Sunyi Senyap Sendiri

Belakangan saya menulis dengan sedikit jarang. Itu menimbulkan sedikit rasa berdosa. Karena sebenarnya banyak sekali yang mau saya ceritakan. Banyak dan banyak sekali. Tapi bersamaan dengan banyaknya cerita, saya terserang penyakit radang tenggorokan dan saya sudah meminum obat macam-macam tapi malah terus saja batuk itu hebat. Baru belakangan ini radang itu mengempis, setelah ke dokter THT dan meminum obat yang membuat sedikit maag. Tapi itu tidak masalah. Yang penting sembuh dan bisa berkonsentrasi. Pasti pasti bisa. Tapi untuk sementara ini saya perlu menikmati seni dalam bersantai dengan tidak melakukan apa-apa. Percayalah, itu susah! Sangat susah! Selalu saja timbul rasa perlu menulis dan membaca beberapa buku yang “mencerdaskan”. Tapi sakit selalu menjadi cara terbaik untuk memaksaku tiarap dan memikirkan beberapa hal.

Dan aku mulai memikirkan mengenai kesendirian, kesepian. Rasa yang aneh. Kadang saat perasaan itu datang, rasanya badan sendiri pun asing. Lalu kau bercermin, “Siapa itu? Siapa yang ada di sana?”

Perasaan yang membuat banyak orang merinding dan meremang. Perasaan yang konon dapat membunuh dalam jangka lama. Katanya begitu. Ada penelitiannya. Tapi maaf saya lupa artikelnya. Pokoknya ada penelitian semacam itu.

Padahal sebenarnya mengatasi kesendirian dan kesepian itu gampang. Pada saat perasaan itu datang, bercerminlah dan berkenalanlah dengan dia yang ada di sana. Wawancarai dia habis-habisan. Dan jangan menampik apa-apa dirinya yang di sana itu. Jangan tampik karena itu adalah diri kita saat ini! Kenali dia dan terima baik-baik.

Tapi tentu saja semuanya gampang kalau kau ingat. Aku akan memberikan sebuah nasihat yang alim. Saat merasa lupa, selalu bukalah buku SOP. Di sana ada semua-semua yang butuh ditemukan. Itulah guna buku itu sebenarnya!

Sepertinya saya mulai melantur, padahal saya hanya bermaksud memasang sebuah cerpen. Sedikit banyak bercerita tentang rasa kesendirian. Perasaan yang mengerikan tapi dapat digunakan untuk hal-hal berguna. Kalau kau cerdik!

Seperti biasa, jangan pedulikan hal-hal teknis atau semacam itu. Nikmati saja. Semoga senang dan selamat menikmati!

-nyaw, menggunakan saat sunyi senyap sendiri-

***

Sunyi Senyap Sendiri

ilustrasi kumcer 1 - 02 monster

Belakangan ini temaram tidak pernah sepenuhnya kelam. Seperti hitam tidak pernah sepenuhnya gelap. Di dalam hitam selalu ada semburat merah. Sebuah warna yang timbul tenggelam tapi tidak pernah sepenuhnya hilang. Seperti warna langit malam ini. Merah yang hitam. Merah yang hitam seperti darah yang menjelma pekat. Seperti tinta yang merembes lekat menembus pori-pori sepersekian per mili. Seperti beban yang dibawa Satya semenjak ingatannya lahir bersamaan dengan masa-masa yang dianggap telah hilang.

Bila hitam dianggap sebagai simbol kejujuran, maka Satya berani bilang itu kebohongan dan tipuan. Satya tahu apa itu hitam. Hitam adalah warna bagi mereka yang ingin menutupi kejujuran. Menutupi warna-warna yang lain dengan dominasinya yang redup redam. Di dalam hitam seseorang dapat menyelam, berpikir akan menemukan kebenaran warna di dalamnya. Tapi di dalamnya hanya ada kolam yang menenggelamkan. Semakin pekat dan semakin redup redam. Orang yang bijaksana tahu bahwa hitam tidak pernah terurai. Semua yang setua jaman akan tahu kebijaksanaan itu.

