Almost 30 (Kentut)

Salah satu teman laki-lakiku pernah berkata padaku, “Padahal kan gampang tuh kalau mau lupain kecengan atau pacar. Bayangin aja dia lagi poop atau kentut. Pasti il-feel.”

Sangat bertentangan dengan guyon-guyonan yang pernah aku tonton di TV di mana si laki-laki yang mabuk kepayang oleh seorang cewek bilang, “Ya ampun… kentutnya juga cantik dan harum….”

Nah loh?

Kesimpulan akhir: Kentut adalah hak setiap manusia, termasuk buat para lady!

Kentut-nyaw, kentutlah agar lega!-

Almost 30 (Jangan Lakukan!)

Ini adalah tema yang setua dinosaurus yang sekarang telah menjadi minyak bumi. Yaitu tema: “Kenapa tanya-tanya hal personal sembarangan sih?” Menulis sebuah rant mengenai pertanyaan-pertanyaan personal sudah pernah dituliskan berkali-kali sepertinya, dan ini adalah salah satu tulisanku.

Lalu mengapa masih membuat comic stripnya?

Aku membuat comic strip ini untuk mengungkapkan rasa kesal dalam bentuk yang konyol dengan memberikan penyelesaian yang “cukup bisa diterima”. Kalau kekesalan digambarkan dalam bentuk komik, sepertinya masalah itu cetek sekali.

Jadi daripada memikirkannya atau memikirkan apakah itu pantas dipikirkan, mendingan juga dibuat jadi lucu-lucuan!

Jangan Tanya-Jawab-nyaw, apapun!-

Almost 30 (True Love Form 1)

Ini adalah cuplikan sebuah status FB;

status supretmen

Kalau menyimak dari status itu, manusia itu secara umum tidak mengetahui keinginannya dan juga bisa dibilang trend saat ini adalah “ketidaksempurnaan itu sempurna” (karena toh Anda sendiri tidak sempurna).

Tapi pertanyaan sebenarnya adalah, pada titik mana sih Anda menerima?

Tak perlu dijawab, tapi cukup dipikirkan untuk masing-masing saja.

Ngomong-ngomong tentang persepsi, berarti persepsi mengenai “cinta sejati” itu macam-macam (btw, tidak, saya tidak mau membahas cinta sejati itu cinta pada Tuhan ya, dalam konteks ini adalah cinta eros tentunya). Salah satunya adalah “cinta itu pengorbanan”. Salah-salah berkorban untuk sebuah kemenangan, malah Anda sendiri yang jadi korban (Peace ah!)

True Love Form (1)-nyaw, almost 30-

Kencan Buta (Untuk Usia Tertentu)

“Kenapa sih lu selalu melakukan hal-hal yang paling randomn?”

Itu adalah pertanyaan dari Mey-chan saat aku menceritakan bahwa aku mengikuti sebuah ajang “Speed Dating”. Aku cuman bisa menjawab dengan “Entahlah, aku tidak terlalu memikirkan sesuatu. Kurasa itu juga sebuah langkah klasik buat cewek single.”

Perasaan “tidak terlalu memikirkannya” itulah yang melandaku saat aku mendaftar untuk mengikuti acara  “Speed Dating” itu. Perasaan itu juga yang melandaku saat mengajak teman baikku Rie-chan untuk mengikuti acara tersebut. Perasaan itu juga yang aku sesalkan saat on the spot dan mengetahui bahwa itu adalah sebuah acara temu lajang usia tidak siap menikah (18-22 thn) untuk mengangkat sebuah cause “Say No to Free Sex”.

Aku dan Rie-chan hanya bisa membuat sebuah mimik muka mesem-mesem.

Pada saat itu aku merasa tidak menjalani hidup aku sendiri, tapi lebih seperti tiba-tiba terjerumus dalam film komedi sarkastis tentang kehidupan wanita lajang seperti “The Bridgitte Jones Diaries”. Lalu meskipun cause yang diangkat itu cukup baik yaitu “Say No to Free Sex”, aku saat ini berada dalam usia yang tidak bisa relate dengan keinginan untuk celibate hingga “waktu yang tepat”.

Karena logisnya ini adalah “waktu yang tepat” untuk mengambil sebuah langkah drastis.

Lalu aku merasakan sedikit rasa bersalah saat pembicara acara itu di penutupan membuat sebuah pidato pendek bahwa “… saat akan melakukan hal itu, coba pikirin anak lu. Melihara binatan peliharaan aja gak becus, apalagi bayi.”

