Saya Pikir

Kemarin para kawan lelaki mendongeng di rumahku. Ah seru. Kupikir dibanding mereka ini, aku memang lebih cocok disebut penulis, karena mereka yang pendongeng benar-benar terlibat di dalam dongeng-dongengnya. Jadi aku ini semacam notulen saja!

Tapi itu ok saja. Karena para kawan pendongeng kadang malas menulis, jadi biar aku ini yang mencatatkan. Tapi mungkin tidak sekarang, atau tepatnya dalam post ini.

Kali ini aku memasang post keisengan. Beberapa hari ini aku sedang berusaha menyelesaikan buku Amba dan berhasil dengan sedikit kesuksesan. Agak berbeda dengan orang lain, aku tidak merasakan kekuatan seorang perempuan di dalam buku itu. Tapi seorang perempuan sih aku memang rasakan. Tapi lagi, karena aku seorang perempuan juga, membaca kedalaman hati perempuan itu meresahkan dan menyusahkanku. Kadang aku jengkel mengikuti logika Amba di sana.

Tapi diksinya! Wow diksinya! Aku menikmatinya. Kadang perlu juga buka kamus. Karena pembendaharaan kataku agak terbatas.

Nah karena aku begitu senang dengan diksi-diksi itu, aku jadi ingin iseng. Ya bagaimana kalau sesekali membuat tulisan dengan diksi acak adut? Atau dengan diksi yang iramanya agak dimainkan? Agak bebas tanpa memperhitungan alur dan kedalaman cerita sepertinya asyik.

Jadi aku menuliskan prosa/cerita pendek/racauan/rap alay panjang berjudul “Saya pikir”. Aku membacanya lagi, dan tulisan ini sedikit mengingatkan pada kawan perempuan baik yang membuat tulisan tidak berjudul mengenai “rasa”. Kupikir dia membuat sebuah karya yang lebih masuk akal. Tapi kalau yang akan dipost di sini, dia tidak masuk akal. Dan dia alay.

Tapi aku senang bermain diksi. Tapi Laksmi Pamuntjak dalam Amba memainkannya dengan jauh lebih piawai. Karena sepanjang Amba kau akan membayangkan warna merah. Aneh kan? Aneh loh! Tapi aneh itu bagus tentu!

Nah kalau prosa ini tidak ada warnanya. Tapi dia punya theme song. Theme songnya “My Heart is Open” yang dibawakan Maroon 5 ditemani Gwen Stefani.

Yah iseng saja baca. Di pagi sabtu yang cerah ini (kalau tinggal di Bandung).

-nyaw, main kata-

***

Saya Pikir

Archy 2 edit resize

Sempat saya pikir, saya masih cinta kamu. Karena itu masuk akal. Karena itu adalah rasa yang seharusnya tidak akan padam. Sempat saya pikir, saya ada cinta pada kamu. Karena kamu ada seperti itu. Karena kamu akan selalu seperti itu. Karena apa adanya dirimu. Karena kamu masih dan ada seperti waktu itu. Jadi sempat saya pikir pasti saya masih cinta kamu.

Jadi saya menunggumu. Menunggumu. Karena katanya cinta itu seperti bis. Perempuan berdesak-desakan memasuki bis yang akan membawanya ke tempat yang paling indah. Tempat yang paling jauh. Jadi kutunggu kamu. Kutunggu kamu di halte pemberhentianmu. Menunggu lowong. Menunggu kosong. Jadi kamu akan bawa saya. Jadi kamu akan bawa diriku. Ke tempat semua perempuanmu itu.

Jadi kutunggu gilir itu. Karena saya pikir bahwa saya masih cinta kamu. Karena rasa itu sudah lama dan mengendap. Karena rasa itu sudah dan telah lama mengerak. Hingga kupikir dia mendekam terlalu lama. Hingga kupikir aku tidak membedakan apa dia ada atau tidak.

Tapi semakin saya pikir saya cinta kamu, kok makin jarang dan makin renggang rasa itu. Apa karena rapatnya dia? Apa karena tidak dibiarkannya napas dia? Atau karena kamu memang selalu ada. Di sana. Di sini. Setiap saat itu. Jadi kupikir dan sepertinya saya seharusnya cinta kamu.

Seharusnya.

Bukankah itu kata yang mengganggu? Banyak pula beban dalam kata itu. Seharusnya memang saya cinta kamu. Karena rasa itu sudah lama. Karena rasa itu sudah tua. Karena rasa itu sudah satu seperti napas. Karena rasa itu sudah kukenal. Karena aku sudah menunggumu. Di terminalmu. Untuk menjemputku. Untuk membawaku. Untuk menjadikanku salah satu perempuanku.

Tapi kamu tidak kunjung berhenti. Kamu bawa perempuan-perempuanmu yang lain tentu. Tak satu pun di antaranya adalahh saya. Kucari wajahku dan tidak ada diri ini di sana. Tapi kamu tahu aku menunggumu. Tapi kamu tidak berhenti. Tapi kamu tidak mengindahkan. Kamu perlu mengacu. Bersama perempuan-perempuanmu.

Dan tidak ada wajah saya di sana. Tidak sedikit pun ada bersit.

Bukankah seharusnya ada saya di sana? Ya sesekali. Mungkin tidak perlu sampai ke tempat jauh itu. Mungkin sekedar menggelantung seperti kenek. Mungkin perlu bayar dua kali lipat. Tapi tidak seperti itu. Kamu tidak berhenti. Kamu selalu bawa perempuan lain. Dan aku menunggu. Di haltemu. Seperti ini. Seperti bodoh. Seperti tak tahu diri.

Hingga rasa ini terus merapat. Hingga rasa ini terus menghimpit. Hingga rasa ini menyesak. Lalu dia mendesak. Lalu dia membuncah. Lalu dia menuju langit.

Dia mengadu. Dia menanya. Dia tidak terima. Dan di langit rasa itu pun pecah. Dia indah. Dia menari cerah. Bayangkan itu. Semua indah itu rasa dalam hatiku. Dan dia memenuhi langit. Dalam pasrah. Dalam damai. Dalam keinginan yang pecah.

Pecah. Berderak.

Lalu seharusnya saya pikir saya cinta kamu berubah menjadi saya memang cinta kamu tapi hal itu tidak sepenting yang saya pikirkan seperti titik yang tidak kunjung datang dalam paragraf yang melelahkan dan menghabiskan napas dan melelahkan pembaca yang penasaran tentang apakah tulisan yang tidak berujung ini.

Saya pikir saya cinta kamu. Sudah bukan begitu. Sekarang saya tahu bahwa saya memang rasa cinta kamu. Sudah sedari dulu. Sudah sedari waktu masih buntu.

Tapi apa itu penting? Saya yang memang cinta kamu?

Ah tidak. Karena saya memiliki ria. Dalam rasa yang terbang. Dalam rasa yang mengambang. Dalam rasa yang tidak dapat ditimbang.

Dan itu tidak penting. Ketika suatu rasa itu perlu berdenting. Ketika rasa itu berasa memiting. Ketika rasa itu berubah genting.

Karena kutunggu dirimu. Selama beberapa jam. Selama beberapa menit. Selama beberapa detik. Tapi kamu tak kunjung berhenti. Kamu tak memilihku sebagai perempuanmu. Tidak dan tidak akan.

Dan aku tentu sudah bosan. Bukan bosan menunggu. Bukan bosan ditolak. Bukan bosan diacuhkan. Bukan bosan merasakan hal-hal sesak.

Bukan. Itu indah. Itu asyik. Itu mantap.

Tapi bosan. Bosan tetap ada. Karena seseorang yang lain butuh rasa indah yang kumiliki.

Dan dia akan berhenti. Dia mungkin bahkan berkali-kali telah berhenti.

Tapi aku tidak menunggu di halte dia. Aku tidak mencari dia. Aku tidak bertanya di mana dia. Aku tidak mengenali wajahnya. Aku tidak bahwa dia ada. Dan mungkin sekali dia bertanya. Di mana saya. Seperti apa saya. Dan terutama dan mungkin dia bertanya,

“Adakah dia menunggu saya?”

Dan dia mungkin pikir,

“Saya tahu saya cinta dia. Adakah dia tahu bahwa dia pasti akan mencintai saya?”

Jadi saya pikir saya memang cinta kamu. Tapi hanya seperti itu. Hanya sampai situ. Karena saya perlu ada di sana. Memberikan rasa saya. Pada dia yang mencari saya. Dititipi menjaga saya. Dan dia tidak asa. Menanyakan saya. Menanyakan dimana diri saya. Adakah bahagia diri saya. Adakah menunggu diri saya. Menunggu di halte dia. Dengan setia.

Secangkir Kopi Bersama Mas Setan

Sebenarnya aku tidak ingin menulis cerita ini. Aku tidak suka menulis cerita yang tidak kuketahui akhir baiknya, Karena aku merasa tulisan itu seperti doa. Karena aku menuliskan hal-hal yang kalau tidak informatif, membuat berpikir, harus bisa memiliki suatu harap untuk masa depan.

Jadi tadinya kuputuskan untuk tidak menuliskannya meskipun orang yang bersangkutan mengiyakan. Ah tapi tiba-tiba muncul ending yang penting. Sesuatu yang dapat disuguhkan dengan berselubung kenyaatan dan ketidaknyataan (nah aku mulai mengarang diksi). Jadi akhirnya cerita ini dituliskan.

Bagi teman-teman yang cemas. Tenang! Aku benar-benar sudah meminta izin orang yang menginspirasi cerita ini. Dia bilang “ok”. Jadi kalian ok juga ya. Karena kita semua ok dan semua yang lalu sudah lalu. Ok? Ok!

-nyaw, menikmati kopi-

***

Secangkir Kopi Bersama Mas Setan

10603603_10152610019807515_4729019175804646538_n

Aneh. Setanku adalah seorang mas-mas. Iya. Dia kudu dan mesti Jawa. Tentu saja. Karena aku punya sejarah kikuk dengan beberapa lelaki Jawa. Juga benar kata pepatah, “the devil is in the details”. Jadi tepat dan kudu dia mesti Jawa. Dan tentu saja dia perlu banyak berkeliaran dengan celana ngatung anak mesjid. Ah tentu dia harus punya jenggot. Ah bagaimana dengan wanita? Ah mesti dan kudu dia punya beberapa biji. Akan kurang lengkap kalau seandainya dia mendiamkan wanita-wanitanya. Kudu dan mesti dia melakukan rayuan kecil sana-sini sesekali. Ya tentu dia tidak malu pada celana ngatungnya itu. Ah kurang, kurang! Tentu saja dia perlu juga dan mesti memiliki suatu wawasan dan ide mendalam tentang topik yang menarik hatinya. Sesuatu yang bisa membuatnya berbicara berjam-jam tentu. Sesuatu yang agak norak. Seperti JKT48 dan Lumina Scarlet. Ah masih, masih kurang detail! Dan tentu saja dia mesti dan kudu memiliki semua sifat buruk lelaki yang pernah kujumpai. Perlu dan mesti!

Jadi Mas Setan menyuruput secangkir kopi di depannya. Aku memandangi dan memelototinya. Beberapa hari yang lalu aku begitu geram dan marah padanya. Dia telah melakukan kebodohan yang tidak dapat kupercaya dapat terulang lagi di usia 28 tahun. Ia jadikanku perempuan penengah antara dia dan seorang perempuan yang dia akui bukan pacarnya. Perempuan yang diakuinya bukan pacar memakai baju pink yang serasi, bedak, celak, tas dan sepatu yang senada. Bukankah itu adalah pakaian berkencan? Aku menjadi malu. Sudah aku menjadi penengah, aku pun berpakaian selayaknya seorang “bro”. Kapuchon, kets dan baju kumel bolong-bolong.

“Astaga naga. Kebodohan macam apapula ini?” batinku saat itu.

Kuberondong teman-temanku dengan kegelisahanku karena dijadikan penengah oleh setan itu. Teman-temanku mendorongku untuk meninggalkan tempat. Pada awalnya aku masih bergeming tapi kemudian aku melihat mereka memiliki dunia sendiri yang tentu saja entah berada bima sakti galaksi yang bahkan jauh dari film Interstellar yang rencanya akan kami (secara absurd) bertiga.

“Ah aku terlalu tua untuk mengikuti permainan ini,” batinku.