Maka Satya tidak pernah membiarkan dirinya hitam. Karena dia tahu warna itu akan menenggelamkannya. Menyeretnya ke dalam kolam yang dalam. Dan Satya tidak akan pernah keluar. Dia tidak punya kekuatan. Dan Satya ragu, apa Tuhan akan ada untuknya seandainya ia terseret ke dalam palung yang dalam. Akankah Kuasa itu menyelamatkannya, atau menyuruhnya tenggelam? Satya tak tahu dan Satya tak mau tahu. Lebih baik tidak menjadi hitam.

Oleh karenanya ia memilih putih. Putih itu baru benar. Putih lentur dan dapat diurai menjadi warna-warna. Putih akan selalu lebur di mana pun ia berada. Satya ingin putih. Satya memilih putih. Maka Satya harus putih. Maka Satya menjadi putih.

Tapi bagaimanapun jiwa Satya tua. Berasal dari masa-masa yang telah dilupakan. Dan hampir melebihi tuanya jaman itu sendiri. Dan semua bijaksana tahu, jiwa yang tua tidak pernah lengkang dalam putih. Selalu ada setitik hitam. Selalu ada noda hitam. Karena kehidupan akan selalu menorehkan luka dan meninggalkan sebuah tanda pengalaman. Jadi di dalam jiwa Satya ada noda hitam. Setitik noda hitam.

Andaikan Satya tahu bahwa noda itu adalah yang menjadikan seorang manusia manusia, maka ia tidak akan kelimpungan. Dan ia tidak akan pernah menyesali noda di dalam hatinya itu. Ia malah akan menggunakan noda itu berdoa dan bertobat. Seperti sebuah switch on. Saat kau sibuk merindu Tuhan, pijitlah noda itu. Semburatkan pada hati agar sedikit hitam dan katakan,

“Tuhan, Tuhan, saya bernoda! Maka jangan tinggalkan saya. Bersihkan saya, bersihkan saya!”

Berkali-kali, berkali-kali seperti seorang manja. Dan itu tidak mengapa, karena kau menyatakannya pada Tuhan. Dan biar saja orang-orang mendelik dengan tidak suka, karena itu urusanmu dengan Tuhan. Dan tidak perlu merasakan sesal dalam sumpah serapah. Karena noda telah menjadikan seorang manusia manusia. Selamat dan sukses!

Andaikan Satya dapat merasakan riang dan gembira yang sedemikian. Tapi tidak. Hatinya tetap resah. Ia memikirkan sebuah noda hitam di dalam jiwanya yang menempel seperti seekor lintah yang menyebalkan. Noda itu tidak akan lepas sampai ia kenyang. Kenyang mengganyang jiwa Satya yang bersusah payah agar tidak terserap dalam hitam. Lintah serakah yang seakan menjadikan Satya seorang tawanan.

Padahal Satya bukan tawanan lintah hitam. Dan tidak ada hal semacam noda yang bisa menyerang. Karena dirinya dan diri noda adalah satu. Satya adalah manusia yang bernoda. Sama seperti semua orang.

Tapi ia belum tahu. Seandainya ia tahu hal itu, maka ia tidak akan menjadi gamang menghadapi tolakan dan cobaan. Ia tidak akan sakit hati ketika teman-teman memalingkan muka seraya menertawakan,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah berbuat benar seumur hidupnya.”

Kalau ia tahu kebenaran, maka Satya tidak akan pernah sakit hati ketika keluarganya meludah dan mencemooh di depan mukanya seraya berkacak pinggang berkata,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah melakukan apapun untuk darah dagingnya sendiri.”

Dan jika ia menyadari kebenaran, maka Satya tidak akan pernah sakit hati ketika orang-orang terkasihnya menjadi sedih dan tertekan, melengkungkan badan perih sambil berkata,

“Lihat Satya. Lihat lelaki yang tidak pernah memerhatikanku sepertiku ini.”

Seandainya Satya tahu kebenaran, maka ia akan tahu bahwa itu bukanlah tentang dia, tapi tentang mereka. Tentang mereka yang hanya dapat melihat sepercik noda hitam pada lembaran kertas putih. Begitu kontras terang. Hanya hitam saja yang terlihat, padahal hitam itu hanya sebuah di antara putih. Mereka kadang lupa kalau hitam itu terlihat karena latar pucatnya putih.

