Menu hari ini adalah mengenai penyajian hati. Jadi seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, Minggu lalu aku, Muthe, Ir, Finna, dan Dewi Sa ke festival MahaDharma yang diadakan di monumen perjuangan. Pas sampai di sana sih, belum ada apa-apa yang ramai. Katanya sih akan ramai sekali pas malam. Karena kita adalah kumpulan cewek-cewek Cinderella, alias kumpulan cewek yang suka merasa tidak enak hati pulang lewat dari jam 12 malam (meskipun kadang-kadang aku bandel pulang malam karena asik bermain dengan teman-teman).
Ternyata yang namanya anak muda Bandung itu melakukan macam-macam hal ya. Ada yang suka bercocok tanam, yaitu Bandung Berkebun. Dapat bibit gratis dari stand ini, tapi belum menanamnya karena lupa terus mo nanam. Ada juga komunitas origami lipat-lipat (yang dilipat adalah kertas, bukan tubuh). Ada juga skater-skater, yang tentu saja bikin ngeri karena membayangkan seandainya aku yang jatuh (mungkin akan gempa ya). Ada juga komunitas yang sukses bikin Finna lari terbirit-birit, yaitu komunitas pecinta reptil (padahal reptil itu keren).
Karena yang namanya ke festival itu pasti melakukan hal-hal iseng, Muthe ke stand ramal-ramal lagi. Tadinya sih ingin menemani saja, jadi ikut duduk di stand itu. Tak sengaja bertemu Rima dan kawannya pas nunggu, terus jadi ngobrol-ngobrol tentang “seorang lelaki” (iya cewek itu gemar sekali bergosip ya). Setelah menunggu beberapa lama lagi, akhirnya datang giliran Muthe untuk diramal tarot. Karena kabitha setelah Muthe diramal, jadi ikut-ikut diramal. Yang diramalkan adalah hal yang klasik: jodoh.
Kata yang ramalnya: akan mendapatkan jodoh segera setelah bisa memaafkan semua sakit hati di masa lalu dan membuka hati lebar-lebar. Hanya bisa ketawa getir dengan hasil ramalan itu. Pertama yang dipikir adalah, “YA IYALAH.” Tapi setelah berpikir-pikir kemudian jadi menyadari bahwa, “Oh… jadi diri sendiri yang menjadi penghalang untuk maju dan meraih kebahagiaan.”
Bisa dibilang musuh terburukku adalah diri sendiri.
Setelah mendapatkan nasihat untuk membuka hati dan memaafkan orang lain, aku pun memikirkannya. Tentang membuka hati. Memang sih, tidak mudah untuk menyajikan hati di atas piring sembari bilang, “Ini hati saya, silakan cicipi.” Bisa saja kan ada resiko setelah menyajikan hati, yang menyicip akan bilang, “Astaga, rasa macam apa ini, buang buang!” atau “Ah, nggak ah, saya kenyang dan sepertinya terlalu besar porsinya.” atau “Uhm, boleh juga, tapi yang itu juga boleh, coba yang itu juga boleh.” atau juga “Ok juga sih tapi harus pakai garam dikit ya, mungkin gula juga atau bagaimana kalau dimasak ulang?”
Meskipun banyak kemungkinan yang tidak enak seperti itu, mungkin… mungkin saja ada yang bilang, “Enak ya, pas.”
Bisa dibilang para penjaja hati di luar sana hanya bertahan demi satu kemungkinan kecil saja yaitu sebuah remark singkat, “Enak ya, pas.”
-nyaw, penjaja hati-