Jadi dengan canggung, seenaknya, dengan punggung melengkung ke belakang dalam sebuah bentuk siaga lari, kupanggil Mas Setan dengan gerakan tangan dan jari gemuk-gemuk. Ia mendekat. Dengan senyum yang aku merasa sedikit anti. Senyum aneh yang selalu terpasang di muka anak-anak mesjid. Senyum tidak tulus dan menyembunyikan agenda tertentu. Ikh aku semakin ngeri saja.

Kubilang padanya, “Aku ganggu ya? Aku pulang ya. Kalian nonton ya!”

Dia berkelit dan mengatakan hal-hal yang tidak kudengar dengan jelas. Tekadku tentu bulat. Aku adalah perempuan berusia 28 tahun. Aku tidak punya waktu untuk permainan anak-anak. Aku juga bukan pengasuh. Aku juga tidak bersedia disamakan dengan setan. Jadi aku lari. Benar-benar berlari. Untung aku memakai pakaian yang memudahkan gerak.

Dia mengirimkan SMS kelitan tentu. Ah aku malas menanggapi. Aku memutuskan untuk segera pulang saja dan menyalakan kunci kontak mobil dengan kecepatan melesat. Aneh sekali ada orang yang memperlakukan temannya seperti ini. Saat aku sudah setengah jalan menuju rumah, baru kusadari bahwa setan itu belum mengganti uang tiket. Astaga. Aku bahkan mengantrekan tiket pacaran mereka!

“Cerdas! Perempuan usia 28 tahun yang cerdas,” batinku.

Jadi tentu saja beberapa hari yang lalu itu aku geram dan marah. Dan tentu saja aku perlu membuat prosa mencaci maki dengan bahasa yang tidak perempuan-I dan anggun-I dan halus-i. Tentu saja tulisan itu kotroversial dan membuat cemas kawan-kawan baikku. Tapi perlu mereka ketahui bahwa aku telah bertemu dengan penampakan semua trauma pada lelakiku dalam satu setan itu.

Dalam fisik. Dalam laku. Seandainya semua lelaki yang mengecewakanku dilumatkan dan dijadikan satu, pastilah lumatan itu akan membentuk Mas Setan yang satu ini. Tampangnya, bau badannya, tinggi badannya. Tapi terutama, tindakan bodohnya, ketidakpekaannya, kerahasiaannya dan keacuhannya. Dan sekarang, pengecutnya. Ya pengecutnya. Butuh waktu seminggu lebih hingga kami dapat berjanjian di sebuah kafe agar dapat kutagih uang tiket itu.

Jadi barang tentu dan sudah mesti aku merasa geram pada Mas Setan ini beberapa hari yang lalu. Tapi entahlah. Suasana hatiku riang saat itu. Aku merasa jenaka. Dalam hati aku terpingkal. Bagaimana bisa ada mas-mas yang bisa dengan tepat menjadi setan representasi trauma-trauma masa laluku? Ini menarik. Lebih tepatnya lagi ini artinya aku beruntung. Tak banyak yang berkesempatan untuk mengenal setan mereka dan meminum secangkir kopi bersamanya.

Jadi setelah ia memberikan uang ganti tiket, kukatakan padanya,

“Kamu ini…. Kamu ini seperti semua jeleknya laki-laki yang pernah kukenal disatukan semuanya dalam dirimu. Kamu berhasil mengeluarkan sisi terburukku!”

Mas Setan tampak tertarik dan matanya membulat ketika bertanya, “Bagaimana?”

Aku menyilangkan tangan dan berkata dengan malu, “Kamu membuatku kabur. Aku selalu kabur dari situasi-situasi yang tidak nyaman.”

Dia tertawa. Mungkin dia merasa menang. Aku mencibir kesal dan dalam derai tawanya kulihat bahwa dia bukan satu orang saja. Tiba-tiba dia menjadi banyak. Berbagai sosok laki-laki yang meresahkan dan menggelisahkanku. Mereka berhimpun dan berhimpit di dalam tubuh laki-laki itu. Mereka berebutan untuk menghirup esensi gelap secangkir kopi itu. Aku bergidik. Kusadari bahwa aku telah berkelana ke masa lalu. Cepat-cepat aku memejamkan mata dan menghadirkan diriku di tempat dan waktu saat itu. Separah-parahnya setan itu, ia tidak boleh merenggut kehadiranku pada saat itu. Karena kehadiran adalah modal komunikasiku dengan pemilik semesta.

Mas Setan, dia berbicara tentang berbagai hal. Aku mengangguk-ngangguk. Matanya redup sesekali seperti menghilang ke dalam dimensinya sendiri. Aku membangunkannya beberapa kali. Karena kutakut apa yang mungkin terjadi kalau kesadarannya tidak selalu menetap. Berbagai makhluk mengintip dengan tertarik pada dia yang meredup sesekali itu. Dari atas balkon. Dari belakang kaca. Dari tepi meja. Oh mereka suka setan ini. Atau setidaknya mereka ingin tahu apa mereka bisa ikut dalam diskusi hari itu. Salah satu dari mereka sangat ceriwis. Ia adalah bule yang sedikit terlalu protektif. Dia sedikit sok tahu bersikap seolah-olah dapat melindungiku dari Mas Setan. Padahal lebih banyaknya pun ia tidak akan dapat melakukan apapun selain membuat gelisah.

Jadi aku tenang. Kendati kepalaku sedikit migren. Makhluk-makhluk yang membuat sumpek. Tapi terutama perjalanan pandangan yang bertarung untuk memaksaku untuk memasuki masa lalu. Agar aku panik dan takut. Agar aku kabur lagi. Tapi terutama agar aku membenci. Karena setan senang sekali mengkorupsi hati. Tapi aku sendiri, tidak senang dikorupsi. Waktuku dan kehadiranku tentu adalah pemberian bagiku sendiri bukan? Penggunaannya adalah persembahan pada pemilik alam semesta. Jadi aku kudu dan mesti hadir di saat itu. Menghirup dan menginderai. Sekalipun itu seorang setan berbentuk mas-mas. Sekalipun kopinya hitam pekat seperti sayap gagak.

Menuju penghujung pertemuan, kumarahi dan kuingatkan dia sekali lagi mengenai kebodohannya. Ah mungkin dia pura-pura alpa dan tidak bersalah. Kebohongannya adalah urusan pribadinya. Urusanku adalah tetap menjadi jujur dan jenaka. Kukatakan padanya bahwa dia perlu lebih memikirkan perasaan orang lain dan jangan menekan keburukan dari orang lain. Batas orang itu berbeda-beda. Dan tentu aku pun merasa malu karena kabur minggat. Kuharap tidak perlu ada kejadian semacam itu lagi.

Mas Setan tertawa lagi dan dia berkata, “Ya sudah. Jadikan bahan untuk ceritamu ya.”

Aku memandanginya dan dia pun hadir saat mengatakan itu. Aku tertawa tapi lalu memikirkannya sejenak. Apa mesti kudu dan butuhkah aku menulis tentang Mas Setan ini? Ah sepertinya tidak.

Lalu secangkir kopi itu menguap habis sudah. Sebagian diminum, sebagian dihirup. Habis dan kami pun berpisah dengan kesadaran dalam hati bahwa kemungkinan besar kami tidak akan bertemu muka lagi. Ah wajar bukan? Terlalu canggung.

Tapi hari ini aku membuka file Murakami pertamaku. Sweetheart Sputnik. Lalu aku membatin sebuah tanya,

“Siapa sih yang ingin menjadi tokoh khayalan semacam Sumire ini? Sepertinya itu sangat merugikan.”

Lalu kusadari bahwa Mas Setan itu yang ingin. Dia ingin dijadikan cerita. Seperti Sumire. Seperti dedemit-dedemit narsis yang ingin berpose dalam kata. Astaga. Tidak tahukah betapa kayanya dia karena memiliki hal yang tidak dimiliki tokoh-tokoh khayalan itu? Dia memiliki kehadiran! Dan kehadiran saja kekayaan yang perlu dimiliki seseorang!

Ah ingin kukatakan hal itu pada Mas Setan secara langsung. Tapi biarlah kutulis cerita ini. Agar akal bertemu dalam negeri imajinasi. Karena Mas Setan ingin jadi Sumire. Padahal dia bukan Sumire! Dia adalah manusia (mungkin hampir jadi)!

Ah biar toh. Mungkin Sumire cocok juga untuk dia. Lagipula kopi yang mengencer di kafe itu pun sudah habis. Jadi sari pati tubuh. Juga bersatu dalam uap sendu langit Bandung. Juga mungkin menjadi bola-bola mainan makhluk-makhluk yang menyukai redupnya manusia sesekali. Karena itu celah yang sangat asyik untuk mengkorupsi hati!

Denting Dahsyat Gemuruh Hati

Nah gini nih. Kalau nulis satu cerpen, suka jadi terpikir tentang sudut-sudut pandang tokoh lainnya. Terus pikiran itu jadi memborbardir tiada henti minta ditulis. Ah ya sudah, dituliskan saja. Ya akhirnya kutuliskan saja sedikit sejarah tentang tokoh putri mujair yang disebutkan di dalam cerpen Nang Ning Nung. Kupikir judul cerita kali ini sangat menarik. “Denting Dahsyat Gemuruh Hati”. Bukannya mengasyikkan kalau ini menjadi jargon pantat truk? Keren! kalau menemukannya, tolong fotokan ya!

Seperti biasa. Jangan terganggun dengan typo, EYD dan hal-hal teknis semacam itu. Ini adalah blog tempat bersenang-senang yang tidak dapat menyenangkan logika.

Jadi… Mari mari mari simak kisah putri mujair. Ikuti egolnya. Ikuti giteuknya!

-nyaw, giteuk geol dahsyat-

***

Denting Dahsyat Gemuruh Hati

 putri mujair

Prajurit-prajurit awan kelabu baris-berbaris memenuhi mendesak langit. Dari sela-sela kaki tangguh mereka, berkejar-kejaran kilat dan petir. Acuh, riang, belia. Tentu saja kilat yang memenangkan adu cepat sampai tanah. Semua tahu cahaya selalu lebih cepat dari gemuruh suara petir. Tapi petir? Dia hebat. Saat melompat ke tanah, dia memercik. Menggapai ilalang terdekat hingga keluar serupa suara kerupuk getas. Lalu ia bergulir dan mengabu. Asapnya mengepul. Sedikit saja. Ia menggulingkan sari terbakarnya ke dalam riak air gelap di dekatnya dengan suara menceracas. Dan ia tenggelam. Turun ke dalam kegelapan air waduk itu. Waduk Cirata yang ramai di permukaan tetapi begitu syahdu di bawah permukaan. Hanya terasa suasana gentar yang mengganggu. Dan petir yang telah menjadi upik abu itu pun mendarat ke dekat seekor ikan mujair raksasa yang terbuka sedikit. Ia terjatuh tepat di dekat sela mulut di mana terdapat sepasang mata ketakutan mengintip. Mata ketakutan milik si putri mujair yang meringkuk dalam rahang kuat ibunya, sang ratu mujair.

Ratu itu membeku di tempat. Seakan-akan namanya tidak memberikan daya sedikit pun baginya. Ia membeku menghadapi gejolak amarah suaminya yang senantiasa mengeluarkan gelembung-gelembung yang bernada mendesis baginya. Hatinya terluka dan tersayat mendengarkan gelembung-gelembung kasar itu. Gelembung-gelembung yang kendati terlihat begitu rapuh dan tidak berbahaya tetapi mengetus ketika meletus. Dan letusan itu, isinya kata-kata yang menyakiti sang ratu. Tentang usianya yang sudah tidak muda, tentang kematian putra-putrinya, tentang kebosanan sang raja yang ingin melanglang buana ke laut tapi terperangkap di dalam sebuah waduk yang semakin menyempit. Karena ia adalah ikan mujair yang sangat besar. Ukurannya hampir setengah waduk Cirata. Sungguh sial ia harus terjebak di sana. Tapi bukan berarti raja itu berhak menumpahkan frustasi pada sang ratu. Sang ratu pun pasti bosan harus tetap menikah pada mujair gendut itu. Tapi ia diam. Karena ia ratu. Dan ratu-ratu selalu anggun. Lagipula ia adalah ikan timur. Ikan timur selalu santun dan mengalah pada pria-pria mereka.