Tapi Satya tidak tahu kebenaran. Maka hatinya sakit dan ada sedikit dendam. Dendam yang bukan untuk mereka, tapi untuk dirinya sendiri. Mengapa dia harus terlahir dengan noda hitam yang sebegitu terang? Satya tidak tahu dan sudah lelah mencari tahu. Ia hanya tahu bahwa dirinya memang bernoda hitam dan ia terkadang benci dan menyesalinya.

Benci dan sesal adalah sebuah perasaan yang cukup merah. Oleh karenanya noda hitam dalam jiwa Satya berwarna sedikit rekah merah. Seperti darah yang mengering dan berubah pekat seperti tinta. Dan dengan tinta hitam yang sebenarnya merah itu, Satya torehkan beberapa pengingat bagi dirinya yang hendak berhenti di tengah jalan karena lelah. Ia katakan pada dirinya yang sudah hendak menyerah,

“Mereka salah. Sudah barang tentu mereka salah. Saya bukan hanya noda, tapi saya juga sebuah lembaran. Sebenarnya saya sebuah lembaran!”

Lalu sebuah bisikan yang lirih dan kejam akan bersiul,

“Tapi kamu lembaran yang bernoda! Kamu lelaki yang akan menjadi dingin dan kejam. Kamu akan menyakiti semua orang. Teman-teman, keluarga, dan perempuan. Terutama perempuan.”

Tapi Satya keras kepala. Ditepisnya bisikan itu dan ia terus berjalan. Untungnya seperti itu. Untungnya dia terinspirasi untuk melakukan seperti itu. Kalau tidak ia akan tenggelam dalam bisikan yang kelam. Dan noda itu akan menyebar seperti bercak tinta basah. Merembes, menembus tiap pori dalam lembar jiwanya yang pucat pasi. Lalu akan hitamlah putih jiwanya. Dan sepenuhnya ia tenggelam. Dan tidak lagi ia lihat apa yang di depannya. Memangnya ada apa di depannya?

Satya tidak tahu apa yang ada di depannya. Entah apa yang ada di sana. Tapi ia melangkah dan terus meniti jalan. Lalu hanya kecewa dan kecewa lagi. Hanya segumpalan penolakan dan seabrek luka sabetan. Ia mulai merasa payah, tapi ia harus terus berjalan. Sementara masa lalunya terus menggerogot dan menuntut,

“Satya! Kau harusnya bersikap seperti kami agar kami ingat untuk menyayangi.”

“Satya! Kau harusnya menuruti turut orantua agar kami menjadi bangga.”

“Satya! Kau harusnya melakukan apa yang mereka lakukan agar kami tidak pernah pergi.”

Masa lalu seperti sebuah besi pemberat dan Satya ingin lepas. Satya ingin bebas. Tapi itu terlalu mudah bukan? Itu terlalu cetek. Tentunya kalau Tuhan membiarkan Satya lepas, maka Tuhan sedang menertawakan kegigihan jiwanya yang tua hampir setua jaman. Jadi tentu saja Satya belum lepas dan belum bebas. Tidak sekarang ini.

Padahal Satya merasa payah dan lelah. Dan ia letih. Dan ia hendak berhenti. Tapi tidak. Itu hanya sebuah rasa dalam hati. Sebenarnya di sana masih ada kekuatan dan ketahanan. Geliat dan berontak dari jiwa tua yang mungkin saja lebih tua dari jaman.

Yang harus dilakukan oleh Satya adalah memencet noda hitamnya yang serupa switch on. Dan berdoalah yang lama, lama sekali. Seperti seorang alim yang tidak pernah luput bersujud dan menyila. Dan dalam doa itu katakan,

“Tuhan, Tuhan, saya bernoda! Maka jangan tinggalkan saya! Jangan pernah tinggalkan saya!”

Seperti seorang manja. Seperti seorang yang mengerang seakan-akan hanya dirinya saja yang kesakitan. Seakan-akan dunia itu hanya ada dia dan Tuhan. Dan seluruhnya senyap. Hanya ada sebuah siulan sunyi. Dan Satya akan tahu bahwa dirinya memang benar-benar sendiri. Benar-benar sendiri. Dan itu tidak mengapa. Itu tidak mengapa.

