapuknya. Tapi ia tidak ingin melakukannya sendiri. Karena tangannya sendiri sudah cukup amis oleh ikan. Tidak perlu bantuan darah untuk menambah amis. Cukup saja ikan. Dan pada saatnya, Tuhan.

“Astaga. Apa orang patah hati itu menjadi alim? Aku memikirkan Tuhan. Tapi sambil mikirin amis ikan. Astaga. Mungkin orang patah hati masuk neraka.”

Begitu batin Asep. Tapi kemudian ia tidak peduli sendiri. Karena baginya sendiri, patah hati ini sudah neraka. Sekalian saja bakar tubuhnya yang kerempeng hitam legam. Mungkin itu akan berguna bagi para penghuni surga. Sebagai pemanas saat di sana musim dingin. Dan mungkin perempuan Sunda Ciratanya tidak akan pernah menjadi dingin di surga sana. Karena dia bidadari. Sedangkan Asep setan. Setan keparat pembakar neraka. Biarlah dia menghangatkan surga dari neraka. Mungkin perempuan itu akan mengingatnya. Seperti ia yang tidak akan pernah lupa rima nama perempuan itu di telinganya. Euis.

“Euis, Euis, teganya kamu sama Akang,”

Begitu batin hati Asep dengan sedikit terlalu manis yang segera berganti pahit. Hilang dalam asap samsoe yang hampir mencium ujung bibir. Dan Asep biarkan saja. Antipati pada sakit. Juga acuh pada apapun di sekelilingnya. Termasuk acuh pada sosok yang berlari tergopoh-gopoh menuju dirinya sambil membawa koran terlipat di tangan.

“Asep! Asep! Tingali ieu!”

Asep! Asep! Lihat ini! Kata sosok itu dengan bersemangat dan nada riang. Pada saat mengatakannya pipinya bergoyang, seperti dada dan perut gemuk wanitanya dari balik daster goyor kembang-kembang. Sebuah sosok yang begitu penuh dengan kewanitaan berumur. Cocok bagi ibu seorang Asep yang nestapa patah hati.

Menyambut keceriaan ibunya, Asep hanya mengangkat alis dengan enggan. Ibunya menyodorkan koran itu ke depan mukanya dan Asep melihat sebuah foto raksasa terpampang. Seorang lelaki dalam pakaian biru tua. Lelaki itu berkaca-kaca dan bibirnya tampak menampakkan sebuah manyun yang bergoyang. Pipinya basah oleh uraian air mata. Tajuk di bawah foto itu berbunyi, “Persib Juara”.

Sebelah mata Asep berkedut. Sebal, kesal. Ada rasa ingin membanting barang. Tapi Asep adalah lelaki sabar. Jadi dia hanya melakukan satu hal. Tidak brutal maupun frontal, tapi cukup untuk membuat ibunya yang tambun melompat terkejut dan melompat. Asep melakukan satu hal kecil itu. Ia menyundut foto itu pas di tengah muka. Seperti sebuah peluru yang melewati kepala. Padahal lelaki di dalam foto itu adalah dirinya.

“Kenapa disundut segala! Kan bisa dipasang di dinding ari kamu! Dasar budak koplok!”

Ibu Asep memukulkan gulungan koran yang sedikit mengeluarkan abu pada kepala Asep dan meninggalkannya sambil mengomel. Tapi Asep tidak terpengaruh. Karena saat ini Asep adalah lelaki patah hati yang nestapa. Ditinggalkan perempuan manis. Manis Sunda dan sekaligus Cirata. Dan Persib yang juara tidak akan mengerti sakitnya semua itu. Sekalipun seragam Persib itu biru. Biru lebam seperti rasa di dalam dadanya. Terpukul dan tertonjok oleh perempuan bernama Euis.

Sudah lama Asep mengejar ujung rok Euis. Semenjak ia mendapat mimpi basah pertama. Wajah perempuan dalam mimpinya adalah Euis. Tapi badannya lain. Badannya perempuan di belakang buku TTS. Tapi itu keren. Bagi Asep, bayang itu membuatnya bersemangat. Karena mungkin Euis akan menjadi sensual seperti perempuan TTS.

Jadi Asep mengejar ujung rok Euis. Dari warna merah hingga berganti biru lalu abu. Pada saat itu, Asep juga memakai seragam. Tapi ia hanya sampai warna biru. Warna celana Asep tidak pernah abu. Karena ia adalah lelaki yang memikirkan masa depan. Di masa depannya ia hanya akan tinggal dan mati di Cirata. Dan semua yang tinggal dan mati di Cirata paling melakukan hal-hal yang berhubungan dengan waduk dan tambak. Paling hebat pun menjadi kenek. Dan di usianya yang 12 ia memutuskan untuk menjadi kenek agar dapat duit. Kalau ditanya kenapa. Ia jawab dengan ringan,

“Untuk kawin. Kawin dengan Euis.”

Ini membuat ibunya berang. Mencak-mencak dan kesal. Dikiranya ia akan punya anak lelaki yang sedikit maju. Tahunya lagi-lagi nasibnya sama seperti lelaki Cirata yang lain. Pendek dan malah kelampau sederhana. Tapi ya sudah. Ibu itu pasrah. Ia biarkan anaknya menjadi kenek dan mencari duit. Meskipun dalam hati ia tahu anaknya cerdas dan teliti. Tapi semuanya tertutup oleh syahwat dan obsesi. Pada ujung rok perempuan yang kelak menjadi seseksi perempuan TTS. Perempuan bernama Euis.

Dari semenjak rok Euis berwarna merah, ia sudah banyak digemari. Kulitnya kuning langsat dan rambutnya panjang lurus. Pada saat perempuan lain belum menstruasi, ia sudah. Jadi dadanya sudah montok sebelum yang lain-lain. Dan para lelaki mengenal dada montok. Jadi mereka mengejar dan ingin menyentilnya. Euis biarkan saja asalkan ia dapat jajan. Perempuan berdada montok perlu banyak makan. Kalau tidak nanti dadanya rata. Kalau sudah begitu Euis hanya akan menjadi datar. Seperti teman-teman perempuan Ciratanya yang iri pada montoknya.

Jadi Euis memelihara montoknya. Dan ia biarkan lelaki itu menyentil, asal memberi jajan. Dan di antara lelaki itu ada Asep. Kerempeng, hitam legam. Pada usia muda sudah tahu pemantik dan rokok. Dari usia kecil dan pipis masih mencong, sudah tahu meracap. Tapi ia berbeda dengan lelaki-lelaki lain yang tengil. Ia hanya membelikan jajan dan mengajak ngomong. Dan di dalam omongan itu, Asep akan bilang,

“Euis, saya akan kawini kamu.”

Lalu Euis akan bertanya,

“Apa nanti saya dapat jajan kalau kawin dengan kamu?”

Jawab Asep pendek,

“Iya.”

Sebagai jawaban Euis akan mengangkat bahu. Berpura-pura tidak acuh. Ia tidak memikirkan banyak-banyak mengenai janji-janji semacam itu. Karena lelaki sering hanya bermulut manis, tapi niatnya pahit. Paling-paling Asep menunggu-nunggu saat yang lebih asyik agar dapat menoel atau menyentil. Mungkin saat dadanya cukup digenggam. Atau mungkin nanti kalau ia sudah berani. Dan pipisnya tidak lagi mencong.

Jadi Euis tidak ambil hati. Ia hanya memikirkan jajan dan cara mendapatkan lebih banyak untuk dari lelaki yang dikendalikan selangkangan. Jadi ia belajar berdandan dan memakai wewangian. Ia juga belajar memakai baju yang ketat. Juga sedikit menerawang. Di balik seragamnya ia selalu memakai beha yang berwarna mencrang. Jaga-jaga seandainya ada mata lelaki yang kurang keparat. Euis memberikan contekan sebelum waktunya kancing-kancing itu terbuka.

Dan benar saja, lelaki yang menjajani bertambah banyak. Sebagian karena merasa menjajani perempuan berdada montak itu keren. Sebagian lagi karena senang melihat dada itu bergoyang. Mana saja sama bagi Euis. Yang penting lelaki-lelaki itu memberi jajan. Dan di antara lelaki-lelaki itu tetap ada Asep. Masih juga ia hanya memberi jajan dan omong. Ia selalu berkata,

“Euis, saya akan kawini kamu.”

Lalu Euis akan bertanya,

“Oh ya? Mengapa? Pipismu pun pasti masih mencong.”

Asep menjawab,

“Agar kamu tidak perlu meminta jajan pada lelaki berhidung belang. Dan pipis saya sudah tidak mencong.”

Mendengar jawab Asep yang kali ini, Euis merasa terkejut. Muncul sedikit kebat-kebit dalam hatinya. Dan tiba-tiba saja otaknya tidak melulu dipenuhi pikiran ingin jajan. Ia mulai memikirkan Asep. Omongannya yang ringan sekaligus pendek. Tapi tepat dan menghunjam. Sama seperti kulitnya yang lugas legam dan keriting bibirnya yang menghitam. Tak terasa, terdapat sebuah desir teratur di dalam dada montok Euis. Ia mulai bertanya-tanya apa Asep serius mengenai mengawininya.

Niat Asep untuk mengawininya mulai membuat Euis berpikir. Selama ini ia hanya dikelilingi oleh lelaki yang menikmati goyang dadanya yang montok. Dan ia biarkan saja mereka mengejar ujung roknya. Biar saja para lelaki seperti itu. Mereka hidung belang. Dompet mereka perlu dikuras. Biar saja biar mampus. Kalau miskin, Euis akan mencari yang lain.

Tapi Asep berbeda dengan para lelaki hidung belang itu. Dia hanya memberi jajan. Dan dia mengajak ngomong. Dan dia menjanjikan kawin. Kawin pada perempuan yang tidak keberatan disentil dan ditoel oleh lelaki hidung belang. Perempuan yang hanya memikirkan jajan dan mengandalkan goyang dada montok.

Tiba-tiba saja Euis menjadi malu. Euis juga merasa takut. Terutamanya ia merasa takut. Ia takut menyambut rasa Asep yang tulus. Lalu mereka benar-benar kawin. Dan setelah kawin, Euis akan minta jajan. Jajan hingga membuat dompet Asep kurus. Kalau sudah begini mungkin Euis akan mencari jajan di tempat lain. Dan Asep akan terluka. Asep yang sabar akan terluka.

Jadi lain kali ketika Asep menyebut-nyebut mengenai mengawininya, Euis akan berdalih bahwa Asep adalah lelaki yang miskin nelangsa. Perempuan berdada montok seperti dirinya hanya mengawini lelaki dengan kantong yang tebal. Asep tidak berkutik mendengar kata-kata menyakitkan itu. Ia hanya menghilang selama beberapa bulan. Dan Euis menjadi tentram. Kemudian ia menghilangkan bayang Asep dengan jajan dari lelaki-lelaki hidung belang.

Tapi tak lama kemudian Asep muncul lagi. Kali ini ia bawa mobil Carry baru. Hitam dan mengkilat. Usianya saat itu baru 19. Tapi ia hebat. Ia punya carry sendiri. Dan mobil itu dibawanya ke hadapan Euis yang hanya bisa melongo dan tercengang. Dalam pikiran sederhana Cirata, lelaki yang bawa Carry itu sudah pasti tajir habis. Dan sudah pasti dompetnya tebal. Menjajani berkali-kali pun tidak akan pernah tipis. Jadi dengan kepercayaan diri akibat mendapatkan Carry, Asep berkata pada Euis,

“Euis, ayo kita kawin.”

Pada awal mendengar ajakan itu Euis hanya diam. Hatinya ingin menjerit dan menjawab, “Iya!” Euis pun sadar bahwa ini yang dinamakan jatuh cinta. Tapi kemudian ia ingat seperti apa dirinya. Dan seperti Asep. Ia adalah perempuan berdada montok yang bisa ditoel oleh siapapun. Sedangkan Asep adalah lelaki yang sabar dan keren. Ia punya Carry. Jadi Euis pun menjawab dengan kalut. Ia menjawab dengan sekenanya saja,

“Nanti, kalau Persib jadi juara.”

Entah bagaimana Euis tiba-tiba mengeluarkan jawaban seperti itu. Di saat-saat sepenting itu ia teringat pada celotehan salah seorang lelaki yang senang menoel dadanya. Lelaki itu selalu memakai jersey kesebelasan yang berwarna biru. Dan sembari menoel-noel ia sering menyebutkan Persib. Idolanya yang tak kunjung juara. Sudah 19 tahun seperti itu dan itu membuatnya stress. Oleh karenanya ia perlu bermain pentil dan dada. Euis tidak masalah, asal ada jajan. Dan tak diduga-duga omongan 19 tahun Persib yang tidak juara itu menjadi dalihnya untuk menolak Asep yang dicintainya.

Asep diam mendengar jawaban Euis yang seperti itu. Ia hanya mengambil sebatang samsoe, menyulutnya, membuka pintu mobil carry dan menyentir sekencang-kencangnya. Debu jalan yang tersepak oleh raungan ban Carry yang berputar cukup dahsyat. Gatal dan menusuk ujung-ujung mata Euis. Ia menggosok kedua matanya. Keduanya merah dan keluar air mata. Air mata yang entah karena pedih oleh debu atau oleh kepergian Asep. Yang pasti air mata itu mengalir di pipi Euis yang putih. Meninggalkan jejak basah yang kemudian coreng-moreng oleh debu. Euis merasa itu akan menjadi kali terakhirnya melihat legam Asep. Karena tidak mungkin Persib juara. Sudah lama seperti itu.

Tapi ternyata Asep mengambil serius jawaban Euis. Ia tahu saat itu Persib sedang mengikuti laga. Sampai saat ini sepak terjangnya lumayan menendang. Sudah menunjukkan kehidupan. Sudah mulai keluar taring dan cakar maung parahyangan. Sudah akan terdengar aum yang menggetarkan itu. Asep cukup yakin bahwa Persib bisa menjadi juara. Tapi ia perlu menyaksikan permainan kesebelasan biru itu sendiri. Menyaksikan sendiri kesebelasan yang menentukan nasib akhirnya bersama Euis.