Tapi tetap. Hati sang ratu mujair terguncang. Hampir-hampir ia tidak tahan pada gelembung-gelembung menyakitkan hati yang keluar dari mulut suaminya. Tapi ia akan tetap diam. Ia akan tetap anggun. Karena itu tugas seorang ratu. Lagipula tidak semua putra-putri sang ratu meninggal, masih ada seorang putri mujair kecil yang selalu dibawa-bawa di dalam mulut raksasanya. Ia masih begitu kecil, muda dan rapuh. Sang ratu perlu menjaganya dengan ekstra hati-hati. Apalagi dengan seringnya sang suami yang meradang dan mengamuk hingga membahayakan seluruh makhluk yang tinggal di dalam waduk. Sang Ratu memilih untuk mengemong putri semata wayangnya dalam mulutnya dengan sangat hati-hati. Karena itulah yang dilakukan para ikan timur. Mereka menggendong anak mereka tiada henti hingga usia yang tidak lagi dini.

Putri mujair yang tinggal di dalam mulut ibunya tentu heran mendengar gelembung-gelembung menyakitkan hati yang keluar dari mulut ayahnya. Ia heran mengapa ibunya bertahan dan diam menghadapi gelembung-gelembung itu. Mengapa ibunya tidak membalas dengan gelembung lain? Mengapa ibunya tidak menuntut perlakuan yang lebih baik pada ayahnya? Begitu banyak mengapa lain yang memenuhi pikirannya. Ia pun menanyakan semuanya pada ibunya, sang ratu mujair. Ratu itu menjawab anggun,

“Kita ini ikan timur Nak. Kita para perempuan diam dan pasrah di depan pria-pria kita. Kamu pun akan sepertiku kelak.”

Kedua mata hitam sang putri mujair membelalak terkejut dan tidak terima. Ia berenang-renang bingung sebentar keluar dari mulut ibunya. Sisik-sisiknya mengembang dan meremang, memantulkan seberkas cahaya matahari yang berhasil mengintip dari sela-sela prajurit awan kelabu. Warnanya memantul-mantul indah warna warni hingga membias ke permukaan riak air Cirata. Hujan badai sedikit malu melihat bias-bias warna itu hingga diputuskannya untuk mereda. Masa iya, badai mengamuk di tengah kehadiran indah seorang putri mujair?

Putri mujair belum mengerti perihal perasaan hujan badai yang demikian. Hanya rasa tidak terima saja yang ia rasakan setelah mendengar penjelasan ibunya, sang ratu mujair. Sang ratu membiarkan putrinya mondar-mandir kebingungan. Diperhatikannya bahwa bias warna indah sisik-sisik anaknya telah berhasil menghalau amukan badai. Ia pun sadar bahwa anaknya mungkin akan memecah tradisi para ikan timur. Mungkin putrinya tidak akan bernasib seperti dirinya. Karena putri mujair dapat menghalau rasa amarah dan frustasi. Pasti ia berbeda. Tapi bagaimana dan apa yang perlu dilakukan oleh putrinya? Sang ratu kendati menerima nasibnya sebagai ikan timur, tetap saja diam-diam menginginkan nasib yang berbeda untuk putri mujair cantiknya. Seandainya ada suatu jalan keluar agar putrinya tidak perlu menghadapi gelembung-gelembung kasar suatu ikan jantan kelak, tentu hal itu terdengar baik sekali.

Dan sisik-sisik putri mujair terus saja membias. Dengan indahnya. Dengan megahnya. Dengan gemerlapnya. Dan badai. Ia pun malu dan hendak menuju suatu tempat yang lain dengan membawa angin, petir, kilat dan prajurit-prajurit awan kelabu gempalnya. Sebelum badai pergi, sang ratu mujair buru-buru memasukkan sang putri ke dalam mulutnya lalu berenang ke permukaan Cirata. Ia pun memanggil badai agar tidak segera berlalu. Badai terdiam, terkejut karena seorang ratu mengajaknya bicara.

“Pak Badai, Pak Badai! Jangan pergi berlalu dulu! Tolong ceritakan mengapa kau terburu-buru!”

Begitu seru sang ratu mujair dengan bahasa yang pendek tetapi terdengar halus. Badai pun segan dan memutuskan untuk duduk sebentar di pinggiran waduk Cirata. Ia pun menjawab,

“Saya malu Ratu, putri ibu begitu segar dan indah. Masa iya saya ribut-ribut? Jadi saya pergi ke tempat lain saja. Jangan khawatir, akan kubawa semua anak-anak dan prajurit nakalku!”

Sang ratu merenung lalu lanjut bertanya, “Apa putriku seindah itu Pak Badai?”

“Lebih dari yang terlihat mata Ratu!”

“Apa dia akan dapat meredam amarah pria?”

Badai kini benar-benar senyap. Ia mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh sang ratu mujair. Ia sudah sering mendengar mengenai raja mujair yang gendut pemarah dan bergelembung-gelembung kasar pada istrinya. Pastilah sang ratu menginginkan nasib yang berbeda untuk putri semata wayangnya yang indah. Ah jangankan sang ratu, Badai pun ingin nasib yang berbeda untuk putri mujair cantik itu. Ia tidak rela memikirkan bahwa suatu hari putri air rupawan itu akan dimiliki oleh mujair jantan gendut yang kerjanya mengeluarkan gelembung-gelembung tidak sopan kasar, seolah-olah tidak mengerti kemujuran dirinya karena telah dipilih untuk bersanding dengan mujair dengan sisik pelangi paling indah. Ah tidak bisa begitu! Nasib para mujair tentu perlu berubah!

Jadi badai pun menjawab serius, “Bisa Ratu. Asalkan putri air dapat berdenting.”

“Seperti apa?”

“Denting yang lebih dahsyat dari anak-anak petirku. Bahkan lebih dari kakak-kakak mereka, guntur!”

Sang ratu bergeming. Itu terdengar seperti suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Bagaimana sebuah denting dapat mengalahkan suara gemuruh anak-anak badai? Tentu saja itu tidak masuk akal! Dan bagaimana pula seekor ikan dapat berdenting? Mereka tidak diciptakan untuk bernyanyi seperti burung kutilang atau jalak sekali pun. Para ikan hanya bergelembung-gelembung dan mengomel. Mana mungkin bisa berdenting? Denting yang dahsyat pula!

Tapi putri mujair yang sedari tadi bersembunyi di dalam rahang keras ibunya mendengar semua pembicaraan itu. Ia memikirkan segala omongan tentang denting itu. Ia tidak terlalu mengerti. Tapi ia cukup mengerti bahwa perihal denting itu dapat menjauhkannya dari jantan-jantan serupa ayahnya yang menjijikkan. Putri mujair pun membulatkan tekad. Ia tidak akan bernasib seperti ibunya. Ia tidak sudi dan tidak akan menjadi seperti sang ratu. Maka putri air itu memekik dari dalam mulut ibunya. Pekikan kecil tapi cukup terdengar oleh badai,

“Ajari aku! Ajari aku berdenting! Aku akan melebihi adik petir! Aku melebihi kakak guntur! Aku akan berdenting dengan dahsyat!”

Sang Ratu dan badai pun berpandangan. Sang putri sendiri telah menentukan nasibnya. Dan putri itu ingin berdenting. Denting yang lebih hebat dari suara lari petir yang gemercik. Lebih kerasa dan suara guntur yang gemuruh. Sang putri mujair telah memutuskan bahwa dirinya akan berdenting dengan dahsyat. Tentu ia tidak akan bernasib seperti sang ratu. Dan tentu ia tidak akan mendapat suami bergelembung seperti sang raja. Masa iya ikan yang dapat berdenting dahsyat mendapatkan suami sepayah itu. Tidak cocok! Tidak cocok untuk para biduan yang berdenting dahsyat.

Badai pun meminta sang ratu untuk membuka mulutnya agar ia dapat memandang sang putri mujair secara langsung. Sang ratu membuka mulut dan berenanglah keluar sang putri dengan bersemangat. Sisik-sisiknya semakin gemerlap dan berpelangi warna-warni memancarkan perasaan dan harapan hatinya. Badai terpesona melihat ikan mujair kecil itu. Ia pun berkata,

“Tapi untuk menjadi biduan yang berdenting dahsyat, kau perlu memisahkan diri dari ibumu.”

Putri mujair terdiam sebentar. Ia beradu pandang dengan ibunya, sang ratu yang anggun. Tanpa berkata apa-apa terdengar mereka bersepakat untuk satu hal. Bahwa tradisi diam para ikan timur akan berakhir dengan munculnya seorang mujair yang dapat berdenting dahsyat. Dan mujair itu adalah sang putri yang bersisik indah itu. Putri mujair kemudian kembali memandang badai dan katanya dengan tegas,

“Aku siap. Sang Ratu adalah ibuku meskipun aku tidak tinggal lagi di dalam mulutnya.”

Badai pun mengangguk penuh arti. Mata Sang Ratu tetap legam dan dingin, padahal sebenarnya ada sedikit perih di dalam hatinya. Tapi ia menabahkan dirinya. Karena ini dilakukannya demi masa depan putrinya. Agar ia dapat berbahagia. Agar ia tidak menggantungkan diri pada pejantan yang bergelembung macam suaminya. Biarlah putrinya meninggalkan barang sebentar. Mungkin suaminya akan bergelembung dan mengomel lagi. Itu tidak masalah. Sang ratu telah terbiasa dengan perlakuan kolokan suaminya. Yang penting adalah nasib masa depan putrinya. Itu. Itu yang paling penting.

Maka dengan sebuah sapuan sirip yang lembut, sang Ratu mendekatkan putri mujair pada badai. Putri mujair tampak penuh tekad tapi sekaligus takut dan waswas. Baru kali ini dipandanginya wajah badai secara langsung. Badai bukanlah hewan, bukanlah manusia, bukanlah jin. Tapi ia adalah entitasnya tersendiri. Dan ia megah dan hebat. Wajahnya pun tenang meskipun terlihat sebuah gejolak energi yang tidak dapat dipahami oleh makhluk serupa mujair sepertinya.

Dan badai. Ia memandanginya kembali. Seandainya badai dapat tersenyum, ia sudah tersenyum lebar sekali. Anak-anak petir, kilat merasakan kegembiraan tetuanya. Mereka bergulingan dengan antusias. Saat itulah putri mujair diangkat badai dari dalam waduk Cirata. Diangkatnya ikan itu dalam sebuah gelembung. Terbang tinggi ke atas. Terbang ke dalam rengkuhan sang badai dan antusiasme anak-anak ributnya. Dan Sang Ratu. Ia terpekur penuh harap. Harapan bahwa suatu hari putrinya akan kembali ke Cirata dengan membawa denting yang lebih dahsyat dari anak-anak badai. Denting yang dapat melunakkan kekakuan jantan-jantan timur. Denting yang dapat mengayomi perempuan di dalam diri putri itu sendiri. Tanpa bantuan lelaki. Hanya sang putri mujair dan denting dahsyatnya.

Nang Ning Nung

Seorang kawan mengenalkan lagu “Geol Mujaer” yang dipopulerkan oleh Ayu Ting Ting padaku. Entah mengapa aku merasa lagu itu jarang gagal dalam menyenangkan hati yang resah. Padahal lagu itu tidak memiliki makna kehidupan yang mendalam. Hanya berisikan bait-bait menghibur pagi seorang “Mustafa” yang patah hati. Tapi lagu itu sedikit magis. Aku suka sekali dengan lagu itu. Dan selalu terpikir olehku lagu itu untuk menyenangkan orang lain.

Lalu anehnya. Ketika aku sedang ingin menyenangkan seorang kawan yang resah, terpikir olehku lagu yang dipenuhi bait “ajeb” dan “nang ning nung”. Ternyata aku sendiri pun menjadi terinspirasi oleh lagu ini. Terbayang olehku seandainya ada seekor mujair raksasa berjoget di depanku. Astaga, pasti mengasyikkan sekali! Pasti luarbiasa! Pasti spektakuler!

Ya mengapa tidak kutuliskan pemikiranku itu!

Jadi kutuliskan khayalanku tentang si ikan mujair. Dia begitu nyata hingga kupikir mungkin saja sebenarnya dia ini dedemit. Bisa jadi. Tapi geolnya begitu hebat hingga kurasa menarik untuk dibaca!

So. Selamat bergeol! Coba baca sambil mendengarkan “Geol Mujaer”. Feelnya lebih terasa. Juga. Jangan indahkan kesalahan tidak logis dalam cerita. Ini bukan cerita yang dibuat untuk menyenangkan logika!