Aku merasa bersalah karena aku merasa bosan. Aku merasa bosan mendengar laki-laki yang bilang “Bayi itu gak gampang diurusnya”, “Bayi itu tanggung jawab besar”, “Bayi itu butuh biaya besar”.

Di akhir acara, aku (dengan mimik muka mesem-mesem) memutuskan bahwa aku sudah tidak mengerti dengan ketakutan seorang usia 20-awal. Aku sudah di usia 20-akhir (26 kalau mau tahu) dan aku memutuskan tidak bisa lagi terlibat dengan ketakutan untuk menikah, atau ketakutan untuk mempunyai bayi, atau ketakutan tidak memiliki kemapanan finansial (meskipun aku sendiripun tidak mapan secara finansial).

Aku juga memutuskan untuk lebih memikirkan apakah sebuah acara blind date itu pantas atau tidak diikuti. Terutama oleh seorang wanita 20-akhir dan wanita 30-awal.

We have no more time for fears.

Jadi kalau seseorang punya info tentang temu lajang untuk wanita-wanita fun and fearless kabar-kabarin saja 🙂

-nyaw, menjadi lebih pemilih dalam artian yang bagus-

Satu Kesamaan

Jadi sekarang, Muthe sekarang jadi warga Jakarta (karena kerja di sana), dan sebelum dia berangkat ke sana, Muthe mengajak aku dan Rie-chan untuk kumpul-kumpul makan bakso.

Tentu saja segala hal diobrolkan, tapi di antara segala yang diobrolkan itu, Muthe bilang kalau dia dulu mendapatkan nasihat dalam memilih jodoh.

Katanya kalau pilih jodoh, pilihlah yang mempunyai kepribadian yang berbeda tetapi hobi yang sama, Jadi, meskipun bertengkar hebat masih ada hal yang dapat dilakukan bersama-sama dan masih ada hal yang dapat menyatukan di saat-saat paling buruk.

Kalau salah satu teman kami memiliki hobi nonton. Jadi sebesar apapun pertengkarannya, dia dan suaminya akan menonton film bersama.

Masuk akal.

Memang sih, tidak perlu banyak alasan untuk bersama seseorang, cukup satu alasan yang sangat kuat saja.

-nyaw, alasan gak dibuat tapi dipahami dan dikomunikasikan dengan baik-

Kisi-kisi Pertanyaan Momen Lebaran

  1. “Umur berapa?
  2. “Sekolah di mana?”
  3. “Rangking berapa?”
  4. “Kuliah di mana?”
  5. “Jurusan apa?”
  6. “Nanti kerjanya apa?”
  7. “Kira-kira gajinya berapa?”
  8. “Udah punya calon belum?”
  9. “Kapan mau nikah?”
  10. “Udah isi belum?”
  11. “Kapan nambah lagi buat kakaknya?”

Kira-kira itu adalah kisi-kisi pertanyaan seputar momen lebaran. Mendekati usia semakin tinggi, semakin aku tidak menyukai hari lebaran, dan ternyata teman-temanku juga merasakan hal yang sama. Rata-rata orang yang aku kenal dan tidak menyukai lebaran ada di tahap pertanyaan 5-9 dan mereka membenci fase hidup mereka. Yang dapat dilakukan adalah menghela napas dan menjawab dengan senyum palsu, “Insya Allah akan datang waktunya.”

Sebagai seseorang yang hampir 100% introver, mau bilang aja:

“Gwa bilang juga apa, basa-basi itu ngeselin tau.”

Buat oran-orang yang merasa sudah berhak untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut karena merasa hidupnya sudah menjadi yang terbaik karena telah mencapai fase-fase tersebut, aku sarankan untuk berpikir beberapa kali sebelum melontarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mungkin bagi anda, itu hanya sebuah usaha memulai pembicaraan, tapi bagi yang ditanya itu adalah sebuah tekanan untuk dapat diterima/dianggap normal.

Pernahkah mendengar cerita tentang Nabi Muhammad (terlepas dari sahih atau tidaknya), bahwa beliau tidak pernah mengumbar perasaannya, bahkan perasaan bahagia? Beliau selalu langsung menyebut nama Allah apapun perasaannya. Pernahkah bertanya-tanya mengapa demikian?

Aku sih pernah bertanya-tanya, why? Memang Nabi Muhammad dikenal sebagai seorang introvert, tapi kenapa? Kenapa harus bersikap begitu?

