Pejuang dengan Hati Besar

Malam ini saya akan menulis acak.

Sekian pemberitahuan dari saya

-nyaw, acak-

***

Pejuang dengan Hati Besar

chinese warrior

Bau bawang putih dan minyak wijen menari berganti-ganti di dalam ruangan dengan satu jendela kecil dan satu pintu yang tidak bisa dikunci dari dalam. Seandainya AC tidak dinyalakan, mungkin dia akan membuka pintu atau jendela. Tapi dia tidak melakukan keduanya. Selain enggan mematikan AC, ia pun enggan memelototi pintu maupun jendela dengan awas. Karena malam sebelumnya seekor tikus merangkak masuk dan membuat geger. Ah sudah cukup keributan semacam itu. Biarkan bau bawang putih dan minyak wijen ini memenuhi kamar yang dingin oleh AC. Biarkan saja.

Dia, dengan sumpeknya sendiri oleh tarian bawang putih dan minyak wijen melanjutkan makan dalam sunyi. Temannya telah mengomentari kebiasaan anehnya untuk tidak menyalakan TV ketika sedang sendiri di dalam kamar, tapi dia acuh saja. Terkadang TV sama memusingkannya dengan komputer. Layar berpendar dari layar berpendar lainnya. Bedanya, layar yang satu dapat kita katai, layar yang satunya mengata-ngatai. Keduanya bukan hal yang menyenangkannya. Jadi dia memakan makanan berbau bawang putih dan minyak wijennya dalam suasana yang hening.

Mungkin dia makan dalam suasana yang sedikit terlalu syahdu. Seperti orang yang memiliki dunia sendiri. Dan mau tidak mau ada yang mengomentari. Entah iseng atau memang ingin menemani, tapi malam itu. sambil dia mengunyah dan menikmati tarian bawang putih dan minyak wijen, sebuah suara menyapanya,

“Carikan gadisku.”

Dia membeku. Refleks membeku. Lalu ia mengumpat dalam hati. Mengatai mengapa ia melakukan sebuah reaksi yang begitu jelas. Jadi sudah pasti yang mengajaknya berbicara itu menyadari gerakan atau non gerakannya sekecil apapun. Dan memang benar, si pemilik suara kembali menyapa,

“Bau masakanmu seperti bau masakan gadisku. Kenalkah kamu?”

Dengan terpaksa, dia mengangkat muka dari piringnya yang sudah hendak kosong masuk ke dalam perut. Sambil setengah mengunyah dengan bekas kecap dan nasi kering di pinggir mulut ia menengadah. Diperlukan sedikit lagi. Karena pemilik suara itu melayang sekitar di atas kepala dengan punggung yang ditegakkan dan bahu yang tampak kuat. Matanya menatap tajam, kendati berbentuk sipit dan kecil. Kepang di belakang kepalanya panjang dan berwarna pekat. Tinta cina pekat. Sebuah bayang seorang pesilat. Seperti menonton film di RCTI tahun 90-an.

Dia yang disapa merasa kecut lalu memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengar atau melihat pesilat itu. Baginya pesilat itu adalah sebuah bayangan. Mungkin semacam efek samping terlalu banyak memakan bawang putih dan minyak wijen. Atau semacam dosa karena terlalu banyak menambahkan micin.

“Tidur tidur tidur. Tidur tidur tidur.”

Dengan kepala berat, dia merebahkan badan ke atas tempat tidur. Tidak gosok gigi atau cuci muka. Ia kesulitan menuju kamar mandi ketika ada sesuatu yang melayang-layang di depannya dan menanyakan hal yang dia sendiri tidak mengerti. Bukan hanya saja tidak mengerti, tapi tidak mau dia mengerti. Kehidupannya sendiri sudah cukup merepotkan tanpa harus menambahkan hal-hal merepotkan semacam ini.

Tapi pesilat itu tetap berada di ruangan itu. Dengan matanya yang tajam memincing. Dan dengan kepangnya yang terpilin. Dia tampak masih ada perlu. Tapi orang yang bisa memenuhi keperluannya malah memutuskan untuk acuh dan tidur.

-bersambung-

Leave a comment