***

Nang Ning Nung

ikan koki hitamKe arah mana pun memandang, rasanya hanya ada air, air dan air saja. Tidak. Itu tidak sepenuhnya benar. Terdapat hijau dari rambat eceng gondok. Jangan lupakan riak dari kayuh perahu bapak yang mencari ikan nila dan mas. Udara pun menggantung-gantung dekat permukaan air. Membiaskan capung-capung yang hendak kawin. Matahari masih malas menggeliat. Waduk Cirata yang biasa dihiasi terik menjadi sedikit muram. Tapi suasananya sebenarnya ramai. Karena alam tak pernah diam. Tapi bagi Ujang yang terduduk di atas warung apung, semuanya terasa senyap dan kosong. Padahal kakinya sedari tadi menjadi arahan nyamuk-nyamuk betina yang sedikit terlalu bernafsu. Tak terasa olehnya gigitan-gigitan iseng itu. Hanya hampa saja. Seperti air datar yang tidak berkesudahan. Tenang, tidak beriak tapi memenuhi dadanya.

Ujang menunggu perasaannya meluap. Harusnya dan seyogyanya memang begitu. Ia adalah seorang perjaka hampir lapuk yang sedang berada pada puncak kesialannya. Apalagi kalau bukan pekara perempuan? Masalah seorang perjaka selalu saja seorang perempuan. Perempuan berambut panjang hitam. Perempuan berkulit putih langsat. Perempuan bermata besar jeli. Perempuan berbibir merah kuncup. Perempuang berhidung bangir. Ah perempuan! Pasti selalu saja perempuan. Dan sialnya, perempuan yang membuat Ujang resah adalah perempuan dengan semua ciri-ciri itu!

Ah keparat dan sungguh sial nasib Ujang karena telah jatuh cinta pada perempuan bernama Iteung itu. Perempuan Sunda nyaris sempurna dalam elok peluk yang sangat alami. Kecantikan Sunda yang menjadi berkah sekaligus cobaan lelaki. Membuat hati sejuk sekaligus kepala beringas. Iteung, Iteung…. Nama itu dahulu terdengar merdu di telinga Ujang, tapi kini hanya hampa yang ia rasakan. Kosong hitam yang mendalam.

Seharusnya Ujang memang sedikit tahu diri. Iteung adalah kembang sedankan orang seperti Ujang apakah layak memetik kembang sehalus Iteung? Ujang menggelengkan kepala karena nista pada dirinya sendiri. Terkadang ia memang merasa pecundang. Kerja pun belum tetap, hanya sesekali menjadi kenek. Itu pun kalau ia tidak sedang ingin mengudud dan mengopi bersama teman-temannya. Ia memang ingin mengawini Iteung, tapi ia malas mencari uang mahar. Biar saja emak yang membayarkan mahar itu. Boleh jadi emaknya perlu menjual beberapa ronce kalung emas. Biar saja. Uang orangtua adalah uang anak.

Tapi Ujang merasa nista. Dan sudah tentu Iteung pun nista. Tak perduli berapa banyak perhatian yang Ujang berikan pada kembang itu, ia terus menolaknya. Penolakan pertama dan kedua masih halus. Tapi penolakan ketiga dan keempat mulai diwarnai geram. Akhirnya pada penolakan yang kelima, Iteung tidak banyak berekspresi. Rona mukanya datar dan terkendali. Dari saku rok lebarnya, ia keluarkan sebuah kertas hias terlipat. Dengan mata yang menatap lurus pada Ujang ia berkata,

“Kang, nanti datang ya.”

Ujang menatap kertas hias terlipat tersebut. Dibacanya dengan pelan-pelan karena ia tidak terlalu mahir membaca. Pecahlah hatinya ketika ia sadar bahwa kertas terlipat itu adalah undangan nikah Iteung dengan anak Pak Haji Uwok yang kaya-raya. Ujang ingin mengerang dan menangis di tempat. Kembangnya akan dipetik oleh jejaka lain. Kembang yang selama ini memenuhi khayalnya dan memberikan kehangatan pada malam-malam Bandung yang menusuk. Ah kembang itu kini milik orang lain!

Ujang tidak memberikan tanggapan sedikit pun terhadap undangan itu. Ia tidak mencaci maupun sakit hati. Ia hanya terdiam dengan pandangan kosong sampai Iteung risih sendiri dan menyingkir ke dalam rumah. Ujang baru meninggalkan halaman rumah Iteung setelah seorang kawannya mengantarkannya pulang. Emak menyambut kepulangan anak semata wayangnya dengan cemas. Barulah ia mengerti apa yang terjadi ketika melihat undangan Iteung di dalam gamitan keras anaknya. Emak menangis. Bukan karena anaknya menjadi diam tapi karena merasa malu anaknya berani mengejar kembang.

“Nak, mengapa kamu kejar Iteung itu Nak? Malu Emak Nak….”

Emak mengaduh dan menumpahkan malu. Tapi Ujang diam. Sesuatu telah mati di dalam dirinya. Kalau kembang Iteung akan dipetik dan dipelihara oleh seorang jejaka mapan dan mupuni, Ujang sebaliknya. Ia layu dan akan membusuk. Ia akan menjelma menjadi bangkai. Mayat hidup yang menghabiskan oksigen dan sesekali membuang kotoran.

“Ujang kasambet Mak. Coba kita bawa ke orang pintar Mak.”

Salah seorang sanak saudara Ujang membari nasihat pada Emak. Maka dibawalah perjaka lapuk itu menemui seorang dukun. Dukun itu lebih sering ditanya nomor seri togel. Kadang kasus sulit pun datang, seperti pasangan yang kesulitan anak. Bapak Dukun itu pun bersedia saja memberikan benih. Kalau istri yang ingin hamil itu cantik, terkadang ia tidak memungut biaya. Ia sedikit nyeleneh seperti itu.

Tapi untuk Emak yang sudah tua, dukun itu tetap meminta bayaran sebanyak 3 gram emas. Dengan berat hati Emak memberikan salah satu cincinnya. Tak apa. Emak akan lakukan apapun asal anaknya dapat eling kembali. Dukun itu menyisir janggut dengan jemari-jemari penuh alinya. Lalu ia menyalakan dupa. Dengan sedikit berlebihan, hanya agar terlihat lebih bonafid, ia memasukkan potongan bubuk petasan. Emak melompat sedikit terkejut dari tempatnya duduk. Ujang tidak berkutik. Masih kosong pulalah dirinya itu. Dukun itu merapal mantra seakan-akan meminta sebuah petuah. Ia mengangguk-ngangguk seakan sedang dibisiki seorang makhluk tak kasat mata. Emak merinding. Kalau ia tidak menyerahkan emas dan merasa sayang telah setengah jalan, mungkin saat itu ia sudah ngacir.

Tak lama kemudian dukun itu membuka mata dan berkata, “Bawa Ujang ke Cirata. Dia perlu bergoyang mujair. Tapi ingat! Dilirik boleh. Disuka boleh. Tapi jangan diraba! Apalagi dibawa!”

Emak membelalakkan mata dalam sebuah tanya. Ia ingin bertanya macam-macam tapi dukun itu malah menggerakkan tangannya dalam sebuah tanda usir. Emak pun pasrah dan berterimakasih atas bantuan dukun nyeleneh itu dan dibawanya anaknya yang berhati kosong kembali ke rumah. Di rumah, emak hanya duduk terdiam memandangi Ujang yang berwajah kosong. Sempat muncul rasa jengkel dalam hatinya ketika diperhatikannya baik-baik anak yang telah keluar dari rahimnya sendiri. Sudah anak itu tidak tampan tampang, Ujang pun tidak tampan budi. Mungkin itu didapatkannya dari bapaknya yang memilih tinggal dengan istri keduanya yang membuka warung kopi untuk supir-supir truk berplat E. Mungkin memang Emak saja yang tidak ketulungan sial. Punya anak buruk rupa dan watak dan sekarang gila segala.

“Eling…. Eling…. Ingat dengan Gusti Pangeran….”

Emak mengusap nyeri pada dadanya. Tak apalah ia bersabar. Mungkin itu jatahnya yang hanya seorang penjual nasi kuning. Lumayan untuknya. Nanti sabarnya akan dibayar dengan surga. Begitu kata Bapak Ustadz pengajian. Tak apalah bersabar. Mungkin pula Ujang akan eling lagi. Malah ia mungkin akan menjadi anak yang lebih baik dari sebelumnya.

Harapan Emak membuncah. Optimis mulai memenuhi rongga dadanya seperti bubur lemu hangat. Ya, pasti semua beres untuk Emak yang baik hati. Ia pun segera teringat kalau ia memiliki saudara yang kebetulan sekali membuka warung apung di pinggir waduk Cirata. Ah ini pasti pertanda! Ini pasti rejeki! Ini pasti tanda Tuhan telah mengasihi Emak!

Berkat kecanggihan teknologi yang menyebabkan kemudahan komunikasi, butuh waktu tak lama bagi Emak untuk meminta tolong pada saudaranya yang tinggal di warung apung Waduk Cirata untuk menjemput anak “stress”nya. Dengan menggunakan mobil pickup carry berwarna hitam, sepupu Ujang yang bernama Asep telah menunggu di depan gang rumah Emak dan Ujang. Asep sebaya dengan Ujang. Mereka telah melakukan banyak kenakalan bersama. Mulai dari mencuri mangga-mangga dan kelapa-kelapa muda tetangga, hingga menonton pertunjukan dangdut koplo pertama. Melihat keadaan Ujang antara waras dan setengah gila, Asep menjadi prihatin. Dibantunya sepupunya itu naik ke dalam mobil pickup dan mereka pun melaju ke Cirata dengan kecepatan tidak tanggung-tanggung. Emak melambaikan tangan cemas. Hatinya mengharap besar bahwa anaknya dapat eling. Harapan itu seperti sebuah gelembung. Tapi tak lama kemudian harapan itu terasa diombang-ambing di antara duri-duri ketika melewati rumah Iteung yang mulai dihiasi janur. Terkutuklah kembang yang telah melayukan anaknya! Tapi Emak pasrah. Ia pun kalau menjadi Iteung akan menolak Ujang.

Sebenarnya Ujang mengalami perjalanan yang sedikit membahayakan jiwa menuju Cirata. Sudah tidak terhitung berapa kali Asep menyalip truk-truk dengan seloroh cabul pada pantat mereka dengan terlalu semangat. Seakan-akan dipanasi, truk-truk itu menyalipnya kembali dan menantang sebuah duel jalanan. Asep yang pening melihat sepupunya yang tanpa ekspresi pun meladeni. Terjadi aksi saling menyabet dan mendahului. Untung aksi itu tidak terlalu lama karena terlihat sebuah motor polisi terparkir di pinggir jalan. Elinglah Asep dan sopir-sopir truk. Mereka pun melajukan kendaraan masing-masing dengan tenang.

Sesampainya di warung apung milik Asep, diturunkanlah Ujang. Masih juga perjaka lapuk itu tampak tidak bernyawa. Asep merasa perih. Ia menyumpah dan membuang ludah. Sedikit gelisah ia mencari-cari rokok di dalam sakunya. Sial, anjing keparat. Hanya tersisa wadah yang kosong saja. Bensin pematik pun menghilang tanpa jejak. Asep menggaruk-garuk kepalanya seperti seorang pemadat frustasi ketika kemudian Ujang angkat bicara.

“Sep, kenapa banyak air? Kita di laut? Aku takut laut.”

Mata Asep berkaca-kaca mendengar sepupunya yang tiba-tiba bersuara. Setitik air mata melarikan diri di ujung matanya yang telah keriput lebih dini akibat keseringan terpapar asap djisamsoe. Dengan gaya sedikit terlalu digagahkan, Asep menggamit lengan sepupu dekatnya itu dan berkata dengan riang.

“Kita akan nonton geol Mujair. Mau ya Jang?”

“Kapan Sep?”

“Besok malam. Besok!”

Maka “besok” yang dijanjikan dipenuhi oleh geol Mujair itu ditunggu oleh Ujang. Tidak dengan riang ataupun tidak sabaran. Hanya dalam bahasa tubuh yang terlampau diam. Tapi setidaknya Ujang menunggu geol mujair itu datang. Orang yang peka dapat melihatnya. Karena pandangan perjaka lapuk itu jauh memandang Cirata yang seperti sebuah laut kecil. Padahal kan Ujang telah berujar ia takut pada laut. Tapi demi geol Mujair, ia rela memandangi ketakutannya.