Jadi saat Persib akhirnya masuk final dan harus tanding di Palembang, Asep bela-belain untuk menyebrang pulau. Ia yang tadinya terlalu sibuk untuk ambil peduli, hanya sesekali menonton di saat senggang, tiba-tiba menjadi fans Persib nomer wahid. Tiba-tiba ia memiliki semua atribut seorang viking. Asep yang legam kini tak hanya hitam, ia juga menjadi biru. Biru parahyangan.

Dan di Palembang berlangsung pertarungan antara Persib dan tim yang tidak ingin Asep berkawin dengan Euis. Setidaknya begitu menurut Asep. Setiap kali bola menyentuh wilayah parahyangan, Asep menjadi kebat-kebit dan ngeri. Ia membayangkan Euis melambai dan berlari menjauh. Di ujung sana ada lelaki-lelaki berhidung belang. Mereka tidak peduli pada perempuan Sunda dan Cirata itu. Mereka hanya pada tubuhnya. Apa masih menggemaskan untuk diremas.

Asep bergidik. Ia tidak konsentrasi. Ia hanya memikirkan ia dan Euis. Sementara itu semuanya berteriak dengan lantang sambil menyumpah-nyumpah wasit. Ramai. Sedikit mengembalikan Asep ke dunia nyata. Hingga ia tahu bahwa nasibnya berada di ujung tanduk. Di ujung hasil penalti. Menegangkan. Semua penonton mengepalkan tangan. Asep pun. Meskipun untuk alasan yang sedikit melenceng.

Gol demi gol silih berganti memasuki gawang Persib dan lawan. Semuanya mengaduh, frustasi saat gawang kebobolan. Tapi semuanya kemudian girang dan berjingkrak ketika Persib membobol gawang lawan. Benar-benar sebuah rollercoaster emosi yang hebat. Mengaduk perasaan Asep hingga ke ujung tanduk. Lebih rasanya dari saat ia membawa Carry nya ngebut di tol untuk pertama kali. Lebih hebat karena adu penalti itu menentukan nasibnya. Apa Asep akan berhasil memboyong Euis yang bertubuh aduhai.

Lalu adu penalti itu berakhir. Berakhir dengan sebuah tukikan bola yang menegangkan. Dan kemenangan pun dibawa oleh Persib. Bilangannya lima-tiga. Tiba-tiba stadion tenggelam dalam khidmat haru biru sorakan gempita. Banyak yang mengucap alhamdulillah. Sujud syukur pada wilayah seadanya. Sedangkan Asep mengeluarkan hape. Dan diketikkan sebuah SMS pada Euis,

Neng, besok kita kawin. Persib juara.

Dikirimkannya SMS itu dengan gemetar penuh haru dan tak sabar ingin pulang ke Cirata. Tak lama kemudian hape itu bergetar. Sebuah pesan balasan masuk. Dari Euis yang berkata,

Nggak bisa. Aku hamil. Bukan anakmu.

Asep tertegun dan terdiam. Tentu saja bukan anaknya! Ia tidak pernah menyentuh seujung rambut pun dari Euis! Dasar perempuan sundal tukang menggoyangkan dada montok. Mengapa ia biarkan dirinya tidak hanya ditoel tapi juga ditusuk! Mengapa Euis tidak menyimpan dirinya. Padahal Asep bilang berkali-kali akan mengawininya. Suatu hari ia akan menjemputnya. Tentu ia akan menjemputnya. Karena Euis adalah perempuan yang dilihatnya dalam mimpi basahnya. Dan ia sudah jatuh cinta sebelum para lelaki hidung belang itu mengejar goyang dada montoknya.

“Taik anjing goblok koplok!”

Asep berteriak. Lalu ia berdiri. Teriakannya yang berisi sumpah serapah tidak terdengar karena tenggelam dalam haru biru viking. Orang-orang hanya melihat air mata yang mengalir deras di pipinya. Punggungnya ditepuk oleh penonton lain yang juga mengalirkan air mata terharu bahwa akhirnya Persib bisa juara. Ditepuk-tepuk seperti itu, Asep hanya bergeming dalam sebuah posisi khidmat. Seakan-akan sangat haru oleh kemenangan Persib juara hingga hanya dapat menangis dengan biru.

Pose tangis haru biru Asep inilah yang kemudian ditangkap oleh lensa seorang wartawan. Wajahnya menjadi wajah depan koran nasional yang meliput habis-habisan kemenangan Persib juara. Dikatakan dalam artikel-artikel itu bahwa wajah Asep yang menangis adalah tangisan viking yang terharu akan kemenangan Persib yang tertunda selama 19 tahun. Mereka tidak tahu bahwa tangis itu bukan milik Persib, tapi milik Euis. Seorang perempuan manis. Sunda dan Cirata. Juga punya dada yang bergoyang. Tapi terutama perempuan itu begitu hebatnya karena dapat membuat Asep yang sabar patah hati, malang dan nestapa. Padahal Asep sudah punya Carry dan banyak uang jajan.

Jadi lelaki malang bernama Asep ini hanya dapat mengulirkan buliran minyak dan keringat berbau nyegrak. Bau itu bercampur dengan amis ikan dan bau tembakau cengkih. Campuran bau lelaki patah hati yang malang. Pekat dan lebam. Meninggalkan rasa yang haru dan membuat hati biru.

Topeng Monyet

Kadang saya pikir semua orang itu bahagia. Tapi pengertian bahagia orang-orang berbeda. Dan perbedaan itulah yang sering membuat kaget. Lalu karena tidak paham, ada kemungkinan kita akan mengatai orang lain itu gila dan tidak dapat membedakan derita dan bahagia.

Ya sering sih saya pikir begitu.

Tapi beberapa kali saya pikir, kemungkinan besar aku salah memandang apa-apa yang ada di luar saya. Dan kesalahan itu adalah karena aku tidak dapat memandang diri saya sendiri dengan obyektif.

Kupikir itu masalah. Tadinya kupikir begitu. Tapi aku berpikir lagi, dan mungkin memang seharusnya seperti itu. Karena ini adalah dunia. Yang serba abu-abu. Dan kalau Bu Mariska Lubis bilang, “Seperti koin”. Ya aku setuju. Dunia yang serba bipolar.

Yang bipolar itu katanya mirip saya. Jadi sebenarnya saya ini adalah orang yang lumayan seiring semesta. Karena dapat berbalik dengan cepat.

Oleh karena itu tiba-tiba saya teringat “Topeng Monyet”. Melalui tulisan ini aku mencari arti rasaku pada Topeng Monyet. Kasihan tapi kok tertawa. Mungkin itu adalah bagian hati yang hitam.

Tapi meskipun hati ini hitam, bukan berarti saya setuju pada perbudakan. Ah tidak. Saya percaya tidak seorang makhluk pun dibuat agar dapat terbiasa pada perbudakan. Apapun bentuknya!

Jadi selamat membaca dan mungkin selamat berpikir ulang.

-nyaw, jungkir balik-

***

Topeng Monyet

hidung belang resize

Sebuah artikel mengenai perbudakan monyet sedang menjadi sorotan utama akhir-akhir ini. Saat membuka situs sosial media apapun, orang-orang akan membagikan artikel yang dimuat pada sebuah koran berbahasa Inggris itu. Dengan bahasa jurnalistik yang berapi-api dan begitu yakin pada kebenaran, sipenulis artikel menguraikan secara rinci mekanisme perbudakan monyet di Indonesia. Bagaimana naasnya monyet itu dirantai dengan temali di leher dan tidak diberikan makanan yang layak. Bagaimana menjijikkannya kandang si monyet dan juga rumah si pemelihara monyet yang tinggal di pinggir-pinggir selokan bau. Dan bagaimana mengerikannya intaian penyakit rabies yang berdiam di dalam liur monyet-monyet tidak terurus itu.

Menurut si penulis, sementara si pemelihara monyet ongkang-ongkang kaki, monyet-monyet ini diperbudak dan disuruh melakukan trik-trik. Entah mengapa trik-trik itu menarik hati orang Indonesia, bagi orang-orang bule semua yang dilakukan oleh si monyet begitu mengerikan. Apa lucunya menonton monyet menaiki sepeda sambil membawa keranjang dan memakai topeng yang terbuat dari bekas boneka bayi plastik. Menakutkan. Humor rendahan. Tapi orang-orang Indonesia tertawa. Tergelitik oleh semacam rasa lucu yang gelap dari sajian Topeng Monyet.

Pagi hari itu aku menyaksikan Topeng Monyet yang ramai diperbincangkan itu. Dalam hati aku berusaha untuk memalingkan muka. Malu karena semua kawan telah mencemooh dan mencerca kebiasaan menonton Topeng Monyet. Juga malu karena bersikap biadab. Setidaknya menurut ukuran-ukuran orang bule itu. Lagian memang kasihan monyet itu. Ngapain juga makhluk yang seharusnya sedang berayun dari pohon-pohon, berjungkiran di atas aspal panas karena si pemelihara monyet mendesis galak.

Tapi mau tidak mau, aku menonton sajian Topeng Monyet itu. Habisnya lampu merah jalan di bawah jembatan layang itu lama sekali. Ada mungkin sekitar lebih dari 180 detik. Dan selama 180 detik itu, si monyet sudah “ke pasar”, “pakai bedak” dan “ngudud”. Atraksi-atraksi biasanya dari pengamen Topeng Monyet. Dan selama melakukan itu, si monyet memakai topeng boneka bayi plastik yang sudah rongsokan. Di tempat yang seharusnya terlukis mata, malah terdapat dua bolong. Seakan-akan itu akan bedanya bagi si monyet. Mereka kan sudah rutin melakukan semua atraksi. Sekian desisan dan sekian tarikan rantai artinya menggaruk atau membungkuk. Mungkin sebuah sentakan artinya si monyet perlu jungkir balik. Hal-hal yang rutin. Hal-hal yang biasa saja.

Jadi untuk 180 detik aku menonton Topeng Monyet. Dan aku mulai melupakan rasa malu dan cerca massa. Hanya ada aku dan atraksi si monyet. Lalu anehnya aku tertawa. Entah apa yang lucu dari atraksi si monyet. Aku sendiri tidak mengerti. Andaikan saja aku dapat melihat wajah si monyet yang bekerja begitu kerasnya, mungkin aku akan mengerti mengapa aku mengeluarkan sebuah tawa. Mungkin.

Tapi 180 detik itu keburu berakhir. Ternyata 180 detik tidak selama yang kubayangkan. Dan aku terpaksa menginjak gas dan meninggalkan perempatan di bawah jembatan layang itu. Menyetir dengan sedikit ugal-ugalan. Karena sebenarnya aku berangkat terlambat pagi itu. Jadi aku harus bergegas kalau tidak mau dipotong gaji.

Sembari menyetir, aku teringat pada Topeng Monyet. Pada jungkir baliknya. Pada absurditas topeng yang seharusnya membuat monyet itu manis dan imut. Sebuah topeng untuk menyembunyikan seringai liar alami si monyet. Atau mungkin beberapa belek karena terlalu banyak terpapar asap knalpot. Atau mungkin agar anak-anak tidak takut pada tetes liur monyet yang dehidrasi dan hampir rabies. Topeng absurd yang seharusnya menyembunyikan semua laku dan mimik muka. Memberikan sebuah wajah palsu. Padahal yang di baliknya adalah getir dan nestapa. Mungkin banyaknya rasa rindu pada pohon dan panggilan kawan-kawan sesama monyet.

Kasihan monyet itu. Masa binatang juga pakai topeng?

Aku tiba di kantor 15 menit terlambat. Gajiku akan dipotong sejam. Pegawai HRD yang ingin terlihat banyak kerja mengomel dan mencemberutiku di depan semua orang. Padahal banyaknya orang-orang yang menonton itu adalah bawahan-bawahanku. Tapi karena dia lebih senior, aku relakan diri untuk dimarahi. Dan pegawai HRD itu senang melakukan semua itu. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bekerja keras dari siapapun di tempat itu dan aku adalah si orang gila yang terlambat 15 menit. Bajingan yang perlu dibasmi karena tidak memiliki etos kerja dan perlu dihilangkan dari muka bumi.

Dan aku menunduk dan membiarkan pegawai HRD itu memarahiku habis-habisan. Saking sudah terbiasanya mendengar omelan dan amarah. Dan pikiranku kembali kepada Topeng Monyet dan si monyet yang berjungkir balik di bawah sentakan rantai si pemelihara monyet. Dan aku terkenang pada topeng boneka bayi plastik busuk yang mengerikan. Dengan mata kosong menatap ruang di mana dua kilat liar berusaha menatap. Tapi kemudian hanya padam terkena sentak dan sengat rantai. Menjadi lubang kosong sementara si monyet kembali berjungkir. Karena pemelihara monyet menghendakinya bergerak demikian. Harus seperti itu. Karena benar monyet itu adalah budak.

Lalu mengapa aku menertawakan seorang budak?

Setelah pegawai HRD itu puas mempermalukanku di hadapan semua orang, aku melangkahkan kaki menuju meja kerjaku. Atasanku dan beberapa rekan kerjaku telah menunggu kedatanganku. Mereka tampak cemas sekaligus lega melihat kedatanganku. Dengan segera aku dikerubuti dan ditumpahi oleh berbagai masalah. Semua masalah yang sama pentingnya. Tidak satu pun dapat menunggu temannya. Sebenarnya aku merasa jengah. Merasa tidak suka pada mereka yang selalu saja memberi tanya tanpa berusaha berdiskusi. Hatiku dongkol karena lagi-lagi aku dianggap dapat melakukan magic. Menyelesaikan semua masalah secara dadakan dan cepat. Padahal kupikir bukan seperti itu cara yang baik untuk menghadapi masalah. Tidak baik mengandalkan magic.

