Lebaran tahun ini untukku bisa dibilang tidak santai.
Tadinya aku adalah salah satu warga negara Indonesia yang mengikuti ketentuan perayaan agama Islam tanpa berpikir banyak (agamaku memang bengkok). Tapi selama hampir 25 tahun hidupku, terjadi beberapa tahun di mana terdapat segolongan umat yang berbeda hari Lebaran atau Idul Adha-nya. Awalnya, aku sih tidak terlalu memikirkannya, aku memutuskan: “Udahlah… ikut kata presiden aja deh….” Dan untuk beberapa tahun ke depan aku mengambil keputusan tanpa banyak berpikir.
Baru aku berpikir tahun ini.
Bagaimana dan kenapa seorang nyaw tiba-tiba memutuskan untuk serius memikirkannya?
Ceritanya dimulai dari: Indonesia galau menentukan 1 Syawal 1432 H di tanggal 30 September atau 31 September. Mengenai kebingungan yang seperti ini, aku baru “ngeh”. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam otak adalah:
1. Kok bisa bingung? Bukannya dihitung?
2. Siapa yang salah itung?
3. Jangan-jangan mo kiamat dan bulan bergeser beberapa derajat! Damn it, gwa belum kawiiiinnn…
Lalu betapa terkejutnya aku pas menonton sidang ishbat. Muncul pertanyaan tambahan dalam otak gwa:
4. Ada apa dengan hilal? Kenapa harus diintip-intip?
Betapa syoknya aku ketika mendapat penjelasan ala anak TK dari bapakku bahwa: Iya, kalau di Indonesia, mayoritas percayanya harus melihat hilal itu (aka bulan yg super bulat) dan kalau tidak keliatan belum Lebaran.
Saat itu aku merasakan otak beku. Sangat sangat beku. Yang berkelabat dalam otak adalah:
1. Apa? Jadi kita belum tahu itu hari apa sampai 1 hari sebelumnya dengan melihat bulan?
2. Jadi mungkin gwa harus menghabiskan sisa hidup gwa dengan bertanya-tanya “Ini hari apa???”
3. Bagaimana mungkin??? Kenapa tiba-tiba untuk bulan tidak bisa menghitungnya????
Astaga naga…. Emosiku bergejolak…. Jadi ternyata selama ini aku mengikuti suatu sistem penanggalan dengan kepercayaan diri bahwa semuanya sudah disepakati, semuanya sudah memikirkan mengenai peredaran bulan dan segala pergeserannya, dsb dsb dsb. Dan ternyata… tidak seperti itu…. ternyata ada juga kepercayaan bahwa: Bulan itu harus dilihat (ada hadisnya katanya).
Tapi bagaimana sih?
Dalam hati aku berpikir bahwa aku tidak bisa menghabiskan sisa hidupku dengan bertanya-tanya: “Ini tanggal berapa sih?” Dalam hati aku juga kesal sekali: “Kenapa sih dengan hitungan kalender bulan selama ini, kalian pk hitungan yg gmn sih sampai dipertanyakan?”
Rasanya aku kesal sekali.
Jadi sebelum mengetahui akhir sidangnya pun, aku sudah memutuskan untuk mengikuti siapapun yang menghitung jatuhnya 1 Syawal (bukan mengintip). Oleh karena itu aku ber-lebaran pada tanggal 30 Agustus sedangkan mayoritas penduduk Indonesia merayakan pada tanggal 31 Agustus. Karena golongan yang menghitung, menetapkan pada tanggal 30 Agustus.
Ternyata perbedaan ini menyebabkan kehebohan yang tidak layak.
Seperti:
Kenapa golongan A tidak mau mengalah sih? Kenapa memecah belah Islam di Indonesia sih?
Golongan A kenapa sih? Hitungan yang dia pakai kuno tahu.
Pasti yang pilih 30 itu tidak berpikir. Lebarannya cuman sekedar opor dan kupat.
Dikasih tambahan 1 hari berpuasa kenapa malah ngedumel, bukannya bersyukur.
dsb
Tanggapan yang seperti itu membuat jengkel deh. Soalnya justru ini satu-satunya tahun aku benar-benar yakin bahwa: “Tanggal segini ini adalah 1 Syawal”. Mungkin hitungannya salah, mungkin kepercayaannya kuno, tapi aku percaya itu adalah suatu masalah yang bisa dipecahkan di masa depan. Untuk saat ini, aku akan memakai kesepakatan yang masih berlaku. Kalau ternyata terjadi perubahan, itu bukan masalah yang besar. Memang beberapa hal itu berubah. Seperti pluto; ternyata belakangan dia bukan planet.
Jadi itulah yang kupercaya. Untuk seterusnya aku akan ikut yang ngitung. Mudah-mudahan di masa depan si kalender bulan itu bisa dikalibrasi divalidasi atau entah diapakan agar lebih sesuai dengan perilaku bulan yang sesungguhnya. Mungkin bagus juga ada yang bikin desertasi tentang sistem penanggalan bulan 😆
Untuk mengiringi keadaan lebaran tahun ini, lagunya adalah: “Kalau bulan bisa ngomong… Tentu dia tidak akan bohong…” (dan mungkin saja bulan akan bilang tanggal berapa hari itu sebenarnya)
Mungkin itulah masalah sebenarnya. Bulan gak bisa ngomong sih. Terpaksa manusia berpikir dengan sungguh-sungguh.
-nyaw, talking to the moon-