Sialnya. Asep tidak tahu apa itu geol Mujair. Kalau tembang geol Mujair yang dipopulerkan oleh Ayu Ting Ting sih ia sangat fasih. Tapi masa iya Asep perlu menghadirkan Ayu Ting Ting? Lagipula Ayu Ting Ting sedang sibuk bingung sendiri karena kehilangan Ting Tingnya pada lelaki kurang ajar tidak bertanggung jawab. Mungkin Ayu Ting Ting perlu berganti nama menjadi Laila Canggung. Karena ia sedang bingung. Seperti Asep. Bingung karena telanjur menjanjikan geol Mujair pada sepupu kurang warasnya.

Menjelang ashar, Asep sudah menyerah. Ia mengaku mengarang-ngarang janji pada Ujang dan mengajaknya untuk bersenang-senang di diskotek yang baru buka di pinggir Purwakarta. Di luar dugaan Ujang menolak dengan sebuah gelengan kepala tegas.

“Tidak Sep. Aku mau nunggu geol Mujair. Kata ikan-ikan mas ia sedang bersolek sebelum manggung. Ia nanti akan muncul sehabis maghrib.”

Asep mengernyit dan terkejut. Apa maksud sepupunya itu? Ia memutuskan untuk tidak ambil banyak pusing. Selorohan tidak masuk akal sudah pasti akan keluar dari sepupu kurang warasnya itu. Oleh karenanya Asep pun duduk di sebelah Ujang. Dinyalakannya sebatang samsoe dan dihabiskan rokok itu lamat-lamat. Sambil merenungi nasib. Sambil membayangkan Iteung-nya sendiri yang bernama Euis. Sambil dilamunkannya tubuh Euis akan menjadi miliknya. Ah khayalan-khayalan perjaka lapuk yang tiada akhir. Sedih dibawakan nyiur banyu.

Waktu berlalu cepat bila kau asyik melamun dalam sendu. Itulah yang dirasakan oleh Asep. Tiba-tiba saja terdengar sayup suara adzan maghrib di kejauhan. Matahari pun mulai menggurat-gurat jingga lembayung yang indah. Asep sudah hendak beranjak masuk ke dalam warung karena pamali di luar rumah ketika maghrib tiba. Bisa-bisa ia berakhir tanpa akal seperti sepupunya Ujang. Tapi Ujang menggamit lengannya kuat-kuat sehingga mau tak mau Asep membeku dalam diam.

“Tunggu. Tunggu! Sebentar lagi ia akan keluar! Kurasakan itu!”

Terpaksa Asep kembali duduk. Ada suatu dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri. Sedikit waswas ia memandang kiri dan kanan. Jangan-jangan sepupunya itu telah dibisiki oleh kunti atau tuyul. Siapa tahu! Asep merinding dan meneteskan keringat cemas. Otaknya berputar-putar hendak mencari sebuah elakan untuk masuk ke dalam warung ketika tiba-tiba terdengar suara penembang yang jernih dan merdu dari tengah-tengah waduk.

“Digeol-geol mujaer…. Nang ning nung. Nang ning nung….”

Asep membelalakkan mata. Telinganya merasa sedap mendengar suara itu. Suara itu menggetarkan hatinya yang terdalam. Seakan-akan diharuskan untuk bergoyang, ia spontan berdiri menyambut suara indah itu. Ternyata bukan hanya dirinya saja yang merasakan getaran itu, Ujang pun sama. Mata sepupunya itu berkaca-kaca penuh haru dan kagum. Dari mulutnya ia berseru,

“Datang dia Sep! Datang!”

Dan dari tengah-tengah waduk tiba-tiba terlihat pemandangan yang paling menakjubkan. Sebentuk bayang melompat dari tengah-tengah air sehingga terbentuk sebuah ombak cipratan yang hebat. Air memercik ke mana-mana. Anehnya air yang biasa anyir dan agak keruh, malah wangi dan berwarna-warni. Dengan meredanya cipratan, bentuk itu menjadi jelas. Ternyata itu adalah seekor mujair! Mujair paling mutakhir dengan ukuran sebesar manusia. Mujair-mujair biasanya berwarna abu-abu yang jemu, tapi tidak untuk mujair yang ini. Sisiknya pelangi dan warna-warna memantul dari tubuh montoknya. Hari sudah maghrib, tapi rasanya seperti matahari sudah bangun terlalu cepat dan meletakkan dirinya di dalam sisik-sisik indah itu. Di dalam sirip-sirip megah si mujair. Dan di dalam suara indah si mujair. Oh indah sekali! Tidak ada seorang biduan pun yang dapat menyamai suara itu!

“Mustafa oh Mustafa, urat syarafmu tegang, biar saya obati dengan goyang mujaer…. Ya ya ya ya….”

Bibir tebal mujair itu bergerak-gerak dengan erotik. Mata hitam besarnya memandang Ujang dan Asep berganti-ganti dengan sebuah kerling menggoda. Menyadari dirinya telah membuat kagum, ia mengepakkan tubuhnya melenggok di udara dengan ayu. Sebuah desir melewati diri kedua perjaka yang baru kali ini disuguhi pertunjukan sedemikan spektakuler. Mereka tersihir ke dalam suara merdu si ikan mujair. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa di atas pulau eceng gondok, bermunculan sosok-sosok yang memainkan berbagai alat musik seperti calung dan rebana. Di mata mereka hanya terdapat mujair dan goyang geolnya. Habislah mereka dirayu oleh ikan cantik itu!

“Ajep ajep ajep ajep ajep ajep ajep….”

Pada bait “ajeb” yang tidak berkesudahan, si mujair mendekati kedua pemuda itu. Ia melenggok dan memamerkan sisik-sisiknya tanpa malu. Silau dan menggairahkan bagi kedua pemuda. Mujair itu mengelilingi mereka berganti-ganti seakan-akan sedang menimbang-nimbang antara kedua pemuda itu mana yang lebih ia sukai. Ia akan mengajak pemuda yang paling menarik untuk bertayub. Tapi mujair itu masih bingung, antara Ujang dan Asep, manakah yang lebih menarik bagi dirinya?

Asep menarik karena ia sedikit bengal. Lelaki sekali. Mujair itu juga mengetahui bahwa Asep senang membawakan mobilnya secara uring-uringan ketika kesal. Itu menarik hati si mujair. Lelaki yang sedikit pemarah dan mudah naik pitam selalu menggetarkan insangnya dengan riang.

Tapi mungkin Ujang lebih menarik. Karena lelaki itu tidak sepenuhnya berada di sana. Yang berada di waduk itu hanyalah sebuah tubuh yang setara dengan cangkang kosong. Jiwanya bersama seorang gadis bernama Iteung. Menarik! Mujair itu merasa tertantang karena merasa keberadaannya disaingin oleh gadis lain yang dianggap lebih molek dari dirinya. Ah ini tidak boleh! Dilarang membandingkan mujair ayu ini dengan gadis kampungan sebangsa Iteung.

Maka mujair itu mengibaskan ekornya sebagai sebuah gamitan dan ajakan agar Ujang bertayub dengannya. Melenggoklah mujair itu. Sisik-sisiknya berkilat-kilat menakjubkan. Warna-warna pelangi bermunculan. Cantik sekali. Sangat cantik. Lebih daripada kibaran rambut tebal Iteung. Lebih daripada mata bulat hitam jelinya. Lebih dari goyang pinggul gadisnya yang polos. Oh tidak polos! Geol mujair tidaklah polos! Tapi sensual dan tidak membumi. Geol itu! Geol itu membawa kedua perjaka itu melayang ke sebuah negeri antah berantah. Negeri di mana para perempuan tidak menolak mereka, malah mengagung-agungkan mereka. Negeri di mana merekalah yang tertampan dan tidak diperlukan motor ninja untuk menyatakan kekayaan. Ah geol-geol mujair! Ujang dan Asep tidak ingin berhenti. Ujang sampai menitikkan air mata haru.

Tapi hal-hal indah tentu perlu berakhir. Ikan mujair itu pun menembang penutup lagu. Sedikit lirih. Dengan sedikit terlalu menyesal. Tapi ada sedikit rayu di dalamnya. Suaranya jernih tapi gemetar dengan kadar ayu pas ketika diperdengarkannya penutup,

“Boleh dilirik. Boleh disuka. Jangan diraba. Jangan diraba.

“Boleh dilihat. Boleh dipandang. Jangan dibawa. Jangan dibawa.”

Mujair melenggok. Sosoknya memudar dan kerling warna-warna sisiknya mulai memudar. Ujang meratap dan meraung tidak terima. Asep tiba-tiba tersadar dan dirinya terkesiap melihat mujair seukuran manusia sedang melenggok-lenggok menuju tengah waduk. Ujang benar-benar tidak terima oleh kepergian ikan mujair ayu itu. Ia merengsek maju sebelum sepupunya sempat mencegah tindakan nekadnya. Ujang menggamit ekor si mujair dengan sangat tiba-tiba. Ikan mujair itu terkejut. Sangat terkejut. Ia membalikkan badan dan mata hitamnya memandang lurus ke Ujang yang sudah kasmaran setengah mati padanya. Asep membelalak. Bagaimana kalau Ujang diseret oleh ikan itu ke dasar waduk? Tubuh Asep gemetar tak karuan antara takut dan kejut. Tapi Ujang? Ujang begitu yakin tidak ingin ditinggalkan mujair itu! Mujair sensual dengan geolnya itu!

Mujair itu terdiam. Lelaki terakhir yang meraba dan memegangnya berakhir naas. Ditenggelamkannya lelaki sok itu. Lelaki itu berpikir bahwa segala yang melenggok dan bergoyang di depannya meminta dimiliki. Tidak! Itu salah besar! Mujair itu hanya senang dengan geol dan irama riang. Tapi ia bukan milik lelaki manapun! Mujair itu merdeka. Ia adalah seorang putri air. Dan sudah sepantasnya ia tidak dimiliki oleh siapapun.

Tapi ada sesuatu yang lain di dalam binar Ujang. Ada suatu kesungguhan. Suatu kepolosan. Suatu kelip yang tidak ada pada sekian lelaki yang mencari hangat di dalam geol mujair itu. Rasa itu menjalar pada tubuh dingin si mujair. Entah mengapa rasanya hangat. Mujair itu tidak pernah merasakan hangat sebelumnya. Baru kali pertama ia rasakan perasaan itu. Dan pengantar perasan itu adalah seorang perjaka lapuk bernama Ujang.

Mujair itu tertantang. Lagi-lagi tertantang.

Ia pun membalikkan badan sepenuhnya. Diulurkannya sebuah siripnya pada Ujang yang kasmaran. Rasa kasmaran itu mengalir. Seperti sengat. Seperti sentak. Sebuah perasaan ganjil tapi nyaman. Pandangan Mata si mujair terus tertempel pada kesungguhan yang terpancar dari mata Ujang. Rasa hangat itu terus mengalir. Terus mengalir. Dari telapak tangan ke sirip. Dari telapak tangan ke telapak tangan yang berasal dari sirip.

Mujair itu telah berganti rupa menjadi seorang gadis. Asep lagi-lagi terbelalak. Ia terjungkal ke belakang dan terkencing di celana ketika Ujang menarik gadis itu keluar dari waduk. Gadis mujair itu basa dari ujung kepala hingga kaki, tapi ia cantik sekali. Lebih dari Iteung. Lebih dari Euis. Dari tubuh langsatnya menetes titik-titik air yang malah menjadi akseseoris keayuannya. Rambutnya panjang hitam lebat, hampir mencapai betis. Hidungnya kecil mancung. Bibirnya rekah dalam merah yang menggoyahkan hati. Tapi ada satu kekurangan. Satu kekurangan yang menjadi penanda dirinya bukan manusia.

Insang.

Di lehernya ada insang.

Ujang membuka bajunya dan mengenakannya pada tubuh polos basa si Gadis Mujair. Dikecupnya dahi gadis itu dengan sayang dan gadis itu merona tersipu. Dengan perasaan sayang, Ujang merapikan rambut si gadis mujair. Dan mereka saling bertatapan. Lama. Penuh sayang. Bertukaran kasih. Sedangkan Asep? Asep memandangi insang pada leher gadis itu dengan ngeri.