Tapi meskipun hatiku cemberut, wajahku netral dan malah tersenyum.

Seperti topeng boneka bayi plastik yang dikenakan oleh si monyet.

Mungkin itu yang membuat orang Indonesia tertawa saat menonton Topeng Monyet. Di dalam sudut hati yang dalam, mungkin monyet yang bersembunyi di balik topeng mengingatkannya pada dirinya sendiri. Keharusan untuk tertawa ketika menangis. Tekanan untuk bersyukur pada saat hati masih kufur. Kekangan berekspresi karena mengikuti budaya yang dianggap lebih global dan membumi. Mungkin bule tidak mengerti hal semacam itu. Tidak mengerti gelitik lucu di dalam kehidupan yang kelam.

Asal tahu. Kami Indonesia menyebutnya “bahagia”.

Kembang Wangi

Ada satu lagu yang selalu saya dengarkan ketika sedang merasa agak bingung. Lagu itu adalah “Sleeps with Butterflies” yang dibawakan oleh Tori Amos. Sebenarnya saya tidak mengerti makna sebenarnya lagu itu, tapi tetap saja saya mendengarkan lagu itu berkali-kali. Karena saya merasa lagu itu dekat sekali dengan hati. Ada rasa mengenali. Dejavu.

Baru belakangan ini saya dengarkan kembali lagu ini, dan mata saya pun berkaca-kaca. Ternyata maknanya sangat dalam. Mau tidak mau saya terinspirasi dan terciptalah “Kembang Wangi”. Tapi karena maknanya sangat mendalam, saya pun agak kacau dalam menuliskan kesan terhadap lagu ini. Tapi lumayan saja lah. Sekedar hiburan.

Tapi!

Ini adalah cerita yang ku rating “D”. Ada sedikit kevulgaran, tapi bukan itu yang membuat dia “D”. Tapi karena banyak istilah yang akan mengundang tanya, juga terdapat kegelapan yang agak aneh di dalam cerita ini.

Jadi harap hati-hati dalam membaca cerita yang kali ini. Dan seperti biasa biarkan cerita mengalir dan jangan pikirkan teknis dan EYD. Biarkan saja pikiran mengembara. Sesekali saja!

-nyaw, bercerita tentang kembang dan kupu-

***

Kembang Wangi

 laki-laki kupu-kupu

Jaka merasa heran dengan perubahan drastis kawan dekatnya yang bernama Adi. Beberapa hari yang lalu Adi begitu murung dan mukanya gelap. Kawannya itu sendu dan hampir-hampir sepenuhnya tidak berfungsi. Berhari-hari ia absen kuliah hingga hampir meninggalkan skripsi. Dosen-dosen dan petugas TU kocar-kacir mencari dirinya. Soalnya Adi sudah mendekati batas waktu DO. Sayang sekali kalau ia melewatkan tahun ini hanya karena setitik masalah kecil. Apalagi kalau bukan masalah perempuan.

Adi yang sudah hampir DO itu ditinggalkan kekasihnya. Ia perempuan cantik mungil dan pujaan hati seantero kampus. Jaka tidak heran Adi yang pecundang ditinggalkan kekasih. Mereka memang terlampau jauh. Paras maupun prestasi. Sudah keniscayaan kalau mereka akan berpisah.

Dan Adi tahu itu. Bahwa ia yang payah pasti akan ditinggalkan kekasih. Tapi meskipun Adi sudah dapat meramalkan masa depan naasnya, ia tetap terpukul oleh nasib buruknya. Akhirnya ia pun terpuruk di dalam keadaan nista. Sudah tidak tampan, tidak berprestasi, sekarang juga hampir tampak seperti orang mati. Sungguh memalukan keadaan Adi.

Tapi hari ini Jaka dibuat terheran-heran melihat keadaan Adi. Wajahnya kini cerah, riang, dan senyumnya terkembang. Ia melangkah ringan seakan ada pegas di tumit-tumitnya. Punggungnya tegak bangga dan bahunya lurus sempurna. Saat Jaka menanyakan bagaimana bisa Adi bangkit begitu cepat dari keterpurukannya, ia menjawab,

“Aku bertemu seorang perempuan.”

“Sedemikian cepat?” tanya Jaka.

Adi mengangguk dan Jaka merengut. Klasik. Masalah perempuan diatasi perempuan. Jaka mengomeli Adi habis-habisan. Mengatasi masalah yang diakibatkan perempuan dengan perempuan lain hanya akan mengulang sejarah. Dan kemungkinan penyelesaiannya akan semakin sulit. Karena perempuan pengganti akan sakit hati parah. Kalau sudah seperti itu Adi harus mengatasi dua masalah. Masalah hati laki-lakinya sendiri yang sakit dan masalah hati perempuan itu yang sakit. Merepotkan.

“Dasar bodoh. Terlalu cepat kalau kau mau pacaran lagi!” omel Jaka.

Kali ini Adi menggeleng. Masih saja wajahnya cerah. Senyumnya kini berubah menjadi cengiran. Jaka menjadi heran. Bagaimana bisa kawannya yang hampir DO dan ditinggalkan kekasih begitu riang? Mungkin sebentar lagi kiamat. Mungkin terompet penanda akhir massa sudah akan ditiup. Jaka jadi was-was. Tapi ia tetap penasaran. Adi pun kembali menjawab,

“Bukan pacar, aku hanya bermain bersama seorang pelacur. Pelacur perawan.”

Jaka sudah hendak memarahi kawannya yang bernama Adi. Sudah hendak ia mengingatkannya mengenai penyakit-penyakit menular seksual yang dapat membuat kemaluan panas, gatal, impoten dan sulit pipis. Kalau mengingatkan Adi tentang dosa dan murka Tuhan, Jaka tidak suka. Karena ia bukan kyai atau dai. Ia tidak tahu hal semacam neraka. Ia hanya tahu betapa repotnya sipilis dan gonorrhae dan hal-hal semacam itu. Bodoh sekali Adi melibatkan diri semacam itu.

Jaka sudah benar-benar hendak mengomel dan memarahi. Tapi kemudian ia menyadari sebuah kontradiksi di dalam kalimat Adi. Ia berkata, “Pelacur perawan.” Mana ada hal semacam itu? Kalau sudah ditusuk berkali-kali, mana bisa perawan? Apa mungkin ia spesialis pada laki-laki yang barangnya kecil? Masa iya harus ukur dulu batang sebelum masuk ranjang? Aneh sekali! Jadi Jaka mengulang,

“Pelacur perawan?”

Kali ini Adi mengangguk dengan sikap pasti. Sambil tersenyum dan sesekali nyengir, ia ceritakan mengenai si pelacur perawan. Dan Jaka mendengar semua cerita secara seksama tanpa mengalihkan perhatian. Pada akhir cerita, Jaka putuskan bahwa ia pun akan menemui si pelacur perawan. Hanya karena penasaran.

*

Adi bilang pelacur perawan itu tinggal di sebuah tempat yang serupa lubang. Ironis. Karena ia adalah pelacur yang tidak memainkan lubang. Tempat serupa lubang itu berada di bawah sebuah jembatan layang. Jadi tempatnya berisik sekali. Karena di atasnya mobil lalu lalang dan berbunyi jedak jeduk ketika menyentuh pertemuan ruas jembatan yang sudah mulai renggang. Tapi ketika malam tiba, jembatan layang itu menjadi sepi dan lubang sembunyi si pelacur perawan menjadi tenang. Dan di saat seperti itulah si pelacur perawan akan menyebarkan baunya. Serupa sebuah kembang. Makanya ia bernama Kembang Wangi.

Dan ke lubang di bawah jembatan inilah Jaka pergi. Karena di sana ada Kembang Wangi. Si pelacur perawan yang menyembuhkan kawannya bernama Adi. Dan menurut Adi, konon katanya semua lelaki mendapat hasil yang serupa dengan dirinya. Merasa segar dan hidup. Padahal tidak menusukkan apapun. Hanya bertemu saja dengan si Kembang Wangi. Ketika Jaka menanyakan tepatnya bagaimana itu bisa terjadi, Adi hanya tersenyum dan berkata Jaka perlu menemuinya sendiri.

Oleh karena itu, Jaka pergi, sekitar jam dua dini hari. Ketika orang lain sedang tahajud, Jaka malah pergi mencari pelacur yang bernama Kembang Wangi. Setelah mengendap-ngendap dengan perasaan hati yang tidak karuan dan takut ditodong preman, ketemulah rumah gelap persembunyian si pelacur perawan. Dan benar saja, saking gelapnya rumah itu, tempatnya sudah menyerubai lubang. Tapi masa sih di tempat yang tidak menarik seperti ini tinggal seorang pelacur perawan?

Lama Jaka mematung di depan lubang. Di luar dugaan, terbukalah pintu depan dan keluarlah seorang perempuan. Kulitnya putih mulus dan rambutnya sedikit ikal bergelombang hingga ke pinggang. Matanya tidak terlalu besar tapi bercahaya lembut di bawah bulu mata yang memberi bayang teduh. Hidungnya kecil dan mancung. Bibirnya pun mungil dan merah manis seperti warna jambu air. Pakaian yang dikenakannya adalah sebuah gaun asimetris berwarna hitam. Membalutnya longgar hingga sedikit melayang ketika angin malam bertiup.

Jaka merasakan suatu keanehan. Menurutnya perempuan itu pastilah bukan seorang pelacur. Karena meskipun cukup manis dan menarik, ia tidak menggoda maupun mengundang. Lekuk perempuannya tidak mengajaknya untuk pergi ke ranjang. Mereka hanya menonjol dan membentuk gelombang serupa ombak lautan tenang.

Jadi pada awalnya Jaka merasa telah melakukan kesalahan. Pasti ia salah rumah. Mana mungkin perempuan yang tidak tampak mengundang itu adalah seorang pelacur? Lalu diingatnya cerita Adi. Bahwa Kembang Wangi selalu memakai gaun hitam. Juga meskipun cantik, kau tidak akan pernah mau mengajaknya ke ranjang. Apakah mungkin Jaka tidak salah orang? Maka ia pun bertanya,

“Apakah kamu yang bernama Kembang Wangi? Si pelacur perawan?”

Perempuan manis itu mengangguk dan tersenyum. Bibirnya melekuk tapi Jaka tidak merasa itu mengundang. Bagaimana bisa? Padahal harusnya semua batang bereaksi bila bertemu perempuan cantik tanpa pertahanan di tengah malam. Tapi tidak. Jaka tidak merasakan desiran atau aliran darah apapun. Ia hanya merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang manusia. Dan ia sama sekali tidak ingat bahwa yang di hadapannya adalah seorang pelacur perawan.

“Ya betul. Silakan masuk Kang.”

Dengan sebuah gamitan kecil, Kembang Wangi menarik Jaka ke dalam lubang. Pintu lubang itu tertutup dan Jaka pun memasuki sebuah dunia yang di luar duganya. Tidak pernah ia kira di bawah jembatan berisik dan hitam, terdapat sebuah rumah berisikan seorang perempuan semacam Kembang Wangi. Jaka merasa menemukan sekuntum mawar di tengah got. Rasanya aneh sekali.

Dalamnya rumah seorang pelacur perawan ternyata pun di luar dugaan. Biasa sekali. Jaka pikir mungkin akan hiasan-hiasan seronok semacam isi toko sex toys Belanda. Atau malah kebalikannya, agak seperti kuil tempat suci sehingga lelaki kehilangan selera. Tapi tidak. Isi rumah itu biasa saja. Ada dua buah kursi, sebuah meja kayu dan lemari buku yang agak melompong. Terdapat sebuah ranjang sederhana tenpa renda. Di sebuah sudut tersembunyi dapur dan di dekatnya ada kamar mandi. Ya sudah itu saja isinya. Tidak menghilangkan maupun menggugah selera.

Meskipun begitu, Jaka tetap menelan ludah. Bagaimana pun itu adalah rumah seorang pelacur dan ia adalah seorang pelanggan. Jaka tidak yakin dengan tindakan apa yang harus diambilnya. Haruskah ia bersikap cool dan menyilang kaki. Haruskan ia mengeluarkan rayu? Jaka tidak yakin. Jadi ia mengikuti kebiasaan yang ia lihat di film. Ia pun bertanya,

“Berapa tarif sejam?”

“Sebungkus nasi kuning dan sebuah cerita untuk sebuah malam.”

“Hah? Goceng?”

“Goceng.”

Bibir Jaka mulai menipis rapat. Ia bingung dengan perkembangan situasi ini. Sebenarnya tempat pelacuran macam apa ini? Pelacur mereka tidak menggoda dan didiskon. Harusnya kan di sini lelaki menghabiskan asa di dalam batang, kok jadi begini? Ah sudahlah. Mungkin ini permainan agar Kembang Wangi membuat otaknya berputar bingung. Kalau sudah begitu mungkin laki-laki yang keblinger akan lupa untuk meniduri. Jadi untuk seterusnya pelacur itu perawan dan dapat keuntungan. Licik sekali!

Jadi Jaka yang masih muda dan berotak lihai cerdik, memutuskan mengikuti permainan. Ia merasa bahwa pelacur itu akan mempermainkannya. Mana mungkin lelaki nafsu tidak akan menerjang. Apalagi Kembang Wangi sudah mencap dirinya pelacur dan dapat dikangkang. Tidak mungkin ada pelacur yang perawan. Kalau mengaku perawan sih banyak.

“Okay.”

Tanpa banyak kata Jaka bangkit dari kursi dan menarik tubuh Kembang Wangi. Tubuh itu sempat tersentak kaget tapi kemudian melemas dalam pasrah. Jaka mendekatkan mukanya ke muka Kembang Wangi. Tatapannya mengunci hendak mengambil sebuah cium kasar. Tapi mata Jaka yang seharusnya mengirimkan pesan kekerasan dan kekuasaan malah melihat sesuatu yang lain di dalam mata Kembang Wangi yang jernih. Hal yang dilihat di dalam kedua mata si pelacur perawan membuatnya terenyuh dan lemas.