Sebenarnya adalah begini, manusia itu memang makhluk yang rentan secara psikologis. Banyak pemicu rasa iri dengki. Memang, iri dengki itu adalah penyakit hati, tapi membantu saudara kita agar tidak mempunyai penyakit hati juga merupakan hal yang terpuji. Kalau menurut cerita-ceritanya, iri dengki itu sampai bisa mencelakakan, disebutnya dengan “evil eye”

(Sedikit info tentang evil eye; Sumber: wikipedia)

Begitulah, makanya sebelum mengeluarkan suara, cobalah berpikir apakah tujuan bersuara itu. Kalau hanya untuk basa-basi, sangat disarankan untuk diam saja. Di momen lebaran, sangat dihargai sikap diam yang sopan dan sikap basa basi benar-benar umum seperti bertanya tentang cuaca atau politik.

Kalaupun keceplosan berbasa-basi seperti itu, alangkah baiknya mengucap komen netral seperti “Oh”, atau hanya senyum.

Di saat momen lebaran, diam anda menjadi emas dan kemampuan mengobrol ngalor ngidul yang tidak personal adalah platina.

-nyaw, menikmati lebaran yang bisu-

 

 

 

Sendiri lebih Asyik

“Makan, makan sendiri…

Tidur, tidur sendiri…”

-lagu dangdut-

Pada suatu hari selasa, dalam rangka menunggu suatu janji meeting, aku, t nis, t ri2, dan istri bos makan di Warung Leko di daerah Kuningan. Pada saat menunggu pesanan datang, aku perhatikan ada seorang cowok bule duduk sendirian, aku menunjuk bule itu pada t ri2 dan komentarnya adalah “Kasihan ya” dan komentar itu menjadi awal topik kalau untuk orang bule makan sendirian itu adalah hal lumrah, sedangkan untuk orang asia itu adalah hal yang aneh.

Padahal, aku menunjuk cowok bule itu karena bertanya-tanya apa makanan “serba penyet” itu familiar secara mancanegara.

~.~

Aku pun merasa serba salah, merasa tidak enak hati pada si bule yang jadi topik omongan.

Padahal kan mungkin saja bule itu memang mau makan sendirian. Aku akhir-akhir ini kadang ingin mencoba makan sendiri di restoran, biar bisa bengong-bengong tanpa gangguan, Tapi sayang sekali, untuk sekedar bengong di suatu restoran itu sulit… karena:

1. Sering kali pelayannya tidak ngeh kalau aku mau duduk, jadinya bisa saja beberapa kali memutari restoran itu dan tidak ditawari tempat duduk

2. Saat berhasil duduk, pelayannya akan melototin, mungkin mengharapkan, “teman” si yang lagi duduk sendiri itu datang (padahal memang sendiri)

Tapi, tetap saja seseorang itu butuh duduk di restoran sendirian sekali-sekali, hal itu cukup nagih, apalagi kalau punya hobi iseng bengong-bengong sendirian.

-nyaw, kapan lagi ya makan sendirian?-

Menu Spesial

Menu hari ini adalah mengenai penyajian hati. Jadi seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, Minggu lalu aku, Muthe, Ir, Finna, dan Dewi Sa ke festival MahaDharma yang diadakan di monumen perjuangan. Pas sampai di sana sih, belum ada apa-apa yang ramai. Katanya sih akan ramai sekali pas malam. Karena kita adalah kumpulan cewek-cewek Cinderella, alias kumpulan cewek yang suka merasa tidak enak hati pulang lewat dari jam 12 malam (meskipun kadang-kadang aku bandel pulang malam karena asik bermain dengan teman-teman).

Ternyata yang namanya anak muda Bandung itu melakukan macam-macam hal ya. Ada yang suka bercocok tanam, yaitu Bandung Berkebun. Dapat bibit gratis dari stand ini, tapi belum menanamnya karena lupa terus mo nanam. Ada juga komunitas origami lipat-lipat (yang dilipat adalah kertas, bukan tubuh). Ada juga skater-skater, yang tentu saja bikin ngeri karena membayangkan seandainya aku yang jatuh (mungkin akan gempa ya). Ada juga komunitas yang sukses bikin Finna lari terbirit-birit, yaitu komunitas pecinta reptil (padahal reptil itu keren).

Karena yang namanya ke festival itu pasti melakukan hal-hal iseng, Muthe ke stand ramal-ramal lagi. Tadinya sih ingin menemani saja, jadi ikut duduk di stand itu. Tak sengaja bertemu Rima dan kawannya pas nunggu, terus jadi ngobrol-ngobrol tentang “seorang lelaki” (iya cewek itu gemar sekali bergosip ya). Setelah menunggu beberapa lama lagi, akhirnya datang giliran Muthe untuk diramal tarot. Karena kabitha setelah Muthe diramal, jadi ikut-ikut diramal. Yang diramalkan adalah hal yang klasik: jodoh.