“Tuhan. Adakah aku yang kini menjadi edan?” batin Asep dengan hati waswas kebat-kebit.

Tapi tidak. Asep tidak edan. Karena pada keesokan harinya, Ujang menjadi gunjingan tetangga-tetangganya. Mereka menggunjing mengenai Ujang yang menggandeng perempuan yang 1000 kali lebih cantik dari Iteung ketika menghadiri pernikahan perempuan yang pernah digilainya itu. Pengantin pria pun hampir turun pelaminan karena tergoda oleh kecantikan perempuan gandengan Ujang. Iteung hampir dibuatnya menangis meraung-raung kembali ke rumah karena malu. Tapi bintang gunjingan tentu saja bukan Ujang, tapi perempuan gandengan itu. Entah mengapa perempuan itu bersedia digandeng oleh Ujang yang dianggap pecundang. Sundalkah dia? Edankah dia? Entahlah, tapi kalaupun perempuan itu bersandiwara, ia melakukannya sangat baik. Karena ia merona di saat yang pas ketika Ujang mengusap rambutnya. Ia pun tersenyum di saat yang mantap ketika lengannya digamit.

Tak seorang pun sadar satu hal ganjil dari perempuan itu. Hal ganjil yang tentu akan menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaan di dalam hati mereka. Mengenai keanehan si perempuan yang memilih pecundang. Oh andaikan saja mereka lebih jeli, tentu mereka akan melihatnya! Sepasang insang di leher si gadis yang lebih ayu dari Iteung. Oh mengerikan!

Hanya Asep saja yang melihat sepasang insang itu.

Juga Emak. Emak yang tajam indera karena telah mengandung Ujang selama 9 bulan menyadari insang itu. Berderai-derai air matanya. Anaknya telah diaku oleh dedemit!

Oh Emak yang malang! Sudah punya anak pecundang, sempat edan, kini ia berjodoh dengan ikan! Nasib oh nasib! Nasib nestapa yang dibawa sebuah goyang! Sebuah giteuk geol mujaer! Oh Gusti Pangeran apa artinya ini semua!

“Nang ning nung. Nang ning nung.”

Gadis gandengan Ujang menembangkan “Geol Mujaer” di kawinan Iteung. Bergetarlah hati para hadirin. Bergetar tanpa sadar bahwa mereka sedang benar-benar dirayu oleh seekor mujair. Dan Ujang hanya sumringah dan bangga terhadap gadis mujair ayunya. Dia lebih cantik dari Iteung. Dia lebih mencintainya dari Iteung. Ikan itu lebih segala-galanya dari Iteung.

Lenggok Gemulai Ekor

Kemarin aku mencoba mencuri-curi gaya bercerita Ahmad Tohari. Ya namanya coba-coba, jadi wajar-wajar saja kalau gagal! Bahkan harusnya memang gagal! Karena Ahmad Tohari ya satu saja, Danilah juga satu saja. Dunia gak butuh dua Tohari atau dua Danilah. Satu-satu juga sudah cukup.

Tapi aku menyukai cerita yang kubikin dengan mencuri-curi spirit Tohari, jadi aku akan membaginya. Untuk senang-senang saja. Untuk menyatakan rasa senang terhadap salah satu karya Tohari yang menghadirkan goyang pinggul Srintil sebagai metafora keperempuanan.

Aneh memang, sebagai sebuah tribute pada Ronggeng Dukuh Paruk Tohari, aku malah membuat cerita tentang “kucing”. Karena kupikir kalau Tohari terlahir di kota besar, tentunya ia akan membuat deskripsi panjang lebar tentang kucing! 😀

Selamat membaca… Enjoy (?)(!)

-nyaw, melenggokkan ekor kucing seperti Srintil-

***

Lenggok Gemulai Ekor

sleeping cat

 Seekor kupu-kupu bersayap jingga terbang melintas. Ia membentangkan sayap-sayap rapuhnya menantang matahari yang bersinar malu-malu di balik awan-awan yang mulai mengumpul. Hanya beberapa spot yang berbagi kehangatan matahari yang sedang setengah bersemedi. Salah satunya adalah di atas pagar semen di depan sebuah rumah sederhana beratap seng. Pada spot hangat inilah seekor kucing abu-abu belang hitam memejamkan mata dan tidur tengkurap dengan kaki-kaki bersilang. Bermanja-manja memang sudah menjadi sifat alami kucing, tidak terkecuali untuk si kucing abu-abu belang hitam. Mungkin kucing jantan itu sekarang sedang mengejar betina. Toh dia memang sudah kumincir. Tapi tidak, kucing itu malah mendengkur di atas pagar semen. Jiwa manja felisnya menuntut untuk dibelai-belai oleh sinar matahari yang pemalu. Tak apa. Menikmati sinar matahari pun memiliki seninya sendiri bagi si kucing jantan.

Kupu-kupu bersayap jingga itu kemudian hinggap di atas hidung si kucing jantan. Tergelitiklah hidung lembab hewan malas itu. Telinganya kemudian menegak. Secara spontan, ia berusaha menepuk si kupu-kupu dengan cakar manisnya. Tapi terlambat, kupu-kupu itu malah keburu terbang dengan gaya berputar-putar yang sedikit mengejek. Si kucing jantan pun merasa jengkel karena dibangunkan dari ritual bermalas-malasannya. Matanya nyalang, bersinar kekuning-kuningan. Pupilnya menyempit segaris saking terganggunya oleh kepakan sayap si kupu-kupu bersayap jingga. Hidungnya bergerak-gerak imut karena masih geli akibat digelitik oleh keenam kaki serangga kecil jahil itu.

Si kucing jantan mengeong. Kalau ia adalah seekor harimau, mungkin akan lebih tepat kalau ia disebut mengaum. Kumis-kumisnya meremang tegang akibat getaran pita suaranya. Cakar-cakar kecil dan tajamnya keluar dari sela-sela tapaknya.

“Ah! Kurang ajar kamu kupu-kupu bodoh! Hanya karena keberuntungan sematalah kamu tidak lumat di bawah tapakku ini!”

Kira-kira begitulah arti eongan si kucing jantan. Tentu saja kemarahan itu tidak berarti apa-apa bagi si kupu-kupu jingga yang telah lama terbang kembali ke langit dan bahkan mungkin sudah hinggap di tempat lain yang menawarkan nektar. Si kucing jantan semakin dan semakin saja jengkel karena tidak ada seekor makhluk pun yang menggubrisnya. Ekornya digerakkannya naik turun, naik dan turun. Gelisah yang syahdu. Harga dirinya merasa dipermainkan oleh kepak-kepak lemah seekor kupu-kupu bersayap jingga. Ia kesulitan mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia telah dikalahkan oleh seekor serangga yang dianggapnya lemah. Meskipun si kucing jantan berusaha memejamkan mata dan kembali kepada tidur malasnya, jiwanya tetap resah. Alisnya menekuk dan mendatar secara bergantian. Ekornya masih saja naik turun, naik dan turun.

“Andaikan aku bisa menepuk serangga bersayap lemah itu!”

Begitulah pikir si kucing jantan sambil terus gelisah di dalam tidur malas pura-puranya. Matanya memang terpejam tapi pupilnya masih juga nyalang. Ah gelisah, resah, tidak dapat menerima kekalahan karena telah dibodohi oleh seekor serangga lemah. Andaikata ada saudara dari si kupu-kupu jingga, tentulah itu akan sedikit memuaskan rasa kesal dari si kucing jantan. Akan dilumatkannya semua kupu-kupu di dunia ini. Berani-beraninya mereka yang lemah menggelitik hidung mulia si kucing jantan. Tak tahukah bahwa ia adalah binatang kesayangan nabi? Tak tahukah pada zaman firaun ia adalah turunan dewi?

“Kupu-kupu, kupu-kupu.”

Si kucing jantan mengigau di dalam tidur malasnya. Terbayang-bayang dalam benaknya bahwa ia adalah seekor harimau. Ya harimau yang jantan dan gagah. Otot-otot menyembul. Punggung melengkung. Siap memangsa. Memangsa si kupu-kupu jingga. Dengan mata terfokus, ia memasang mata pada kupu-kupu yang hinggap pada rumput ilalang. Ilalang itu sedikit bergoyang. Lembut dan melambai lambat oleh angin yang sebenarnya ingin memberikan sebuah pertanda. Tapi kupu-kupu jingga itu acuh. Ia memang serangga bodoh. Tak tahu dia bahwa seekor harimau sedang bersiap memangsanya. Kupu-kupu jingga itu terus menghisap nektar dari bunga ilalang. Lambat lumat. Lidah kupu-kupu yang panjang bergerak naik turun perlahan. Dan harimau itu. Harimau itu tetap memasang mata.

Tiba-tiba, angin bosan memberikan pertanda pada si kupu-kupu jingga. Diam. Segalanya menjadi diam. Waktu berhenti sesaat hanya agar si harimau itu mendapatkan detik kemenangannya. Harimau itu menerjang. Otot berkontraksi dan moncong membuka penuh. Luarbiasa. Keren. Cakar-cakarnya terentang. Sinar matahari memantul pada bilah-bilah tajam cakar yang mengancam itu. Dan sinar itu memantul. Memantul ke dalam mata faset si kupu-kupu jingga.

Kupu-kupu jingga itu kemudian membuka sayap-sayap rapuhnya dan terbang meliuk. Panik dan sedikit linglung. Tapi entah bagaimana, entah karena inginnya alam, kupu-kupu jingga itu berhasil menghindari terkaman si harimau. Dengan liukan yang dianggap mengejek, ia terbang ke langit. Kini kupu-kupu jingga itulah yang menerjang matahari. Ialah si pemangsa yang menang. Sedangkan harimau malang itu adalah seorang pecundang. Ia duduk dengan pantat lemas dan ekor yang tidak bergairah. Matahari pun ikut-ikut mengejek harimau itu. Ditekannya sebuah sinar pada mata harimau itu. Silau. Panas. Nyeri.

“Eh, kamu ternyata tidur di sini Belang?”

Sebuah suara lembut membangunkan si kucing jantan dari khayalannya menjadi seekor harimau. Ia hendak mencakar dan menggigit pemilik suara lembut itu. Tapi si pemilik suara tidak menggubris mood buruk si kucing jantan. Dibelailah si kucing jantan dengan sayang dan dipindahkannya tubuh si kucing jantan yang uring-uringan. Tak lama kemudian si kucing jantan telah berada di atas paha hangat si pemilik suara. Empuk dan hangat. Lupalah ia pada kupu-kupu jingga kurang ajar itu. Hanya ada dia dan belaian-belaian kasih. Serta sesekali kata-kata penuh kasih sayang yang lembut. Kumis si kucing jantan bergerak-gerak senang. Ia memperdengarkan dengkur dan si pemilik suara menyunggingkan sebuah senyum kecil. Ekor si kucing jantan kembali bergerak naik turun, naik dan turun. Kini dalam sebuah irama melodis lenggok gemulai yang puas.

Menjadi alpa pun memiliki seninya sendiri.

Terpapar

Menjadikan diri sendiri terpapar terhadap keadaan di luar sendiri adalah hal yang menyakitkan. Emosi tidak diperkenankan melonjak dan wajah harus senantiasa santun. Tingkah laku yang sekecil mana pun tentunya akan menuai komentar dan penghakiman.

Sulit.

Tapi menurutku itu bukanlah masalah terbesar. Tentu ada waktu-waktu untuk menjadi cuek. Sesekali. Toh Ahok pun sering mendumel dan tetap didewakan, mengapa rakyat biasa tidak boleh melakukan itu sesekali? Tentu saja boleh. Dihakimi pun resiko.

Tapi.

Selalu ada tapi.

Hal paling sulit dicegah adalah menjadi diri sendiri yang tukang menghakimi. Saat perasaan mengambang dan meluap keluar permukaan. Radang seluruh tubuh muncul. Pikiran-pikiran buruk mulai mengambil alih. Pikiran dan perasaan busuk itu begitu kuatnya. Paling sulit adalah tidak berpikir, “Coba ada yang ke sana dan menyentil orang itu sampai demam.” atau “Coba deh orang itu dijewer sampai panas kuping.”

Oh itu yang paling dan sangat sulit!