Di dalam mata coklat Kembang Wangi, Jaka melihat suatu kejernihan yang mengingatkannya pada saat-saat ia masih seorang bocah. Saat itu ia masih bau kencur.

Ah itu perumpamaan yang klise. Tapi lebih tepatnya saat Jaka masih bau seperti anak ayam yang kebasahan. Saat ia masih nakal dan terkadang keluar umbel hijau dari hidungnya. Badannya masih mungil dan hanya sepinggang lelaki dewasa. Kegemarannya adalah mencuri buah mangga tetangga. Meskipun masih sepet asam dan hijau. Ia akan bersusah payah memanjat hingga ke pucuk paling atas. Itulah kegemaran Jaka yang masih berumbel hijau.

Pada suatu hari terlihat sebuah mangga, jauh di pucuk pohon tetangga. Mangga-mangga yang lain masih hijau, tapi yang satu ini berbeda. Yang ini sudah ranum sendiri. Tidak hanya umbel Jaka yang melorot turun naik, air liurnya pun turut mengalir seperti sungai deras.

Tentu saja Jaka tidak dapat melewatkan mangga itu. Kapan lagi datang keranuman semacam itu lagi? Ah Jaka mungil perlu mengambil si ranum itu! Jadi dipanjatlah pohon tetangga, dengan bersembunyi-sembunyi dan berusaha tidak berbunyi. Karena hari itu Jaka menjadi bandit. Jadi penjahat. Jadi maling. Beringsut-ingsut ia menarik tubuh hingga ke pucuk. Tangannya terentang dan tergapai hingga ia melihat sesuatu yang mengejutkannya dari atas pucuk itu.

Jaka mungil melihat putri remaja tetangganya itu bersalin baju. Tubuhnya mulus dan ia memakai suatu baju yang berbeda dengan baju-baju milik Jaka mungil. Bentuknya membelit dada bagian atas si putri remaja. Dan ketika ia membuka kait belakangnya, terlihat bentuk-bentuk yang Jaka tidak punya. Jaka tidak tahu apa nama bentuk-bentuk itu. Tapi ia merasa malu. Merasa tidak layak melihatnya. Jadi ia berpaling. Terlalu cepat.

Dan Jaka terjatuh.

Jatuh dari pohon tetangga.

Ke dalam kubangan coklat.

Coklat seperti mata Kembang Wangi.

Jaka melepaskan tubuh Kembang Wangi dengan sebuah sentakan tiba-tiba, membuat si pelacur perawan hampir terjatuh. Keringatnya mengalir deras. Kenapa tiba-tiba ia teringat pada dosanya yang telah sekian lama? Kenapa semuanya terlihat di dalam jernih mata Kembang Wangi?

Dengan tergesa-gesa Jaka menjauh. Ia merogoh-rogoh isi saku dan mengeluarkan selembar uang. Goceng. Sesuai perjanjiannya dengan Kembang Wangi. Diulurkannya uang itu dengan tangan yang gemetar. Si pelacur perawan mengambil lembaran itu sambil berkata,

“Lalu ceritanya?”

Jaka menggeleng keras-keras. Ia lalu menawarkan selembar uang lainnya. Lembaran berwarna biru. Bertuliskan “rupiah lima puluh ribu”. Tapi Kembang Wangi menutupkan tangan Jaka dan menggelengkan kepala. Ikalnya bergoyang ketika ia berkata,

“Tidak. Aku tidak butuh lima pulu ribu. Aku butuh ceritamu. Berarti kau berhutang padaku.”

Jaka meneguk ludah. Pikirannya nanar dan berputar. Dia hendak membantah dan memaksakan uang biru itu ke dalam tangan si pelacur, tapi ia keburu takut melihat jernih mata coklatnya. Jadi ia mundur, mengangguk, dan berjalan cepat keluar dari rumah serupa lubang itu. Jalan? Mungkin tepatnya Jaka berlari seperti anak kelinci dengan buntut terbakar. Ya secepat itulah Jaka berlari.

Dan sepanjang lari itu Jaka bertanya-tanya, apakah gerangan yang berada di dalam mata Kembang Wangi? Mungkinkah semacam kutukan gypsy, ataukah santet dukun? Yang pasti Jaka merasa resah dan gelisah. Ia pun menyesali keputusannya untuk mendatangi Kembang Wangi, si pelacur perawan.

*

Sudah selang beberapa hari dari saat Jaka mendatangi rumah lubang milik Kembang Wangi. Jaka ingin melupakan kunjungan singkatnya itu. Ia pun ingin merelakan goceng yang seharusnya dia pergunakan semalam suntuk. Juga ia berniat untuk tidak pernah membayarkan hutangnya yang berbentuk satu cerita itu. Tapi entah mengapa Jaka tidak dapat melakukan semua itu.

Selama berhari-hari itu, Jaka teringat pada Kembang Wangi. Pada ikal rambutnya. Pada kulit bersihnya. Pada lekuk lembutnya. Tapi terutama ia tidak bisa lupa pada mata coklat jernihnya. Mata yang membuatnya terkenang pada dosanya. Hingga ia merinding dan bulu-bulu tangannya berdiri ngeri.

Tapi ada suatu kepuasan di dalam menatap dosanya. Kepuasan dalam kejujuran yang sedikit sakit dan nyeri. Mengingatkan Jaka pada saat ia melepaskan kepolosannya untuk pertama kali. Ketika ia tidak sadar apa itu sebenarnya makhluk perempuan. Seperti apa sih yang berada di balik baju itu.

Jaka malu sekaligus puas tertantang. Tapi ia masih enggan mengulang pengalaman itu. Karena meskipun itu memuaskan, tetap saja itu adalah dosa yang terkenang. Sungguh menyakitkan melihat kesalahannya sendiri.

Tapi entah mengapa Jaka merasa perlu menantang jernih mata itu sekali lagi. Karena entah apa yang berada dalam jernih itu kali ini dan nanti. Apa lagi kejujuran yang akan Jaka lihat? Jaka penasaran. Dan sekali lagi, sekali lagi Jaka kembali kepada rumah lubang Kembang Wangi.

*

Dan sekali menjadi dua kali. Lalu dua kali menjadi tiga kali. Tiga kali menjadi berkali-kali hingga tidak terhitung lagi. Dan selalu saja pada akhir pertemuan, Jaka hanya mengacungkan selembar goceng. Dengan tangan yang gemetaran dan keringat bercucuran. Dan selalu saja Jaka berhutang pada si pelacur perawan. Hal yang sama hingga Kembang Wangi sendiri pun jengah mengingatkan. Hingga pada suatu hari ia berkata,

“Hutang ceritamu sangat banyak Jaka! Ya ampun…. Ya sudah! Kamu jangan pulang malam ini! Sini kamu duduk di sini sambil ngopi-ngopi. Biar aku saja yang bercerita!”

Jadi dengan terpaksa Jaka duduk di salah satu kursi di rumah serupa lubang itu. Ia memilih kursi yang dekat pintu. Di bawah sadar ia sudah bersiap minggat. Kembang Wangi melihat gelagatnya dan hanya menghela napas. Dengan santai ia duduk dan menatap heran tamunya malam itu. Kembang Wangi pun berkata,

“Belum pernah aku punya pelanggan sesulit kamu sebelumnya.”

Jaka merasa tertarik dan bertanya, “Memangnya yang lain seperti apa?”

“Yang lain selalu langsung bercerita begitu menatap mataku. Dan mereka sangat puas setelah menceritakan segalanya padaku.”

“Oh begitu?”

Jaka bergerak tidak nyaman dan Kembang Wangi kembali mendesah dengan keras. Lagi-lagi ia menyatakan Jaka sebagai pelanggan yang susah lalu ia mulai bercerita. Cerita yang aneh dan sedikit magis. Mengenai keluarganya yang semuanya pelacur. Tapi semuanya perawan. Karena mereka memiliki kemampuan yang sama. Kemampuan dalam membuat lelaki lepas.

“Lelaki yang lepas itu bukan lewat sini.” Kembang Wangi menunjuk antara kaki. “Tapi lelaki yang lepas itu ada di sini.” Kembang Wangi lalu menunjuk hati.

Jaka mendengarkan cerita aneh ini dengan tertarik. Ia tidak lagi memikirkan hal-hal aneh yang terlihat di dalam mata Kembang Wangi. Ia hanya menyimak kata-kata yang keluar dari bibir yang begitu ekspresif. Mungil tetapi sesekali sedikit menyungging atau monyong saking senangnya bercerita. Lalu tubuh Kembang Wangi bergoyang dengan sedikit terlalu bertenaga ketika dengan gemas ia melanjut ceritanya.

Kembang Wangi menceritakan mengenai bagaimana ibu dan nenek-neneknya kehilangan keperawanan. Katanya itu karena akhirnya lelaki-lelaki yang biasanya hanya ulat berubah menjadi kupu-kupu. Kalau sudah menjadi kupu-kupu, lelaki itu akan terbang pergi meninggalkan para pelacur tetap perawan. Tapi tidak dengan kupu-kupu yang satu itu, yang menjadi bapak dan kakek-kakeknya.

“Akan datang satu laki-laki kupu-kupu. Dia akan terbang kembali dan mengambil perawan kami.”

Begitu kata Kembang Wangi dengan begitu pasti. Jaka pun tergelitik dengan pernyataan ini. Mau tak mau ia yang tadinya grogi, angkat bicara juga. Karena ia adalah lelaki yang tidak bisa tidak penasaran. Ia bertanya,

“Lalu setelah perawan itu diambil, apa ia akan membawa ibu dan nenek-nenekmu pergi?”

Di sini bibir mungil Kembang Wangi merapat. Pipinya memerah dan alisnya berkerut ke atas. Ujung bibirnya berkedut dan sebuah titik air mata terjatuh ketika ia menjawab,

“Tidak. Semua laki-laki kupu-kupu pasti pergi.”

Jaka terdiam. Dilihatnya gemetar di dalam tubuh Kembang Wangi. Mukanya berpaling tersembunyi di balik ikal-ikal. Tangannya terkepal gelisah di atas pangkuan. Dan Jaka tidak dapat menahan diri. Ia berdiri dan mendekat untuk memberikan sebuah rangkul.

Tubuh Kembang Wangi melunglai di dalam peluknya. Lalu Jaka menghadapkan muka si pelacur perawan menghadap dirinya. Mata mereka kembali beradu. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Tapi kali ini yang terlihat di dalam jernih itu berbeda. Berbeda sama sekali. Malam ini, di dalam jernih mata Kembang Wangi, Jaka melihat kisah yang lain. Kisah hidup Kembang Wangi yang sepi. Karena selalu ditinggalkan lelaki yang bersikap seakan-akan mereka kupu-kupu.

Dan Jaka kembali tidak menahan diri. Ia menanamkan sebuah cium. Lalu satu cium menjadi dua. Dua cium menjadi tiga. Lalu tiga cium menjadi banyak ciuman. Banyak hingga hampir tidak terhingga. Dan mereka berguling ke atas ranjang si pelacur perawan yang tidak berenda. Bergulingan hingga pelacur itu sudah tidak lagi perawan dan jaka yang tadinya hanya ulat menjadi kupu-kupu.

Dan seperti sudah diketahui Kembang Wangi, semua kupu-kupu itu pergi. Meninggalkannya hingga jiwanya sepi. Tapi kali ini sepi itu terasa hampir seperti mati. Karena Kembang Wangi punya rasa pada si pelanggan paling susahnya yang bernama Jaka.

Selain itu Jaka punya hutang yang sangat banyak pada Kembang Wangi. Hutang cerita yang sangat banyak! Kembang Wangi yang sial. Sudah dihutangi begitu banyak, ia pun penasaran dengan cerita-cerita dari kekasih hatinya bernama Jaka.

Ya. Kita doakan saja Jaka akan terbang kembali. Siapa tahu ia kupu-kupu jenis beda lagi!

Telanjang Hari Ini

Saya membaca sebuah quote dari Tohari. Katanya seorang penulis harus memiliki sesuatu yang tidak dia setujui dan hal itu dijadikan konflik yang dia pelajari lewat tulisan. Meskipun saya penulis yang masih abal-abal, saya sepakat dengan konsep ini. Dan satu hal yang tidak bisa saya terima sampai saat ini adalah konsep mengenai penyamaan pengungkapan perasaan dengan kevulgaran. Bukankah itu bertentangan dengan hasil-hasil tes yang menyatakan bahwa banyaknya orang Indonesia ekstrovert? Tapi begitu diajak mengungkap hal-hal dengan jujur kok malah merasa tersinggung dan terganggu? Percuma saja menjadi ekstrovert kalau yang diungkap hanyalah kebohangan sampah.

Dan jujur saja itu adalah konflik dalam hati saya.

Dan konflik itu melanjut kepada kekesalan saya dalam restriksi mengungkap diri.

Saya adalah seseorang yang senang sekali tulisan. Kata. Itu adalah sesuatu yang “saya”. Dulu saking saya sukanya dengan kata, saya mencatat kata-kata asing yang terdengar indah. Hanya karena itu menarik. Jadi saya sebenarnya sangat mencintai kata. Dan bersyukur serta kagum pada kekuatan di dalam merangkai kata. Karena emosi-emosi yang tadinya tidak bernama jadi bertuan begitu dikasih kata dan dirangkai kalimat. Tapi saya kecewa pada budaya negara Indonesia. Di mana mengungkap diri dengan jujur terbuka itu terkesan vulgar dan aib. Berkali-kali saya ditegur oleh orang-orang terdekat karena saya mengungkap diri terlalu apa adanya. Saya tahu mereka baik. Mereka tidak ingin saya diremehkan dan terluka. Tapi saya tidak dapat menerima kenyataan bahwa mengungkap perasaan itu benar-benar direstriksi sampai ke bentuk tulisan. Padahal kalau menjadi sebuah karya, kupikir semuanya indah. Ya mengganggu adalah kalau itu memaksakan kepercayaan. Nah itu sih agak ganggu.