Di dalam sendiri ada berani. Keberanian untuk unjuk gigi. Dan itu tidak mengapa. Itu tidak mengapa. Tuhan ingin jiwa-jiwa yang dimilikinya untuk mengunjukkan diri. Karena itu adalah sebuah doa. Sebuah persembahan kepada yang Maha Kuasa.

Hanya dalam sunyi senyap sendiri, seseorang memang dapat berdoa. Dan terkadang rasa senyap itu membuat gamang. Terlebih-lebih siulan sunyi itu membuat resah. Seluruh tulang gemeletuk gelisah. Tapi itu adalah konsekuensi menjadi sendiri. Dan itu tidak mengapa. Tentu itu tidak mengapa. Kadang sendiri memang butuh. Untuk menjadi berani. Untuk timbul rasa ingin unjuk gigi. Lalu katakan dengan lantang,

“Tuhan! Tuhan! Lihat saya!”

Maka sesekali sunyi senyap sendiri itu memang akan datang. Terutama bagi Satya yang berjiwa tua, mungkin hampir setua jaman. Saat-saat yang memaksanya untuk memasuki waktu sunyi senyap sendiri mungkin akan kerap datang. Mungkin malah akan rapat. Tapi itu tidak mengapa. Tentu itu tidak mengapa. Karena Satya tahu saat-saat seperti tidak akan selalu datang. Hanya sesekali. Mungkin rapat. Mungkin padat. Tapi hanya sesekali. Hanya sesekali.

Tentu kalau ia cukup kuat dan tangguh, ia tahu bahwa saat senyap sunyi sendiri itu tidak pernah benar-benar akan menetap. Ia hanya sesekali datang dalam wajah yang membuat ngeri. Serupa teman-teman yang pergi meninggalkan. Atau keluarga yang mungkin mencemooh dan meludah. Bahkan mungkin dalam bentuk kekasih yang merasa bingung dan gamang.

Tapi itu tidak apa-apa. Artinya saat sunyi senyap sendiri ingin datang dan merayap. Ingin Satya unjuk gigi dan unjuk “kabisa”. Perlihatkan pada Tuhan bahwa lembaran yang mengingat-Nya tak selalu putih. Kadang bernoda. Malah selalu bernoda. Dan noda itulah yang menjadikan manusia manusia.

Maka semuanya tidak mengapa. Sunyi senyap sendiri akan pergi dengan merambat pelan seakan malu dan tidak mau ketahuan. Bahwa sebenarnya ia hanya seekor binatang yang sedikit ingin bersenang-senang. Dan ia tidak pernah benar-benar serius ingin menenggelamkan seorang pun. Termasuk Satya. Ia hanya ingin menunjuk bahwa ia adalah sebuah switch on. Dan saat ia menyala maka ia terhubung pada Tuhan pemilik semesta. Kemudian semua penolakan dan cemoohan akan berubah menjadi,

“Itu Satya. Dia teman saya.”

“Itu Satya. Dia sanak saya.”

Itu Satya. Dia kekasih saya.”

Kalimat-kalimat itu akan diucapkan dengan bangga. Pendek saja tapi membuat Satya berpikir,

“Tuhan. Terimakasih atas saat-saat sunyi senyap sendiri. Terimakasih atas saat-saat saya menjadi seorang sendiri. Hanya sebuah lembaran bernoda tapi Kau tidak pernah luput. Tidak pernah sepersekian mili detik pun. Dan orang-orang ini. Orang-orang yang bersama saya. Maka berkati mereka. Karena mereka pun bernoda seperti saya.”

Jadi begitulah Satya akan mengingat akan saat sunyi senyap sendiri. Dan begitulah Satya akan berharap untuk semua orang. Dan tidak terasa itu adalah sebuah harap untuk dirinya sendiri. Agar diberkati. Agar dirahmati. Agar disayang.

Tanpa peduli hitam. Tanpa peduli noda. Dan tanpa takut tenggelam dalam larutan sunyi senyap sendiri. Sebuah larutan yang tidak akan pernah membuatnya terasing seorang diri.

Leave a comment