Karena bisa jadi ada yang benar-benar mengerjakan itu. Bisa dan pernah jadi. Padahal pikiran dan perasaan yang terpendam saja. Padahal hanya ingin disimpan untuk diri sendiri saja. Tapi bisa jadi ada yang mendengarnya. Karena banyak orang yang memedulikan diriku ini. Terkadang yang paling iseng sekalipun.

Oleh karenanya. Lebih baik diriku saja yang memaki dengan kasar dan tak karuan. Biarlah orang-orang menghakimi diri ini. Daripada aku sendiri yang menjadi hakim. Karena aku adalah hakim yang buruk. Buruk sekali.

Saking buruknya, tak baiklah aku memendam perasaan dan pikiran sendiri. Karena bukan hanya seorang diri sendiri saja yang mendengarnya. Bisa dan pernah jadi ada yang mendengarnya. Bahkan melaksanakannya.

Sulit. Sulit sulit sulit.

Menjadi terpapar itu adalah bersiap menjadi rapuh. Bersedia untuk dikritik. Adakah orang tahu maksud seseorang membiarkan perasaan dan pikirannya terpapar? Apakah itu selalu hanya karena perhatian? Bagaimana dengan orang yang cukup perhatian dan malah berlebih? Apakah masih karena itu seseorang memaparkan diri?

Tentu ada alasan yang lebih gawat dan mendesak.

Daripada nanti ada yang pergi ke sana. Daripada ada yang menyambangi alam pikiran bawah sadar yang ada di sana. Mending kupaparkan yang ada pada diri ini. Karena yang di sana tentu berpura-pura tuli dan tidak peduli. Maka biarkan kubunyikan pada semesta. Redamlah perasaan itu seperti setitik embun di dalam samudera.

Tentu anda-anda yang memerhatikan embun sangatlah jeli. Jadi bersyukurlah. Aku pun bersyukur pada kejelian anda yang memerhatikan perasaan dan pikiranku yang seperti titik embun kecil itu. Terlebih lagi aku bersyukur pada anda yang datang dan menyambangiku. Bukan karena aku memang meminta perhatian. Tidak. Perhatian yang tersorot pada diriku ini sudah jelas berlebih dalam kadar yang luarbiasa. Tidak. Ada bagusnya menyambangiku. Agar aku tidak berpikir buruk. Agar aku tidak merasa buruk. Agar aku dapat memberikan perspektif pada kedua keburukan itu. Agar yang turut mendengarkan pikiran dan perasaanku mengerti bahwa sesuatu tak selalu perlu didengarkan dan dilaksanakan.

Beberapa perasaan dan pikiran biarkanlah terpendam. Kalau kata seorang teman baik, “Nikmati perasaan buruk sekalipun.” Iya. Benar sekali teman. Aku pun ingin menikmatinya sendiri seperti seorang ayu yang sendiri.

Tapi,

Selalu ada tapi!

Tapi tak bisakah mereka bersikap cuek? Dan tentunya baik sekali bila yang turut mendengarkan mengabaikan beberapa seruan.

Karena apakah itu baik untuk diri mereka? Bukankah melaksanakan yang buruk meskipun dengan niatan baik akan dihitung? Kalian-kalian pun akan bertemu akhirat! Kalian disebutkan dalam buku besar itu!

Maka janganlah pergi ke sana. Meskipun pikiran dan perasaanku meronta. Mungkin bahkan merintih. Karena itu adalah pribadiku sendiri. Tidak semua dapat diredam oleh kata. Tidak semua siap dilayukan oleh doa. Ini tentu adalah pergumulanku pribadiku sendiri. Maka biarkanlah aku berperang. Abaikan saja ronta dan rintih itu. Meskipun berisik tentunya bagi keberadaanmu yang peka.

Ya lebih baik dirimu itu membiarkan diriku terpapar. Biarkan aku belajar. Dan dirimu. Mungkin lebih baik terpapar juga. Pada teman-temanmu sendiri. Biar kalian bisa mengobrol dalam bahasa yang sama.

Dan jangan. Jangan pergi ke sana.

Meskipun secara selintas aku memintanya.

Wah jangan lakukan. Jangan.

Karena tentunya aku pun tak menginginkan keburukan. Bahkan bagi kalian yang mendengarkan perasaan dan pikiran ini.

Biarkan perasaan dan pikiran ini berendam dalam semesta. Hingga luruhlah dan menghilanglah dia. Dan dirimu. Hiduplah layaknya dirimu yang seperti angin. Bersama teman-teman anginmu. Aku pun akan hidup seperti layak adanya. Bersama dengan teman-teman yang seperti diriku. Yang terkadang bertanya mengapa aku terkadang pengecut dan tidak santun.

Karena aku begini adanya. Berteman kata. Beriang kalimat.

Tidak semua indah. Tidak semua baik. Tidak selalu senyum. Tidak melulu tawa.

Tapi itu tidak mengapa bukan? Karena kita adalah teman. Kalau teman tentulah kamu tahu apa yang kumaksud. Dan tentulah kamu tahu betapa sulitnya untuk tidak mengendalikan pikiran dan perasaan yang dapat didengar oleh mereka yang seperti angin.

Mereka bisa terbang. Bisa dan pernah mereka terbang.

Tentulah mudah bagiku agar mereka tidak pergi. Cukuplah aku menjadi tidak terpapar. Cukuplah aku diam di kamar sendiri dan bermunajat setiap detik. Tapi aku cukup nekad. Ralat. Aku sangat nekad. Aku ingin terpapar. Aku pun ingin hidup.

Bukankah begitu keinginan jiwaku ketika diturunkan ke bumi?

Maka kupikir cobaan yang paling berat itu adalah dengan menjadi manusia yang terpapar.

Sulit bukan untuk tidak merasa takut pada hal-hal yang ada di luar diri? Ah sulit!

Tapi untuk apa hidup kalau terus takut? Hanya karena beberapa orang tidak mengerti dan paham, lalu haruskan aku bersembunyi? Tidak akan ada yang aku dapatkan di dalam persembunyian!

Sulit cukup sulit.

Tapi biarlah. Manusia memang dirangkai untuk mengalami kesulitan dunia. Yang mudah-mudah tentu ada di akhirat.

Bagi yang percaya maupun tidak.

Bagi anda yang terlihat maupun tidak.

Kutu Kupret

Dasar bajingan bangsat kutu kupret. Aku bukan salah satu sundalmu yang bisa menyenangkan dirimu ketika kau beralih fokus. Dasar bajingan bangsat kutu kupret. Aku bukan salah satu pengenyangmu ketika kau membutuhkan suatu makanan penutup lainnya. Dasar bajingan bangsat kutu kupret. Kamu butuh dijatuhkan seperti seekor anjing tua yang sudah buta. Kau tahu apa yang mereka lakukan pada anjing yang sudah tua dan buta? Mereka menyuntiknya mati. Dasar bajingan bangsat kutu kupret. Bau busukmu tercium hingga bermil-mil jauhnya melayukan bunga-bunga ayu. Dasar bajingan bangsat kupret. Kau pikir kau ini syeikh arab apa? Kiri kanan belakang menggondol satu perempuan dari tiap jenis. Dasar bajingan bangsat kutu kupret. Kau pikir kau ini siapa? Apa yang kau coba buktikan pada wanita tua sepertiku? Bahwa aku masih bisa dijadikan sundal olehmu? Dasar bajingan bangsat kutu kupret!

Phuah Phuah Phuah!

Wanitaku

Alam semesta sedang mengajari aku menjadi seorang wanita. Keluwesan di dalam gerakan daun yang menari diterbangkan angin. Siulan indah gemerisik debu terjatuh. Kehangatan intipan cahaya matahari yang jatuh dari pelupuk-pelupuk awan. Dan hujan. Sejuk dan menenangkan. Kuat dan lembut pada saat yang sama.

Alam Semesta sedang mengajari aku menjadi seorang wanita. Seorang perayu dan pencinta ulung. Perayu yang meleburkan dirinya di dalam suara harmoni alam dan lantunan sayu sedan kata-kata indah. Pencinta yang memberikan segala yang ada pada dirinya dan malah menambah kekayaan hatinya. Hingga ia bermassa dan menarik segala rupa semesta ke dekatnya.

Wanita yang sejati.

Tentunya wanita yang sejati tidak pelak jauh dari ujian. Pada saat satuan-satuan ajaran kewanitaan semesta menjangkau jauh ke dalam relung hatinya, mulailah ujian itu. Apa aku tahu bahwa aku adalah seorang wanita? Apakah aku tahu rasanya menjadi seorang wanita? Kenalkah aku pada sis-sisi wanitaku?

Ya sisi-sisi itu.

Lembut dan hangat dalam mengayomi setiap hati. Sakit dan nyeri ketika merasakan empati. Tetapi kuat dan mantap menghadapi deraan sehingga cantiklah setiap lekuk liatnya. Ia menggemakan keindahan sehingga bergetarlah sebuah gelombang tak berujung. Banggalah tiap sendi alam semesta karena ia telah bersatu sepenuhnya denganku yang menuju kewanitaan sejati.

Indah memang seorang wanita sejati, tapi ingat ia tak pelak dari ujian.

Karena keindahan tak hanya membangkitkan sisi-sisi indah semesta, sisi-sisi buruk pun ingin menjamahnya. Merenggut kemurniannya. Sebuah upaya sakit untuk menyatu dengan keindahan. Sisi lain cinta. Rasa ingin menjaga dan melindungi pun dapat membangkitkan rasa ingin mengganyang dan menghabisi.

“Aku tidak bisa menghadapi ini Semesta! Aku belum menjadi wanita yang utuh!” seruku pada inti sari alam.

“Kamu telah siap sayang! Rengkuhlah pecinta dan perayumu. Berdoalah perlindungan dari musuh-musuh yang ingin mencuri feminitasmu!” Semesta menjawab tanpa ragu.

Ditiupkanlah senandung seorang perempuan ke dalam angin. Menarilah dedaunan. Menari seperti pinggul seorang penari. Berputar dan lentik menyapu tanah. Melompat dan meloncat lincah. Akan kemanakah perempuan dalam angin itu? Apa ia sedang mengabarkan kabar pada dunia bahwa telah terbit seorang wanita di dalam diriku?

Ujian seorang wanita sejati. Sanggupkah aku melewatinya?

“Mari kita lihat. Mari kita lihat,” bisik alam semesta.

“Semesta, kalau musuhnya dalam bentuk kegamblangan maskulin, mungkin aku akan kalah,” kataku.

“Ah,” alam semesta terpekur. “Kau telah memanggil ujianmu sendiri sayang.”

Aku tidak terlalu mengerti apa maksud alam semesta pada saat itu. Tapi tak lama untuk bagi diriku untuk menyadari maksud kata-katanya. Dan tentu bukan suatu yang menherankan. Karena kewanitaan akan menarik laki-laki dalam diri orang-orang. Laki-laki itu bisa kuat, pemberani, ksatria. Mengagumkan. Atau mungkin kasar, dingin, dan penuh berahi. Seekor banteng. Banteng yang liar.

Ah benci aku. Benci pada sisi lain lelaki. Takut sekali. Bisa habislah diriku ini dicincang oleh kekuatan tanpa tedeng aling itu. Aku ini lembut dan halus karena alam semesta telah mengajariku untuk menjadi seorang wanita.

“Tapi kamu belumlah menjadi wanita sejati. Luweslah seperti angin. Ambillah kekuatan dari sapuan ombak. Jadilah perayu dan pecinta ulung yang tersembunyi di dalam kewanitaan itu.”

Meringislah aku. Kutatap medan perang di hadapanku. Terhampar ladang yang dipenuhi banteng-banteng bermata nanar. Merah dan tidak fokus. Tubuh, pikiran dan jiwa-jiwa yang tidak tersinkronisasi. Aku telah menyebutkan nama musuhku, dan mereka semua mencariku. Hendak menundukkan kekuatan feminin di dalam diriku. Hendak mencacatkannya ke dalam sudut terjauh. Sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi.

Mereka mabuk. Mabuk dalam fantasi liar dan buas mereka. Tempat wanita-wanita hanya tergolek ketika disentuh. Atau mengatakan kata-kata yang memutar kata tidak menjadi iya. Suatu surgawi para binatang liar yang menginginkan feminitas sesuai ingin mereka.

Adakah mereka berkaca ke dalam kewanitaanku? Mencoba mencari pemenuhan fantasi itu? Bisa jadi. Lalu akankah aku bersembunyi? Haruskah aku bersembunyi karena takut. Ataukah perlu aku maju dan berperang. Mengkomando dan melasso banteng-banteng itu.