Tapi saya kan gak maksa? Saya hanya menyatakan saja. Kadang saya tanya malah, kok saya merasa gitu. Kadang saya memberi saran. Kenapa saya dianggap vulgar dan berdosa?

Saya pikir ini adalah konflik batin hati saya. Hingga saya tidak dapat berhenti menulis dan merangkai kata. Dan mungkin itu akan mengganggu. Tapi semakin orang terganggu oleh tulisan saya, makin besar konflik dalam hati saya. dan semaki deras mengucur kata dan rangkaian kalimat.

Jadi saya masih miris dengan budaya tertutup negara ini.

Dan di luar dugaan, itu malah menjadikan saya tidak bisa berhenti menulis.

Di luar ekspektasi orang-orang yang berpendapat saya terlalu terbuka dan vulgar.

Jadi saya membuat cerita. Mengenai pergulatan saya dengan keterbukaan dan kevulgaran. Seperti apa rasanya menjadi saya yang telanjang dan memandang orang-orang yang menutup kelambunya dengan rapat dan tertutup. Alias di dalam cerita ini aku mengungkapan diri dengan telanjang. Dan maafkan teknik dan EYD. Seperti biasa, abaikan dan biarkan semua mengalir.

Seperti angin semilir.

-nyaw, telanjang tanpa kelambu-

***

Telanjang Hari ini

Sand Gods LM 08

Kota Kelambu Tertutup hari ini dibuat geger. Seorang laki-laki berjalan-jalan telanjang mengelilingi kota setiap hari. Sangat vulgar! Sangat tidak senonoh! Sangat tidak tahu adat! Padahal laki-laki itu adalah anak Pak Walikota Kelambu Tertutup. Apa laki-laki itu tidak tahu adat istiadat kota itu? Seorang warga baik diharuskan untuk selalu menutup tubuh dengan kelambu. Menutupi segala-galanya agar tidak ada yang dapat terlihat.

Awalnya memang kelambu itu hanya untuk menutupi dada hingga sedikit di atas lutut. Tapi dirasakan lutut adalah semacam hal vulgar. Orang-orang yang sering bersimpuh merasa malu pada memar pada bagian ini. Jadi kelambu itu memanjang hingga semata kaki. Tapi masa sih kaki yang kapalan karena mencari pengalaman keliling dunia ditutupi? Ya sudah kelambu itu memanjang sedikit lagi hingga melewati kaki. Lalu masalah panjang kelambu tidak hanya mencakup lutut dan kaki, bahu dan kawan-kawan pun menjadi masalah. Tadinya bahu masih boleh terlihat. Itu sah saja. Tapi kemudian seorang menunjuk bekas panggul beban pada bahu seseorang. Diejek-ejek hingga orang itu hingga tertunduk malu. Jadi lagi-lagi memanjanglah kelambu. Untuk menutupi malu karena memanggul pada bahu. Dan satu per satu orang-orang Kelambu Tertutup mengikuti semuanya itu. Dan kelambu kemudian dipanjangkan hingga ke ujung jari. Karena melihat otot-otot pada para pekerja terasa begitu vulgar dan dipenuhi aib. Jadi dipanjangkanlah kelambu. Agar tak seorang pun melihat bekas-bekas usaha kerja keras para pekerja. Tapi kelambu tidak hanya ingin memanjang sampai situ. Kelambu memanjang hingga menutupi seluruh kepala. Karena kemolekan para pemuda dan pemudi membuat iri orang-orang yang telah renta. Jadi dikatakanlah bahwa usia adalah vulgar dan lagi-lagi aib. Jadi semuanya menutupi kelambu hingga ke kepala. Agar tidak seorang pun melihat indahnya garis wajah seseorang. Terutama yang muda.

Jadi begitulah Kota Kelambu Tertutup. Kota yang dipenuhi oleh orang-orang yang berjalan-jalan dengan kain panjang dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hingga sering mereka sendiri sulit melihat dan sulit melangkah. Karena terseok belitan kain. Tidak jarang seorang warga celaka sendiri karena terperosok lubang tidak terlihat. Rumah sakit pun telah menetapkan terperosok ke dalam sebagai epidemi. Dan mereka tidak bisa melakukan apapun. Karena dokter-dokter mereka sendiri tertutup kelambu. Mereka tidak dapat melihat luka-luka orang yang terperosok lubang itu. Jadi pada umumnya mereka yang terperosok lubang karena matanya tertutup kelambu akan mati. Ya sudah saja seperti itu. Mau apa lagi? Lukanya sendiri tidak terlihat. Dan tidak semua luka menutup sendiri. Jadi ya sudah saja mati. Karena terperosok ke dalam lubang sendiri. Syukur bila ada yang melarikan ke rumah sakit. Ini sih kadang masuk saja ke dalam lubang dan tidak keluar lagi. Ya sudah. Sekalian lubang perosok menjadi liang kubur. Kebetulan mereka telah memakai kelambu. Sudah sedikit mirip mayat.

Dan bukan saja terperosok ke dalam lubang yang menjadi masalah. Masalah pendengaran pun tidak jarang terjadi. Karena kelambu itu sampai menutup gendang telinga. Karena kau tahu? Telinga dianggap bagian tubuh yang sangat duper vulgar dan aib. Karena bentuknya yang melingkar dan melekuk-lekuk dan juga berlubang. Ikh. Itu kan terlalu berlebihan. Bentuk yang terlalu vulgar. Mengingatkan pada yang lain. Jadi biasanya telinga ditutupi dengan kelambu lebih. Agar tidak mencuat dari belakang kelambu. Atau kadang lubang telinga itu disumpal. Kalau sudah disumpal kelamaan, suka timbul infeksi. Jadilah telinga itu sedikit congek, dan banyak kehilangan dengar. Jadi jangan heran kalau melihat warga Kota Kelambu Tertutup saling berteriak. Karena mereka sebenarnya kesulitan saling mendengar. Dan ini menjadi masalah. Karena terkadang terjadi miskomunikasi. Seperti seharusnya seseorang ingin membeli tempe, malah diberi mete. Kalau sudah begitu mereka akan saling meneriaki sengit. Dan tempe maupun mete tidak jadi dibeli. Karena sudah kadung kesal sendiri. Tapi itu sih sebenarnya bukan masalah yang hebat akibat kurang dengar. Pernah sekali waktu seorang bawahan walikota harusnya menutup katup bendungan. Tapi bawahan itu salah dengar “Tutup katup bendungan” sebagai “Turut keruk gundukan”. Jadi bawahan itu malah menyetujui proyek penghancuran gunung hutan sebelah timur kota dan lupa menutup katup bendungan kota. Akhirnya kota sempat kena banjir besar dari kebocoran bendungan. Dan itu semua diperparah dengan hujan yang tidak tertahan karena hilangnya gunung hutan sebelah barat.

Sebenarnya sungguh kacau masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kelambu yang tertutup. Tapi orang-orang Kelambu Tertutup sudah keburu buta dan tuli. Mereka belagak tidak ada masalah. Malah mereka sering pamer panjang dan tebal kelambu. Semakin panjang semakin kaya raya orang itu. Semakin tebal kelambu, semakin suci hati orang itu. Pokoknya pekara menutup kelambu menjadi lebih penting ketimbang masalah-masalah yang dapat menghilangkan nyawa. Orang lebih khawatir kalau kelambu mereka kurang rapat atau ketat. Karena mereka tidak ingin vulgar. Dan terutama mereka tidak ingin aib mereka terlihat. Wajah yang menarik. Bahu yang bidang. Otot yang menonjol. Lutut yang banyak bersimpuh. Kaki yang kapalan. Itu semua vulgar. Itu semua aib. Jangan seorang pun melihat. Jangan seorang pun membicarakan. Tutup kelambu itu rapat-rapat. Karena orang-orang Kota Kelambu Tertutup tahu adat. Tahu aturan. Tahu malu.

Jadi betapa mengejutkannya ketika seorang laki-laki berjalan-jalan keliling kota dengan telanjang tanpa kelambu. Tidak tahu aturan! Sudah edan laki-laki itu pasti! Mana lagi dia adalah anak Pak Walikota yang terhormat. Ah betapa malunya bapak itu memiliki anak seperti itu. Maka dipanggilkan berbagai orang untuk menasehati anak edannya itu. Pemuka agama, guru, konselor, tukang totok, dokter, herbalist. Semua dipanggil oleh Pak Walikota untuk mencari salah dalam anaknya yang tiba-tiba memutuskan telanjang. Dan semuanya gagal dalam menyembuhkan edan dalam anak laki-laki itu. Saat laki-laki itu ditanya mengapa ia memutuskan telanjang dan membuka kelambu, ia menjawab dengan santai,

“Saya ingin jatuh cinta. Kalau buta dan tuli, saya tidak akan bertemu dengan cinta. Kalau saya tidak memperlihatkan borok, tak seorang pun akan tulus mencinta. Jadi saya membuka kelambu. Saya perlihatkan segalanya yang ada pada diri saya. Saya juga melihat dan mendengar semua yang berada di sekitar saya. Dan itu hebat sekali. Karena saya yakin saya akan jatuh cinta. Saya pasti jatuh cinta. Karena saya terbuka. Meskipun kalian sekalian tertutup, saya terbuka. Dan kalian akan mencintai saya.”

Para pemuka agama, guru, konselor, tukang totok, dokter, dan herbalis semua mendengus mendengar jawaban si laki-laki anak Pak Walikota. Dalam hati mereka sudah tidak berurusan dengan seorang edan semacam ini. Mana mungkin ada orang yang akan jatuh cinta pada seseorang karena melihat borok? Itu kan vulgar. Itu kan aib. Itu kan menjijikkkan. Ya ampun harusnya laki-laki itu tahu donk gunanya kelambu. Kelambu itu justru digunakan untuk menutupi kenyataan yang menempel pada tubuh. Bodohnya laki-laki yang memutuskan untuk membuka kelambu. Kan jadi terlihat semua borok dan luka pada tubuhnya. Memalukan sekali. Pasti perasaan Pak Walikot tidak karuan. Malu dan tidak terima anaknya yang edan. Tapi itu bukan urusan mereka-mereka yang ahli. Untungnya begitu. Dan kalaupun itu urusan mereka, untung saja Pak Walikota menutup kelambu dengan paling rapat. Jadi perasaannya tidak terpancar pada wajahnya. Bagus sekali bukan. Tidak mengetahui perasaan Pak Walikota. Betapa tidak nyamannya seandainya perasaan itu diketahui. Perasaan kan aib. Perasaan kan vulgar. Jangan sampai terlihat. Jangan sampai ada yang tahu. Tutup kelambu itu rapat-rapat. Hingga seorang pun tahu. Siapa yang di balik kelambu.

Tapi laki-laki itu malah membuka kelambu. Agar ia terlihat. Agar ia terdengar. Tapi yang lebih ngeri lagi, laki-laki itu ingin melihat. Dan ia juga mendengar. Sedangkan mereka semua buta dan tuli. Akan sungguh gawat seandainya si telanjang melihat dan mendengar kevulgaran diri mereka yang tersembul lewat kelambu. Jadi para warga Kota Tertutup menutup kelambu mereka dengan lebih rapat. Karena mereka tidak ingin melihat si laki-laki berjalan telanjang. Dan terutama lagi karena mereka takut pada si laki-laki telanjang. Takut terlihat dan terdengar kevulgaran mereka di belakang kelambu tertutup. Takut laki-laki itu keburu jeli melihat siapa-siapa yang berada di balik kelambu.

Dan laki-laki itu sadar dengan perubahan kerapatan, panjang dan tebal kelambu. Ia bertanya-tanya mengapa di saat ia telanjang, orang-orang malah melakukan hal sebaliknya. Ia tidak mengira itu karena mereka takut padanya. Dipikirnya itu adalah suatu trend yang dipopulerkan seorang artis entah mana lagi. Jadi ia berjalan dengan tidak acuh. Telanjang tanpa kelambu. Dan tanpa gentar. Bergeming pada yakin. Bahwa suatu saat ia yang telanjang akan jatuh cinta. Dan seseorang pun akan jatuh cinta padanya. Karena ia telanjang. Ia terbuka. Ia apa adanya. Dan ia tidak menganggap hal-hal yang menempel pada dirinya adalah vulgar. Diperlihatkannya pada dunia semua borok dan semua luka pada tubuhnya. Dan kalau seseorang tidak mau melihat borok dan luka itu, didendangkannya lagu mengenai semua hal yang ada pada dirinya. Dengan cuek bebek. Dengan tidak peduli. Dengan sangat berani.

Hingga saat ini laki-laki itu masih telanjang. Ia berjalan di tengah kota yang penuh dengan orang berkelambu semakin hari semakin panjang. Tapi ia bergeming pada yakinnya. Bahwa suatu hari ia akan jatuh cinta. Karena borok dan luka tubuhnya kini malah bertambah. Akibat sering dilempari batu dan kaca dan diusir keluar kota. Tapi ia bergeming pada yakinnya. Tidak masalah orang tidak menyukai borok dan lukanya. Karena itu adalah punyanya. Dan suatu hari kesemuanya akan membuat seseorang jatuh cinta. Meskipun pundaknya semakin bidang karena merasa beban tidak kunjung bertemu si orang yang dicinta, kerut wajahnya bertambah dengan indah. Kerut senyum pada mata dan ujung bibir. Dan ia yakin suatu hari seseorang akan kagum pada kerut-kerut itu juga. Karena itu bukan vulgar maupun aib. Dan meskipun kakinya lelah karena kapalan mencari si orang yang dicinta, ia masih bergeming pada yakinnya. Bahwa dirinya yang telanjang akan dicinta.

