Makan Siang dan Teman-temannya dan juga Teman-teman Makan Siang

Kalau belum tahu, mungkin saya perlu beri tahu, bahwa saat ini saya berdomisili di Jakarta. Udaranya panas dan berdebu, juga sedikit berbau knalpot. Masih Jakarta yang dulu. Tapi untungnya aku tinggal di daerah yang tidak berbau industri atau pencakar langit, lebih seperti kampung yang diupgrade habis-habisan. Jadi masih ada pohon dan nasi bungkus di bawah Rp. 10.000,-, juga siomay dan bakso seharga gocengan yang masih bisa mengganjal untuk 2-3 jam.

Tebak coba di mana?

20150316_145413

Kalau yang ini saya tidak mau memberi tahu. Coba deh mereka sendiri kalau memang penasaran sekali.

Karena saya sedang di Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan, sudah barang tentu tahu kalau makan siang itu biasanya dari jam 12.00-13.00. Jam makan siang itu selalu seputar itu. Berbeda dengan mereka yang bekerja di daerah Kuningan atau Simutapang, di sini biasanya semuanya makan sendiri-sendiri di mejanya sendiri. Karena kalau makan di warung nasi itu panas sekali, jadinya makan di warungnya itu sesekali saja kalau lagi ingin. Kalau makan bersama, paling muat 2-3 orang. Oleh karenanya, lumrahnya semuanya makan sendiri-sendiri di mejanya sendiri. Termasuk saya. Saya juga makan di meja kerja saya. Sambil melirik keluar jendela, atau mengobrol dengan teman meja sebelah. Tapi kebetulan teman meja sebelah saya hari ini sedang meeting keluar kantor, jadi saya mengetik saja dan berkisah.

Sebelumnya saya pernah menuliskan mengenai keanehan fenomena makan sendiri di restoran. Itu adalah suatu hal yang membanggakan bagi saya. Teman-teman perempuan saya lumayan tergerak untuk melakukan hal yang sama, kalau teman-teman lelaki berkomentar bahwa saya berlebihan. Mereka bilang apa hebatnya makan sendirian di restoran, itu kan biasa saja. Lelaki itu kadang aneh. Mereka berkomentar itu biasa, tapi sendirinya jarang-jarang makan di restoran sendiri. Begitu berbau akan makan sendiri di restoran, pasti buru-buru ajak teman. Lebih parah akan cepat-cepat cari pacar atau teman makan permanen (istri, lebih versatile).

Padahal kalau makan sendiri itu bisa memikirkan banyak hal. Saat saya makan sendiri, pertama yang saya pikirkan adalah rasa makanan yang sedang saya kunyah. Saya pikirkan tingkat asin-manis-asam-dsb. Lalu saya berpikir tentang minyak. Lalu saya akan bertanya-tanya apakah makanan yang sedang kumakan ini terlalu berminyak atau tidak. Kalau sudah begitu saya senewen. Kenapa semua makanan itu harus berminyak! Tapi saya lalu berhenti senewen dan berkata sendiri, “memangnya saya mau repot memasak sendiri?” Jadi saya kunyah lagi makanan saya sambil memberikan pembenaran pada diri sendiri, “Kalau saya masak sendiri, nanti tukang warung nasi kasihan, nggak ada yang beli.”

Jadi saya kunyah kunyah kunyah sambil membenarkan perasaan malas berbelanja dan memasak sendiri. Sesuatu yang sangat lajang. Mungkin saya akan menyurati Ayu Utami tentang ini. Tentang kemalasan parasit lajang umur 30 untuk berbelanja dan memasak. Padahal pinterest dan instagram penuh dengan resep makanan. Tapi sekali lagi saya bilang, kalau bukan saya atau lajang-lajang lain yang beli nasi, nanti tukang warung nasinya harus dagang apa lagi?

Setengah jalan menuju porsi setengah habis sudah hampir dicapai. Kalau sudah setengah, akan muncul pikiran lain lagi. Akan muncul pikiran mengenai kelajangan dan kesepian dan hal-hal berat lainnya. Kelajangan dalam arti apakah aku akan selamanya makan dari bungkusan kertas coklat seperti ini? Kapan saya akan makan dari tupperware? Saya menyebut tupperwar karena itu adalah tanda seseorang memiliki panci dan ricecooker sendiri. Kalau repot-repot memiliki panci dan ricecooker sendiri, kemungkinan besar orang itu punya dapur sendiri atau menuju ke arah itu. Kalau punya dapur, akan memiliki rumah sendiri atau menuju hal semacam itu. Jadi bagi saya, tupperware adalah tanda kemapanan. Oleh karena itu, sebagai seorang lajang, saya mulai berpikir untuk memuaskan diri dengan memiliki tupperware. Karena itu tupperware berarti mapan.

Tapi itu pikiran yang aneh.

Jadi saya mengenyahkan pikiran itu dan mengunyah-ngunyah lagi dan berpikir tentang makanan penutup manis-manis dan kesepian. Ya kesepian. Mungkin karena tidak ada teman mengobrol. Mungkin karena saya adalah junior dengan usia senior di kantor. Atau mungkin karena otak saya tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Saya jadi memikirkan kesepian dan saya mengamati sekeliling saya. Kantor saya penuh dengan anak-anak muda dengan gaya yang nge-hip. Saya pakai kata “hip” seperti seseorang yang sudah tua. Saya hanya mau menekankan bahwa mereka lebih fresh secara usia dan penampilan. Saya sendiri sudah seperti barang vintage. Mau bilang barang museum, sudah barang tentu tidak tega karena takut jadi bulukan. Ya jadi seperti saya bilang, sekitar saya muda-muda, fresh dan memiliki banyak teman dan sudah tentu berada dalam usia mendekati pernikahan. Rata-rata semuanya sudah punya pacar. Suatu hari mereka akan menikah dan mereka akan punya pasangan dan anak. Mungkin mereka akan makan tupperware dan memakai barang-barang orang mapan lainnya.