Kata yang ramalnya: akan mendapatkan jodoh segera setelah bisa memaafkan semua sakit hati di masa lalu dan membuka hati lebar-lebar. Hanya bisa ketawa getir dengan hasil ramalan itu. Pertama yang dipikir adalah, “YA IYALAH.” Tapi setelah berpikir-pikir kemudian jadi menyadari bahwa, “Oh… jadi diri sendiri yang menjadi penghalang untuk maju dan meraih kebahagiaan.”

Bisa dibilang musuh terburukku adalah diri sendiri.

Setelah mendapatkan nasihat untuk membuka hati dan memaafkan orang lain, aku pun memikirkannya. Tentang membuka hati. Memang sih, tidak mudah untuk menyajikan hati di atas piring sembari bilang, “Ini hati saya, silakan cicipi.” Bisa saja kan ada resiko setelah menyajikan hati, yang menyicip akan bilang, “Astaga, rasa macam apa ini, buang buang!” atau “Ah, nggak ah, saya kenyang dan sepertinya terlalu besar porsinya.” atau “Uhm, boleh juga, tapi yang itu juga boleh, coba yang itu juga boleh.” atau juga “Ok juga sih tapi harus pakai garam dikit ya, mungkin gula juga atau bagaimana kalau dimasak ulang?”

Meskipun banyak kemungkinan yang tidak enak seperti itu, mungkin… mungkin saja ada yang bilang, “Enak ya, pas.”

Bisa dibilang para penjaja hati di luar sana hanya bertahan demi satu kemungkinan kecil saja yaitu sebuah remark singkat, “Enak ya, pas.”

-nyaw, penjaja hati-

Berpegangan Tangan

“I wanna hold your hand. I wanna hold your hand!”

-The Beatles-

The Beatles adalah salah satu band yang legendaris karena kesederhanaannya. Menurut banyak orang, cara The Beatles mengungkapkan perasaan jatuh cinta begitu jujurnya karena sebenarnya sebelum semua hal-hal yang begitu rumit seperti “keseriusan”, “pernyataan cinta”, “pertanggungjawaban” semuanya berawal dari hal sesederhana “ingin berpegangan tangan”. Kepolosan yang diungkapkan dari keinginan berpegangan tangan tidak semua orang mengingatnya, jadi sangat menakjubkan rasanya ada seseorang yang mengingat hal sesederhana itu.

Aku adalah orang yang termasuk ke dalam salah satu orang yang merasa takjub dengan kesederhanaan tersebut. Setelah membaca sebuah komik lama yang sudah berdebu mengenai pengalaman berpacaran untuk pertama kali, aku jadi ingat betapa sederhananya berhubungan dengan lawan jenis sebelum semua resiko diketahui dengan jelas. Semuanya sesederhana “rasa malu bertatapan langsung”, “ingin sering ketemu dia”, “mengumpulkan keberanian memulai obrolan”, dkk. Sekarang setelah mengetahui segala resiko semuanya menjadi ” apakah diacukup berani untuk mengatasi rasa malunya bertapapan langsung?”, “apakah dia ingin ketemu saya?”, “apakah dia berusaha mengenal saya?”, dkk hal yang berbentuk tanda tanya dalam beragam bentuk.

Di luar dugaan, mengetahui resiko malah bisa merusak hal yang tadinya baik. Suatu hal yang tadinya polos dan anak-anak begitu didewasakan menjadi lambat dan tidak asik.

Tapi tidak semua hal yang dewasa itu lambat dan tidak asik. Di luar sana ada loh orang dewasa yang masih bisa asik, tapi karena mengetahui resiko, dia menjalani hubungan percintaannya dengan otak (yang entah bagaimana cara melakukannya pada saat kau harus menggunakan hati…).

Karena berpikir-pikir tentang bahwa perubahan kepolosan menjadi kehati-hatian, aku pun berpikir bahwa sepertinya aku juga mengalami penuaan yang seperti itu. Aku pun saat melihat lawan jenis menjadi berhati-hati tanpa alasan yang jelas. Kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah aku mengharapkan jenis ketertarikan lawan jenis yang salah.

Apakah aku mengharapkan “ingin selalu bersama” ketika secara naluri aku malah mengeluarkan “apakah kita mempunyai keinginan bersama?”

Tenanglah, bukan hanya kebanyakan kita yang berubah. Bahkan Beatles pun berubah:

“… love is more than just more than holding hands

… I would love to love you and that she will cry when she learns we are two, if I fell in love with you”

-The Beatles-

-nyaw, in a vintage feeling way, remembering old feelings from old songs and new feelings also from old songs-