Karena ia sendiripun mencinta. Meskipun semua orang berada di balik kelambu. Ia mencinta mereka. Karena ia melihat geliat kecil di balik kelambu yang rapat. Juga ia dengar getar suara rapuh mereka dari kelambu yang tertutup. Dan laki-laki telanjang itu merasa terpesona dan kagum. Pada keindahan hampir senyap yang sesekali muncul dari kelambu. Andaikan mereka semua dapat melihat dan mendengar keindahan yang muncul di depan kejeliannya. Pasti mereka akan memutuskan membuka kelambu!

Ciuman Cengkih

Kemarin aku membaca Saman.Aku yakin bahwa aku membaca buku itu dengan cara yang salah. Yakin seyakin-yakinnya. Atau mungkin aku membaca edisi yang sudah disunting habis-habisan. Sampai bagian-bagian yang dikatakan seronok dan frontal itu tidak tersisa. Ya aku sampai mencari bagian mana sih dari Saman yang disebut-sebut vulgar itu. Kok aku tidak menemukannya? Aku merasa percuma saja selama bertahun-tahun ini aku tidak membaca buku itu karena ibu melarangnya. Ah tidak ada hal aneh di dalamnya! Malah lebih aneh buku harlequin! Hah. Aku merasa dibodohi resensi!

Anehnya aku malah merasa Saman itu ditulis oleh spiritualis. Sebenarnya itu buku yang bersih! Kata-kata frontal di sana tidak menutupi maksud spiritual di dalam buku. Jadi kupikir, kalau usiamu di atas 17, itu buku yang harus dibaca. Untuk direnungkan maksud di balik kejadian-kejadiannya. Untuk dimengerti tingkah laku tokoh-tokohnya. Karena buku yang menarik itu membuat seseorang bertanya dan berpikir.

Di dalam Saman ada seorang tokoh bernama Sihar. Tokoh ini mengingatkanku pada rokok kretek. Rokok kretek mengingatkanku pada 234 dan aroma cengkih. Oleh karenanya aku menulis tentang cengkih. Sekalian olahraga dan mengatur rasa sehabis membaca karya orang dan bersiap menulis karya sendiri. Cengkih itu menarik karena cengkih berbau legit dan sejuk. Tapi cengkih membikin sesak bagi perempuan-perempuan yang menyukai hal-hal macho.

Ya kadang aku merasa sesak dan sedih saat mencium bau 234. Tapi kesedihan yang biasa saja.

Jadi selamat berhari Selasa. Selamat menikmati udara sejuk cerah (bagi yang tinggal di Bandung). Aku memang menuliskan kekaguman pada rokok kretek 234, tapi bukan berarti mereka perlu disesap terus! Ya sesekali bergabunglah dengan bau dan aroma hiruk pikuk yang berada di sekitar. Dan mungkin sesekali ganti dengan permen. Kawan-kawan lelakiku melakukan substitusi semacam itu!

-nyaw, sesak oleh cengkih-

***

Ciuman Cengkih

perempuan biru

Lelaki Indonesia memiliki dewanya sendiri. Ia langsing, putih, singset. Kadang dia pakai bando warna kuning coklat. Tapi ada juga yang hanya bergelang perak. Jenis yang jarang ditemui tapi cukup legit manis berwarna coklat tebu. Di saat-saat lelaki sedang berduit, mereka akan menikmati saudari mereka yang lebih gemuk dan gempal. Karena mereka adalah dewa-dewa mungil seukuran telapak tangan yang genit-genit. Mereka senang dihisap ujungnya dan mengeluarkan wewangian tropis. Tembakau dan cengkih. Di dalam harum dan asap, mereka akan bertutur cerita-cerita indah dan menyesat pikiran kalut. Tentang lelaki macho yang hanya menyesap mereka. Tentang lelaki yang kuat bermain perempuan karena menghembus napas bersama mereka. Ah itu semuanya kabut asap ilusi. Dewa-dewa putih singset yang pandai membual para rokok kretek itu! Entah kenapa lelaki Indonesia sangat mencintai dan memuja mereka.

Apa itu karena nikotin? Pahit dan lengket seperti tar. Membentuk plak-plak pada langit-langit mulut dan rongga paru. Ataukah karena lelaki Indonesia senang petai dan jengkol? Jadi digunakanlah parfum para dewa singset ini untuk menutupi bau busuk kedua sayur legit itu? Ah entahlah. Yang pastinya lelaki Indonesia menyukai dewa-dewa mereka. Meskipun bungkus para dewa langsing putih itu sudah dihiasi oleh gambar-gambar horor serupa daging setengah buruk akibat kanker dan tumor yang diakibatkan oleh buangan para dewa penyesat ini, lelaki tetap saja menghisap mereka hingga ke sudut-sudutnya. Hingga tinggal gelang atau bando saja.

Dan dewa-dewa ini. Mereka justru menjadi hidup setelah dihisap. Mereka malah bernyawa setelah menghilangkan nyawa. Ah anehnya lelaki Indonesia tukang sesap rokok kretek! Mengapa berkorban nyawa untuk sesuatu yang hanya seukuran beberapa senti? Apa karena hidup tropis Indonesia itu begitu membuai? Hingga dibutuhkan suatu hiburan yang sedikit memacu adrenalin? Ataukah karena sebenarnya lelaki Indonesia senang melamun. Membiarkan jiwa terayun-ayun dalam lantunan lagu dan goyang dendang lenggok asap dewa rokok?

Mungkin seperti itu yang berada dalam benak lelaki Indonesia penggemar rokok kretek. Setidaknya itulah yang dipikirkan Nira mengenai para lelaki penyuka rokok kretek. Dan bagi gadis yang sepenuhnya tampak bersih, putih dan ngota, ia terpesona pada lelaki Indonesia semacam ini. Pada saat perempuan-perempuan berkerut memandang lelaki yang sedang mengepul, Nira akan mengamati bungkus rokok lelaki itu penuh dengan minat. Kalau baunya seperti kertas terbakar, itu pasti rokok biasa. Itu tidak menarik minat. Tapi kalau ada aroma manis dan sedikit eksotis di dalamnya, pasti itu rokok kretek. Dan Nira akan melihat bungkusnya.

Karena merek rokok itu sangat penting. Nira suka lelaki yang menghisap rokok kretek yang mereknya terdiri dari 3 buah angka. Yang bungkusnya kertas kuyu. Gambarnya hanya seliweran merah tua dan hijau lumut. Iklan tivinya adalah yang dipenuhi oleh lelaki mendayung perahu sambil meneriakkan, “Dji Sam Soe!”

Ya. Aroma kretek itulah yang Nira sukai dan anggap seksi. Hanya 234 saja yang menurutnya layak dihisap lelaki yang senang mempertaruhkan nyawa. Mungkin karena bentuk rokoknya agak penyok-penyok seperti dilinting sedikit asal. Agak mengingatkan cerita tentang cerutu Kuba yang dilinting di atas paha-paha perawan. Sedikit romantis seperti itu. Atau mungkin Nira menggemari aroma 234 karena bau tersembunyi di dalamnya. Suatu aroma wangi segar yang mengingatkannya pada suatu masa lampau. Sebuah aroma yang menjadi not di dalam parfum Old spice.

Cengkih.

Entah ada kenangan apa Nira dengan cengkih. Tapi itu membuatnya tenang dan terayun dan mengalun. Seperti para lelaki yang menyesap bokong dewa rokok kretek itu. Ya terasa sebuah samar mimpi di dalamnya. Tapi Nira tidak tahu apa bayang mimpi itu sebenarnya. Mungkin itu adalah sebuah reaksi kimia yang khusus bagi syaraf-syarafnya. Mungkin juga ia hanya gemar berfantasi. Atau mungkin ia memiliki kenangan masa lalu manis bersama cengkih yang hanya seukuran upil.

Entah.

Nira tidak peduli dan tidak ambil pusing. Ia memilih terbenam di dalam rasa kagum dan terbuai oleh asap rokok kretek berbau cengkih. Alangkah bahagianya seandainya ada lelaki penyuka 234 yang menjadi memilih dirinya untuk menjadi miliknya. Jadi Nira akan menghisap aroma cengkih tiap hari. Manis, sejuk, sekaligus sesak. Seperti cinta. Seperti hasrat. Lalu mungkin sesekali mereka tentu akan bertukar ciuman. Karena Nira telah menjadi kepemilikannya. Dan lidah mereka akan berputar dan bergulat. Penuh hasrat. Penuh gairah. Dan Nira akan merasakan aroma cengkih di dalam rongga bibir sang lelaki Indonesia itu. Dan mereka akan berciuman hingga aroma cengkih menghilang dan mulai menyesap ke dalam langit-langit mulut Nira. Sehingga gadis itu tidak lagi putih, bersih, ngota. Ia akan menjadi wanita. Liar, angkuh dan berbahaya. Seperti para lelaki pemuja dewa rokok kretek. Acuh, tidak peduli bahaya, lihai menghadapi kemelut hidup.

Karena lelaki seperti itu indah. Berbahaya dan meminta dijinakkan. Oleh wanita. Nira ingin menjadi wanita yang bisa menjinakkan dan menaklukkan lelaki liar penyuka dewa rokok kretek. Ingin ia berbagi kuasa dalam aroma cengkih yang lengket bersama tembakau. Bergulir dan berguling saling menarik sari di dalam jiwa diri. Bergantian lelaki-perempuan, lelaki-perempuan. Dengan dihiasi asap mengepul tembakau. Dan legitnya cengkih. Tentu saja harus ada cengkih.

Di dalam asap. Di dalam cium. Di dalam manis pertukaran sari pati.

Lelaki liar penyuka 234. Liar, acuh dan berbahaya. Bermata ceruk dalam dengan kilat pada matanya. Berkulit gelap seperti bayang pohon jati atau mahoni. Berambut acak-acakan dan sedikit ikal. Karena angin senang memainkan rambutnya itu. Saat ia meminta berpacaran dengan gunung dan hutan. Lelaki 234. Liar, acuh, dan berbahaya.

Berbahaya karena tentu tidak peduli. Pada perempuan putih, bersih, dan ngota semacam Nira. Lelaki penyuka kretek tentu memilih untuk bergulung di dalam lekuk-lekuk perempuan yang seperti aliran air. Memainkan, menarik dan menjambak rambut panjang mereka. Sambil menyesap sari perempuan mereka. Dan mengalahkan aroma feminin itu dengan cengkih. Cengkih yang sejuk dan menyesak. Dibuatnya perempuan-perempuan itu menyesak hingga menyesat.

Hanya perempuan seperti itu.

Bukan perempuan seperti Nira. Yang putih, bersih dan ngota. Karena sekadar memegangnya saja sudah seperti memasuki tokoh pecah belah. Di dalamnya banyak barang dari keramik dan kaca. Tersenggol sedikit tentu barang itu akan pecah berkeping-keping. Kalau sudah pecah, tentu barang itu perlu dibeli. Karena “merusak berarti membeli”.

Nira seperti keramik. Lelaki Indonesia penggemar rokok kretek tentu akan memilih perempuan yang lebih seperti mutiara. Yang bersinar tetapi tidak gampang retak. Yang tampak rapuh tapi sebenarnya keras. Mana mungkin memilih Nira yang keramik. Karena itu menyusahkan. Karena itu kebodohan. Karena lelaki penyesap 234 ingin kebebasan menyakiti. Sesekali. Karena ia liar. Ia acuh. Ia berbahaya. Ia akan menyakiti hati bila dirasanya perlu.

Dan Nira. Perempuan semacam Nira akan rusak begitu tersakiti.

Ah masih ada iba di dalam diri lelaki. Sekalipun mereka menyesap rokok kretek. Sekalipun jiwa mereka menghitam bersama tar. Karena asap itu melenggok dan menari. Seperti pinggul perempuan. Kadang seperti pinggul Nira. Agak putih, agak lembut, agak mengingatkan pada perempuan semacam Nira. Yang menginginkan lelaki yang liar, lincah dan lihai. Padahal lelaki seperti itu tidak menginginkan dirinya. Karena ia tidak ingin mengototri perempuan-perempuan yang putih, bersih dan ngota. Cukup dirinya saja yang menggelap dan menyesat. Tidak perlu libatkan Nira. Biarkan ia hidup di dalam dunia yang bersih. Dunia yang putih. Jauh dari lelaki yang menghitam dan memberikan nyawa pada dewa rokok kretek. Biar dia saja yang menyesap dan mencumbu dewa putih singset itu. Jangan sampai Nira bertukar ciuman cengkih. Karena ia putih dan bersih. Tidak seperti dewa rokok kretek yang putih di luar saja tetapi menawarkan jiwa hitam di dalam.

Nang Ning Nung

Seorang kawan mengenalkan lagu “Geol Mujaer” yang dipopulerkan oleh Ayu Ting Ting padaku. Entah mengapa aku merasa lagu itu jarang gagal dalam menyenangkan hati yang resah. Padahal lagu itu tidak memiliki makna kehidupan yang mendalam. Hanya berisikan bait-bait menghibur pagi seorang “Mustafa” yang patah hati. Tapi lagu itu sedikit magis. Aku suka sekali dengan lagu itu. Dan selalu terpikir olehku lagu itu untuk menyenangkan orang lain.

Lalu anehnya. Ketika aku sedang ingin menyenangkan seorang kawan yang resah, terpikir olehku lagu yang dipenuhi bait “ajeb” dan “nang ning nung”. Ternyata aku sendiri pun menjadi terinspirasi oleh lagu ini. Terbayang olehku seandainya ada seekor mujair raksasa berjoget di depanku. Astaga, pasti mengasyikkan sekali! Pasti luarbiasa! Pasti spektakuler!