Saya memikirkan itu sambil meningkatkan rasa kesepian saya sendiri.

Saya juga memikirkan, fase hidup seperti saya ini lumrah?

Sembari memikirkan hal seperti itu, kunyahan saya melambat dan makanan mulai menghambar. Saya jadi teringat dengan kawan saya yang baru menikah dan katanya sudah saatnya saya menjalani semuanya sendiri. Saya jadi memikirkan kawan saya yang satunya lagi, yang jadi dosen di seberang pulau. Setidaknya keluarga dia di sana, syukurlah untuk itu. Saya jadi memikirkan kawan-kawan menulis saya dan semua kawan-kawan lama saya. Juga keluarga saya. Mereka semua di Bandung. Dan saya di Jakarta, duduk di menghadap meja, makan siang sendiri di atas kertas bungkus coklat.

Terdengar menyedihkan.

Tapi saya tidak tahu apa ini fakor umur atau faktor kebiasaan, tapi kesepian saya sudah tidak terasa menusuk, tapi rasanya bergelombang seperti denyut nadi yang tenang. Saya pikir kalau saya memikirkan semuanya terlalu dalam, rasa makanan yang saya kunyah akan semakin berkurang. Padahal saya mengeluarkan Rp. 10.000 untuk sebungkus nasi ini. Satu hal yang barang tentu bisa saya lakukan adalah menikmatinya.

Jadi saya tidak memikirkan kesepian. Dia boleh ada, menghantui saya yang lajang dan tidak mapan. Dia boleh melakukan apapun yang dia mau. Tapi terlepas dari lajang dan tidak mapan, saya adalah seorang manusia. Tugas saya bukanlah merasakan bahagia ataupun sedih, tapi bergerak ke arah yang baik berdasarkan perasaan-perasaan itu. Dari gerakan itu, yang penting adalah berkarya, dan kalau kata Paulo Coelho, “menjalani legenda pribadi”.

Tak terasa sebungkus nasi saya habis, dan saya menggunakan sedikit waktu kerja untuk tulisan pribadi. Mungkin sesekali tidak masalah, karena proyek hari ini sudah saya selesaikan, jadi saya akan melakukan brainstorming sambil-sambilan. Dan saya sudah menebak bahwa saya akan menjadi sangat sibuk dengan pikiran-pikiran ide-ide dalam otak saya. Lalu saya akan pulang ketika matahari berwarna sedikit jingga.

Biasanya di saat seperti itu, saya akan kembali bertanya-tanya dan memikirkan hal-hal serius.

Saat saya 20 awal, saya bertanya, “Apa saya bahagia. Apa yang saya lakukan membuat saya bahagia?’

Tapi saya sekarang 20 akhir, hampir 30, pertanyaan saya beda. Sekarang saya bertanya, “Apa yang saya lakukan disenangi Tuhan? Apa saya sudah cukup menggali diri saya?”

Karena pada awal kerja, saya merasakan gesekan yang lumayan. Karena saya junior berusia senior, sedangkan yang lain senior berusia junior. Jadi sudah barang tentu ada hal yang tidak ideal. Sempat saya berpikir bahwa bekerja di Jakarta ini adalah ide yang buruk. Fisik saya melemah, dan saya sadari bahwa fisik saya sebenarnya lebih sesuai dengan cuaca Subang atau Bandung. Jadi untuk 1 bulan saya sakit-sakitan dan tidak bisa tidur. Dan saya berpikir betapa tidak bahagianya hidup serba tidak pas.

Tapi saya sadari bahwa, tidak ada hal yang benar-benar pas. Semuanya pasti sedikit nyenggol atau menggesek. Karena itu rasa marah, tidak puas, cemas, sedih, sepi, tidak akan pernah bisa dihindari. Perasaan-perasaan itu akan selalu ada meskipun menghindar ataupun berpindah tempat. Karena itu adalah hal-hal yang biasa saja dan wajar, juga sangat normal. Karena saya pernah baca bahwa sebenarnya kita ini bukan penghuni dunia, tapi penghuni surga. Sebenarnya kita semua adalah alien. Wajar saja kalau tidak pernah sepenuhnya nyaman. Malah mungkin ada hal yang baik dari itu. Beberapa orang menyebutnya pahala. Ada juga yang menyebutnya perkembangan kepribadian. Saya sendiri tidak terlalu memedulikan labelnya. Saya hanya berpikir realistis.

Hal yang real bagi saya adalah ternyata perasaan bahagia atau sedih sebenarnya tidak sepenting itu. Sebenarnya yang penting adalah gerakan saya berdasarkan perasaan-perasaan itu. Akankah saya menuju jalan yang terang atau jalan yang gelap. Hanya itu saja yang penting. Saya juga tidak tahu. Saya hanya berharap bahwa saya menuju jalan yang baik.

Oleh karenanya, mungkin di akhir hari ini, sambil berjalan kembali ke kamar mess, mungkin saya akan mengajukan pertanyaan itu lagi,

“Sudahkah apa yang saya lakukan disukai oleh Tuhan?”

Kadang saya takut memikirkan jawabannya.

-nyaw, menulis di waktu seputar makan siang-