Dengan apa?

Aku ini punya kemampuan apa?

“Kata. Aku akan menggunakan kata,” gumamku sendiri.

Jadi para banteng, bolehlah mereka berfantasi ketika aku hadir di antara mereka. Di dalam kepala mabuk nanar mereka, para perempuan bercumbu dan bercengkrama memenuhi hasrat permukaan mereka. Tapi aku menggali lebih dalam dari perempuan-perempuan dalam kepala mereka. Merengkuh dan menggenggam inti keliaran dan kebuasan yang menyebabkan rasa mabuk itu. Kuguncangkan inti hitam padat itu hingga gentarlah dia. Kuajari inti itu untuk menghormati diriku. Karena ia sedang berhadapan dengan seorang wanita sejati. Wanita sejati itu aku. Tegas-tegas kukatakan padanya untuk tersadar dan bangun ketika ia seruangan dengan seorang wanita.

Banyak dari banteng ini yang meleos. Takut pada kewanitaanku. Takut pada wajah inti diri mereka yang buruk. Malu karena maskulinitas mereka bukanlah seorang ksatria. Tapi ada juga banteng yang menyadari mabuk dalam kepalanya. Maka tersadarlah mereka. Menunduklah mereka dengan hormat hingga ksatria yang tersembunyi pun berdiri

Tersenyumlah aku pada ksatria-ksatria itu. Betapa memesonanya mereka. Indah sekali kekuatan mereka. Alam semesta pasti gembira menyambut penyatuan dengan mereka. Si perayu dan pecinta di dalam kewanitaanku pun bergetar menghadapi para ksatria.

Merona, memerah. Manusiawi. Senangnya menjadi wanita!

“Alam semesta, aku telah menjadi wanita sejati!” seruku.

“Belum sayang. Tidak sampai perayu dan pecintamu berhasil mencumbu seorang ksatria. Tidak sampai perayu dan pecintamu menjadi seorang ibu yang elok,” jawab alam semesta lembut.

“Kapankah itu?”

“Doakan saja sayang. Doakan. Untuk saat ini jadilah wanitaku. Wanita milik alam semesta.”

Aku tersenyum. Menjadi wanitaku sendiri? Menarik.

-nyaw, terbuai dalam nuansa wanita dan bertanya-tanya apa ada baiknya dia mencari nuansa maskulin yang “kering” sekarang ini (?)-

Tatapan Jeli

Selagi eling dan sebelum terbit edan-nya, aku mau menulis lagi.

Catatan: Jeli bukan Jelly. Jelly itu donat.

Noni berambut kiwil itu bertanya-tanya tentang kebosanan. Dia sedikit memaksa. Padahal aku kan sudah membuat tulisan setoran ya untuk hari ini. Ya noni itu ingin sebuah jawaban mengenai “bosan”. Karena ia cepat sekali bosan dan itu membuatnya tidak fokus dan ingin mengerjakan banyak hal sekaligus. Ia pikir kalau ada suatu alasan besar untuk menjalani hidup ini, maka sepertinya ia akan berkompromi dengan kebosanan itu.

Ah klasik.

Kebosanan ya. Kadang aku sendiri pun sangat iri dengan orang-orang yang memiliki kehidupan yang sudah stuck di dalam kebosanan. Bagiku itu seperti pencapaian. Karena pada saat bosan, mentok, manusia disuruh untuk mengambil keputusan yang berat. Mau berpindah fokuskah? Mencoba menggali potensi-potensi yang terdalam? Atau bagaimana dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak lumrah. Sesuatu yang disebut dengan melatih “tatapan jeli”.

Sekali lagi aku ingin menekankan bahwa “jeli” bukan “jelly”.

Tatapan jeli adalah inovasi luar biasa. Itu adalah tahap selanjutnya bagi manusia yang telah melaksanakan segalanya pada piramida hingga keluarlah klise: lahir, sekolah, kerja, nikah, mati masuk surga. Ah kau pikir apa semudah itu? Apa saat menjalani semua itu niatmu terentang panjang sampai akhirat? Ah hebat lah kalau memang begitu. Tapi rasanya tidak mungkin seperti itu. Makanya pada saat memiliki suatu stagnansi, itu artinya saatnya “tatapan jeli” dipekerjakan. Tatapan jeli adalah alat untuk bersyukur lebih dalam dari sebelumnya. Pahalanya besar.

Itu menjelaskan bukan.

Mengapa segala hal yang berbau agama itu berbentuk rutinitas.

Ya karena itu melatih tatapan jeli-mu. Untuk menyadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan meskipun dari luar terlihat sama, sebenarnya tidak pernah sama. Karena manusia berevolusi dan berubah sehingga doa-doa yang disalurkannya dalam karya-karya tak pernah terlihat sama. Seorang jeli tentu tidak akan luput pada perbedaan semacam ini! Apalagi Tuhan yang menciptakan “kejelian”.

Makanya kukatakan pada si noni kiwil,

“Noni, kalau kamu tidak bersabar pada sesuatu, ya apapun itu tidak akan terlihat berubah. Waktu kan tidak lari sana kemari seperti kamu. Jadi bersyukurlah bahwa kamu sedang mendapatkan ujian ‘kebosanan’ artinya ‘tatapan jeli’mu sedang dilatih.”

Si noni kiwil menundukkan kepala sambil menggoyang-goyangkan sebelah kaki dengan kolokan. Ia pun berkata,

“Lalu bagaimana dengan donat jelly itu? Kamu nggak bagi aku?”

Rasanya aku ingin menjedotkan kepala ke tembok. Bagaimana sih si noni ini! Kurasa aku telah menjelaskan panjang lebar dengan percuma. Pada akhirnya aku hanya dapat menghela napas panjang dan menjelaskan bahwa tidak pernah ada donat jelly dari awal pun. Si noni pun pergi dengan sedikit mencibir dan cepat-cepat kabur. Rambut kiwil terikatnya bergoyang melambai-lambai.

Sungguh tidak sopan!

-nyaw, berlatih tatapan jeli-

Kafir dalam Pink

Kupikir mood semesta sedang pink saat ini. Soalnya rasanya semua orang berbicara mengenai romansa dan budaya romansa mereka. Aku bertemu dan mengobrol dengan beberapa teman, dan sepertinya nuansa pinknya itu kentara sekali. Apalagi salah satu di antara mereka akan menikah. Wah, sepertinya seluruh ruangan itu menjadi pink rosa saking kentaranya perasaan cintanya pada calon suaminya.

Tapi di lain pihak, aku merasa budaya romansa yang kukenali secara pribadi menjadi semakin payah saja. Apalagi secara tidak sengaja aku berhadapan kembali dengan perasaan tidak nyaman pada satu titik dalam bidang pink itu. Dan karena perasaan tidak nyaman itu cukup kuat. ia bergulir dan pergi mengajak teman-teman canggungnya hingga membuatku jengkel. Getir pun kembali ke dalam hati.

Padahal sebelumnya aku sudah cukup damai tanpa warna pink, lalu kenapa warna pink itu malah melambai-lambai dari berbagai arah? Ada banyak warna di dunia ini, kenapa pink begitu egois dan ingin ikut sedikit-sedikit mewarnai duniaku?

Sungguh mengesalkan. Pink yang mengesalkan.

Jadi aku merengut. Bersamaan dengan merengutnya wajahku, temanku yang memiliki pengalaman-pengalaman pink yang lebih menyebalkan dan mengesalkan bercerita mengenai nuansa pink di tempat kerjanya. Ia bercerita tentang perselingkuhan dan perempuan yang mengalah untuk memenuhi rasa sepi si laki-laki. Makin-makin saja wajahku merengut. Karena meskipun usiaku hendak menginjak 28 tahun, aku tetaplah seorang gadis kecil di dalam bidang pink. Aku tidak senang pada pengkhianatan karena alasan sesepele “ranjang yang dingin”.

Ya lalu kalau tidak mau “ranjang dingin”, ya bukankah laki-laki perlu berinvestasi dalam menghangatkannya? Menikah aja daripada berperilaku memalukan seperti itu!

Tapi penyelesaiannya tidak semudah itu rupanya bagi dunia fana ini. Ada ekonomi, ada kecocokan keluarga, ada komitmen, dan kawan-kawan lain dengan nama-nama yang rumit. Astaga, begitu membingungkan hal-hal yang terlibat dalam warna pink yang manis itu. Ya untunglah warna pink itu begitu imut sehingga orang-orang bersedia terlibat dengan sukarela. Coba romansa itu diwarnai hitam atau merah. Sepertinya itu adalah warna yang agak tidak komprimistis.

Jadi aku yang merengut mulai merasa semakin tidak suka pada si nuansa pink dalam semesta. Dia seperti anak kucing unyu yang menunggu-nunggu untuk mencakarmu dan mencuri ikan asin dari piringmu. Ditambah pelaku-pelaku di dalam bidang ini benar-benar orang yang lepas dan ringan seakan-akan beromansa pink adalah pekara yang tidak serius.

Iya memang begitu. Pink itu ringan dan tidak serius, tapi kamulah yang harusnya mengambil alih komando ketegasan pada si pink!

Ah jengkel, jengkel, dan jengkel.

Malamnya aku berangkat tidur dalam jengkel. Herannya aku tertidur cukup pulas. Cukup pulas hingga rasanya ada yang meneriakiku agar cepat-cepat bangun. Kupikir sudah subuh. Tapi ternyata itu jam 02.30. Astaga aneh sekali.

Ya sudah saja aku bangun akibat teriakan itu. Lagian teriakan itu bersikeras agar melihat footnote 1042 di buku SOP. Kubuka SOP untuk melihat apa sih yang begitu pentingnya dilihat malam-malam buta seperti itu.

Saat melihat footnote 1042, membekulah diriku yang sebelumnya setengah linglung. Ini yang kubaca:

20141105_064423Hah? Pembicaraan tentang kafir? Di tengah-tengah nuansa semesta yang pink? Apa pula!

Merengut-rengut, aku shalat malam saja sekalian dengan tidak khusyuk. Kembali tidur pun aku masih bertanya-tanya apa hubungannya bidang pink dengan kafir? Bukankah saat seseorang berbicara tentang “kafir”, hal itu akan berhubungan dengan “iman”. Ya lalu apa hubungannya? Adakah manusia yang “kafir” ketika berurusan dengan bidang pink?

Aku mencari-cari image seorang kafir dalam otakku. Dia adalah seseorang yang tidak/belum memiliki kepercayaan pada Tuhan. Itu membuat dirinya bingung, kadang malah getir dan sedikit terlalu keras pada dirinya sendiri. Orang yang melukai dan menghukum dirinya sendiri karena merasa bahwa dirinya berjalan di atas bumi dengan kekuatan sendiri. Itu tidak menguatkan. Itu melemahkan. Karena manusia mengetahui ia lemah, jadi bayangkan berjalan dengan lemah. Oh mengerikan. Kubayangkan hati seorang getir. Tidak percaya akan penyelamatan dan bantuan. Perih sekali!

Lalu kuingat-ingat. Ah benar. Banyak sekali kafir dalam pink! Mereka yang hatinya menjadi keras karena pengkhianatan. Mereka yang takut pada tanggapan manusia lain. Mereka yang memasang muka masam karena tidak paham pada keriangan warna pink. Mereka yang menahan diri dengan dalih-dalih norma dan agama padahal sesungguhnya tidak dapat mengungkapkan perasaan dengan kreatif. Ah kafir! Kafir dalam pink!

Dan aku salah satunya!

Maka aku memanggil si orang beriman di dalam hatiku. Ia pemberani dan jenaka. Ia tidak takut pada hal lain selain Tuhan. Ia percaya pada kekuatan Tuhan dan berpasrah dalam kekuasaan-Nya. Cita-citanya adalah menjadi pion Tuhan dan bersekutu dalam perwujudan rencana-Nya. Biarlah itu menjadi apapun juga. Mungkin itu adalah pelaku semua warna-warna pelangi. Ya mungkin saja pink sekalipun!

Si orang beriman dan kafir dalam pink. Mereka berdiskusi dan berdebat secara periodik. Aku bersorak dan menjagokan si orang beriman tentunya!

Aku pun bertanya-tanya,

kalau orang lain menyoraki siapa ya?

Saranku sih, soraki pihak yang telah berkali-kali menang!

-nyaw in pink-