Ya mengapa tidak kutuliskan pemikiranku itu!

Jadi kutuliskan khayalanku tentang si ikan mujair. Dia begitu nyata hingga kupikir mungkin saja sebenarnya dia ini dedemit. Bisa jadi. Tapi geolnya begitu hebat hingga kurasa menarik untuk dibaca!

So. Selamat bergeol! Coba baca sambil mendengarkan “Geol Mujaer”. Feelnya lebih terasa. Juga. Jangan indahkan kesalahan tidak logis dalam cerita. Ini bukan cerita yang dibuat untuk menyenangkan logika!

***

Nang Ning Nung

ikan koki hitamKe arah mana pun memandang, rasanya hanya ada air, air dan air saja. Tidak. Itu tidak sepenuhnya benar. Terdapat hijau dari rambat eceng gondok. Jangan lupakan riak dari kayuh perahu bapak yang mencari ikan nila dan mas. Udara pun menggantung-gantung dekat permukaan air. Membiaskan capung-capung yang hendak kawin. Matahari masih malas menggeliat. Waduk Cirata yang biasa dihiasi terik menjadi sedikit muram. Tapi suasananya sebenarnya ramai. Karena alam tak pernah diam. Tapi bagi Ujang yang terduduk di atas warung apung, semuanya terasa senyap dan kosong. Padahal kakinya sedari tadi menjadi arahan nyamuk-nyamuk betina yang sedikit terlalu bernafsu. Tak terasa olehnya gigitan-gigitan iseng itu. Hanya hampa saja. Seperti air datar yang tidak berkesudahan. Tenang, tidak beriak tapi memenuhi dadanya.

Ujang menunggu perasaannya meluap. Harusnya dan seyogyanya memang begitu. Ia adalah seorang perjaka hampir lapuk yang sedang berada pada puncak kesialannya. Apalagi kalau bukan pekara perempuan? Masalah seorang perjaka selalu saja seorang perempuan. Perempuan berambut panjang hitam. Perempuan berkulit putih langsat. Perempuan bermata besar jeli. Perempuan berbibir merah kuncup. Perempuang berhidung bangir. Ah perempuan! Pasti selalu saja perempuan. Dan sialnya, perempuan yang membuat Ujang resah adalah perempuan dengan semua ciri-ciri itu!

Ah keparat dan sungguh sial nasib Ujang karena telah jatuh cinta pada perempuan bernama Iteung itu. Perempuan Sunda nyaris sempurna dalam elok peluk yang sangat alami. Kecantikan Sunda yang menjadi berkah sekaligus cobaan lelaki. Membuat hati sejuk sekaligus kepala beringas. Iteung, Iteung…. Nama itu dahulu terdengar merdu di telinga Ujang, tapi kini hanya hampa yang ia rasakan. Kosong hitam yang mendalam.

Seharusnya Ujang memang sedikit tahu diri. Iteung adalah kembang sedankan orang seperti Ujang apakah layak memetik kembang sehalus Iteung? Ujang menggelengkan kepala karena nista pada dirinya sendiri. Terkadang ia memang merasa pecundang. Kerja pun belum tetap, hanya sesekali menjadi kenek. Itu pun kalau ia tidak sedang ingin mengudud dan mengopi bersama teman-temannya. Ia memang ingin mengawini Iteung, tapi ia malas mencari uang mahar. Biar saja emak yang membayarkan mahar itu. Boleh jadi emaknya perlu menjual beberapa ronce kalung emas. Biar saja. Uang orangtua adalah uang anak.

Tapi Ujang merasa nista. Dan sudah tentu Iteung pun nista. Tak perduli berapa banyak perhatian yang Ujang berikan pada kembang itu, ia terus menolaknya. Penolakan pertama dan kedua masih halus. Tapi penolakan ketiga dan keempat mulai diwarnai geram. Akhirnya pada penolakan yang kelima, Iteung tidak banyak berekspresi. Rona mukanya datar dan terkendali. Dari saku rok lebarnya, ia keluarkan sebuah kertas hias terlipat. Dengan mata yang menatap lurus pada Ujang ia berkata,

“Kang, nanti datang ya.”

Ujang menatap kertas hias terlipat tersebut. Dibacanya dengan pelan-pelan karena ia tidak terlalu mahir membaca. Pecahlah hatinya ketika ia sadar bahwa kertas terlipat itu adalah undangan nikah Iteung dengan anak Pak Haji Uwok yang kaya-raya. Ujang ingin mengerang dan menangis di tempat. Kembangnya akan dipetik oleh jejaka lain. Kembang yang selama ini memenuhi khayalnya dan memberikan kehangatan pada malam-malam Bandung yang menusuk. Ah kembang itu kini milik orang lain!

Ujang tidak memberikan tanggapan sedikit pun terhadap undangan itu. Ia tidak mencaci maupun sakit hati. Ia hanya terdiam dengan pandangan kosong sampai Iteung risih sendiri dan menyingkir ke dalam rumah. Ujang baru meninggalkan halaman rumah Iteung setelah seorang kawannya mengantarkannya pulang. Emak menyambut kepulangan anak semata wayangnya dengan cemas. Barulah ia mengerti apa yang terjadi ketika melihat undangan Iteung di dalam gamitan keras anaknya. Emak menangis. Bukan karena anaknya menjadi diam tapi karena merasa malu anaknya berani mengejar kembang.

“Nak, mengapa kamu kejar Iteung itu Nak? Malu Emak Nak….”

Emak mengaduh dan menumpahkan malu. Tapi Ujang diam. Sesuatu telah mati di dalam dirinya. Kalau kembang Iteung akan dipetik dan dipelihara oleh seorang jejaka mapan dan mupuni, Ujang sebaliknya. Ia layu dan akan membusuk. Ia akan menjelma menjadi bangkai. Mayat hidup yang menghabiskan oksigen dan sesekali membuang kotoran.

“Ujang kasambet Mak. Coba kita bawa ke orang pintar Mak.”

Salah seorang sanak saudara Ujang membari nasihat pada Emak. Maka dibawalah perjaka lapuk itu menemui seorang dukun. Dukun itu lebih sering ditanya nomor seri togel. Kadang kasus sulit pun datang, seperti pasangan yang kesulitan anak. Bapak Dukun itu pun bersedia saja memberikan benih. Kalau istri yang ingin hamil itu cantik, terkadang ia tidak memungut biaya. Ia sedikit nyeleneh seperti itu.

Tapi untuk Emak yang sudah tua, dukun itu tetap meminta bayaran sebanyak 3 gram emas. Dengan berat hati Emak memberikan salah satu cincinnya. Tak apa. Emak akan lakukan apapun asal anaknya dapat eling kembali. Dukun itu menyisir janggut dengan jemari-jemari penuh alinya. Lalu ia menyalakan dupa. Dengan sedikit berlebihan, hanya agar terlihat lebih bonafid, ia memasukkan potongan bubuk petasan. Emak melompat sedikit terkejut dari tempatnya duduk. Ujang tidak berkutik. Masih kosong pulalah dirinya itu. Dukun itu merapal mantra seakan-akan meminta sebuah petuah. Ia mengangguk-ngangguk seakan sedang dibisiki seorang makhluk tak kasat mata. Emak merinding. Kalau ia tidak menyerahkan emas dan merasa sayang telah setengah jalan, mungkin saat itu ia sudah ngacir.

Tak lama kemudian dukun itu membuka mata dan berkata, “Bawa Ujang ke Cirata. Dia perlu bergoyang mujair. Tapi ingat! Dilirik boleh. Disuka boleh. Tapi jangan diraba! Apalagi dibawa!”

Emak membelalakkan mata dalam sebuah tanya. Ia ingin bertanya macam-macam tapi dukun itu malah menggerakkan tangannya dalam sebuah tanda usir. Emak pun pasrah dan berterimakasih atas bantuan dukun nyeleneh itu dan dibawanya anaknya yang berhati kosong kembali ke rumah. Di rumah, emak hanya duduk terdiam memandangi Ujang yang berwajah kosong. Sempat muncul rasa jengkel dalam hatinya ketika diperhatikannya baik-baik anak yang telah keluar dari rahimnya sendiri. Sudah anak itu tidak tampan tampang, Ujang pun tidak tampan budi. Mungkin itu didapatkannya dari bapaknya yang memilih tinggal dengan istri keduanya yang membuka warung kopi untuk supir-supir truk berplat E. Mungkin memang Emak saja yang tidak ketulungan sial. Punya anak buruk rupa dan watak dan sekarang gila segala.

“Eling…. Eling…. Ingat dengan Gusti Pangeran….”

Emak mengusap nyeri pada dadanya. Tak apalah ia bersabar. Mungkin itu jatahnya yang hanya seorang penjual nasi kuning. Lumayan untuknya. Nanti sabarnya akan dibayar dengan surga. Begitu kata Bapak Ustadz pengajian. Tak apalah bersabar. Mungkin pula Ujang akan eling lagi. Malah ia mungkin akan menjadi anak yang lebih baik dari sebelumnya.

Harapan Emak membuncah. Optimis mulai memenuhi rongga dadanya seperti bubur lemu hangat. Ya, pasti semua beres untuk Emak yang baik hati. Ia pun segera teringat kalau ia memiliki saudara yang kebetulan sekali membuka warung apung di pinggir waduk Cirata. Ah ini pasti pertanda! Ini pasti rejeki! Ini pasti tanda Tuhan telah mengasihi Emak!

Berkat kecanggihan teknologi yang menyebabkan kemudahan komunikasi, butuh waktu tak lama bagi Emak untuk meminta tolong pada saudaranya yang tinggal di warung apung Waduk Cirata untuk menjemput anak “stress”nya. Dengan menggunakan mobil pickup carry berwarna hitam, sepupu Ujang yang bernama Asep telah menunggu di depan gang rumah Emak dan Ujang. Asep sebaya dengan Ujang. Mereka telah melakukan banyak kenakalan bersama. Mulai dari mencuri mangga-mangga dan kelapa-kelapa muda tetangga, hingga menonton pertunjukan dangdut koplo pertama. Melihat keadaan Ujang antara waras dan setengah gila, Asep menjadi prihatin. Dibantunya sepupunya itu naik ke dalam mobil pickup dan mereka pun melaju ke Cirata dengan kecepatan tidak tanggung-tanggung. Emak melambaikan tangan cemas. Hatinya mengharap besar bahwa anaknya dapat eling. Harapan itu seperti sebuah gelembung. Tapi tak lama kemudian harapan itu terasa diombang-ambing di antara duri-duri ketika melewati rumah Iteung yang mulai dihiasi janur. Terkutuklah kembang yang telah melayukan anaknya! Tapi Emak pasrah. Ia pun kalau menjadi Iteung akan menolak Ujang.

Sebenarnya Ujang mengalami perjalanan yang sedikit membahayakan jiwa menuju Cirata. Sudah tidak terhitung berapa kali Asep menyalip truk-truk dengan seloroh cabul pada pantat mereka dengan terlalu semangat. Seakan-akan dipanasi, truk-truk itu menyalipnya kembali dan menantang sebuah duel jalanan. Asep yang pening melihat sepupunya yang tanpa ekspresi pun meladeni. Terjadi aksi saling menyabet dan mendahului. Untung aksi itu tidak terlalu lama karena terlihat sebuah motor polisi terparkir di pinggir jalan. Elinglah Asep dan sopir-sopir truk. Mereka pun melajukan kendaraan masing-masing dengan tenang.

Sesampainya di warung apung milik Asep, diturunkanlah Ujang. Masih juga perjaka lapuk itu tampak tidak bernyawa. Asep merasa perih. Ia menyumpah dan membuang ludah. Sedikit gelisah ia mencari-cari rokok di dalam sakunya. Sial, anjing keparat. Hanya tersisa wadah yang kosong saja. Bensin pematik pun menghilang tanpa jejak. Asep menggaruk-garuk kepalanya seperti seorang pemadat frustasi ketika kemudian Ujang angkat bicara.

“Sep, kenapa banyak air? Kita di laut? Aku takut laut.”

Mata Asep berkaca-kaca mendengar sepupunya yang tiba-tiba bersuara. Setitik air mata melarikan diri di ujung matanya yang telah keriput lebih dini akibat keseringan terpapar asap djisamsoe. Dengan gaya sedikit terlalu digagahkan, Asep menggamit lengan sepupu dekatnya itu dan berkata dengan riang.

“Kita akan nonton geol Mujair. Mau ya Jang?”

“Kapan Sep?”

“Besok malam. Besok!”

Maka “besok” yang dijanjikan dipenuhi oleh geol Mujair itu ditunggu oleh Ujang. Tidak dengan riang ataupun tidak sabaran. Hanya dalam bahasa tubuh yang terlampau diam. Tapi setidaknya Ujang menunggu geol mujair itu datang. Orang yang peka dapat melihatnya. Karena pandangan perjaka lapuk itu jauh memandang Cirata yang seperti sebuah laut kecil. Padahal kan Ujang telah berujar ia takut pada laut. Tapi demi geol Mujair, ia rela memandangi ketakutannya.

Sialnya. Asep tidak tahu apa itu geol Mujair. Kalau tembang geol Mujair yang dipopulerkan oleh Ayu Ting Ting sih ia sangat fasih. Tapi masa iya Asep perlu menghadirkan Ayu Ting Ting? Lagipula Ayu Ting Ting sedang sibuk bingung sendiri karena kehilangan Ting Tingnya pada lelaki kurang ajar tidak bertanggung jawab. Mungkin Ayu Ting Ting perlu berganti nama menjadi Laila Canggung. Karena ia sedang bingung. Seperti Asep. Bingung karena telanjur menjanjikan geol Mujair pada sepupu kurang warasnya.

Menjelang ashar, Asep sudah menyerah. Ia mengaku mengarang-ngarang janji pada Ujang dan mengajaknya untuk bersenang-senang di diskotek yang baru buka di pinggir Purwakarta. Di luar dugaan Ujang menolak dengan sebuah gelengan kepala tegas.

“Tidak Sep. Aku mau nunggu geol Mujair. Kata ikan-ikan mas ia sedang bersolek sebelum manggung. Ia nanti akan muncul sehabis maghrib.”

Asep mengernyit dan terkejut. Apa maksud sepupunya itu? Ia memutuskan untuk tidak ambil banyak pusing. Selorohan tidak masuk akal sudah pasti akan keluar dari sepupu kurang warasnya itu. Oleh karenanya Asep pun duduk di sebelah Ujang. Dinyalakannya sebatang samsoe dan dihabiskan rokok itu lamat-lamat. Sambil merenungi nasib. Sambil membayangkan Iteung-nya sendiri yang bernama Euis. Sambil dilamunkannya tubuh Euis akan menjadi miliknya. Ah khayalan-khayalan perjaka lapuk yang tiada akhir. Sedih dibawakan nyiur banyu.

Waktu berlalu cepat bila kau asyik melamun dalam sendu. Itulah yang dirasakan oleh Asep. Tiba-tiba saja terdengar sayup suara adzan maghrib di kejauhan. Matahari pun mulai menggurat-gurat jingga lembayung yang indah. Asep sudah hendak beranjak masuk ke dalam warung karena pamali di luar rumah ketika maghrib tiba. Bisa-bisa ia berakhir tanpa akal seperti sepupunya Ujang. Tapi Ujang menggamit lengannya kuat-kuat sehingga mau tak mau Asep membeku dalam diam.

“Tunggu. Tunggu! Sebentar lagi ia akan keluar! Kurasakan itu!”

Terpaksa Asep kembali duduk. Ada suatu dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri. Sedikit waswas ia memandang kiri dan kanan. Jangan-jangan sepupunya itu telah dibisiki oleh kunti atau tuyul. Siapa tahu! Asep merinding dan meneteskan keringat cemas. Otaknya berputar-putar hendak mencari sebuah elakan untuk masuk ke dalam warung ketika tiba-tiba terdengar suara penembang yang jernih dan merdu dari tengah-tengah waduk.

“Digeol-geol mujaer…. Nang ning nung. Nang ning nung….”

Asep membelalakkan mata. Telinganya merasa sedap mendengar suara itu. Suara itu menggetarkan hatinya yang terdalam. Seakan-akan diharuskan untuk bergoyang, ia spontan berdiri menyambut suara indah itu. Ternyata bukan hanya dirinya saja yang merasakan getaran itu, Ujang pun sama. Mata sepupunya itu berkaca-kaca penuh haru dan kagum. Dari mulutnya ia berseru,

“Datang dia Sep! Datang!”

Dan dari tengah-tengah waduk tiba-tiba terlihat pemandangan yang paling menakjubkan. Sebentuk bayang melompat dari tengah-tengah air sehingga terbentuk sebuah ombak cipratan yang hebat. Air memercik ke mana-mana. Anehnya air yang biasa anyir dan agak keruh, malah wangi dan berwarna-warni. Dengan meredanya cipratan, bentuk itu menjadi jelas. Ternyata itu adalah seekor mujair! Mujair paling mutakhir dengan ukuran sebesar manusia. Mujair-mujair biasanya berwarna abu-abu yang jemu, tapi tidak untuk mujair yang ini. Sisiknya pelangi dan warna-warna memantul dari tubuh montoknya. Hari sudah maghrib, tapi rasanya seperti matahari sudah bangun terlalu cepat dan meletakkan dirinya di dalam sisik-sisik indah itu. Di dalam sirip-sirip megah si mujair. Dan di dalam suara indah si mujair. Oh indah sekali! Tidak ada seorang biduan pun yang dapat menyamai suara itu!

“Mustafa oh Mustafa, urat syarafmu tegang, biar saya obati dengan goyang mujaer…. Ya ya ya ya….”

Bibir tebal mujair itu bergerak-gerak dengan erotik. Mata hitam besarnya memandang Ujang dan Asep berganti-ganti dengan sebuah kerling menggoda. Menyadari dirinya telah membuat kagum, ia mengepakkan tubuhnya melenggok di udara dengan ayu. Sebuah desir melewati diri kedua perjaka yang baru kali ini disuguhi pertunjukan sedemikan spektakuler. Mereka tersihir ke dalam suara merdu si ikan mujair. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa di atas pulau eceng gondok, bermunculan sosok-sosok yang memainkan berbagai alat musik seperti calung dan rebana. Di mata mereka hanya terdapat mujair dan goyang geolnya. Habislah mereka dirayu oleh ikan cantik itu!

“Ajep ajep ajep ajep ajep ajep ajep….”

Pada bait “ajeb” yang tidak berkesudahan, si mujair mendekati kedua pemuda itu. Ia melenggok dan memamerkan sisik-sisiknya tanpa malu. Silau dan menggairahkan bagi kedua pemuda. Mujair itu mengelilingi mereka berganti-ganti seakan-akan sedang menimbang-nimbang antara kedua pemuda itu mana yang lebih ia sukai. Ia akan mengajak pemuda yang paling menarik untuk bertayub. Tapi mujair itu masih bingung, antara Ujang dan Asep, manakah yang lebih menarik bagi dirinya?

Asep menarik karena ia sedikit bengal. Lelaki sekali. Mujair itu juga mengetahui bahwa Asep senang membawakan mobilnya secara uring-uringan ketika kesal. Itu menarik hati si mujair. Lelaki yang sedikit pemarah dan mudah naik pitam selalu menggetarkan insangnya dengan riang.

Tapi mungkin Ujang lebih menarik. Karena lelaki itu tidak sepenuhnya berada di sana. Yang berada di waduk itu hanyalah sebuah tubuh yang setara dengan cangkang kosong. Jiwanya bersama seorang gadis bernama Iteung. Menarik! Mujair itu merasa tertantang karena merasa keberadaannya disaingin oleh gadis lain yang dianggap lebih molek dari dirinya. Ah ini tidak boleh! Dilarang membandingkan mujair ayu ini dengan gadis kampungan sebangsa Iteung.

Maka mujair itu mengibaskan ekornya sebagai sebuah gamitan dan ajakan agar Ujang bertayub dengannya. Melenggoklah mujair itu. Sisik-sisiknya berkilat-kilat menakjubkan. Warna-warna pelangi bermunculan. Cantik sekali. Sangat cantik. Lebih daripada kibaran rambut tebal Iteung. Lebih daripada mata bulat hitam jelinya. Lebih dari goyang pinggul gadisnya yang polos. Oh tidak polos! Geol mujair tidaklah polos! Tapi sensual dan tidak membumi. Geol itu! Geol itu membawa kedua perjaka itu melayang ke sebuah negeri antah berantah. Negeri di mana para perempuan tidak menolak mereka, malah mengagung-agungkan mereka. Negeri di mana merekalah yang tertampan dan tidak diperlukan motor ninja untuk menyatakan kekayaan. Ah geol-geol mujair! Ujang dan Asep tidak ingin berhenti. Ujang sampai menitikkan air mata haru.

Tapi hal-hal indah tentu perlu berakhir. Ikan mujair itu pun menembang penutup lagu. Sedikit lirih. Dengan sedikit terlalu menyesal. Tapi ada sedikit rayu di dalamnya. Suaranya jernih tapi gemetar dengan kadar ayu pas ketika diperdengarkannya penutup,

“Boleh dilirik. Boleh disuka. Jangan diraba. Jangan diraba.

“Boleh dilihat. Boleh dipandang. Jangan dibawa. Jangan dibawa.”

Mujair melenggok. Sosoknya memudar dan kerling warna-warna sisiknya mulai memudar. Ujang meratap dan meraung tidak terima. Asep tiba-tiba tersadar dan dirinya terkesiap melihat mujair seukuran manusia sedang melenggok-lenggok menuju tengah waduk. Ujang benar-benar tidak terima oleh kepergian ikan mujair ayu itu. Ia merengsek maju sebelum sepupunya sempat mencegah tindakan nekadnya. Ujang menggamit ekor si mujair dengan sangat tiba-tiba. Ikan mujair itu terkejut. Sangat terkejut. Ia membalikkan badan dan mata hitamnya memandang lurus ke Ujang yang sudah kasmaran setengah mati padanya. Asep membelalak. Bagaimana kalau Ujang diseret oleh ikan itu ke dasar waduk? Tubuh Asep gemetar tak karuan antara takut dan kejut. Tapi Ujang? Ujang begitu yakin tidak ingin ditinggalkan mujair itu! Mujair sensual dengan geolnya itu!

Mujair itu terdiam. Lelaki terakhir yang meraba dan memegangnya berakhir naas. Ditenggelamkannya lelaki sok itu. Lelaki itu berpikir bahwa segala yang melenggok dan bergoyang di depannya meminta dimiliki. Tidak! Itu salah besar! Mujair itu hanya senang dengan geol dan irama riang. Tapi ia bukan milik lelaki manapun! Mujair itu merdeka. Ia adalah seorang putri air. Dan sudah sepantasnya ia tidak dimiliki oleh siapapun.

Tapi ada sesuatu yang lain di dalam binar Ujang. Ada suatu kesungguhan. Suatu kepolosan. Suatu kelip yang tidak ada pada sekian lelaki yang mencari hangat di dalam geol mujair itu. Rasa itu menjalar pada tubuh dingin si mujair. Entah mengapa rasanya hangat. Mujair itu tidak pernah merasakan hangat sebelumnya. Baru kali pertama ia rasakan perasaan itu. Dan pengantar perasan itu adalah seorang perjaka lapuk bernama Ujang.

Mujair itu tertantang. Lagi-lagi tertantang.

Ia pun membalikkan badan sepenuhnya. Diulurkannya sebuah siripnya pada Ujang yang kasmaran. Rasa kasmaran itu mengalir. Seperti sengat. Seperti sentak. Sebuah perasaan ganjil tapi nyaman. Pandangan Mata si mujair terus tertempel pada kesungguhan yang terpancar dari mata Ujang. Rasa hangat itu terus mengalir. Terus mengalir. Dari telapak tangan ke sirip. Dari telapak tangan ke telapak tangan yang berasal dari sirip.

Mujair itu telah berganti rupa menjadi seorang gadis. Asep lagi-lagi terbelalak. Ia terjungkal ke belakang dan terkencing di celana ketika Ujang menarik gadis itu keluar dari waduk. Gadis mujair itu basa dari ujung kepala hingga kaki, tapi ia cantik sekali. Lebih dari Iteung. Lebih dari Euis. Dari tubuh langsatnya menetes titik-titik air yang malah menjadi akseseoris keayuannya. Rambutnya panjang hitam lebat, hampir mencapai betis. Hidungnya kecil mancung. Bibirnya rekah dalam merah yang menggoyahkan hati. Tapi ada satu kekurangan. Satu kekurangan yang menjadi penanda dirinya bukan manusia.

Insang.

Di lehernya ada insang.

Ujang membuka bajunya dan mengenakannya pada tubuh polos basa si Gadis Mujair. Dikecupnya dahi gadis itu dengan sayang dan gadis itu merona tersipu. Dengan perasaan sayang, Ujang merapikan rambut si gadis mujair. Dan mereka saling bertatapan. Lama. Penuh sayang. Bertukaran kasih. Sedangkan Asep? Asep memandangi insang pada leher gadis itu dengan ngeri.

“Tuhan. Adakah aku yang kini menjadi edan?” batin Asep dengan hati waswas kebat-kebit.

Tapi tidak. Asep tidak edan. Karena pada keesokan harinya, Ujang menjadi gunjingan tetangga-tetangganya. Mereka menggunjing mengenai Ujang yang menggandeng perempuan yang 1000 kali lebih cantik dari Iteung ketika menghadiri pernikahan perempuan yang pernah digilainya itu. Pengantin pria pun hampir turun pelaminan karena tergoda oleh kecantikan perempuan gandengan Ujang. Iteung hampir dibuatnya menangis meraung-raung kembali ke rumah karena malu. Tapi bintang gunjingan tentu saja bukan Ujang, tapi perempuan gandengan itu. Entah mengapa perempuan itu bersedia digandeng oleh Ujang yang dianggap pecundang. Sundalkah dia? Edankah dia? Entahlah, tapi kalaupun perempuan itu bersandiwara, ia melakukannya sangat baik. Karena ia merona di saat yang pas ketika Ujang mengusap rambutnya. Ia pun tersenyum di saat yang mantap ketika lengannya digamit.

Tak seorang pun sadar satu hal ganjil dari perempuan itu. Hal ganjil yang tentu akan menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaan di dalam hati mereka. Mengenai keanehan si perempuan yang memilih pecundang. Oh andaikan saja mereka lebih jeli, tentu mereka akan melihatnya! Sepasang insang di leher si gadis yang lebih ayu dari Iteung. Oh mengerikan!

Hanya Asep saja yang melihat sepasang insang itu.

Juga Emak. Emak yang tajam indera karena telah mengandung Ujang selama 9 bulan menyadari insang itu. Berderai-derai air matanya. Anaknya telah diaku oleh dedemit!

Oh Emak yang malang! Sudah punya anak pecundang, sempat edan, kini ia berjodoh dengan ikan! Nasib oh nasib! Nasib nestapa yang dibawa sebuah goyang! Sebuah giteuk geol mujaer! Oh Gusti Pangeran apa artinya ini semua!

“Nang ning nung. Nang ning nung.”

Gadis gandengan Ujang menembangkan “Geol Mujaer” di kawinan Iteung. Bergetarlah hati para hadirin. Bergetar tanpa sadar bahwa mereka sedang benar-benar dirayu oleh seekor mujair. Dan Ujang hanya sumringah dan bangga terhadap gadis mujair ayunya. Dia lebih cantik dari Iteung. Dia lebih mencintainya dari Iteung. Ikan itu lebih segala-galanya dari Iteung.